Sabtu, 08 Juni 2013

Bab XVII - MURNI (IKHLAS) BERAGAMA



Bab XVII
MURNI (Ikhlas) dalam BERAGAMA
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  menunaikan zakat (mensucikan apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).
(QS 98:5)
S
ekarang, telah jelas dan nyata manfaat keikhlasan dalam menjalankan agama, yang sebenarnya justru kembali kepada diri sendiri sebagai kebaikan, keselamatan, ketenangan, dan ketentraman yang sejati. Tiadanya keikhlasan dalam beragama, yaitu dalam setiap gerak amal perbuatan-nya sungguh akan menyesatkan. Sesat karena timbulnya rasa takut dan meresahkan diri atau jiwa-nya, dan dapat membelokkan arah  tujuan yang sedari awalnya benar dan mulia kepada kesalahan dan kehinaan. .
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Bila direnungkan, sesungguhnya, keikhlasan adalah mutlak perlu dalam setiap amal perbuatan. Pada penjelasan ayat di atas, yang menerangkan sumpah iblis yang akan menyesatkan setiap diri insan kemanusiaan, kecuali mereka yang ikhlas, tentu penafsirannya pun termasuk adalah, penyesatan yang dilakukan-nya adalah kepada mereka yang ‘tidak memiliki keikhlasan’ dalam setiap amal perbuatan. Tidak memiliki keikhlasan dapat pula diartikan tidak menyadari akan pentingnya nilai keikhlasan.
Mereka ini, jelas masih diliputi oleh pengakuan (ego) yang kuat membelenggunya, tanpa pernah bisa lepas darinya bila tidak adanya keterpaksaan yang memaksanya hingga tidak dapat berkutik. Contohnya, kepada atasan-nya atau bos-nya, yang jelas langsung berhadapan dengannya, maka dia tak dapat berkutik. Maka setelah tidak bersama bos-nya lagi, dia tidak lagi dalam kepatuhan dan kesetiaan. Apalagi bila semakin dilunturkan oleh kebutuhan dan keinginan dari hawa nafs (jiwa)-nya.
Pengakuan (ego)-nya akan dapat mempengaruhi lebih jauh lagi kepada kepentingan dirinya sendiri, dan kemudian menyebar pada ketamakan atau keserakahan, untung-rugi, ambisi jabatan atau kekuasaan, dan lain sebagainya yang merupakan ambisi pengakuan (ego)-nya.
Segala sesuatu, telah kita ketahui, memiliki pasangan atau lawannya, termasuk nurani ketuhanan di dalam dadanya, maka akibat pengakuan (ego)-nya akan pula menyebabkan hadir pula musuhnya tersebut. Semakin kuat ambisi ego-nya, maka semakin kuat pula penentangan terhadap nurani-nya tersebut. Maka penyesatan iblis pun semakin menguatkan ambisi diri (ego)-nya untuk dapat memenangkan pertarungan ini, bahkan dengan cara-cara tak terpuji pula.
Sungguh besar bahayanya akibat pengakuan (ego) dari setiap diri insan kemanusiaan, hal ini amat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Persaingan tidak sehat dan saling merusak, bahkan kepada saling menumpahkan darah adalah akibat terparahnya. Kepentingan diri dan golongan, sebuah bara kecil, perlahan tapi pasti akan merambat dan membesar membakar aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, perdagangan dan ekonomi, politik, kebangsaan, hingga kepada kehidupan umat beragama.
Pada awalnya, memang hanya demi memenuhi keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri saja, akan tetapi lama kelamaan, setelah memiliki istri, bertambahlah kebutuhannya. Kemudian kebutuhannya akan terus bertambah kepada anak dan cucu, belum lagi bila di perjalanannya ada godaan-godaan lain. Seperti godaan wanita, teman atau kroni, ambisi kekuasaan, dan lain-lainnya. Maka dirinya telah masuk kedalam lingkaran setan, yang bagai berada dalam labirin yang akan menyulitkan dirinya sendiri untuk mengurai jalan kembali kepada jalan lurus-Nya, karena telah jauh tersesat.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ, demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”  (QS 38:26)
Bukanlah hal yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha  hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupan-nya untuk disucikan melalui proses kebangkitan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Jadi begitulah, kehidupan dan kematian melalui proses siklus kebangkitan adalah sebagai proses pensucian jiwa yang masih saja terus dilekati kekotoran dosa. Itulah sebagai yang telah ditetapkan dalam kehendak-Nya (sunathullah) dari Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
Sebaliknya, bagi jiwa yang telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal perbuatan,  maka sang iblis pun menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya. Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan yang selain merugikan orang lain, juga justru merugikan dirinya sendiri.
Keimanan yang kokoh akan mengkokohkan pula lurus-nya amal perbuatan, menegakkan shalat dan selalu menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya, serta mensucikan (zakat) kemuliaan rahmat anugerah-Nya. Dan secara bertahap, akan pula menyadari keutamaan berserah diri (islam) secara ikhlas.

“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar