Jumat, 07 Juni 2013

Bab XV - INGAT YANG TIADA PUTUS


Bab XV
MENEGAKKAN SHALAT (Wayuqimusshalat)
INGAT yang TIADA PUTUS
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu.”
(QS 18:14)
K
ebanyakan kita memahami menegakkan shalat adalah hanya dengan telah melakukan shalat maka kewajiban beribadahnya telah selesai tertunaikan. Seperti penjelasan ayat di atas, bahwa shalat adalah untuk mengingat Allah. Yaitu, menjaga kesadaran jiwa agar selalu dalam lindungan kuasa dan pemeliharaan Allah (Allaahu Maliikiyawmid-diiyn), Dia yang menguasai hari-hari agama.
Selalu mengingat bahwa Allah mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu setelah shalat. Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami setiap gerak amal perbuatannya tidaklah lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari shalatnya. Amal perbuatan yang merefelksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Mengingat Allah yang tiada putus (li dzikri), dan termasuk pula di dalamnya shalat, adalah untuk selalu berada pada jalan lurus-Nya, sehingga tiada ada kesempatan bagi iblis untuk masuk dan membisikkan godaan atau bujuk rayunya yang menyesatkan dan menjerumuskan.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Bila sempat terputus, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar,  sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap alhamdulillah sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan ini merupakan energi yang dikeluarkan sebagai energi positif, sebagai pengembalian kepada kemuliaan Dia yang memberikan.
“...... Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: semoga Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS 18:24)
Segala sesuatu yang masuk ke tubuh atau jasad sebagai yang diterima atau dianugerahkan, adalah energi yang merupakan rahmat-Nya. Apakah itu makanan, minuman, nafas, ilmu dan pengetahuan, serta lain sebagainya, maka ketika yang  dikeluarkan adalah juga energi, sekalipun ampas. Bukankah kotoran yang dikeluarkan pun dapat dijadikan bahan bakar atau gas, dapat dijadikan pupuk penyubur tanaman, serta makanan bagi makhluk lainnya. Begitu pula pada nafas yang dikeluarkan, adalah energi (CO2) yang dihisap tanaman bagi pernafasannya, maka agar selalu dalam kebersihan, selalulah dalam mengingat-Nya (li dzikri) sebagai pengembalian yang baik dan wujud rasa syukur atas segala rahmat-Nya baik disadari maupun yang tidak disadari. Karena sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu, tiada yang lepas dari rahmat, kehendak, serta pemeliaharaan-Nya.
Makna menegakkan shalat, tidaklah hanya dengan telah mengerjakan shalat. Sering pula dimaknai dengan amal perbuatan yang mencerminkan shalatnya. Yaitu amal perbuatan yang selalu menjaga kesadarannya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sehingga membuahkan kebajikan bagi sesama makhluk dan alam sekitarnya, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Maka kesadaran yang selalu terjaga merupakan keadaan atau kondisi ingat (dzikr).
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Selalu mengingat Dia dengan menyebut nama tunggal-Nya, yaitu Allah, atau dapat pula nama-nama terbaik lain-Nya, di lubuk hati yang paling dalam, tanpa suara bahkan tidak terdengar oleh telinga. Kegiatan ini sama sekali takkan mengganggu aktivitas sehari-hari, apalagi mengganggu orang lain. Betapa besar manfaat li dzikri ini bagi jiwa, paling tidak membawa ketenangan dan ketentraman. Inilah bentuk atau wujud kebersamaan makhluk dengan Tuhannya, manunggal bersatu kepada Yang Maha Tunggal.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Shalat adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari segala raja.
Shalat, dzikir, atau mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan munkar (QS al Ma’un ayat 1-7) merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama. Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu. Akan tetapi, akan dikutuk oleh Allah sebagai orang yang celaka bagi mereka yang selalu shalat namun perbuatannya tidaklah mencerminkan shalat dan ingat-nya kepada Allah. Yaitu perbuatan yang mengingkari Allah. Mereka inilah yang dimaksud merusak dan merendahkan agama Allah.
Mengingat Dia, adalah juga menyadari apa-apa yang ada, apa-apa yang masuk sebagai yang diterima, dan apa-apa yang keluar sebagai pengembalian pada diri insan kemanusiaan, yang kesemuanya merupakan anugerah yang dititipkan sebagai yang akan dipertanggung jawabkan, kelak.
Selalu mengingat Dia yang tiada putusnya juga mengandung makna sebagai menjaga kesadaran jiwa terhadap fitarh-nya yang telah ditetapkan Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak keluar jalur dari jalan lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu, fitrah insan kemanusiaan sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn. Itulah menjalankan agama yang benar (diynul qayyimah) dengan ikhlas atau murni.
Janji
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Dengan ayat ini, Allah hendak mengingatkan kembali kepada diri-diri kemansuiaan,  bahwa sebelum kelahirannya di dunia, jiwa-nya telah ber-syahadat (persaksian) pula sebagai ikatan perjanjian dengan Tuhannya. Dan jiwa-jiwa kita benrjanji untuk tidak lengah terhadap persaksian tersebut.
Tentulah persaksian tersebut adalah berkaitan dengan fitrah kemanusiaan-nya, yaitu sebagai khalifah yang merupakan perwujudan dari Dia Yang Maha Pemurah di muka bumi. Menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Karena itulah maka jiwa-jiwa kemanusiaan inilah yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya.
Janji adalah milik Allah, karena janji adalah berbicara mengenai hari kemudian, yang berada dalam kuasa-Nya. Tidak dibenarkan, atau tidaklah layak, bahkan tidaklah dapat dipercaya bila insan kemanusiaan berjanji. Sebutlah nama-Nya, yaitu insya Allah (dengan izin Allah), untuk membersihkan janji-nya, bahwa kekuatan untuk memenuhi janji tersebut adalah dengan kekuatan Allah, bukan kekuatan dirinya sendiri.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan insan kemanusiaan yang terikat kepada janjinya, dapat pula tidak menepatinya, dan malah terperosok karena hawa nafsunya pada kehidupan dunia. Maka sungguh dengan selalu mengingat Dia yang menguasai hari kemudian, yang dengan izin-Nya, jadilah janji-nya itu merupakan janji-Nya. Dan Dia-lah yang menunaikan janji tersebut untuk kita, karena segala sesuatu mudah bagi-Nya jika Dia menghendaki. Sebab itu jadikanlah keinginan adalah keinginan-Nya, kehendak adalah kehendak-Nya, kekuatan adalah kekuatan-Nya, ilmu adalah ilmu-Nya, dan lain sebagainya adalah semuanya milik-Nya dan dalam pemeliharaan-Nya. .
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Demikianlah adanya, segala sesuatu yang berada di langit dan yang berada di bumi, serta yang berada diantara keduanya adalah kepunyaan dan atas kehendak serta dalam kuasa-Nya. Bahkan apa-apa yang berada di dalam tubuh atau jasad, sampai kepada nafas (hawa) adalah milik-Nya. Yang pada pemahaman sebelumnya kita pisahkan sebagai milik kita, pengakuan (ego)-lah yang mengaku-ngaku milik kita, sekalipun telah dianugerahkan kepada diri kita, yang sesungguhnya hanyalah titipan berupa amanah yang pada saatnya nanti, harus pula dipertanggung jawabkan pengelolaannya. Tiada kekuatan selain kekuatan Dia yang Maha Agung, bahkan untuk dapat mengucapkan janji pun adalah kekuatan-Nya. .
“... dan penuhilah jnaji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 2:177)
Insan kemanusiaan yang berakhlak mulia dan terpuji adalah juga yang menunaikan janjinya, karena diberi kekuatan dan atas kehendak Allah. Tidak akan mudah memberikan janji, karena sadar akan konsekuensinya yang tidak ringan. Maka dia pun ingat kepada imannya terhadap Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari kemudian-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya, yang kesemuanya berada di dalam diri-nya untuk menjaganya agar tetap berada di jalan lurus-Nya.
Diri
Mengingat Allah yang tiada putusnya adalah juga agar menyadari fitrah diri-nya yang merupakan wadah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah, yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk mengenal diri, maka kenalilah Tuhan. Dan untuk mengenal Tuhan, maka kenalilah diri. Setelah mengenal keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.
Diri merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan, kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah amanah titipan yang pada saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego) menjadi dominan berlebihan menguasai jiwa, hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.
Diri setiap insan kemanusiaan adalah keturunan dari diri yang satu, keturunan  Adam (berarti, tidak ada). Ya khalifah, ya nabi, ya rasul, ya juga yang lalai atau berdosa. Maka setiap diri adalah juga keturunan tidak ada, juga keturunan khalifah, , serta juga keturunan rasul, juga keturunan nabi, serta pula keturunan yang lalai (berdosa). Itulah fitrah kemanusiaannya.
A.       Tidak Ada,
Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya.
Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya.
Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
Ketiadaan diri adalah dengan telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak.
Mengingat Allah yang tiada putusnya sebagai penyadar, bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada, dan hanya Dia yang ada. Maka segala sesuatu yang datang dan keluar darinya menjadi bersih dari pengakuan (ego)-nya, sehingga selamatlah kehidupannya baik di dunia dan kelak di akhirat, karena menetapkan dirinya tetap berada di jalan lurus-Nya.
         B.       Khalifah,
adalah anugerah berupa kekuasaan atau kepemimpinan yang diberikan Allah kepada setiap insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik dan benar, dan lurus sesuai yang dikehendaki-Nya. Kepemimpinan terhadap diri sendiri, keluarga, sekitar, bahkan terhadap yang jauh lebih luas lagi, wilayah atau daerah, hingga negara. Dan tetap, adalah dimulai dari kepemimpinan terhadap dirinya sendiri, semakin baik pengelolaannya maka akan semakin luas pengaruhnya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Tetapi, bila tergoda pengakuan (ego), maka rusak atau cacatlah kepemimpinannya. Menjadi otoriter, diktator, atau dzalim, bahkan kepada dirinya sendiri karena telah merusak apa yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Telah banyak ini terjadi di sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, dari mulai perang berebut wilayah kekuasaan antar raja-raja, perang etnis kesukuan, perang agama (perang salib), perang dunia, perang dingin, hingga perang terhadap terorisme.
Kekahlifahan adalah anugerah yang menggoda setiap diri insan kemanusiaan. Kemuliaannya amat menggiurkan, akan tetapi kerusakan akibat salah atau sesatnya pengelolaannya amatlah besar pula. Semakin besar kekhalifahan melibatkan banyak insan kemanusiaan, maka semakin besar pula kerusakan yang diakibatkannya karena salah dan sesat pengelolaannya. Sehingga kekhalifahan cenderung menjerumuskan, akan tetapi tetap dibutuhkan dalam kehidupan, apapun bentuknya kepemimpinan tersebut. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah terhadap insan kemanusiaan.
Pada insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama dengan lurus, serta dengan masing-masing individunya telah menyadari (ingat) dan melepaskan segala pengakuan (ego)-nya, maka insya Allah akan tercipta kehidupan yang sehat di wilayahnya. Karena kekhalifahan yang besar atau luas dipengaruhi oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil di bawahnya, semakin kecil kepada individu-individu diri kemanusiaan sebagai elemen penting penyusun struktur kehidupan.
Semakin baik kualitas akhlak individu-individunya, maka menentukan kualitas kepemimpinan wilayah atau negaranya. Dan akan kembali kepada individu-individu sebagai rakyatnya, berupa kemakmuran ketentraman, keamanan, dan keadilan yang merata. Tidak akan pernah didapat seorang khalifah dan pemimpin negri yang baik, yaitu yang dapat membawa kepada keadilan, kemakmuran, keamanan, dan ketentraman yang merata, bila masing-masing individunya kebanyakan masih dalam kesesatan akhlaknya. Seperti pungguk merindukan bulan. Antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah ada harmonisasi kehidupan yang baik, memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu keimanan dan agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan seperti pula yang dikehendaki Tuhannya.
         C.       Rasul,
Adalah tugas yang diamanatkan kepada setiap insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama untuk menyampaikan petunjuk dari Tuhannya. Kita telah membahas tentang kerasulan pada setiap diri kemanusian secara khusus pada bab keimanan, akan tetapi akan sedikit diulas kembali.
Yang sesungguhnya setiap diri adalah membawa tugas kerasulan baik disadari maupun tidak, serta secara sukarela maupun terpaksa, karena memang fitrah-nya seperti itu sejak Adam As sebagai bapak asalnya kemanusiaan. Adalah kodratnya, menghendaki kebaikan pada sekitarnya, minimal keluarganya, maka yang keluar dari ucap-nya (bila disadarinya, adalah ucap-Nya) adalah berupa nasehat-nasehat kebaikan. Disadari ataupun tidak, “tiada kekuatan selain kekuatan Allah”-lah yang memberi kekuatan kepadanya untuk menyampaikan segala bentuk nasehat kebaikan sebagai petunjuk-Nya.
Akan tetapi, yang dibutuhkan bukan cuma nasehat-nasehat, melainkan juga perlu keteladanannya sebagai bukti nyata petunjuk tersebut. Sehingga harmonis antara ucap, tekad, dan pada lampah (perbuatan)-nya, yaitu berbanding lurus apa yang ada sebagai petunjuk, seperti dalam kitab suci, ucap, dan tekad,  dengan lampah (perbuatan) sebagai teladannya.
Bila hal ini telah dapat dipahami, maka mengingat Dia yang tiada putusnya, adalah menyadari tugas kerasulan-nya, yang telah diikrarkannya dalam syahadat (telah bersaksi bahwa dirinya adalah utusan Allah), yang sesungguhnya pula adalah fitrahnya sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn (rahmat bagi semesta alam). Allah telah memuliakan setiap diri kemanusiaan dengan tugas ini, dan sebagai makhluk yang diwujudkan dengan bentuk yang sesempurna-sempurnanya, sebagai wujud dari perwujudan-Nya Yang Maha Terpuji.
Maka dengan karunia yang mana lagi, sehingga diri-nya dapat bersyukur dan hendak mewujudkan apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya? Yaitu sebagai perwujudan Dia di alam, yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk. Itulah sesungguhnya fitrah diri-nya.
D.       Nabi,
Setiap insan kemanusiaan adalah keturunan nabi Adam, tetapi tidak semua keturunan-nya dianugerahi kenabian. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendaki Allah saja. Kenabian adalah amanat yang besar dan sangat mulia, hanya mereka saja yang menerima wahyu dari Allah untuk disebarkan kepada kaum atau umatnya, sebagai tugasnya.
Padahal, setiap insan kemanusiaan, dapat pula memiliki umat atau kaum yang mungkin saja dibentuknya, minimal adalah pada keluarga dan keturunannya. Akan tetapi, karena wahyu adalah kehendak Allah kepada siapa Dia hendak memberi wahyu, maka tidak semua orang menerima wahyu, dan hanya orang-orang pilihan-Nya saja. Dan Muhammad bin Abdullah adalah manusia terakhir yang menerima anugerah kenabian. Lain halnya pada kerasulan, yang dianugerahkan kepada seluruh keturunan Adam atau setiap insan kemanusiaan, hanya kadar mewujudnya-lah, yaitu kadar  ketuhanan pada dirinya yang membedakan insan kerasulan dengan insan kemanusiaan yang lainnya. Kadar ketuhanannya dinilai dari diri-diri yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di dunia bagi kehidupan bersama dengan sesama makhluk Tuhan di bumi.
Didalam kisah-kisah para nabi, pada al Qur’an, betapa sulit dan merupakan tantangan ketika para nabi tersebut mengumumkan kenabiannya. Ditentang, dicemooh, dianggap gila, dianggap penyihir, dianggap pembohong, dianiaya, bahkan hingga bukan hanya ancaman saja, pembunuhan pun pernah terjadi. Itu dilakukan oleh para pembesar negri dan pemuka agama. Padahal dia (para nabi) tak pernah mengharapkan bahkan meminta upah atau imbalan. Akan tetapi bila hal-hal berbahaya tersebut telah terlewati dan umat pengikutnya telah semakin banyak, maka perbaikan menyeluruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan pun pasti akan terjadi.
Dan kenabian mereka sungguh dapat dijadikan teladan bagi hidup kerasulan setiap diri kemanusiaan, sebagai contoh terbaik akhlak manusia yang lurus pada jalan-Nya karena selalu dalam keadaan ingat (sadar) dan selalu pula mensucikan-nya sebagai yang akan dikembalikan lagi kepada sesunguhnya yang memiliki, yaitu Dia (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
E.        Berdosa,
Dan setiap insan kemanusiaan pun tak lepas dari kelalaian dan kesalahan sebagai dosa, bagai malam dan siang yang selalu mengiringi. Karena di alam, maka kebaikan pun selalu dibayangi keburukan. Tetapi Dia yang Maha Bijaksana pun memberikan penawarnya, sebagai pelurus kembali, penyadar (pengingat) kembali, dan pembersih (pensuci)-an kembali segala kesalahan dan kelalaian (dosa) yang telah menjerumuskan insan kemanusiaan. Yaitu kunci tobat seperti yang diwariskan kepada Adam,
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS 2:37)
“Keduanya berkata, ya Yuhan kami, kami telah mendzlimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS 7:23)
Hidup dan kehidupan kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa. Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Pada rasa-lah dosa itu berpengaruh pada diri-nya. Bila jasad-nya sakit, rasa pada diri-nya lah yang terkena, bukan jasad-nya yang merasakan. Diri yang merasakan ketidak nyamanan, bukan jasad, apalagi ruh-Nya.
Dengan kebangkitan pula, setiap diri, mendapat kesempatan mensucikan kembali jiwa-nya melalui neraka-nya, serta diharapkan-Nya sambil beramal perbuatan yang tidak menambah lagi kekotoran pada jiwa-nya. Bila masih saja lagi ada kekotoran yang melekat, sedang kematian telah merenggut-nya kembali, maka tentu akan dibangkitkan kembali untuk mengalami pensucian kembali. Begitulah berulang kali mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan sampai kepada kesucian untuk dapat kembali kepada-Nya Yang Maha Suci, ilayhi raji’un.
Ahli
Ahli, adalah bermakna sebagai pewaris yang menerima anugerah dari Allah, dan yang juga akan dipertanggung jawabkannya, kelak. Dan mengingat Dia yang tiada putusnya adalah juga menyadari sebagai penerima  anugerah yang merupakan amanah yang kelak itu pun harus dipertanggung jawabkan pengelolaannya, bukan sebagai pemilik anugerah tersebut.
Anugerah yang diwariskan-Nya adalah wujud-Nya, ruh-Nya, kitab-Nya, alam ciptaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya yang tak terhitung (akbar) dan mewujud di bumi dalam perwujudan diri setiap insan kemanusiaan yang ber-ketuhanan. Itulah kurnia yang dianugerahkan oleh Dia yang Maha Pemurah, adakah yang lebih pemurah dari Dia? Bahkan kita pun tidak sepemurah itu terhadap diri sendiri. Jauh lebih buruk malah mendzalimi, menyakiti, merusak, dan menjerumuskan diri kita sendiri. Anugerah-anugerah tersebut pun merupakan fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya sebagai yang mempermudah tugas-nya di bumi sebagai wakil Tuhan, yaitu perwujudan sifat-sifat Dia di muka bumi.  Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
A.       Wujud,
Yang merupakan perwujudan-Nya, sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya atau wujud yang paling sempurna (fii ahsaani takwiim), dan sebagai wujud yang Maha Terpuji yaitu muhammad (lihat syahadat dalam ulasan bab iman kepada para rasul), juga apakah ada yang paling sempurna selain Dia? Itulah nyatanya wujud Allahu Akbar pada diri kemanusiaan, yaitu akbar, tak terhitung wujud kemanusiaan yang berketuhanan.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)
Renungkanlah, ketika shalat, berniat mengerjakan shalat adalah  ikhlas karena lillahi ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah mengerjakan, dan diri sebagai yang diperintah. Selanjutnya, pada takbiratul ihraam, mengucap Allahu Akbar, sebagai tanda (aba-aba) setiap memulai gerakan agar diikuti makmum. Hal ini menunjukkan, dirinya dan makmum yang banyak adalah wujud Allahu Akbar. Sekalipun dalam melaksanakan shalatnya hanya seorang diri, makmumnya adalah rakyat-nya, yaitu milyaran sel beserta para malaikat-nya (telah diulas bab iman kepada para malaikat). Jadi perlu ditegaskan perbedaan antara Allahu Akbar sebagai perwujudan Allah di alam, yaitu diri-diri kemanusian yang banyak (akbar) tak terhitung, dengan Allahu Ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah segala sesuatu yang berada di alam dari tempat tunggal-Nya (arsy), yaitu Allahu arsyis tawaa. Uraian ini sangat berhubungan erat dengan bab keimanan, karena ini begitu penting dipahami setiap diri yang sebagai pewaris wujud Tuhannya agar dapat menjaga dari penodaan terhadap-Nya akibat kesesatan pengakuan (ego).
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......”  (QS 4:43)
Renungkanlah lagi, pada bunyi ayat di atas, yang melarang shalat, saat diri dalam keadaan mabuk, dikarenakan tidak memahami atau tidak mengerti apa-apa yang diucapkannya di dalam shalatnya. Kemudian simak pula bunyi ayat ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Allah mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.
Tidak lain inipun disebabkan dominannya rasa pengakuan (ego), sehingga tidak dapat menyadari (ingat) wujud ketuhanannya sebagai wujud Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan sebaliknya, bila dirinya menyadari (ingat), maka janganlah membelokkan yang seharusnya lurus, jangan pula melupakan yang seharusnya di-ingat, serta jangan juga mengotori yang seharusnya suci. Itulah bahayanya pengakuan (ego) yang dapat menyesatkan dari jalan lurus-Nya, melupakan Tuhannya, bahkan menodai kesucian-Nya.
Wujud yang difitrahkan untuk menjadi perwujudan-Nya di alam, yang membawa sifat-sifat Tuhan dalam setiap gerak hidupnya. Yaitu sebagai wujud yang terpuji (muhammad) yang merupakan perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad).
B.       Ruh,
Yang merupakan ruh-Nya (bukan ruh milik diri-nya), juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Dengan ruh-Nya inilah, maka kemanusiaan menerima hidup-Nya sebagai anugerah kehidupan, dan yang memerintahkan gerak segala sesuatu yang ada pada dirinya dan yang mempengaruhi dari luar diri-nya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Dia-lah ar Raahman yang sesungguhnya memerintahkan ruh-Nya atau para aparat (malaikat)-Nya, yaitu ruhul kudus sebagai pembawa atau penyampai perintah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh para aparat lainnya, seperti kepada aparat yang sebagai pelaksana gerak dari mulai tarikan dan keluarnya nafas, gerak ucapnya, gerak dengarnya, gerak lihatnya, gerak pikirnya, gerak tangan dan langkahnya, sampai kepada gerak-gerak yang tidak disadari atau diketahuinya di dalam tubuhnya. Dia-lah yang sesungguhnya memerintahkan para aparat (malaikat) untuk bergerak bekerja sesuai kehendak-Nya (telah diurai di bab iman kepada para malaikat).
Ruh-Nya tersebutlah yang sesungguhnya menghidupkan, sehingga jasad dan jiwa-nya dapat menerima segala anugerah yang dikaruniakan kepada-nya. Jasad merupakan wadah yang menerima, sebagai media jiwa yang memiliki wujud, dan merupakan satu kesatuan wujud dari milyaran wujud yang tak terhitung, serta memiliki kehidupan sendiri-sendiri dalam satu sistem, dan bukan atas perintah diri-nya sebagai penguasa mereka, melainkan perintah Dia (ruh-Nya) Yang Maha Memerintah. Tidak ada sedikitpun kekuasaan-nya atas mereka (jasad-nya) tersebut. Itulah mengapa bila sakit di jasad-nya, diri-nya tak kuasa, bahkan dokter terpercaya pun tak kuasa bila tak dikehendaki-Nya. Diri-nya hanya cuma bisa merasakan
Jadi, dimanakah diri kemanusiaan-nya? Itulah mengapa diri atau jiwa disebut sebagai yang tidak ada. Diri-nya ada pada rasa, yaitu rasa nikmat-Nya. Bukan rasa nikmat yang sesaat, yang kemudian disesalinya. Melainkan merupakan nikmat sejati. Bayangkan, satu saja gerak tersebut dicabut Tuhannya. Misalkan gerak melihat yang dicabut oleh-Nya, sehingga tak dapat melihat. Tentu itu merupakan musibah atau bencana besar bagi dirinya. Tidak usah sampai kepada dicabut, dikurangi saja kekuatannya, yaitu menjadi buram. Tentu itu saja telah merepotkan dirinya, harus membeli kacamata untuk memperbaiki pandangannya. Maka sungguh, agar setiap diri kemanusiaan dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Tuhannya.
Apabila telah menyadari dan memahami segala sesuatu , termasuk yang berada di dalam jasadnya, adalah berada dalam kuasa dan dalam pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah. Sehingga, yang berucap adalah Dia, yang mendengar adalah Dia, yang melihat adalah Dia, yang berpikir adalah Dia, yang menulis adalah Dia, yang melangkah adalah Dia, dan segala sesuatu adalah gerak Dia. Sebab itu, luruskanlah, ingatilah, dan sucikanlah gerak-gerak tersebut sebagai milik-Nya dari ego pengakuan.
Diri atau jiwa inilah yang seharusnya menyatu (manunggal) dengan ruh-Nya, sebagai diri atau jiwa yang tenang dan terkendali (nafs al mutma’inah). Yaitu, yang ikut mengucap, ikut mendengar, ikut melihat, ikut berpikir, serta ikut pada setiap gerak-gerak lain-Nya. Dan hanya nikmat-Nya yang sesungguhnya dirasakan jiwa-nya.
Dia-lah, Allahu arsyis tawaa yang bersemayam di arsy, yaitu di lubuk hati yang paling dalam. Dan pada setiap diri kemanusiaan yang telah secara murni atau ikhlas beriman dan beragama, ruh-Nya kuat dan dominan terhadap setiap gerak yang membawa jiwa kepada keselamatan, kemudahan, ketenangan dan ketentraman.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memurnikan (ikhlas), maka segala perintah-Nya akan mudah dibelokkan iblis. Bila jiwa lebih cenderung pada kesesatan, yaitu pada mereka yang menjadikan iblis sebagai tuhannya, yang justru malah menjerumuskan jiwa kepada bencana, kesulitan, dan keresahan.
Meluruskan, mengingat, dan mensucikan diri atau jiwa agar dapat bersatu (manunggal) dengan ruh-Nya di dalam tempat tunggal-Nya, menjadikan jiwa yang tenang terkendali dan keluar berupa rahmat bagi sesamanya di alam.
C.       Sifat,
Yang adalah pula merupakan sifat-Nya, yaitu dari sifat wujud, sampai dengan sifat mutakalimaan, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Semua sifat-Nya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tersebut sebagai yang melekat  bersama ruh-Nya, karena di alam (bukan di tempat tunggal, arsy-Nya), maka dapat terkontaminasi penyesatan iblis melalui pengakuan (ego) setiap diri (jiwa) kemanusiaan, maka muncullah pasangan dari setiap sifat tersebut sebagai yang memliki pula nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Akibat pengakuan (ego)-nya tersebut, maka rasa butuh akan kehidupan dunia yang berlebihan, membuat iman-nya semakin terkikis oleh ketakutan-nya sendiri, yaitu ketakutan tidak tercukupi. Timbullah ketamakan, keserakahan, kecurangan, yang kesemuanya bersumber dari ego-nya, yang malah menjerumuskan jiwanya kepada rasa resah. Semakin didapatkannya, semakin resah pula jiwa pada rasa takut akan kehilangan-nya. Tiada akan pernah merasa cukup jiwa-nya puas, dan dapat tenang dalam kehidupannya. Itulah jiwa yang didominasi oleh pengakuan (ego)-nya yang berada di dalam nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Sedangkan pada jiwa yang dekat dan mendekati ruh-Nya, berusaha bersama (manunggal), maka akan berusaha meluruskan, mengingat, dan mensucikan semua sifat tersebut dari pengakuan (ego)-nya, serta mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang saling menebarkan rahmat Tuhan bagi sesamanya.
Dengan demikian, maka kehendak-Nya, yaitu agar setiap diri kemanusiaan mewujudkan sifat-sifat Allah pada amal perbuatan-nya. Pada jiwa-jiwa seperti inilah, maka telah manunggal bersama ruh-Nya yang memayungi-nya sehingga penuh dalam kedamaian dan ketentraman, tidak ada rasa takut maupun tersentuh oleh rasa sedih, apalagi resah dan gelisah.
D.      Kitab,
Yang merupakan kitab petunjuk-Nya, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan, maka disebutlah sebagai ahli kitab.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Setiap insan kemanusiaan adalah ahli kitab (lihat kembali bab iman kepada kitab), yang telah diberikan kitab sebagai petunjuk kepada jalan lurus-Nya, dan dapat mengingat-Nya, serta mensucikan-Nya. Dengan makna, bahwa amal perbuatannya yang selalu lurus atau tidak sesat, amal perbuatannya yang selalu didasari karena ingat kepada Dia, serta mensucikan setiap amal perbuatannya dari pengakuan (ego) dan penyesatan iblis. Yang kesemuanya tersebut ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan dan keselamatan bagi hidup dan kehidupan dirinya sendiri, yaitu nikmat.
Kitab sebagai petunjuk yang menerangkan segala sesuatu, yang telah diwariskan oleh Tuhannya sebagai panduan jiwanya dalam hidup dan kehidupannya yang selalu dibayang-bayangi penyesatan iblis. Yang karena di alam, maka kebaikan pun dibayangi keburukan. Bahkan cahaya pun dibayangi bayangan hitam-nya. Segala sesuatu bersama pasangan-nya. Lain halnya di tempat tunggal-Nya, arsy Allah, maka segala sesuatu adalah tunggal, tidak memiliki pasangan, karena telah manunggal bersama Yang Maha Tunggal.
Di dalam kitab inilah, yang disebut pula sebagai kitab pembeda, yang membedakan pasangan-nya, yaitu yang membedakan antara yang haqq dengan yang bathil, yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang beriman dan yang kufur, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi jelas, terang, dan nyata kemana arah jalan lurus yang ditunjuki Tuhannya.
Serta kitab yang terbentang di alam, yang merupakan petunjuk-Nya pula, kemudian ditambah lagi dengan kitab yang merupakan kumpulan firman yang di wahyukan-Nya, keduanya pun memiliki kesesuaian sebagai yang saling membenarkan, dan dibenarkan kembali oleh kitab-Nya pula yang telah ditanamkan di dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan.
Maka dengan petunjuk apa lagi diri-nya dapat selalu ingat kepada-Nya, dan berlaku lurus dalam beragama, serta suci dalam setiap amal perbuatannya?
E.        Alam Ciptaan,
Yang merupakan ciptaan-Nya, yaitu langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya, adalah juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik, serta bertanggung jawab menjaga keseimbangan-nya, agar tidak kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana alam atau azab.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS 30:41)
Adalah pengakuan (ego) adalah juga sebagai penyebab kerusakan alam, yang padahal sungguh akan kembali kepada diri-nya sebagai bencana atau musibah. Pada hal-hal perbuatan yang sepele, seperti malas membuang sampah pada tempatnya, semakin menjadikannya terbiasa tidak menjaga kebersihan, sehingga penyakit tentu akan mudah hinggap kepadanya. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadikan gaya hidup, bila sampai meluas akan membudaya.
Lihatlah sungai-sungai yang ada di kota Jakarta, sampai kepada pemerintah daerahnya pun tidak perduli memperbaiki keadaan ini, karena telah terbiasa kepada kemalasan dan ketidak disiplinan. Bukan hanya di darat dan di laut saja yang telah rusak, bahkan udara-nya pun telah tidak layak bagi kehidupan sehat. Maka mereka sendirilah yang akan merasakan akibat perbuatannya.
Dalam hal-hal sepele saja akibatnya sungguh memprihatinkan, apalagi pada hal pengelolaan seperti, limbah maupun polusi industri, kayu hutan, pertambangan, dan lain sebagainya yang melibatkan alam sebagai objek yang dieksplor-nya.
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Menjaga keseimbangan alam adalah hal mutlak yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahkan anak kecil pun telah banyak ditanamkan nilai-nilai pentingnya kelestarian alam, akan tetapi ada hal-hal yang tak dapat dihindari, seperti pertumbuhan populasi penduduk yang mau tak mau harus membuka lahan baru dan mengorbankan lahan-lahan hijau.
Juga pertumbuhan penduduk tersebut, telah ikut pula mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pada akhirnya memiliki dampak pada lingkungan yang menjadi korbannya lagi. Apalagi bila hal-hal tersebut tak didukung pula oleh aturan atau sistem pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab, maka dampaknya akan jauh lebih parah.
Kita hidup di alam ini, dan hendak nyaman dan tentram serta damai tinggal di sini. Alam ini adalah rumah kita, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak bila tinggal dan tidur di dalam rumah yang telah rusak. Karena itu menjadi tanggung jawab kita semua memperbaiki kerusakan-kerusakannya agar menjadi layak sebagai tempat tinggal, kemudian merawatnya sebagai yang disebut dengan menjaga keseimbangannya, agar mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Di dalam jiwa yang sehat, maka akan keluar amal perbuatan yang menyehatkan kehidupan yang juga merupakan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana mungkin jiwa yang sehat mau mengotori atau merusak alam sebagai tempat hidupnya, seperti hendak mengotori atau merusak rumahnya sendiri sebagai tempat tinggal dan tidur-nya?
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang menjaga amal perbuatannya tetap pada jalan lurus, tetap dalam keadaan ingat (sadar), dan tetap dalam keadan suci. Yaitu juga, tidak dalam keadaan mabuk kehidupan dunia yang menyesatkan dan menjerumuskan diri-nya sendiri, akibat pengakuan (ego)-nya yang tidak memperdulikan sekitarnya, sebagai sesama makhluk Allah. Dan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai bencana atau musibah akibat kelalaian atau kesesatannya sendiri.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Bukan akal tak berpikir dan bukan pula mata tak melihat, akan tetapi pandangan indah yang dibuat iblis yang menutupi mata dan hati-nya dari melihat dan berpikir yang baik, malah memperbesar pengakuan (ego) yang menyesatkan diri-nya dari menuju kepada keselamatan hidup dan kehidupannya. Dengan kembali mengokohkan keimanan (seperti yang telah diurai), maka akan mengahargai pula kehidupan makhluk-makhluk lain selain dirinya sebagai saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama ciptaan-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS 2:152)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar