Selasa, 11 Juni 2013

Bab XXI - PERJALANAN KEHIDUPAN JIWA





Bab XXI
PERJALANAN KEHIDUPAN
JIWA
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
 (QS 67:2)
R
asanya tidak tepat bila diterjemahkan sebagai menguji, karena tentu Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, maka tentu telah mengetahui pula siapa-siapa yang lebih baik amalnya. Sehingga ayat ini akan lebih tepat dimaknai, bahwa melalui kematian dan kehidupan, Allah sesungguhnya melatih manusia untuk mencapai amal terbaiknya. Bila belum  (bukannya, tidak) seperti itu, tidaklah mengapa, karena segala sesuatunya akan mengalami prosesnya sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Sekalipun prosesnya panjang, berliku, dan berkali-kali sebagai suatu siklus, tidaklah menjadi soal bagi-Nya, karena tempat (alam) dan program (sunathullah)-nya semua telah disediakan dan disiapkan oleh-Nya.
Ya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan merupakan alam tempat penggodokan kekotoran yang melekat agar terlepas dari jiwa manusia, sehingga mencapai kemurnian atau kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Jadi, kematian bukanlah perjalanan langsung untuk kembali pulang, melainkan salah satu proses penyucian jiwa. Karena yang dapat kembali pulang kepada-Nya hanyalah jiwa-jiwa yang telah suci. Ketika diciptakan dalam keadaan suci, maka saat kembali pun harus dalam keadaan suci. Apakah mungkin jiwa yang masih melekat padanya kekotoran, dapat kembali masuk kepada Dia Yang Maha Tunggal dan Maha Suci?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Perjalanan jiwa diantaranya sebagai yang mengalami kehidupan dan kematiannya, yang merupakan sarana pemurnian dan pembersihan jiwa-nya agar dapat kembali pulang kepada Allah, adalah seperti pula proses-proses segala sesuatu lainnya di alam ini. Seperti proses tidur dan bangun, proses terjadinya hujan, proses terurai-bergabungnya unsur-unsur pada senyawa kimia, dan masih banyak lagi yang lainnya. Yang kesemua proses-proses tersebut merupakan siklus atau kejadian yang berulang-ulang sebagai yang harus dilalui.
Apakah lebih jauhnya, makna ini dikaitkan dengan reinkarnasi-nya agama Hindu dan Budha, adalah tak menjadi soal. Apakah bila adanya perbedaan menjadi sebuah kesalahan, dan bila adanya persamaan pun juga merupakan kesalahan? Apakah hal yang penting, menjadi berbeda dengan lainnya? Masalahnya bukan pada perbedaan atau persamaan, melainkan adalah kebenaran yang haqq. Mendapatkan makna atau pemahaman yang benar adalah hal utama. Mari kita simak ayat di bawah ini,
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Bila kehidupan dimaknai hanya di alam dunia  (saat ini) saja, dan setelah mati maka tak ada lagi kehidupan, tentu juga adalah pemahaman yang salah. Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan alam dunia,  kehidupan alam kubur (barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian dari hari-hari agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang menguasai hari-hari agama.”  (QS 1:4)
Yaitu hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Kehidupan di alam-alam tersebut pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula. Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan-kehidupan tersebut.
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Maka jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman dari ayat tersebut diatas maka akan melebar, pernah salah seorang sahabat nabi Allah Muhammad SAW bertanya,  dimanakah neraka ya rasul Allah, bila surga telah memenuhi langit dan bumi?”  Maka dijawab rasul dengan bijak dan balik bertanya, berada dimanakah malam bila siang telah datang?”
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
Pemahaman sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Ayat ini menggambarkan kejadian hari akhir (kiamat qubra), yaitu peluruhan semesta alam beserta isinya, yang digulung menjadi padat dan mengecil, seperti menggulung lembaran kertas. Begitulah Allah menerangkan kejadian akhir alam semesta beserta isinya, yang prosesnya seperti memulai penciptaan pertama alam semesta yang juga beserta isinya. Dan kejadian-kejadian tersebut pun merupakan proses siklus hidup-mati alam semesta, karena Allah dengan tegas mengatakan sebagai yang akan mengulanginya kembali, bahwa hal tersebut merupakan janji yang pasti akan ditepati-Nya. Kemudian simak pula ayat di bawah ini yang menerangkan pula masa-masa awal penciptaan bumi dan langit.
“.... bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Setelah kejadian kiamat qubra (QS 21:104), dan berpadunya kembali langit dan bumi. Mulai kembalilah proses siklus penciptaan kembali langit dan bumi, yang memisahkan keduanya dari keterpaduan sebelumnya (QS 21:30). Pada saat inilah sebagai yang disebut, bahwa segala sesuatu dibangkitkan dan dikumpulkan di padang masyhar (dalam bahasa ilmiah, singularitas), untuk menjalani perhitungan hisab yang menentukan kehidupan selanjutnya, yaitu di bumi yang baru dan langit yang baru.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Itu adalah merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali (QS 2:28), juga mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya sebagai siklus harian ketika di dunia.
Bila hari akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya tinggal menunggu hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur secara bersama-sama.
Akan tetapi, jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya). Bahkan bila lebih dalam lagi memahaminya, adalah akhir dari setiap gerak perbuatan, dan kemudian menunggu hasil dari perbuatannya sebagai balasan, yang baik buruknya adalah bergantung dari sejak awal gerak perbuatannya tersebut. Perbuatan baik, tentu akan mendapatkan hasil yang baik pula baginya di kemudian hari. Begitupun sebaliknya dengan perbuatan buruk akan mendapatkan hasil yang buruk pula bagi pelakunya.    
Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan menjadi tumbuh menghijau kembali.
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu (baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian (akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir. Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya, akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari amal perbuatan sebagai sebab hingga terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Pekerjaannya dan perdagangannya pun adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkannya. Bila pekerjaannya buruk dan malah merugikan perusahaannya bukan tidak mungkin turun jabatan atau malah dipecat sebagai hari pembalasan-nya. Dan bila dalam perdagangannya hanya demi menguntungkan dirinya sendiri tetapi merugikan pembeli, bukan tidak mungkin para pembeli dan langganannya kabur bahkan meninggalkan kebangkrutan sebagai hari pembalasan-nya.
Begitu banyak kategori hari akhir untuk dimaknai, seperti akhir dari hari ini adalah pas jam 24.00 malam nanti. Lewat dari dari itu sudah besok atau lusa namanya, dimana keduanya adalah sebagai hari kemudian disebut namanya.
Pada masa-masa sekolah, hari akhir-nya adalah saat bel tanda pulang berbunyi. Besok-besok kembali sekolah lagi sebagai hari kemudian-nya. Saat bagi rapor pun adalah hari akhir masa-masa tingkat kelasnya sekarang, masa liburan pun adalah masa penantian menunggu untuk kembali ke kehidupan kelasnya yang telah meningkat. Begitulah bertingkat-tingkat dan semakin berkualitas.
Masing-masing tingkatan memiliki nilainya sendiri-sendiri. Semakin tinggi nilainya dan berbekas bagi jiwanya, maka semakin sedih dan berat dia menghadapi hari akhir-nya. Begitu pulalah pada kematian, begitu banyak kenangan yang indah yang memberatkan jiwanya untuk mau berpisah. Padahal jelas kualitas hari kemudian-nya akan jauh lebih baik, kecuali bagi mereka yang semasa hidupnya hanya dipenuhi oleh perbuatan buruk.
Jika di kehidupan dunia, menghadapi masa-masa akhir, seperti kenaikan kelas, lulus sekolah, atau bila diterima kerja, bahkan naik jabatan, hati terasa dag dig dug, bisa timbul rasa senang atau rasa takut, yang jelas pula merupakan kegelisahan akan masa-masa yang akan dihadapinya sebagai hari kemudian-nya.
Bagi mereka yang telah mantap dan siap untuk menghadapinya, tentu kegelisahannya takkan membuat rasa takut yang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi bagi mereka yang tak siap dan mantap hatinya, tentulah kegelisahannya dapat saja malah membuat dirinya menemui kesulitan-kesulitannya kelak.
Hari kemudian setelah kematian pun sebenarnya seperti itu, karena amal perbuatan, atau bagi yang menyadari bahwa amal perbuatan di dunia adalah merupakan tugas kerasulan yang juga merupakan fitrah-nya sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sebagai tugas besar, maka pertanggungan jawabnya pun adalah hal yang besar. Ingatlah, hidup dan mati adalah seperti tidur dan bangun tetapi dengan skala waktu yang panjang.
Maka menjadi penting dan sangat utama seseorang menghadapi kematiannya dalam keadaan islam. Memaknainya pun jangan hanya “dalam keadaan beragama islam”, melainkan islam yang dimaknai sebagai dalam keadaan berserah diri secara ikhlas hanya kepada Allah semata.
Kebanyakan orang menjadi salah kaprah dan berlebihan dalam menilai makna islam jika dikaitkan sebagai agama, akan menjadi berkembang kemana-mana dan membuat kabur atau hilangnya makna asal yang sesungguhnya amatlah penting. Renungkanlah kembali makna islam (berserah diri secara ikhlas) yang sesungguhnya hanyalah salah satu jalan dari jalan-jalan terang-Nya, sebagai salah satu aturan hidup dalam menuju-Nya.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama qayyimaah (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Makna-makna yang salah kaprah dan berlebihan yang dikembangkan kemana-mana yang mengaburkan makna asalnya dapat menyebabkan pula mengaburnya bahkan hilangnya kesadaran diri, hingga malah menyesatkan jiwa kita sendiri. Saat seperti itulah malaikat berubah menjadi iblis pembangkang yang membisikkan fanatisme berlebihan dalam segala tindakan amal perbuatan. Inilah yang menyimpangkan makna seperti timbulnya rasa paling benar sendiri, paling tahu sendiri, paling suci sendiri. Yang kesemuanya adalah rasa superioritas sebagai perwujudan sifat iblis, sehingga menganggap selain kelompoknya yang tidak sealiran dengannya adalah salah, sesat, kafir, dan musyrik.
Justru amal perbuatan seperti tersebut adalah yang menghilangkan keberserah dirian (islam) kita yang seharusnya selalu terjaga. Bayangkanlah, bahkan penyesatan iblis telah menyeret diri-diri kita kepada amal perbuatan yang merusak dan saling menumpahkan darah dengan mengatas namakan  agama. Sehingga, sesungguhnya, kita sendiri pulalah sebagai yang membuat baik atau buruk-nya agama kita, kita pulalah yang menjaga kesucian atau tercemarnya agama kita.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Iblis telah begitu banyak menyesatkan diri-diri kemanusiaan kepada keburukan dan kehinaannya, seakan tak puas-puasnya dengan cara-cara yang keji pula dalam tujuannya, bahkan dengan cara seperti diterangkan ayat di atas. Ya, kejahatan yang terasa indah bagi pandangan. Dengan cara inilah dia menggelincirkan mereka yang semula dalam kebaikan kepada kehinaan yang amat buruk.
Iblispun bermain dengan mengatas namakan seni dan kecantikan, mengatas namakan hukum dan hak asasi, mengatas namakan harga diri dan kehormatan, mengatas namakan ideologi dan nasionalisme, mengatas namakan budaya dan tradisi, mengatas namakan keluarga-suku-etnis, bahkan dengan mengatas namakan agama dan tuhan.
Kebenaran dijungkir balikkan dengan keinginan dan kebutuhan, kemudian dibumbui dengan bujuk rayu dan godaan hingga dikemas dengan kenyataan semu yang terlihat dan terkesan indah oleh pandangan mata dan hati. Dan inipun seolah tak asing lagi hadir di hadapan mata kita hampir di setiap harinya.
Segala sesuatu adalah dari Allah yang merupakan rahmat-Nya, dan setiba di dunia (alam) maka kemudian menjadi berpasangan (sunathullah), layaknya rahmat cahaya matahari-Nya yang sampai ke bumi maka akan juga terdapat bayangannya sebagai sisi gelap yang tak terkena cahayanya, layaknya seperti rahmat hujan yang diturunkan-Nya ke bumi maka akan menjadi bencana banjir bagi mereka yang tak dapat menjaga kelestarian lingkungannya, serta layaknya rahmat rezeki makanan dan minuman yang diberikan-Nya kepada kita maka harus ke belakang untuk buang air setelah menikmatinya. Yang semua rahmat tersebut dipandang setiap diri kemanusiaan dengan nilai baik atau buruk-nya. Semuanya, segala sesuatu yang merupakan rahmat anugerah dari-Nya, maka adalah yang memiliki pasangan-nya pula.
Karena itulah, rahmat-rahmat tersebut agar dapat disyukuri sebagai yang pasti akan kembali kepada-Nya, dan itulah bentuk kesadaran tunggal dengan berserah diri (islam) secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, baik ketika aktivitas amal perbuatan selama di kehidupannya maupun saat detik-detik menghadapi ajalnya. Itulah mengapa menjadi betapa pentingnya islam dimaknai sebagai keadaan berserah diri hanya kepada Allah, apalagi  saat menghadapi ajal. Agar yang kembali pulang kepada Allah adalah kemurnian yang tunggal pula
Sebab karena itulah maka kepada orang yang sedang menghadapi ajal (kematian)-nya, dibimbing dengan kalimat tauhid atau syahadat sebagai pengingatnya kembali akan tugas besar sebagai fitrah-nya, asy-hadu an-laa illaha illaallaah wa asy-hadu anna muhammadan rasulullaah. Ya, tentu dengan makna yang harus tepat dimengerti atau dipahami, sesungguhnya diri ini bersaksi bahwa tiada tuhan (tujuan dari segala tujuan kembali) adalah selain hanya kepada Allah, dan diri ini bersaksi bahwa wujud yang terpuji ini yang merupakan perwujudan Allah Yang Maha Terpuji adalah yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia sebagai utusan (rasul) Allah. Begitulah keberserah dirian saat ajal datang menjemput, yaitu yang murni menyadari kehidupan dunianya adalah tugas memikul amanat.
Yang sesungguhnya diri-diri manusia adalah juga merupakan utusan Allah yang menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada sesama sebagai makhluk-Nya di semesta alam sebagai fitrah kehidupannya.
“Allah memilih para utusan (rasul-rasul) dari malaikat dan manusia, ........  (QS 22:75)
Segala sesuatu makhluk Allah adalah utusan-Nya, apalagi pada diri-diri kemanusiaan sebagai wujud yang dalam bentuk sesempurna-sempurnanya (QS 95:4). Segala sesuatu telah Allah jadikan kemudahan bagi manusia. Dan segala sesuatu itu adalah membawa manfaat bagi manusia, dari mulai taburan bintang di langit yang sebagai petunjuk penentuan arah, matahari dan bulan sebagai petunjuk waktu penanggalan, dan padahal masih banyak lagi petunjuk-Nya yang bermanfaat dari matahari dan bintang-bintang di langit. Segala macam tumbuhan dan hewan selain berguna sebagai makanan, juga menjadi petunjuk bagi keilmuan bahkan tekhnologi. Pergerakan angin dan awan yang dapat di monitor menjadi ilmu metreologi dan geofisika. Mineral-mineral di dalam perut bumi sebagai ilmu geologi. Seluruhnya, di alam ini adalah merupakan segala sesuatu yang saling berbagi rahmat dan petunjuk Allah.
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
Begitupun diri-diri kita, juga merupakan utusan Allah dalam menyampaikan kebenaran-Nya, bisa kepada umat bagi yang memiliki kekuatan besar, sampai hanya kepada keluarga, atau cuma kepada anak-anaknya. Atau bahkan paling tidak, hanya kepada dirinya sendiri. Ingatlah, dirinya sesungguhnya, terdiri dari milyaran sel, adalah wujud akbar di dalam kesen-diri-annya bila tak menyadari keberadaan wujud-wujud lain di dalam jasadnya. Ada yang bekerja bagi kelangsungan hidup kita, ada yang menyampaikan petunjuk, ada yang sebagai penjaga, kesemuanya adalah merupakan kebaikan.
Dan perlu disadari juga, kesemuanya pun memiliki pasangannya sebagai keburukan bila jiwanya lebih cenderung kepada kesesatan yang menjauh dari cahaya Tuhannya, yang semula bekerja bagi kelangsungan hidupnya menjadi pembangkang yang malah merusak organ-organ kehidupannya, yang semula menyampaikan petunjuk menjadi pembangkang yang malah membisik dan menggoda agar tersesat jalan, serta yang semula menjaga menjadi pembangkang yang malah menjerumuskan kepada kecelakaan dan kehinaan. Begitulah memaknai iblis yang membangkang perintah Tuhannya untuk tunduk bersujud kepada kemanusiaan yang ternyata lebih tertuju kepada sifat pembangkangan jiwa kemanusiaan itu sendiri.
Hal ini menjadi terasa asing kedengarannya adalah karena selama ini kita memaknainya tidaklah demikian, sehingga pemahamannya pun menjadi berbeda. Kita memaknainya hanya Muhammad bin Abdullah sajalah rasul Allah, sedang kita tak pernah menyadari sesungguhnya fitrah diri kita ini juga sebenarnya adalah utusan Allah, sebagai muhammad-muhammad, wakil-Nya di bumi. Dan saat itu disadari dan dinyatakan adalah sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia sebagai utusan-Nya telah selesai, dan telah siap pula untuk mempertanggung jawabkannya.
Sebagai nabi, ya beliau, putra pasangan Abdullah dan Fathimah yang pertama kali mendapat gelar muhammad, adalah nabi terakhir (khataman nabiyyin), akan tetapi rasul-rasul Allah, yang juga sebagai penerus risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW, tidak akan berhenti setelah wafatnya beliau, melainkan terus berlanjut pada diri-diri kemanusiaan yang juga sebagai pewaris pula gelar ke-muhammad-an.
“.... Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)
Mereka yang telah menemukan atau memahami realitas sejati, tentu telah kokoh keimanannya, takkan lagi ada rasa takut dan rasa sedih pada dirinya. Tuhan takkan pernah meninggalkannya, karena dengan kesadarannya ia tak pernah merasa lepas dari rahmat-Nya. Tuhannya selalu hadir di setiap kemana pun arah penglihatannya, di setiap suara pendengarannya, di setiap gerak langkah dan ucapnya, di setiap pemikiran dan bathinnya. Serta takkan mungkin pula ia dapat meningggalkan atau menjauhi Tuhannya, karena di setiap keinginan dan kehendak-nya adalah merupakan keinginan dan kehendak Dia Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu, yang tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Dan begitu pulalah sesungguhnya yang terjadi pada seluruh diri kemanusiaan. Sehingga takkan lagi dapat hinggap kepadanya segala jenis rasa takut  dan segala jenis rasa sedih.
Mengapa jiwa takut menghadapi kematian? Naluri kemanusiannya tak dapat ditipu, bahwa jiwanya belum siap untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, tak siap mempertanggung jawabkan gelar ke-muhammadan-nya.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)
Manusia, dengan jiwanya yang tenang dan terkendali (nafs al muthma’inah) serta telah menyadari fitrah dirinya yang merupakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn) yang saling menebarkan kebajikan kepada sesama. Tiada takut akan siksa neraka dan tak tertarik akan nikmat-nya surga. Jiwa-nya hanya tertuju kepada Dia Yang Maha Tunggal.

“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS 30:30)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar