Rabu, 05 Juni 2013

BAGIAN 3




BAGIAN 3
KEMBALI kepada AGAMA ALLAH
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).
(QS 98:5)

T
idak hanya satu agama yang ada di dunia ini, belum lagi agama-agama tersebut pun terbagi-bagi kepada sekte-sekte ajaran yang lebih eksklusif lagi. Tentu ini karena perkembangan pola pikir para pemeluknya yang dinamis dari masa ke masa, atau mungkin pula karena kesamaan pikir, kesamaan nasib, kesamaan geografis asal, dan lain sebagainya. Yang jelas telah dapat diterima hati dan jiwanya, sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi diri (jiwa)-nya.
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sesungguhnya agama-agama tersebut, tentunya diturunkan hanya oleh Yang Maha Tunggal sebagai suatu ajaran tunggal yang menuju keselamatan hidup di dunia dan kelak di akhirat (hari kemudian).
Hanya saja, karena disebabkan perbedaan tempat atau wilayah, waktu atau masa, serta kaum atau umat yang memiliki adat istiadat yang berbeda, kondisi situasi masalah yang berbeda, sampai kepada geografisnya pun berbeda, maka menyebabkan pula perbedaan-perbedaan dari segi bahasa, kepentingan yang diutamakan, dan kenyamanan pada ritual keagamaannya, sehingga makin memperlebar serta semakin menjauhi perbedaan-perbedaan awalnya. Kemudian dalam perkembangannya, semakin dinamisnya pemikiran para pendeta atau ulamanya dalam menerjamahkan hukum-hukum bagi kehidupan umatnya, maka semakin memperlebar lagi perbedaan-perbedaan diantara masing-masing agama tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in (sebelum agama samawi yang meyakini adanya Allah), siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Ayat ini jelas menegaskan bahwa nama atau sebutan agama-agama yang ada, memiliki ketunggalan ajaran, petunjuk, atau jalan lurus dari Dia (Tuhan) yang sesungguhnya sebagai sumber asalnya. Hanya karena pengakuan (ego) insan kemanusiaan yang merasa memiliki, maka eksklusivitas semakin dilebih-lebihkan dari merasa yang paling benar, yang paling lurus, dan yang paling diridhai Tuhannya, agama selain agamanya adalah adalah agama yang sesat dan menyesatkan.
Sehingga dapat menimbulkan benih-benih persaingan, kecemburuan, riya, dan kesombongan yang merupakan hasil penyesatan iblis. Sungguh ironis, tanpa disadari, ternyata diri kita telah jauh keluar dari jalan lurus-Nya. Seolah, telah sulit untuk kembali lagi. Seperti telah mendarah daging, superioritas, eksklusifitas, nasionalisme sempit, etnis, kepentingan golongan, dan kesombongan adalah sebab-sebab timbulnya perbedaan-perbedaan yang semakin membuat kemanusiaan semakin menjauhi makna ketunggalan umat, ketunggalan ajaran dan ketunggalan tujuan, sehingga semakin terjerumus pada keserakahan dan ketamakan untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan hawa nafsunya. Yaitu kenyang sendiri, makmur dan kaya sendiri, hebat sendiri, berkuasa sendiri, dan lain sebagainya yang lebih menjadikannya bersifat individualistis.
Pada bagian pertama kitab ini telah diulas, bahwa karena di alam, maka kemanusiaan dalam menilai segala sesuatu rahmat Tuhannya yang sesungguhnya adalah rahmat tunggal berupa kebaikan, selalu beragam dan berbeda-beda, termasuk rahmat petunjuk agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan bagi kemanusiaan. Sehingga menjadi timbullah berbagai macam persepsi tentang agama yang mengakibatkan timbulnya cabang-cabang bahkan ranting-ranting, disebutlah semuanya sebagai sekte-sekte atau aliran-aliran dalam agama.
Hal tersebut tidaklah lepas dari sejarah panjang perilaku dan pola penyebaran kehidupan kemanusiaan yang tersebar ke seluruh penjuru bumi. Semakin lama, maka semakin terpisahlah mereka dengan pola perilaku dan dari ajaran agama bawaan asalnya, karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan lingkungan asalnya. Perbedaan waktu, temperatur dan iklim, lingkungan geografis, makanan, dan lain sebagainya adalah sebagai yang ikut mempengaruhi bias-bias tersebut dari ajaran agama asal yang sesungguhnya adalah ajaran agama yang tunggal (sama).
Oleh sebab itulah Allah pun kembali mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mereka dan keadaan baru mereka bila telah menyimpang jauh dari ajaran asal-nya, dengan segala kemudahan-kemudahan sebagai penyesuaiannya. Para rasul dan nabi tersebut adalah orang-orang pilihan-Nya dari kaum mereka sendiri, dengan bahasa dan kebiasaan yang sama dengan mereka. Tidak jarang Allah mengutus beberapa orang rasul dan nabi-Nya sekaligus dalam masa atau waktu yang sama, dan tempat atau wilayah serta kaum yang berbeda, seperti nabi Ibrahim dan nabi Luth. Dan juga pada masa nabi Musa dan Syua’ib (juga Khidir). Serta waktu atau masa yang sama dengan wilayah yang sama pula, seperti nabi Musa dan nabi Harun, nabi Yahya dan nabi Isa. Yang kesemuanya mereka adalah sebagai pembawa dan penyampai ajaran agama yang tunggal (sama) dari Allah SWT.
Jika kemanusiaan menolak ketunggalan (kesamaan) ajaran agama tersebut, maka dia menolak ajaran agama dan Tuhannya sendiri. Satu kesatuan ajaran agama dari semenjak Adam AS, sebagai bapak kemanusiaan, hingga Muhammad SAW dengan membawa dan menyampaikan al Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata sebagai penyempurna nabi (khataman nabiyyin) dan  agama Allah, maka siapapun yang mengingkarinya, sesungguhnya dia telah mengingkari akal kesadarannya sendiri. Dengan demikian, dia telah menciptakan batas antara dirinya dengan kebenaran sejati dari Tuhannya.
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”  (QS 2:136)
Kisah nabi-nabi dari mulai Ibrahim AS sampai Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al Qur’an, yang merupakan sejarah yang berhubungan erat kaitannya dalam memaknai bahwa ternyata agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah suatu ajaran tunggal dari Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu berserah diri (islam).
Dimulai ketika Ibrahim berselisih dengan ayah dan kaumnya sehingga terusir dari negrinya. Beliau dan istrinya (Siti Sarah) pun kemudian harus hidup berpindah-pindah (nomaden) bersama ternak-ternaknya, hingga akhirnya sempat menetap di negri Mesir. Disanalah beliau mendapatkan karunia hadiah, sebagai permintaan maaf fir’aun yang tidak mengetahui bahwa Siti Sarah adalah istri Ibrahim, yang sempat hendak diperistri olehnya. Selain memperoleh ternak-ternak yang banyak, fir’aun pun menghadihi seorang budak wanita (Siti Hajjar), yang sebenarnya adalah putri raja yang dikalahkan fir’aun raja Mesir. Kemudian beliau pun berpindah lagi dari Mesir, dan kemudian hingga menetap di Palestina.
Sampai pada masa tuanya, Ibrahim belum pula dikaruniai anak, hingga tercetuslah keinginan Siti Sarah agar suaminya, Ibrahim menikahi Siti Hajjar, untuk mendapatkan keturunan. Inilah awal dari sejarah dua bangsa yang pada akhirnya selama ribuan tahun selalu dalam perseteruan, sampai sekarang. Yaitu bangsa Arab sebagai anak keturunan Ismail anak Ibrahim dari Siti Hajjar, dan bangsa Israel anak keturunan Yaqub (Isra’il) cucu Ibrahim dari Ishak yang merupakan garis anak keturunan dari Siti Sarah.
“..... Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah bani Israil (pergi) bersama aku.”  (QS 7:105)
Perseteruan tersebut dimulai ketika bani Israil setelah keluar dari Mesir di bawa oleh nabi Musa AS kembali ke Palestina, tanah leluhurnya karena perintah Allah, makam Ibrahim sebagai kakek moyangnya, juga di situ. Akan tetapi tanah tersebut telah dihuni bangsa Palestina karena telah lama, ratusan tahun, ditinggal bani Israil sejak kepergian seluruh keluarga Yaqub (Isra’il) AS ke negri Mesir untuk menemui Yusuf AS, dan akhirnya menetap di sana selama ratusan tahun hingga populasi keluarga ini menjadi besar saat nabi Musa AS mengeluarkan mereka dari bumi Mesir, sehingga pantaslah mereka disebut ‘bani’ atau bangsa dari anak keturunan Isra’il (Yaqub).
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Seandainya pada masa itu telah ada surat-menyurat bukti kepemilikan tanah, mungkin akan menjadi lain jalannya sejarah mereka. Begitulah ketetapan Allah, dan mereka pun, bani Israil, menganggap tanah Palestina tersebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhannya, padahal Allah hanya memerintahkan masuk dan tinggal kembali di tanah itu sebagai pendatang, bukan masuk ke negri itu, lantas mengusir penduduknya. Tanah yang telah ditinggal selama ratusan tahun, dan saat hendak pulang kembali ternyata telah dihuni oleh orang-orang lain. Belum tentu pula bila mereka, bani Israil memiliki surat-surat bukti kepemilikan tanah, tetapi karena telah meninggalkannya selama ratusan tahun, akan memudahkannya untuk mendapatkan kembali haknya.
Coba renungkan, jika kita bisa berlaku adil dan jujur dengan hati yang terbuka, maka lebih kuat mana surat bukti kepemilikan tanah dengan firman Tuhan (QS 5:21) yang menghendaki mereka kembali lagi dan tinggal di tanah tersebut? Tentu akan diterima dengan tangan terbuka jika mereka masuk dengan baik-baik sebagai pendatang.
Tentulah mereka pun menghendaki firman Tuhan tersebut menjadi kenyataan, seperti kita, umat muslim, menghendaki pergi haji sebagai panggilan dan perintah Tuhan, atau kepada perintah-perintah dan larangan-Nya yang lainnnya sebagai wujud tunduk patuh (islam) kepada-Nya. Jika kemanusiaan telah memahami ini dengan hati yang dilapangkan, dan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, maka tentu akan terjadi kedamaian di tanah Palestina tersebut.
Tetapi Allah berkehendak lain, Dia sesatkan mereka yang menyukai kesesatan. Bahkan terjadi kejahatan-kejahatan pada mereka yang juga menyukai kejahatan. Dengan watak dan tabiat buruk bani Isra’il maka Allah menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya di tanah itu, Palestina yang selalu membara dan berdarah diperebutkan oleh bangsa-bangsa keturunan Ibrahim. Hidup bersama dalam perbedaan adalah yang harus diterima setiap segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, termasuk kemanusiaan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
AGAMA YAHUDI
Bani Israil, yang pada saat mulanya adalah hanyalah terdiri dari keluarga Yaqub dengan kedua belas anaknya, yang berpindah pergi ke Mesir akibat musim kemarau yang panjang dan menimbulkan kelaparan di seluruh wilayah Afrika Utara, Semenanjung Tanah Arab hingga Syria, termasuk pula Palestina tempat keluarga Yaqub (Isra’il, sebagai nama lainnya) bermukim. Kemudian karena Yusuf telah sukses dan menjadi bendahara kerajaan Mesir, maka diboyonglah seluruh keluarganya, ayah-ibunya serta kakak-kakak dan adiknya untuk tinggal menetap di Mesir selama ratusan tahun, sampai mereka beranak-pinak memiliki keturunan yang banyak.
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenali mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.........”  (QS 12:58)
Di dalam Al Qur’an, kisah-kisah Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakariya, dan Yahya hingga Isa sesungguhnya berkesinambungan sebagai alur cerita yang bersejarah yang menyangkut kepada ajaran tunggal agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam yang merupakan dari Allah Yang Maha Tunggal. Dan kisah-kisah masa lalu yang bersejarah tersebut pun amat mempengaruhi jalannya kehidupan sekarang ini dan kedepannya, betapa telah menjadikan tragedi kemanusiaan selama ribuan tahun.
Keterikatan antar mereka, dari semenjak Yaqub sampai masa Isa, sebagai anak keturunan Yaqub amatlah kuat, karena mereka selalu disatukan. Hal ini terbukti dengan diutusnya Musa mengeluarkan mereka dari bumi Mesir ke Palestina, kemudian Musa membuat 12 sumur untuk suku-suku mereka yang berdasarkan dari keturunan dua belas anak Yaqub. Kemudian pada masa Daud yang mempersatukan mereka dalam sebuah negara atau kerajaan, sebagai bangsa yang telah memiliki pemerintahannya. Juga pada masa Isa, sekali lagi mereka telah tercerai berai, dan Isa mendapat tugas mengumpulkan mereka dengan mengangkat 12 murid atau sahabat-sahabatnya (hawariyun) sesuai berdasarkan wakil-wakil yang diambil dari 12 suku bani Isra’il (keturunan dari 12 anak Yaqub).
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya.........”  (QS 2:60)
Kedua belas anak Yaqub (Isra’il) adalah dari keempat istrinya yang kemudian menjadi suku bangsa Israel. Rincian nama-nama mereka adalah :
·      Dari istri pertamanya Liah yang melahirkan :
1.         Raubin
2.         Syam’un
3.         Lawi (atau Levi, dari dialah garis keturunan Musa)
4.         Yahuza (Yahudi, dari dialah sebutan Yahudi pun menjadi lebih populer)
5.         Yassakir
6.         Zabulun
·      Dari istri keduanya Rahil (Rahel) yang melahirkan :
7.         Yusuf dan
8.         Benyamin
·      Dari istri ketiga Zilfah yang melahirkan :
9.         Jad dan
10.     Asyir
·      Dari istri keempat Bilhah yang melahirkan
11.     Dan
12.     Naftali
Namun Yaqub begitu kentara terlihat amat menyayangi Yusuf dan Benyamin yang dilahirkan dari Rahil yang cantik dan paling dicintai dari istri-istri yang lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi kakak-kakaknya.
Tanah Palestina yang strategis secara geografis, sebagai yang disebut tidak di Timur dan tidak di Barat (QS 24:35), dan sebagai titik pertemuan tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Juga secara ekonomi akibat pengaruh lima imperium besar pada masa setiap masa peradaban kemanusiaan, yaitu Romawi, Persia, Mesir, Babylonia, dan China. Berdasarkan letaknya yang strategis itulah, maka wilayahnya selalu menjadi ajang perseteruan, baik dari penduduk di dalamnya sendiri maupun yang datang dari luar. Seperti, kekuasaan imperium-imperium besar dunia di masa itu,  imperium Mesir, imperium Persia, Babylonia, imperium Roma. Dan kemudian kekhalifahan Islam, disusul lagi oleh bersatunya kerajaan-kerajaan Eropa pun tertarik untuk dapat menguasai tanah di wilayah ini yang. Apalagi setelah Napoleon membangun terusan Suez yang dapat memotong jauh lebih singkat perjalanan laut dari Eropa untuk mencapai ke Asia Timur bahkan sampai ke Nusantara. Bila telah memahami kesatuan alur cerita tersebut maka kita akan melihat melalui hati kita sebuah pelajaran kehidupan yang bernilai tinggi.
Bani Isra’il amat terobsesi oleh 2 hal dari pernyataan (firman) Tuhan yang menyebutkan bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih  (QS 2:47) dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka (QS 5:21). Dan kedua hal tersebut telah mengaburkan hal-hal lainnya dalam satu kesatuan ajaran yang disampaikan nabi-nabi dari kalangan mereka sendiri, bahkan tak segan mereka melakukan perbuatan yang dilarang Allah demi tercapainya 2 obsesi tersebut, walaupun harus melakukan persekongkolan jahat sampai kepada pembunuhan dan pembantaian. Termasuk terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul utusan Tuhan yang mereka anggap menghalangi obsesi mereka.
“Hai bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”  (QS 2:47)
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Juga membuat karya-karya sastra (sifir-sifir), yang kemudian dipaksakan kepada kaumnya dengan mengatakan bahwa karya-karya itu adalah bagian dari firman-firman Tuhan (Taurat) yang tercecer dan sempat hilang, untuk menggalang persatuan diantara mereka. Inilah yang dicela oleh Allah, bahwa mereka telah mengubah dengan menambah-nambahkan serta mengurang-ngurangi isi kitab Allah.
Watak dan tabiat mereka tersebut amat mempengaruhi kehidupan keagamaan mereka, dan bukanlah agama yang justru membentuk watak dan tabiat mereka. Watak tabiat mereka yang kejam telah terbentuk sejak Yaqub masih hidup dan Yusuf serta Benyamin masih kanak-kanak, seperti yang dikisahkan di dalam Al Qur’an bagaimana Yusuf dibuang oleh mereka, kakak-kakaknya sendiri, dan dibiarkan nasibnya tak menentu dan dianggap telah mati.
Nasib Yusuf kanak-kanak yang tragis itu, ternyata tak seburuk perkiraan, ternyata dia ditemukan kafilah pedagang yang hendak pergi ke Mesir. Sekalipun dia diambil dan dijual sebagai budak belian di Mesir, bahkan harus masuk dan mengalami hidup di penjara selama beberapa tahun, namun karena kesabaran dan ketawakalan terhadap Tuhannnya, akhirnya diapun mencapai kemuliaan yang tinggi. Dipercaya raja Mesir untuk mengelola perbendaharaan pangan negri Mesir (semacam kepala Bulog).
Pada mulanya mereka hidup dalam kemewahan bangsawan kerajaan Mesir, karena jasa Yusuf menakwilkan mimpi raja Mesir (Fira’un) maka hanya Mesir-lah satu-satunya negri yang siap menghadapi kemarau panjang selama 7 tahun. Seperti yang dikisahkan dalam Al Qur’an.
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS 12:46)
“Yusuf berkata : Supaya mereka bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasanya, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit (sebagai bibit) dari yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.”  (QS 12:47-49)
Begitulah bani Isra’il ikut menikmati kemewahan hidup berkat jasa Yusuf yang tak menaruh dendam kepada saudara-saudaranya yang telah berlaku keji kepadanya.
Akan tetapi, setelah ratusan tahun lamanya, ternyata situasi politik negri itu akhirnya berubah. Rupanya raja Mesir yang memerintah saat Yusuf mengalami kemewahan adalah bagian dari rezim penjajah dari kaum Amalik Hyksos (Babylonia, sekarang Yordania tetangga Palestina). Situasi pun berubah, setelah penguasa selanjutnya yang memimpin Mesir kemudian adalah kaum pribumi Mesir yang telah berhasil mengusir penjajah mereka. Maka begitupun nasib keluarga besar Yaqub, bani Isra’il, berubah pula menjadi dibawah tekanan pribumi kemudian dijadikan bangsa budak, karena dianggap sebagai antek penjajah. Padahal mereka hanya diuntungkan, oleh situasi dan kondisi pada waktu sebelumnya sebagai warga kelas dua. Layaknya etnis keturunan Tionghoa, India dan Arab pada masa kolonial Belanda di Nusantara.
Pernah pula mereka melakukan perlawanan bawah tanah atau pemberontakan, namun selalu digagalkan. Dan karena hal tersebutlah mereka semakin ditekan dan ditindas rezim Fira’un dengan keluarnya kebijakan pembunuhan setiap bayi laki-laki bani Isra’il yang lahir untuk memutus mata rantai perlawanan mereka yang selalu menyusahkan rakyat Mesir dengan keburukan dan kejahatan watak tabiat mereka. Seperti di masa penjajahan sebelumnya, mereka sangat menguasai perekonomian dan moneter yang amat menekan pribumi, karena keserakahan dan ketamakan akan materi kehidupan dunia. Hal ini persis seperti yang mereka lakukan di Jerman dari masa sebelum Perang Dunia ke I hinggga sebelum Perang Dunia ke II, yang membuat Adolf Hitler pun merasa geram seperti geramnya Fira’un, sehingga terjadilah genosida terhadap bangsa Yahudi. Begitulah watak dan tabiat bani Isra’il tak pernah dapat berubah, walaupun ribuan tahun telah berlalu. 
Kita kembali kepada alur kisahnya. Setelah exodus oleh nabi Musa dan nabi Harun terhadap bani Israil keluar dari bumi Mesir dan dari cengkeraman Fir’aun, pernah pula mereka melakukan penghianatan terhadap perjanjian dengan Tuhannya. Yaitu, pada saat peristirahatan perjalanan mereka menuju Palestina, ketika Musa bermunajat di bukit Thursina selama 40 malam, kebiasaan lama mereka kambuh lagi dengan membuat dan menyembah berhala sembahan berupa patung anak sapi yang disepuh dengan emas. Nabi Musa pun turun dengan marah, setelah mengetahui dari Allah atas perbuatan mereka. Akibat peristiwa ini terjadilah dua kubu yang menimbulkan perseteruan berdarah, yaitu yang setia kepada Allah dan nabi-Nya melawan para penentang-Nya yang lebih menyukai penyembahan berhala, dan terjadilah perang saudara diantara mereka sendiri yang menimbulkan korban jiwa hingga ribuan nyawa melayang.
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Kemudian, setelah kejadian tersebut, dan setiba mereka disekitar luar wilayah Palestina, terjadi kembali keingkaran mereka terhadap perintah Tuhannya, dan lebih menyukai hidup terkatung-katung diluar sekitar wilayah Palestina yang panas dan kering selama 40 tahun. Bahkan hingga wafatnya nabi Musa, mereka masih belum bisa masuk ke wilayah Palestina, karena takut menghadapi perlawanan, dan tak adanya keimanan terhadap perintah Tuhannya (QS 5:21).
“Mereka berkata, hai Musa, sesungguhnya di dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, pastilah kami akan memasukinya.”  (QS 5:22)
Bahkan mereka mengecam Musa dan Harun karena hidup terlantar di padang pasir, seperti bunyi kutipan dari sifir Khuruj 317 (yang dianggap bagian dari Taurat oleh bani Isra’il) mereka di bawah ini,
·     Alangkah baiknya kalau kami mati saja di bumi Mesir itu, karena kami dapat senantiasa akan dapat duduk di sisi periuk daging dan makan roti sehingga kenyang. Kamu berdualah yang telah mengeluarkan kami dari kemewahan kepada penderitaan, karena kamu berdua hendak membunuh bangsa kami dalam kelaparan.
·      Di sebagian padang pasir itu tidak dapat ditemukan air. Maka seluruh rakyat pun mengecam Musa dan menentang dengan berani. Mereka berkata : Mengapa kamu singkirkan kami dari bumi Mesir dengan tujuan hendak membunuh kami, anak-anak kami dan binatang ternak kami dengan kehausan.
Sepeninggal Musa, mereka benar-benar dalam kesesatan tanpa bimbingan nabi utusan Allah. Telah kita ketahui sebelumnya, dengan keberadaan nabi Musa diantara mereka yang tegas dan berwibawa saja, mereka, telah banyak dan berani melanggar perjanjian dengan Tuhannya, tentu apalagi tanpa beliau. Masa-masa setelah beliau, mereka hanya dipimpin oleh ketua-ketua yang diangkat berdasarkan suku-suku mereka.
Di dalam sifir Yusya, ishah 6, disebutkan, bahwa mereka bani Isra’il melakukan pembantaian massal terhadap penduduk kampung atau kota kecil bernama Ariha untuk mendudukinya, setelah melalui cara-cara pengintaian (spionase) oleh Yusya’ bin Nun yang diangkat mereka sebagai pengganti Musa dan tinggal bersama keluarga perempuan pelacur bernama Rahab di kampung tersebut.
Dengan peristiwa tersebut, maka penduduk di sekitar kota itu menjadi lebih berhati-hati terhadap mereka, sehingga mereka pun tak lebih menguasai kecuali hanya daerah-daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan belum sampai kepada tanah yang dijanjikan. Karena mereka mendapati perlawanan dan peperangan kecil yang tak kunjung padam dari kabilah-kabilah di sekitar wilayah Palestina seperti suku Moab dan sebagian kecil penduduk Madyan.
Samuel yang dianggap sebagai orang suci mereka, diminta untuk mengangkat seorang raja diantara mereka, sekalipun dikatakan kepada mereka belum waktunya bagi mereka, namun mereka tetap memaksa hendak memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lain. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sifir Samuel I, ishah 8.
Akhirnya dinobatkanlah Saul (yang disebut Talut dalam QS 2:249), yang kemudian banyak melakukan peperangan yang gagah berani. Dan adalah Daud sebagai bagian dari tentara pasukannya yang berjasa dan menjadi pahlawan dalam suatu peperangan melawan Palestina yang dipimpin Jalalabat (Jalut) yang terbunuh pada pertempuran tersebut, dalam sifir Samuel I ishah 17. Namun terjadi persaingan antara raja Saul dengan Daud, karena kecemburuannya. Akibat persaingan itu, menjadi lemahlah kekuatan kerajaan Saul, dan diambil kesempatan oleh orang-orang Palestina, sehingga Saul pun terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Daud menjadi pemimpin dan dinobatkan menjadi raja setelah mematahkan perlawanan Ishbosheth bin Saul bersama panglima tentara ayahnya, dan setelah itu, barulah seluruh wilayah Palestina dapat mereka rebut dan duduki sebagai wilayah negrinya yang berdaulat. Padahal pemerintahan Daud dan Sulaiman dapat kuat karena diuntungkan oleh situasi dan kondisi melemahnya ketegangan antara tiga imperium besar Romawi, Mesir, dan Persia pada masa-masa tersebut. Tetapi lebih sering mereka dirugikan, karena posisi tanah tersebut yang terjepit berada di tengah-tengah ajang pertempuran ketiga imperium tersebut. Keberadaan kerajaan Yahudi (bani Isra’il) ini berlangsung sebatas setelah 2 anak Sulaiman yang saling berebut kekuasaan sehingga terpecahnya menjadi dua kerajaan kecil.
Kedaulatan bani Isra’il yang memiliki raja dan kerajaannya berlangsung tak lebih hanya seratus tahun saja. Hingga datanglah masa penjajahan imperium Persia dengan rajanya Cyrus yang menaklukkan negri Babylon, maka Palestina pun ikut sebagai wilayah yang ditaklukkannya. Pada masa ini pulalah masuknya unsur-unsur kepercayaan bangsa Persia mempengaruhi keagamaan bani Isra’il. Seperti kepercayaan tentang mesiah (al Masih atau juru selamat) yang ditunggu, yang diambil dari mitos-mitos bangsa Persia (Samaria atau Sumeria), dan dipercaya sampai kini dan terbungkus ajaran-ajaran Islam oleh sekte Syi’ah sebagai Imam Mahdi yang akan datang (bahkan sebagian umat muslim pun mempercayai mitos ini sebagai yang terdapat di dalam hadits nabi).
Kemudian masuk kembali penjajahan imperium Romawi setelah menaklukkan imperium Persia, dan menguasai pula wilayah Palestina. Mereka bahkan lebih kejam dan menindas bani Isra’il, Haikal (rumah peribadatan mereka yang dibangun oleh nabi Sulaiman) dirobohkan dan diganti dengan Haikal baru yang lebih memaksakan nuansa Romawi-Yunani dengan dewa-dewanya sebagai berhala pemujaan pengganti kepercayaan bani Isra’il sebelumnya.
Keadaan ini sampai setelah kedatangan nabi Zakaria, Yahya, dan Isa, Imperium Romawi masih berkuasa untuk menduduki sebagai wilayah jajahannya. Sejak itulah bani Israil selalu bermimpi dan berharap memiliki pemimpin yang kuat yang dapat mempersatukan kaumnya sebagai mesiah (juru selamat), seperti Daud, sehingga dapat merasakan nikmatnya tinggal di atas tanahnya sendiri.
Bahkan sampai kepada setelah masa nabi Muhammad SAW, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra, barulah imperium Roma dapat ditaklukkan dan terusir dari bumi Palestina, serta dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab (yaitu keturunan Ibrahim dari Siti Hajar yang melahirkan Isma’il). Sekalipun mereka (bani Israil) tetap dapat tinggal di situ, sayangnya, tetap mereka  tak merasa tinggal di atas tanahnya sendiri pula. Bahkan dengan intrik-intrik mereka yang akhirnya dapat membujuk minat raja-raja eropa (kaum Nasrani) untuk merebut tanah Palestina, sebagai tanah suci umat Nasrani pula. Karena tanah tempat Yesus (nabi Isa) dilahirkan. Sejak itulah terjadi Perang Salib selama berabad-abad. Dan menimbulkan perseteruan abadi ketiga umat besar dunia, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka.”  (QS 23:53)
Selain sifir-sifir di dalam Taurat Musa sebagai sumber kehidupan keagamaan bagi bani Isra’il, mereka pun mensucikan sumber-sumber lainnya, seperti riwayat-riwayat atau mitos yang telah berusia ratusan hingga ribuan tahun, juga keputusan-keputusan (fatwa) ulama atau pendeta mereka yang telah menjadi kesepakatan.
Talmud, adalah riwayat masa lalu yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan menjadi mitos sehingga mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka, dan inipun dikeluarkan dan disyi’arkan lagi dari mulut para Hakham (orang-orang yang dianggap bijak, suci, atau para pendeta/rabbi) dari generasi ke generasi.
Pada masa sekitar tahun 150, setelah Isa Al Masih, seorang hakham bernama Judas, merasa khawatir riwayat turun temurun yang berharga di matanya tersebut hilang dan terlupakan, maka ia mengumpulkannya ke dalam kitab yang dinamakannya al Misyna (syari’at yang diulang-ulang) yang berisi penafsiran syariat Taurat Musa yang telah menjadi mitos-mitos berusia lebih dari 500 tahun. Kemudian obsesi tentang Palestina sebagai tanah yang dijanjikan dan kisah-kisah tentang penawanan Babylon sebagai tambahan-tambahan yang dimasukkan ke dalam kitab tersebut.
Keduanya ini yang tersebar luas dan terkenal di kalangan Yahudi sebagai Talmud Jerusalem dan Talmud Babylon. Dan mereka menganggap Talmud tersebut sebagai kitab yang turun dari langit, dan meletakkannya setingkat dengan Taurat. Sebagai yang diturunkan bersamaan kepada nabi Musa di Thursina, Taurat diberikan dalam bentuk tertulis, dan Talmud dalam bentuk lisan. Bahkan ada diantara mereka yang menempatkan Talmud ini lebih tinggi dari Taurat. Dan jika sesorang diantara mereka yang melanggar para Hakham maka akan disiksa dengan siksaan yang berat, sedangkan yang melanggar syari’at Taurat Musa dosanya masih bisa dimaafkan. Tetapi yang melanggar Talmud akan dihukum mati.
Protokol Pendeta-Pendeta Zionis, adalah bentuk-bentuk permufakatan jahat terhadap kemanusiaan yang direncanakan secara sistematis dan mendapat dukungan penuh dari seluruh kalangan Yahudi, terutama finansial dan kesetiaan penuh. Protokol-protokol ini dihasilkan dalam muktamar-muktamar yang dirahasiakan. Ini lebih kepada balas dendam dan hasrat mencapai obsesi yang dicita-citakan sejak lama oleh para pendahulu mereka, bahkan nenek moyang mereka sejak exodus dari bumi Mesir.
Sempat ada kebocoran  rahasia tersebut, yang sebagian dokumen-dokumen hasil Muktamar Bale (1897) dilarikan oleh seorang nyonya Perancis ke Rusia dan sampai kepada ketua agen rahasia Kekaisaran Rusia Timur Alex Nikola Nivieh, pada tahun 1904, kemudian akhirnya dokumen tersebut disiarkan melalui siaran radio. Dan setelah monarki Rusia mengalami keruntuhan, digantikan oleh rezim Komunis, maka menjadi masa-masa kesulitan bagi etnis Yahudi di sana sebagai yang bekerja di kamp-kamp kerja paksa dan mengalami pengasingan di Siberia. Kembali mereka mengalami seperti masa-masa dahulu di Mesir dan Babylon.
AGAMA NASRANI
“(Isa) tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya karunia (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai bukti (kekuasaan Allah) untuk bani Israil.”
 (QS 43:59)
Dialah mesiah (al Masih) yang ditunggu-tunggu bani Isra’il sebagai juru selamat dari ketertindasan mereka selama ini (akibat penjajahan imperium Romawi), dan mengeluarkan serta mengantarkan mereka ke kerajaan Tuhan yang penuh berkah, yang diharapkan akan menjadi seperti Daud yang merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaannya.
“Dia (Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS 3:47)
A.       Masa Kehidupan Isa Al Masih
Terjadi kegemparan di kalangan bani Isra’il, setelah kelahiran Isa (Yesus) dan karena keajaiban-keajaibanya yang memukau. Ketika dalam buai-an telah dapat berbicara layaknya orang dewasa menerangkan kesucian ibunya oleh sebab ia dilahirkan tanpa bapak (kelak, Isa pun sering memakai dan lebih menyukai istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah. Dan hal inilah yang kelak mengakibatkan timbulnya persepsi-persepsi keagamaan, diantaranya yang dikenal sebagai paham trinitas yang menimbulkan pro dan kontra). Juga di masa kanak-kanaknya sering menghilang dari ibunya dan menghadiri kebaktian-kebaktian di rumah-rumah ibadah para pendeta (rahib) dari kaum Farisi kemudian mengkritik serta mencela ajaran-ajaran mereka dengan argumen-argumennya yang memukau segenap yang hadir di situ.
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa.......” (QS 5:110)
Sayangnya apa yang mereka harapkan dari Isa Al Masih (sang Mesiah) malah tak sesuai dengan keinginan yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Mesiah yang mereka tunggu-tunggu, ternyata datang membawa kritikan-kritikan terhadap kehidupan keagamaan mereka yang dianggap salah dan keluar jalur, dan harus dibenahi. Tentunya hal ini menimbulkan reaksi mereka, terutama kaum Pharesee (Farisi) dari garis keturunan Lawi (Levi), sebagai penguasa keagamaan bani Isra’il pada masa itu yang diuntungkan karena dapat menumpuk harta kekayaan yang dipungut dari sedekah, upacara-upacara keagamaan, korban persembahan-persembahan bagi tuhan berhala mereka, dan lainnya.
Sementara, hampir ia tak pernah sekalipun mencela dan mengkritik pemerintahan Romawi, kecuali hanya mengkritik mereka para pemungut cukai (pajak). Hal ini pulalah yang membuat semakin dendamnya kaum Farisi kepadanya, karena bila kepada mereka yang memungut sedekah dari umat malah dicelanya, sementara kepada pemerintah penjajah ia tak memperdulikannya kecuali hanya kepada person-person pemungut cukai (pajak) pegawai dari kalangan bani Isra’il sendiri.
Sehingga semakin jelas bagi mereka yang mencita-citakan negara Yahudi yang berdaulat tak dapat lagi menaruhkan harapannya kepada Isa (Yesus) putera Maryam sebagai sang mesiah, juru selamat bani Isra’il. Maka timbullah kembali watak tabiat buruk mereka kepada bentuk persekongkolan jahat yang hendak membunuh nabi mereka lagi, setelah sebelumnya belumlah lama berselang, mereka telah membunuh nabi Yahya, dan juga sebelumnya pula telah membunuh ayahnya, yaitu nabi Zakariya. Maka lengkaplah yang difirmankan Allah di dalam Al Qur’an, bahwa mereka adalah sebagai bangsa yang membunuh nabi-nabi utusan Allah dari kalangan mereka sendiri.
“..... dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”  (QS 12:103)
Ada sebuah kisah di dalam Injil, yang juga dimana mereka kaum Farisi berusaha menjebak Isa (Yesus) dalam suatu kesalahan yang dapat dihukum oleh kuasa penjajah Romawi, pemerintah saat itu, dapat pula sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Yaitu ketika ada seorang wanita penzina yang telah ditangkap mereka bersama penduduk, kemudian Yesus (Isa) pun dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Bila Yesus memutuskan hukum rajam yang berlaku di kalangan bani Israil seperti yang diajarkan Taurat sejak zaman Musa, maka menjadi ada kesempatan bagi mereka untuk menyeret Yesus ke mahkamah peradilan kolonial Romawi yang tak mengenal hukum rajam. Namun apa yang terjadi? Ternyata ia hanya berkata, barangsiapa yang tak pernah melakukan dosa maka berhak melempar batu kepada wanita itu. Dan tak seorang pun, termasuk para Farisi itu, yang berani melakukannya. Kemudian bebaslah wanita penzina itu dari hukuman rajam, dan bebas pula Yesus dari siasat para pendendam kepadanya.
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Di masa kehidupannya, al Masih sebagai yang tak menginginkan kehidupan dunia, beliau selalu berkeliling menjalani kehidupan zuhud (mengutamakan kehidupan akhirat), mengutamakan mereka yang dalam kesulitan dan kesusahan dengan penuh rasa kasih sayang, tetapi tegas terhadap mereka yang ingkar. Di sepanjang hidupnya, dia selalu diliputi penderitaan tanpa pernah mengeluhkannya, termasuk kepada Tuhannya. Sungguh sebagai contoh teladan yang tidak hanya bagi bani Isra’il, melainkan sebagai teladan bagi umat-umat yang jauh setelahnya. Maka benarlah firman Tuhan yang mengatakan, dia sebagai yang tersohor ketika dilahirkan, diwafatkan, dan ketika dibangkitkan.
“.... seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), ....” (QS 3:45)
Banyaknya mu’jizat sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, yang melalui tangannya ditunjukkan sebagai bukti kedekatan dia dengan Tuhannya. Namun hal ini selain menjadikannya banyak pengikut yang hendak mendapatkan berkah melaluinya, namun juga menimbulkan persepsi beragam bagi mereka pengikutnya, yang apatis terhadapnya, maupun yang anti terhadapnya, bahkan hingga munculnya konsep trinitas di belakang hari jauh setelah wafatnya Isa al Masih.
B.       Masa Setelah Isa Al Masih
Setelah Yesus (Isa al Masih) tidak ada lagi, kelompok kecil para rasul (hawariyun atau sahabat Isa) dan beberapa sekte yang timbul dan mengadakan kelompok-kelompok ibadat atau kebaktian. Sesungguhnya sejak masa masih berada bersama mereka pun, telah timbul diantara mereka (Yahudi-Kristen atau Judeo-Christian) sebagai yang mempercayai ketuhanan Yesus dan yang menganggapnya sebagai mesiah atau nabi seperti nabi-nabi mereka sebelumnya, namun belumlah terbuka secara terang-terangan sebagai sekte-sekte yang memisahkan diri. Hal ini disebabkan persepsi mereka yang beraneka ragam menanggapi istilah yang dipakai Yesus (Isa) terhadap penyebutan Tuhannya dengan menggunakan kalimat bapak di surga.
 Hal inipun semakin meruncing setelah Yesus (Isa) tak bersama mereka lagi, dan setelah sekian lama dalam pelarian mereka, dimana pengikut mereka semakin bertambah banyak dan tersebar jauh dari Jerusalem sampai ke Yunani, Roma, Turki. Banyak para pemeluk agama baru tersebut dari kalangan bukan Yahudi, dan sebelumnya adalah penyembah berhala (kaum pagan). Dipelopori oleh Paulus yang mengaku didatangi Yesus (Isa), sehingga sebagian merekapun menganggapnya sebagai rasul, mengusulkan kemudahan bagi mereka para pemeluk baru dari kaum pagan agar dibebaskan dari kewajiban khitan (bersunat) dan upacara-upacara keagamaan yang berbau Yahudi.
Hal ini disebabkan karena agama Nasrani ini yang jauh lebih berkembang di luar wilayah asalnya, selain banyak dianut oleh non Yahudi, juga hendak menghilangkan unsur-unsur Yahudi dari agama baru ini. Dan timbullah bentrokan antara mereka yang pro dan kontra terhadap seruan Paulus tersebut di Antioch, Turki. Dalam hal ini, pihak yang berseberangan dengan Paulus adalah Jacques seorang kerabat Yesus pemimpin Judeo-Christianism. Dari mereka inilah Yahudi-Kristen, sebagai orang-orang yang menulis dokumen-dokumen Kristen kuno yang kelak banyak ditemukan sebagai manuskrip-manuskrip sumber yang mereka anggap otentik bagi periwayatan dan penulisan Injil Kanonik (Injil yang telah disahkan Gereja Roma). Namun dibelakang hari, menimbulkan keraguan di kalangan mereka sendiri untuk mempertahankan anggapan tersebut.
Bagaimanapun, catatan-catatan peninggalan masa lalu yang banyak tersebar dan dianggap ditulis orang-orang suci, adalah sebagai yang telah terkontaminasi kebiasaan lama orang Yahudi yang terbiasa memasukkan mitos-mitos yang berbau kepentingan dan cita-cita mereka, bahkan juga mitos-mitos dari agama atau unsur kebudayaan dimana nenek moyang mereka sempat tinggal, seperti mitos-mitos Mesir, Babylon, Persia dan Romawi.
Diantaranya ada beberapa contoh mendasar yang selama ini terkesan dipaksakan pada sebagian besar kisah-kisah yang terdapat dalam empat Injil, dan khususnya pada silsilah  keturunan sebelum Yesus yang berujung kepada Daud dan Adam, padahal Yesus (Isa) tak memiliki ayah biologis. Keganjilan-keganjilan yang membuka peluang adanya ketidak aslian pada penyusunan kitab suci mereka, atau sekedar adanya kesalahan-kesalahan yang merupakan kecerobohan dalam periwayatan oleh mereka yang sebagai pelaku saksi sejarah yang dianggap murid Yesus atau rasul. Tetapi jika menyadari banyaknya keganjilan, maka menjadi lebih pada kesan pertama yang lebih dominan. Sehingga menimbulkan persepsi, bukan hanya ketidak aslian saja yang menjadi bukti, melainkan keteledoran yang amat bodoh yang dilakukan mereka dalam penyusunan riwayat, apalagi sebagai kitab suci.
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dari perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:79)
Jika hal ini dipaksakan terus dan mempertahankannya, bukan tak mungkin pada suatu waktu nanti akan menjadi bumerang bagi kelembagaan gereja mereka sendiri. Seperti yang pernah terjadi di abad pertengahan, ketika lembaga gereja menolak keras penemuan Galileo Galilei, yang berdasarkan pengamatan melalui teleskopnya, tentang pergerakan bumi mengitari matahari. Kemudian lembaga Gereja Katholik Roma menghukum mati dia, karena bertentangan dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bumi sebagai pusat alam semesta. Dan akhirnya, sungguh amat mencoreng dan menghinakan lembaga suci keagamaan mereka setelah penemuan Galileo Galilei sebagai yang tak terbantahkan lagi secara meluas, apalagi setelah ilmu antariksa dan tekhnologi alat bantu pengamatan semakin berkembang hanya dalam satu atau dua abad setelahnya.
C.       Konsep Ketuhanan
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman ketuhanan. Yang juga  membabat habis sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad pertengahan, para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwa-nya terkena hukuman penjara dan hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati karena mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah yang bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih, tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata : wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara orang-orang saleh”. (QS 3:45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman sebelumnya. Kemudian,
Dia (Maryam) berkata : ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman : demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.”  (QS 3:47)
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman : wahai Isa putra Maryam ! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus .......”  (QS 5: 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting? Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya. Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga disebutkan, ..... pada mulanya ia adalah Firman, kemudian berubah menjadi anak manusia ...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat mereka menjadi dasar konsep trinitas yang wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup,  pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan dan analogi yang indah didengar dan memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan, di mata tuhan, dan bahkan Yesus sendiri menggunakan  istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah, yang dapat disalah artikan bagi orang awam tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman yang wajib diimani bahwa adanya Tuhan Bapak dan  Tuhan Anak. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan kitab-kitab  yang berisi firman-firman Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di atas),
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu, dianggap dan dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : Wahai Isa  putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa) menjawab : Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (QS 5:116)
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka selain yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk menyampaikannya), sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan-mu. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah pengawas mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117)
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:118)
Sebagian umatnya yang percaya kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan, dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa  yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu, berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih, mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang kemerdekaan, seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya, yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), juga yang berarti yang diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau upacara penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus, atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya, bahkan Allah pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat (QS 3:45).
Kesejahteraan atas diri-nya (Isa al Masih) pada hari dia dilahirkan, pada hari dia wafat dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15)
Yang justru mengherankan, bani isra’il atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak (mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dan memuliakan-nya sebagai anak manusia yang sejahtera pada hari dia dilahirkan, pada hari dia diwafatkan dan pada hari dia dibangkitkan (QS 19:15), malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi Yaqub (Isra’il) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun mereka menetap untuk menumpang hidup.
DIYN AL QAYYIMAH
“..... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai ke-berserah diri-an (islam) itu sebagai agama bagimu .....”
 (QS 5:3)
Renungkanlah, umat Yahudi yang memakai Taurat (Musa) dan Zabur (Daud) sebagai kitabnya. Kemudian umat Nasrani yang memakai Taurat dan Zabur (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) sebagai kitabnya. Sampai kepada umat Islam dengan Al Qur’an yang merangkum semua kitab tersebut sebagai kitabnya. Dan dimuliakannya oleh Al Qur’an nabi-nabi dari kalangan mereka bani Isra’il adalah bukti satu kesatuan ajaran tunggal dari Tuhan Yang Tunggal bagi seluruh umat
Tidak cukupkah semua itu membuktikan, bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari bapak yang satu, dengan ajaran yang satu dari Tuhan Yang Tunggal? Bila hanya hendak mencari siapa yang benar, maka yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Haqq.
“...... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa .......”  (QS 5:8)
Bapak yang satu (Ibrahim), darah yang satu, dan ajaran (agama) Tuhan yang satu,  rupanya tidak cukup menghentikan permusuhan mereka selama ribuan tahun hingga kini. Sekalipun nabi-nabi banyak diturunkan di sana untuk memperbaiki keadaannya. Sungguh, Allah-lah Yang Maha Mengetahui dari apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Keragaman perbedaan adalah hal yang mutlak (sunathullah) dan banyak ditemui di alam ini, dan kemanusiaan adalah bagian yang termasuk di dalamnya. Tidaklah ada siapapun yang dapat merubah apa yang telah menjadi ketetapan Allah tersebut. Dan kita sebagai umat yang datang sesudahnya dapat mengambil pelajaran yang amat berharga sebagai hikmah dari kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al Qur’an.
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu, padahal kamu tidak berada pada sisi mereka.......”  (QS 12:102)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”  (QS 12:103)
Kisah-kisah di atas, sesungguhnya dikehendaki Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian. Di dalam kenyataannya, kisah tersebut sepertinya selalu mewarnai kehidupan kemanusiaan hingga kini. Betapa banyak contoh kasus yang sering kita dengar dari keluarga yang gontok-gontokkan, bahkan bisa saling membunuh karena memperebutkan warisan. Juga perseteruan yang sama yang dilatar belakangi karena beda ibu, walaupun satu bapak, dalam berebut harta waris. Apakah itu berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan lainnya. Permasalahannya pun akan dapat melebar kemana-mana. Agama pun terbawa-bawa, dan dijadikan alat pembenar bagi hawa nafsu mereka.
Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah (mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki diantara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”  (QS 2:213)
Sayangnya perbedaan-perbedaan ini semakin lagi dibumbui eksklusifitas dan rivalitas untuk mencapai keunggulan atau superioritas dari sebuah, sekalipun merupakan maksud atau niat yang baik, yaitu syiar yang menyebarkan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara dan usaha yang dikotori atau dipengaruhi penjerumusan iblis yang menghendaki tersesatnya sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah perselisihan dari persaingan yang dapat berujung kepada kerusakan maupun pertumpahan darah.
Perang, terorisme berbungkus jihad, pelarangan pembangunan rumah ibadah umat agama lain, adalah contoh-contoh berperannya iblis pada perilaku insan kemanusiaan yang belum atau bahkan tidak dilandasi kekokohan keimanan yang seharusnya dapat mengawal jiwa pada ketenangan dan ketentraman, yang keluar pula sebagai amal perbuatan yang sehat dan merupakan rahmat bagi sesama insan kemanusiaan.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.”  (QS 98:4)
Ahli Kitab sebagai yang menerima kitab, yang sesungguhnya adalah semua insan kemanusiaan yang dimaksud ayat ini, justru tidak diharapkan menjadi terpecah belah, apalagi dengan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah setelah datangnya bukti yang nyata.
Syiar, seharusnya tidak dititik beratkan kepada penyebaran atau perluasan rahmat Tuhan yang membungkus ambisi kekuasaan, seperti contohnya kristenisasi atau islamisasi yang lebih berkesan pengakuan (ego) superioritas, akan tetapi akan lebih akrab terdengar yaitu sebagai perbaikan kehidupan kemasyarakatan ke yang jauh lebih baik dan lebih sehat yang membawa kepada keselamatan, kedamaian, kesejahteraan  maupun kemakmuran hidup bersama.
Dan syiar, seharusnya pula tidak memaksa-kan, atau tidak dipaksa-kan, atau pula tidak terpaksa-kan kepada siapapun termasuk dirinya sebagai pelaku maupun sebagai objek. Karena Tuhan tidak menyukai dan tidak pula menerima segala bentuk yang memaksa, dipaksa, ataupun terpaksa, sebab itu bukanlah kemurnian atau keikhlasan. Tidak ada paksaan dalam agama Allah. Berserah diri (islam) adalah bukan keterpaksaan apalagi memaksa.
Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......”  (QS 2:256)
Tujuan utama agama yang pada dasarnya adalah membawa insan kemanusian kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (hari kemudian), tetapi malah telah diselewengkan iblis kepada kerusakan dan pertumpahan darah. Bagaimana bisa mendapat keselamatan kelak di kehidupan akhirat (hari kemudian), bila di kehidupan di dunia saja telah terjebak atau terkecoh dengan membuat kerusakan dan pertumpahan darah?
Itulah kemenangan iblis dengan membuat kesesatan menjadi dipandang indah oleh insan kemanusiaan melalui pengakuan (ego). Yang mengaku  sebagai umat yang superior, sebagai umat yang dilebihkan dari umat lainnya, dan sebagai umat yang dijanjikan Tuhannya, serta sebagai umat pilihan Tuhannya. Dengan menganggap umat selain agamanya adalah kafir dan sesat. Maka siapapun, termasuk kita, bila telah pula seperti itu, mengaku sebagai yang paling benar, sebagai yang superior, sebagai umat pilihan Tuhannya, juga menganggap diri kitalah yang benar sementara selainnya adalah dalam kesesatan, tentu sebenarnya diri dan jiwa kita sendirilah yang sesungguhnya telah semakin tersesat.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS 2:34)
Menolak perintah Tuhan dan menyombongkan diri adalah pengakuan (ego) dan merupakan sifat iblis yang dibenci Allah, sehingga mengutuknya tersesat selamanya. Bagaimana mungkin kita sebagai insan kemanusiaan mengikuti langkah dan sifat iblis yang terkutuk? Dan perbuatan ini menyebabkan pelakunya masuk kategori sebagai golongan kafir.
Sadarilah, bahwa kebanyakan kita sebagai insan kemanusiaan, telah melenceng jauh dari jalan lurus yang dikehendaki Allah, Tuhan semua. Jika tidak sampai kepada perbuatan merusak dan intimidasi, maka hati kita, paling tidak, merasa yang paling benar, dengan menganggap selain agamanya adalah sesat. Yang justru dengan itu, diri kita sendiri-lah yang ternyata telah ikut masuk kedalam kesesatan akibat pandangan indah yang dibuat iblis.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)
Renungkanlah bagaimana iblis dengan usahanya dalam menjerumuskan insan kemanusiaan kepada kedzaliman dan kekafiran yang sangat dibenci Tuhannya, sekalipun atas nama agama-nya dan atas nama Tuhan-nya. Bagaimana mungkin iblis dapat masuk ke wilayah-wilayah yang seharusnya disucikan, seperti atas nama agama dan Tuhan? Yang seharusnya suci dari kesesatan iblis, dan suci pula dari perbuatan menentang Tuhannya.
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Bukankah saat Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu iblis ketika berada di dalam surga, yang juga seharusnya sebagai tempat yang suci? Rupanya, perbuatan, sekalipun atas nama agama dan Tuhan serta tempat (tanah) suci, tidaklah menjamin dari tiadanya usaha penyesatan iblis untuk menjerumuskan insan kemanusiaan agar terkutuk seperti dia sebagai yang terkutuk.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Menghilangkan pengakuan (ego), yaitu termasuk didalamnya keangkuhan atau kesombongan, dimana aku-nya menjadi lebih sangat dominan dalam setiap amal perbuatan, sekalipun perbuatan tersebut merupakan kebaikan dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, padahal ternyata terselip pula ego (ambisi)-nya. 
Ke-ikhlas-an adalah memurnikan dan menyucikan segala apa yang telah dianugerahkan kepadanya (termasuk diri, atau jiwa, ataupun nafs) sebagai dari, milik, untuk, dan akan kembali kepada Allah semata. Agama bukanlah Tuhan itu sendiri sebagai yang diutamakan dan yang dituju, akan tetapi, agama adalah merupakan sarana petunjuk yang membawa kepada keselamatan kehidupan bersama yang diridhai-Nya.
Sarana dapat apa saja, yang jelas, juga membuat pula para pemakainya merasa nyaman, tentram, dan damai selama menggunakannya. Apakah pantas bila diri kita membandingkan sarana yang dipakai orang lain? Apalagi bila memaksakan untuk menggunakan sarana seperti sarana yang kita gunakan. Serperti, pakaian misalnya, tentulah kenyamanan dan kepantasannya berbeda-beda bagi setiap orang, dan bukanlah hal etis bila kita mengomentari apalagi memaksakan kehendak kita kepadanya.
Begitupun pada agama, yang sesungguhnya dapat mengarahkan kepada keselamatan, tentulah agama tersebut dapat menaungi diri pemeluknya dalam rasa nyaman, tenang, tentram dan damai. Tidak akan pernah dapat dipaksakan, sekalipun kepada keluarga terdekat kita sendiri. Kita hanya dapat memberi contoh atau teladan dalam hal itu, dan paling jauhnya hanya berharap kepada Tuhan agar keluarga dan keturunan kita mendapatkan keselamatan hidup, baik kini di dunia maupun nanti diakhirat.
Itulah keimanan yang kokoh, yang dengan memeliharanya akan dapat mengembalikan jiwa kepada agama yang benar, yaitu Diynul Qayyimaah. Jadi bukanlah agama yang buatan kita sendiri, karena prasangka dan keinginan hawa nafsu kita sendiri. Bukan agama yang menjadikan kita taqlid atau fanatik buta, serta menutup mata hati kita dari kebenaran hakiki yang universal.
“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS 30:32)
Dengan demikian maka terbukalah hakikat segala sesuatunya. Agama-agama yang ada, dan dengan berbagai ragam perbedaan ritualnya, adalah merupakan agama yang satu. Umat-umat yang beragam bangsa dan etnis bahkan suku, adalah merupakan umat yang satu. Bahasa yang beragam pula yang merupakan perbedaan bunyi, adalah merupakan bahasa yang satu dalam makna. Kesemuanya adalah berasal dari yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam. Dan kesemuanya bersumber dari Yang Maha Tunggal dengan perwujudan sifat-Nya yang Akbar tak terhitung. Jadi, mengapa kita masih juga dapat terjebak dengan mempermasalahkan perbedaan?
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Itu adalah kehendak Tuhan, dan Dia telah menetapkannya seperti itu, sebagai suatu keragaman yang disebabkan perbedaan masa (waktu), perbedaan geografis, dan perbedaan karakter. Sehingga dibutuhkan penyesuaian adaptis yang sesungguhnya tidak mengurangi atau memelencengkan makna sesungguhnya sebagai petunjuk atau aturan hidup yang lurus menuju keselamatan.
Jika pada yang mengatas namakan agama dan Tuhan saja, kita diwajibkan menghindari kerusakan sampai pertumpahan darah, tentu apalagi pada hal-hal yang mengatas namakan lainnya. Dengan mengatas namakan lainnya pun merupakan perbuatan pengakuan yang juga sesat dan menyesatkan (syirik). Suatu hal yang tak sebanding, mempertaruhkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat hanya karena mengutamakan ego sesaat tetapi akibatnya akan abadi penyesalannya.
“.... dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali.” (QS 42:13)
Maka kembali kepada jalan agama, yaitu dengan ikhlas berlaku lurus, dengan ikhlas mengingat Allah yang tiada putus, serta dengan ikhlas menyucikan apa-apa yang telah dianugerahkan kepadanya, maka yang demikian itulah rukun agama yang benar dari Tuhan (QS 98:5). Lain halnya dengan rukun islam, yang bukan rukun agama, melainkan adalah rukun keberserah dirian orang-orang yang telah beriman, yang pada bab tersendiri selanjutnya akan diurai.

Lebih detailnya, agama adalah ajaran atau petunjuk kepada insan kemanusiaan agar meluruskan, mengingat, dan mensucikan dengan kemurnian atau keikhlasan pada ucap, tekad, lampah (perbuatan), janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa yang kesemuanya adalah milik dan akan kembali kepada Allah. Bila ke-sembilan (sanga) sebagai yang dianugerahkan Allah kepada diri kemanusiaan itu telah mencapai lurus, ingat, dan suci sebagai perwujudan wakil (waliy) Allah di muka bumi. Maka genaplah sebutannya menjadi sebagai waliy Allah, di tanah Jawa dikenal pula dengan sebutan wali sanga, sebagai sembilan sifat bagi orang yang dicintai dan mencintai Allah. Dan kita akan mengulas ke-sembilan sifat tersebut pada tiga bab berikutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar