Sabtu, 15 Juni 2013

Bab XXV - ANTARA PEMAHAMAN & ANGAN




Bab XXV
ANTARA
PEMAHAMAN & ANGAN
 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS 41:53)
D
ia-lah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami apalagi mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun tak terlepas dan menjadi terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak dengan memisahkan antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang bathin. Padahal, kedua sifat Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan bagi pemahaman makhluk. Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap pemahamannya tersebut, sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling menuduh sesat.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran bila menjadi semakin tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga menumpahkan darah. Mereka lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang mempertimbangkannya dengan akal dan hati yang lapang dan lebih memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu diulang-ulang pada bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah rahmat yang tunggal, yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia Yang Maha Tunggal termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai Yang Maha Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai bersama pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya merasa masih dalam keterbatasan. Sadarilah, keterbatasan adalah sifat makhluk, maka dekatilah kebenaran yang sejati (haqq), yaitu Dia Yang Maha Benar (Al Haqq).
“.... Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (cacat). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat? (QS 67:3)
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun (kembali kepadamu) dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Dia-lah Dzat Yang Maha Halus dan Lembut, yang sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga menjadi tak nyata terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan. Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk dalam memahami-Nya.
Penglihatannya menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi cahaya Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap, tiada lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit atau mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada lagi takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan yang dapat menyesatkannya. Keburukan yang datang tidak lagi menyusahkannya, dan dipandang sebagai hikmah yang membawa kebaikan kepadanya kelak. Begitupun kebaikan yang datang dan disyukurinya, berhati-hati dirinya agar tak terlena serta mengelolanya sebagai amanat yang kelak sebagai akan dipertanggung jawabkannya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat karena kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala sesuatu tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Semesta alam ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari agama (Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai penguasanya. Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta alam ini berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung dan tak terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya, sehingga tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala sesuatu tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah Yang Maha Tunggal.
Matanya melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka ragaman wujud, keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka ragaman rasa yang menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut merupakan perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku (es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka  adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal. Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Karena di alam, maka diri kemanusiaan, dengan keterbatasannya, tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui, kecuali bila telah diberi pengetahuan atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenalinya, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha Tunggal (Allaahu ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala tempat keberadaan-Nya.
Dia takkan pernah dapat didekati, bahkan takkan dapat dikenali, tanpa terlebih dahulu membersihkan atau mensucikan hati dari segala macam kekotoran yang melekatinya. Kekotoran-kekotoran yang membuat kesadaran jiwa tak merasakan keberadaan-Nya yang sungguh amat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri.
Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.  (QS 56:78-79)
Jika pada ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan-Nya saja, kita tak dapat menyentuh atau memahami-nya bila tak mensucikan diri terlebih dahulu, maka apalagi kepada usaha mendekati-Nya. Kekotoran tersebutlah yang menjadi hijab-hijab keterbatasan jiwa kemanusiaan dalam menerima dan kemudian memahami petunjuk Tuhannya yang amat luas tak berhingga. Ibarat mata yang melihat keluar jendela kaca yang dipenuhi kotoran, sehingga pandangannya menjadi buram dan tak jelas, atau sempit terhadap apapun sejatinya yang berada di luar jendela. Maka hatinya pun menyimpulkan yang bukan kebenaran, yaitu kesalahan, itulah ketersesatan.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.....”  (QS 6:125)
Mereka yang lapang dada-nya, tentu jiwanya lebih terbuka dan berserah diri (islam), yang akan pula menjadikan-nya lebih sabar serta lebih dapat mensyukuri apapun yang diterima dari Tuhannya. Maka ketahuilah, dengan begitu, sungguh jiwanya telah berada dekat denagn Tuhannya, seperti tanpa ada hijab yang membatasinya.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  (QS 2:153)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  (QS 2:45-46)
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Di dalam sejarahnya, kemanusiaan mendekati Tuhannya dengan beragam cara. Kebanyakan dengan melakukan ritual upacara-upacara tertentu yang melibatkan banyak orang, atau memperbanyak shalat sunah tambahan, juga melatih diri melawan hawa nafsu dengan berpuasa tidak makan dan minum, dan ada pula yang mengasingkan diri dan mencari keheningan berusaha menyatu dengan alam.
Rasul Allah, nabi kita Muhammad SAW pun, sebelum kenabiannya, selalu menyempatkan dirinya bertahanuts (mendekatkan diri kepada Tuhan) di gua Hira sampai beliau mendapatkan wahyu pertamanya. Begitu pula nabi-nabi lainnya, seperti Ibrahim, Musa, Zakaria, dan Isa. Juga mereka, yaitu pribadi-pribadi yang hendak mensucikan jiwanya, banyak yang mengambil jalan seperti para nabi untuk mendapatkan pencerahan demi menentramkan hatinya yang galau.
Keresahan hatinya bukanlah disebabkan oleh keinginan dari kebutuhan akan kemegahan dan kenikmatan kehidupan dunia, dan bukanlah pula karena hendak menurutkan ambisi sesaat pada kehidupan sekarangnya. Melainkan disebabkan pandangan mata hatinya yang jauh menelusuri kehidupan panjang jiwanya, menembus batas-batas keterbatasan manusia pada umumnya.
Dada mereka yang lapang, selapang luasnya semesta alam ini, menyebabkan jiwanya merasa kesepian dalam hiruk pikuknya kehidupan dunia. Seakan membutuhkan teman baru yang mengerti, memahami dan dapat menjawab segala keresahan yang memenuhi hatinya. Mereka seperti hidup di dua alam.
Alam pertama-nya, sekalipun nyata di kelopak matanya yang selalu meminta dan menuntut lebih tanpa pernah terpuaskan, sehingga dianggapnya-lah malah sebagai alam yang maya. Alam penuh godaan yang dapat menipu dan menyesatkan. Sekalipun banyak kenikmatan yang telah dirasakannya, tetapi tak pernah memuaskan keresahan sesungguhnya yang berkecamuk di dalam bathinnya.
Sedangkan alam kedua-nya adalah, yang sekalipun tak nyata oleh kelopak matanya, namun mata hati, akal dan kesadaran jiwa-nya percaya dan yakin, bahkan amat menaruh harapan sebagai yang suatu saat, kelak, akan dapat memuaskan dan menjawab segala apa yang memenuhi di dalam dadanya. Jiwanya amat meyakini kekuatan tersembunyi yang berada di dalam segala sesuatu yang ada dan terlihat oleh kelopak matanya, sebagai kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan di balik kehidupan. Kehidupan tak terlihat, halus lembut tak terasa, kecuali oleh jiwa yang terkendali, dalam sistem kuasa tunggal dari Yang Maha Tunggal. Kehidupan alam kepatuhan, yaitu alam kehidupan jiwa-jiwa yang telah berserah diri (islam).
Langit yang tujuh, bumi  dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Alam bathin ini pun tak kalah menghanyutkan dari alam nyata kita, hanya saja perbedaan menghanyutkan-nya adalah lebih membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman. hidup lebih terasa enjoy dan damai, tidak lagi tergesa-gesa. Inti yang menjadi spiritnya adalah keikhlasan berserah diri (islam) kepada Yang Maha Memelihara segala sesuatu.
Apapun yang datang kepadanya sebagai yang dinilai orang baik atau buruk, baginya adalah nikmat rahmat dari Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Diterima segala sesuatunya seperti menerima malam setelah siang, yang merupakan kebaikan bagi dirinya pula. Hatinya pun semakin luas dan lapang, seakan-akan tujuh langit beserta gugusan-gugusan bintangnya, juga matahari, bulan dan bumi seluruhnya pun termuat di dalamnya, dan setiap saat selalu saja ada yang masuk sebagai penghuni barunya yang datang dari Tuhannya.
Bathinnya semakin kepada kesadaran merajut kembali tali-tali yang sempat putus sebelumnya, sebagai persiapan demi kehidupan yang akan datang kemudian, sehingga bila telah tiba waktunya, maka tak ada lagi pekerjaannya yang  masih sebagai beban yang kelak merepotkannya. Dia hanya ingin, kelak, di kehidupan selanjutnya sebagai yang mengalami segala yang baru, tanpa membawa luka lama yang akan menyengsarakannya.
Perjalanan Malam (Isra’ dan Mi'raj)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS 17:1)
Mencari suatu malam yang Allah berkehendak memperjalankan hamba-Nya di dalam malam-malam yang selalu dilaluinya dalam hening dan senyap. Setiap malam dilaluinya dengan melakukan perjalanan malam menuju Tuhannya. Dan di setiap malam itu pula, langkah demi langkah, sekalipun berjalan perlahan, sesungguhnya hatinya sedang mengalami pembersihannya. Dan setiap malam, selalu dijadikan sebagai isradan mi’raj-nya.
Ya, dalam perjalanan-nya tersebut, jiwanya dibawa dan diperlihatkan kembali masa-masa kelamnya yang dipenuhi kekotoran dunia yang membebaninya. Tak terasa air mata menetes jatuh membasahi, tidak kering di pipi, malah terus mengalir jatuh kebawah. Baju dan sarungnya pun terasa basah, hidung tersumbat sesenggukkan di kesepian malam yang hening.
Jiwa-nya kini membawa akal dan kesadaran-nya demi mensucikan kembali hidup dan kehidupannya. Ketiganya sebagai yang saling mengingatkan kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran. Akal tidak lagi berfungsi untuk mengakali, dan kesadaran-nya pun tidak lagi untuk merasakan hanya nikmat dunia saja, melainkan keduanya sebagai yang ikut bersama jiwa-nya mengembara jauh menembus alam-alam yang sebelumnya tak pernah dialami dan dirasakannya, menemui keragaman kebenaran yang kelak membawanya kepada kebenaran tunggal dari Yang Maha Tunggal.
Pencapaian tahap hati yang telah peka terhadap segala hal, tidak pula mudah melakukan kecerobohan yang merugikan siapapun, termasuk kepada dirinya. Telah terang dan jelas semua jalan, bahkan yang menyesatkan pun menjadi terang akan penyesatannya. Jika sebelumnya itu dianggapnya sebagai tantangan yang hendak ditaklukannya, kini jiwanya tak merasa lagi tertantang. Jiwa yang lebih lembut dan melembutkan, melunakkan segala keinginan dan kebutuhan hawa dunianya yang keras menggebu.
Persoalan hidup di dunia adalah, kemanusiaan yang cenderung terpesona kepada keindahan bentuk atau wujud, sehingga menafikan hakikat yang berada di dalamnya yang tak kelihatan. Sifat dasarnya, keterbatasan, dimana kesadaran inderawi-lah yang terlebih dahulu berperan melihat kemudian menyimpulkan segala sesuatu berdasarkan rupa, bukan makna. Itulah yang sebenaranya dapat saja menyesatkannya. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dicari para pencari dan para pejalan telah ada di dalam diri-nya.
Fitrah-nya telah tetap, karena kemanusiaan dicipta berdasarkan fitrah-Nya tersebut, dan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Dan kemanusiaan pun diberikan anugerah sifat-sifat Allah, sekalipun terpenjara oleh sifat utama keterbatasan-nya sebagai makhluk, tetapi jelas telah dianugerahkan oleh-Nya. Maka, hanya dirinya sendirilah yang dapat meningkatkan kadar dari setiap sifat tersebut menuju kesempurnanan hakikat-nya sebagai makhluk Tuhan.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Dengan isra’ dan mi’raj-nya, maka di setiap malamnya terbukalah satu persatu pintu kesempurnan hakikat, dimana di dalamnya amat terang dibanjiri cahaya petunjuk Tuhannya menerangkan apa yang hendak diketahuinya. Begitu pula pada malam-malam berikutnya, yang membuatnya tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa dekat dengan Tuhannya.
Jasad yang bersimpuh duduk di atas sajadah, sendiri tanpa suara, senyap tanpa lampu. Mencapai keheningan yang tembus dan menetap di dalam dada, tanpa membawa beban kesibukan hari-harinya. Kesibukan hanya pada hatinya yang melantunkan puja-pujian kepada Tuhannya, sebagai salam pembuka menyapa Sang Khaliq junjungannya yang tak pernah mengantuk maupun tidur, selalu menemani siapapun yang berusaha mendekati-Nya.
Maknanya, Dia menemani dengan kebenaran petunjuk-Nya yang bukan merupakan kata-kata dengan suara, melainkan langsung di tanamkan-Nya ke dalam dada sebagai pemahaman yang membuka lembaran-lembaran kitab yang nyata (kitab mubiiyn) di dalam dada setiap kemanusiaan. Dan tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah mensucikan hati dari pengakuan (ego) atau hawa nafsu-nya.
Tundukkan segala keinginan dan kebutuhan sebagai yang tunduk patuh pada jiwanya. Jangan biarkan para aparat-Nya berubah menjadi pembangkang karena keinginan akan segala kebutuhan yang disebabkan kuatnya bisikan bujuk rayu pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya. Betapapun kuatnya energi atau kekuatan di dalam materi jasadnya, yang juga membawa qudrat-iradat dari Tuhannya, takkan dibiarkannya tanpa terkendali oleh jiwanya yang telah berada dalam naungan perlindungan rahmat petunjuk dan pemeliharaan Tuhannya.
Bathin telah bersih dari segala bentuk pertentangan, perbedaaan, bahkan keragaman. Segala sesuatu, seluruhnya adalah adalah rahmat tunggal dari Tuhannya, yaitu nikmat. Hanya nikmat yang ada bagi makhluk. Begitulah rasa yang dialami ketika ditemani-Nya dalam setiap perjalanan malam-nya yang hanya mengandung rasa tunggal, yaitu nikmat. Kebenaran dan kesalahan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, kecukupan dan kekurangan, serta kelapangan dan kesempitan sebagai yang telah dilaluinya, kesemuanya melebur kepada satu pemahaman di dalam bathinnya sebagai rasa nikmat yang tak terlukiskan.
Kehdupan nyata adalah medan perjuangan amal perbuatan, pertempuran antara yang haqq dan yang bathil. Yaitu memendam segala yang bathil dengan kebenaran. Seperti sabda nabi Muhammad SAW setelah perang Badar, kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar. Jihad akbar, yaitu perang melawan hawa nafsu diri sendiiri.
Petunjuk Tuhan telah nyata dan jelas, dan agama telah disempurnakan, sehingga menjadi terang, mana kebenaran dan mana kebathilan. Maka jiwa setiap diri-lah yang membawa dan menuntunnya kepada kebenaran, serta mencegahnya hanyut dan tersesat dalam kebathilan. Jiwa-jiwa yang selalu dalam naungan jalan lurus petunjuk-Nya, dan mampu menundukkan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya, dengan demikian, sesungguhnya, telah menciptakan kehidupan yang sehat, damai tentram dan bersahaja bukan hanya kepada dirinya sendiri, melainkan kepada sekitarnya sebagai pula yang ikut merasakan.
...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Manusia yang akal dan kesadarannya telah mampu menguasai dan menundukkan nafs-nya adalah dia yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat (aparat) Allah. Itulah fitrah kemanusiaan sebagaimana firman-Nya di dalam ayat tersebut di atas. Yaitu, sebagai wakil-Nya yang juga merupakan perwujudan sifat-sifat Tuhan di muka bumi, sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmat bagi semesta alam.
Akan tetapi, mereka yang akal dan kesadarannya dikuasai oleh nafs-nya, maka dialah yang menduduki tingkat serendah-rendahnya makhluk, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.
“atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.”  (QS 25:44)
Amal perbuatan merupakan refleksi atau perwujudan dari spirit (ruh) shalat-nya, itulah makna menjaga fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai khalifah di muka bumi, yaitu wakil Allah dalam mewujudkan seluruh sifat-Nya bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tidak sadarkah jiwa sebagai yang telah menerima anugerah kemuliaan seluruh sifat-sifat Allah? Janganlah seperti binatang ternak atau yang lebih sesat lagi dari itu, sehingga tak dapat mendengar atau memahami. 
Ruh-nya Shalat & Dzikr
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”
(QS 6:162-163)
Ikhlas berserah diri (islam) adalah perwujudan dari keyakinan (iman)-nya, yaitu ikhlas-nya amal perbuatan yang didasari oleh kekuatan (ruh) iman-nya kepada Tuhan yang berhak di-ibadahi, seperti yang selalu diucapkan di dalam shalat-nya. Dan bukan sebagai orang yang celaka karena shalat-nya, akibat tak memahami makna shalat-nya, yaitu sebagai yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
......... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat (dzikir) Allah adalah lebih besar (keutamaannnya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 29:45)
Selalu ingat (dzikir) Allah adalah lebih besar keutamaannya, yaitu dengan menjaga kesadaran dalam setiap amal perbuatan dengan tujuan kepada Allah, dan kekuatan untuk berbuatnya juga adalah karena kekuatan yang dianugerakan-Nya. Begitulah mewujudkan berserah diri (islam) dengan ikhlas hanya kepada-Nya.
Kita telah membahas energi (kekuatan) pada pada bahasan di kitab-kitab sebelumnya, bahwa energi-energi sesungguhnya adalah para aparat Allah, yang tidak mengalami kematian atau musnah melainkan berubah bentuk atau wujud-nya. Maka, begitu pula amal perbuatan yang merupakan energi, yang juga sebagai menimbulkan aksi dan reaksi. Dan ikhlas-nya amal perbuatan baik adalah menciptakan aksi dan reaksi positif, yaitu para malaikat Allah sebagai yang tunduk patuh, menjaga, membawa petunjuk dan membantu bagi kemudahan kehidupan pelakunya.
Maka sadarilah pula, amal perbuatan buruk sebagai energi yang menciptakan aksi dan reaksi negatif, yaitu para malaikat pembangkang yang tak mau tunduk patuh. Inilah makna wujud malaikat pembangkang yang disebut Allah sebagai iblis, sebagai yang malah menjerumuskan kepada kesesatan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Meskipun di dalam setiap shalat dan dzikir-nya yang berusaha mendekat dan bersama Tuhannya, sekalipun tak dapat melihat Dzat-Nya dengan mata lahirnya, namun keberadaan-Nya sungguh terasa oleh mata bathin dan kesadarannya. Apalagi setelah akalnya pun memahami wujud-wujud tak nampak yang memiliki kekuatan (energi) seperti ulasan amal perbuatan di atas, dimana amal perbuatan pun memiliki kekuatan tersembunyi yang amat berpengaruh kepada pelakunya.
Tak ada penglihatan yang sanggup dapat melihat wujud Dzat-Nya, karena sesungguhnya Dia-lah yang memberikan penglihatan. Yang diberi adalah mutlak dalam keterbatasan, tidak seperti yang memberi, apalagi Yang Maha Pemberi maka Dia-lah Yang Maha Luas tak terbatas. Bagaimana mungkin Yang Maha Luas dapat dilihat oleh yang serba terbatas?
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS 6:103)
Shalat dan dzikir adalah juga merupakan mengaktifkan kerja mesin ruh-ruh di dalam tubuh jasad-nya sebagai yang tunduk patuh dalam sistem kerja yang telah ditetapkan Tuhannya bagi kemudahan jalannya kehidupan kemanusiaan. Terciptanya kedamaian dan ketentraman pada jiwanya dalam naungan Sang Pemelihara, sesungguhnya adalah yang dapat menghindarkan jasad dari penyakit-penyakit yang merupakan adalah perwujudan iblis pembangkang yang tak mau tunduk patuh pada qudrat dan iradat-Nya sebagai malaikat atau aparat Allah bagi kemudahan kehidupan manusia.
Begitulah kekuatan (ruh) dalam shalat dan dzikir untuk mengingat atau menjaga kesadaran tetap pada Tuhannya, dengan begitu terjaga pula amal perbuatan dari kekejian dan kemungkaran. Yang ternyata pula, memiliki pengaruh kekuatan balik yang sangat besar dan menentukan bagi proses perjalanan kehidupan jangka panjang kejiwaan kemanusiaan di banyak alam lain yang akan dilaluinya.
Tetapi, sungguh perlu pula disadari oleh kesadaran akal yang tidak tercemari oleh ketidak-adilan dalam berpikir dan mencerna dalam memahami kebaikan dan keburukan sebagai pasangan yang dikehendaki Allah pula keberadaanya. Walaupun sebenarnya yang Allah ciptakan dan berikan adalah rahmat tunggal, yaitu kebaikan. Namun karena keterbatasan kemanusiaan dalam melihat dan memahami segala sesuatu selalu  dinilai sebagai dua hal yang berpasangan, yaitu kebaikan dan keburukan-nya.
Allah membiarkan hal tersebut, karena di balik kejahatan ada kebaikan, begitupun sebaliknya. Keduanya adalah kebaikan tunggal yang tak terpisahkan serta tak dapat dihilangkan keberadaan salah-satunya, dan segala sesuatu adalah rahmat-Nya. Bagaimana bisa mengetahui dan memahami kebaikan, bila tak ada lagi keburukan sebagai pembandingnya?
Pahamilah, segala sesuatu adalah ciptaan dari kehendak-Nya, termasuk keburukan dan kejahatan. Maka mungkinkah kita menolak salah satunya (keburukan atau kejahatan) dan hanya mau menerima yang satunya lagi (kebaikan)? Ilmu dan kebijaksanaan-Nya pun turun sebagai petunjuk kepada orang-orang pilihannya, yang dengan ilmu dan kebijasanaan tersebut, maka teranglah perbedaan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta antara yang haqq dan yang yang bathil.
Begitupun keyakinan (iman) menjadi ada, karena adanya kekafiran mereka yang tersesat. Percayalah, tak akan ada kesempurnaan sebagai yang indah, bila tak ada warna-warna sebagai keragaman yang berbeda dalam kehidupan. Tak ada kenikmatan, bila semua kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi. Begitulah keyakinan (iman), sebenarnya amat dibutuhkan mereka yang yang masih tertutup hati-nya tidak mau dan dapat melihat atau menerima kebenaran dari Tuhannya, inilah yang disebut dalam kejahilan (kebodohan). Dan mereka yang semakin memaksakan tetap menutup hatinya setelah melihat dengan nyata kebenaran dari Tuhannya itulah, sebagai yang disebut dalam kekufuran.
Seperti itulah mata lahir memandang, akan tetapi bila mata hati yang telah diberi ilmu dan kebijaksanaan-Nya memandang, maka tak ada pilihan yang membingungkannya, yang ada hanyalah satu, yaitu jalan-Nya. Itulah  Kebenaran (Haqq). Tidak ada baik atau buruk yang terpisah di situ, karena takkan ada kebaikan tanpa keburukan. Sama halnya, dengan takkan mungkin adanya keburukan tanpa kebaikan. Sebegitu relatif-nya batas keduanya, juga sebagai yang saling berketerkaitan dalam sebab-akibat. Dan hanya dapat dipahami melalui hikmah kebijaksanaan yang ada di dalam dada mereka yang telah diberi petunjuk-Nya.
Di dalam dzikr (ingat atau sadar) ada termasuk di dalamnya fikr (olah pikir), dabr (melebur bersama alam) dan syukr (bersyukur). Kesemuanya adalah yang bekerja di dalam hati, dan berguna membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang melekat, sehingga tak terhalang lagi bagi hati melihat hakikat segala sesuatu. Saat itulah Allah menolongnya dengan petunjuk yang menerangi dalam memandang segala hal.
Apa yang sebelumnya adalah keimanan yang harus diyakinya, kini tiada keterpaksaan, hatinya telah melihat apa-apa yang dibentangkan sebagai kebenaran yang nyata, tidak lagi sekedar sebagai yang dipercaya. Kini akal dan kesadarannya benar-benar telah dapat membawa jiwa-nya ikhlas berserah diri (islam) kepada Dia Yang Maha Hidup (Al Hayyu) dan Maha Menghidupkan segala sesuatu. Tidaklah segala kejadian terwujud dan terjadi, kecuali karena telah dikehendaki oleh-Nya.
Ruh-nya Puasa, Zakat & Sedekah
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
Inti makna dari ayat di atas adalah pengorbanan. Itulah jihad akbar, seperti yang dimaksud oleh nabi Muhammad rasulullah SAW. Kepekaan hati-nya lah yang menentukan kapan saatnya berkorban (ber-qurban), yaitu saat Allah meminta-nya.
Dan Dia akan memberitahukan kepada hati yang peka, yaitu hati yang telah ridha dan ikhlas berserah diri (islam) kepada-Nya. Jika Dia telah meminta, maka menjadi wajib-lah hukumnya bagi orang itu untuk melaksanakannya. Tak ada kewajiban bagi mereka yang tidak peka hatinya, namun kebaikan-Nya takkan datang sebagai balasan bagi mereka. Dan mereka termasuk orang-orang yang merugi.
Adalah pengorbanan, sebagai kebajikan yang besar dan sempurna bagi Allah, adalah saat Dia meminta apa-apa yang sangat dicintainya. Seperti Ibrahim AS ketika diminta mengorbankan anak satu-satunya yang baru saja diterima dari Allah sebagai anugerah yang telah ditunggu-tunggunya sejak lama hingga masa tuanya. Lihatlah dan renungkanlah, bagaimana kepekaan hatinya dalam ikhlas berserah diri (islam), ketika menerima mimpi tersebut sebagai kewajiban kepada Tuhannya.
“.... sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (QS 37:102-105)
Dan apa-apa yang diusahakan kemanusiaan mencari dan untuk didapatkan dengan jerih payah sebagai tujuan dalam hidupnya, ternyata adalah sesuatu yang justru harus dikorbankannya. Sebagai yang tidak melebihi kecintaan-nya terhadap Tuhannya. Sedang Tuhannya Yang Maha Kaya tak membutuhkan semua itu dari makhluk-Nya, yang justru membutuhkan adalah sesamanya, yang sama-sama berjuang seperti dirinya untuk mendapatkan semua itu. Pada saat itulah hati yang peka menggerakkan jiwanya untuk bertindak atas nama Tuhannya mau berbagi rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya.
Tetapi diantara mereka ada yang beruntung dan ada kebanyakan yang tidak beruntung. Maka Tuhannya lebih terasa ada pada mereka, yang sedang berdo’a mengharapkan rahmat-Nya turun untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan yang sedang mendera mereka. Sungguh pada hati yang peka yang dapat melihat penderitaan mereka, dan tergerak mewujudkan rahmat Tuhannya datang kepada mereka, sebagai pengembalian yang baik kepada-Nya.

“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Begitu pula, Tuhannya menghendaki agar makhluk-Nya dapat saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, yaitu sebagai wakil-Nya di muka bumi. Maka dengan melalui jalan zakat, infaq dan sedekah adalah selain dapat mensucikan jiwa, juga sebagai penolongnya kelak di kemudian hari.
Karena, harta sesungguhnya adalah energi atau kekuatan yang tersimpan dalam bentuk benda, dan segala sesuatu yang dinafkahkan di jalan Allah adalah tidak musnah, dan tak terbuang dengan percuma, ataupun sebagai yang akan habis tak bersisa. Melainkan berubah bentuk menjadi energi-energi lain yang suatu saat akan kembali kepada pemilik asalnya, sebagai rizki balasan dari Tuhannya.
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:261)

Bagaimana reaksi mereka yang merasa terbantukan atau tertolong tentu telah biasa kita dengar? Tentu, mereka mengucapkan do’a agar Tuhannya memberikan balasan rizki yang berlipat ganda kepada yang telah membantunya. Jangan sepelekan sebuah do’a, dia adalah ruh-ruh yang terus bergerak yang kelak akan mewujud sebagai yang nyata. Itulah energi kekuatan atau ruh dari apa-apa yang dinafkahkan secara ikhlas di jalan Allah. Apa-apa yang ditanam kemudian disertai doa yang tulus kepada Tuhannya.
Begitu pun sebaliknya, harta benda yang didapat dan dinafkahkan pada jalan kesesatan, maka ruh yang menyertainya adalah ruh atau kekuatan iblis yang pasti menyesatkan. Dan sebagai yang kekal terus bergerak di alam dengan segala akibatnya, dan merupakan jejak-jejak sebagai catatan amal perbuatan pelakunya. Begitulah ketetapan Dia sebagai Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, sekecil apapun itu, karena segala sesuatu memiliki energi (ruh)-nya.
Sengaja mengosongkan perut-nya, berpuasa, adalah salah satu cara mengasah kepekaan hatinya dalam melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhannya. Juga dapat melemahkan hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya agar tunduk patuh, dan tidak terus menerus sebagai yang menghasut jiwanya kepada kesesatan. Amal perbuatan yang terus bergerak dari hari ke hari tak pernah lepas dari hasutan pengakuan (ego) dan hawa nafsun-nya, maka dengan banyak berpuasa-lah sebagai yang melindungi jiwa dari hasutan-hasutannya yang tak pernah berhenti hendak menjerumuskan.
Jasad ini adalah harta tak ternilai yang dianugerahkan Allah kepada kemanusiaan, akan tetapi menuruti kehendak jasad pun adalah dapat menyesatkan jiwa-nya. Kecintaan terhadap jasad janganlah melebihi kecintaan kepada Tuhannya. Tak akan ada habisnya jasad ini meminta untuk dipenuhi segala keinginannya. Telah berapa ratus karung beras habis dan masuk ke dalam perutnya selama ini?
Betapa banyak penyakit yang diakibatkan menuruti keinginan perut, dan ketika mengadukan kepada dokter atau tabib, diberikanlah pantangan-pantangan makanan yang tak boleh dilanggarnya. Maka menjadi haram-lah nikmat-nikmat Allah tersebut kepadanya. Jika kepada dokter atau tabib dia mau tunduk, maka sesatlah dia sebagai musyrik bila masih pula tak menyadari kebenaran Tuhannya. Kepada dokter atau tabib itu, dia mengeluarkan uang untuk mendapatkan pantangan-pantangan. Tetapi Allah-lah yang memberikan segala rizki, bahkan yang tak pernah dimintanya sekalipun, malah tak diyakininya segala kebenaran perintah dan larangan-Nya, yang justru adalah menghendaki agar dirinya selalu dalam keselamatan.
Menuruti keinginan perut adalah termasuk yang menuruti keinginan hawa nafsu atau pengakuan (ego), yang sebenarnya juga menyebabkan para aparat (malaikat)-Nya yang semula patuh dan tunduk kepada tugas-tugas membantu kemudahan kehidupan kemanusiaan, berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang justru merugikan kehidupan kemanusiaannya sendiri. Maka penyakit yang datang kepadanya adalah karena ulahnya sendiri yang menuruti hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Begitulah terjadinya kerusakan pada apa-apa yang telah ditetapkan Tuhannya akibat menuruti hawa nafsu ataupun pengakuan (ego)-nya. Semakin dalam penyesatannya, bukan tak mungkin dapat merugikan orang lain pula, maka akibatnya, jiwa pun semakin besar pula menanggung balasannya kelak.
Sebenarnya, segala hawa nafsu itu adalah satu, namun ketika muncul, menjadi beragam dan berkembang. Seperti saat berpuasa dan sambil menunggu berbuka, maka timbullah ingin tersedianya makanan yang digoreng, yang berkuah, ada minuman dingin, juga buah-buahan. Semakin banyaklah yang ada di benaknya untuk persiapan berbukanya. Namun perlu disadari, itulah hawa nafsu yang satu, yaitu lapar.
Seperti itulah hawa nafsu dan pengakuan (ego) menyesatkan setiap diri kemanusiaan. Cepat sekali, tak terasa mengalir di dalam aliran darah, menggerakkan alam pikirnya, bahkan merangsang getaran-getaran saraf kenikmatan, seolah semuanya telah tersaji dan terlihat menggiurkan lengkap dengan bentuk dan warna yang menarik, yang semakin membuat perutnya semakin keroncongan, ingin segera merasakannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
Begitu mudahnya menganggap sesat orang lain, sama mudahnya menganggap suci orang yang lain, dan begitu pula sesungguhnya, betapa mudahnya diri kita tersesat oleh pemahaman kita sendiri akibat hati yang buta.
Ruh-nya Cinta
Pada mulanya ada perasaan yang timbul antara kebingungan dan kekaguman, tentang kepuasan yang mereka dapatkan, yaitu para pencari ataupun para pecinta. Begitulah sebutan kepada mereka yang selalu tak pernah lepas dari mendekatkan diri pada Tuhannya.
 Kehidupan yang dijalaninya terasa damai, tentram dan tak pernah sekalipun terlihat bersinggungan dengan masalah yang, sekali saja, pernah merepotkannya. Juga, tak pernah terdengar keluahan keluar dari bibirnya. Bahkan mereka tidak susah payah bekerja untuk mencari nafkah sampai mengeluarkan keringat, seperti pada umumnya kebanyakan orang. Sepertinya, mereka telah merasa cukup dengan apa yang sekarang ada padanya.
Rahasia apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik kehidupannya tersebut? Sungguh tak menarik minat perhatian, seandainya saja banyak pula orang-orang sepertinya. Tetapi ini, mereka yang seperti ini, adalah satu diantara seribu orang.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Renungkanlah, Dia dengan firman-Nya tersebut diatas, seperti seorang bapak yang sangat menyayangi anaknya dengan mengatakan; jangan bermain api, kalau tidak menurut akan dijewer. Sungguh Dia pun amat menyayangi makhluk-makhluknya, cuma, hanya karena keterbatasan pada diri kemanusiaan dalam memahami, maka timbullah kesan Allah adalah pembalas, pencemburu dan pendendam dengan azab-Nya. Padahal, justru karena rasa kasih-Nya yang teramat dalam kepada kemanusiaan, maka firman-Nya tersebut sebagai pengingat akan bahayanya mencintai yang berlebihan terhadap segala sesuatu, kecuali dengan tulus ikhlas hanya berharap kepada-Nya.
Jika kedekatan rasa dengan selain Tuhan, adalah penghianatan, maka bagaimana kita bisa mencintai pasangan kita, orangtua, anak, saudara, atau bahkan sesama? Maka, cintailah segala sesuatu secara ikhlas dengan atas nama-Nya sebagai anugerah dari-Nya, dan jangan berlebihan dalam mencintai. Karena segala sesuatu, selain-Nya, adalah bersifat sementara dan tidak kekal, akan hilang dan akan pergi meninggalkannya. Ikhlas-nya adalah tanpa mengharap balasan, layaknya seperti mengharap upah. Maka, cukuplah berserah diri (islam) kepada-Nya, karena segala kebaikan yang ditanam tentu akan berbuah kebaikan pula.
Cinta-lah yang membuat segala sesuatu yang lemah menjadi kuat, dan dengan gagah berani mempertahankan keberadaan atau eksistensinya, bahkan menjadi sebab lahirnya keberadaan-keberadaan baru yang lebih sempurna sebagai penerus kehidupan. Dan bersama cinta, maka segala sesuatu menjadi kelihatan dan terasa indah mengagumkan. Sebab cinta adalah ruh-nya keyakinan (iman). Tapi ketahuilah juga, cinta pun memiliki ruh-nya, yaitu ikhlas. Lihatlah para pahlawan, para martir, serta para syuhada dan para nabi yang telah pergi menghilang tetapi jejaknya tertinggal abadi, tak pernah terhapus oleh masa dan lupa.
Dan lihatlah pula, mereka, para pecinta ketika bekerja dan menghasilkan karya yang sempurna dan mengagumkan. Maka bagaimana keadaan mereka si putus asa?
Dan berhati-hatilah juga terhadap cinta palsu, karena tidak jarang pula yang tergelincir oleh hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya sendiri, yang datang memakai topeng cinta kemudian membisikkan kesesatan yang dibungkus kemuliaan dan keindahan. Dia menawarkan jalan singkat yang bengkok dengan merayu dan merangsang hati kepada angan palsu. Bila saja keikhlasan yang sedari awal mengikutinya, ditinggalkan, maka menjadi tergelincirlah ia kepada kesesatan. Inilah antara pemahaman dan angan yang dibatasi hijab yang teramat tipis, sehingga mudah sekali tergelincir menembus masuk ke sisi yang sesat, bila tak lagi bersama ruh keikhlasan-nya.
Ruh keikhlasan tersebut-lah sebagai energi-energi atau para aparat (malaikat)-Nya yang tunduk patuh, sebenarnya yang membantunya tetap dalam jalan lurus-Nya yang membawa-nya sampai kepada tujuannya dengan selamat. Bila keikhlasan ditinggalkannya, dan lebih mengharap balasan atau upah, maka ruh-nya ini, akan berubah pula fungsinya menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang semakin menghasut kepada hasrat-hasrat yang menjerumuskan ke dalam kesesatan yang jauh lebih dalam.
Dengan begitu, Allah tak melarang mencintai apapun yang ada dan telah dikaruniakan sebagai rahmat dari-Nya, namun, asalkan tidak berlebihan dalam mencintainya. Segala sesuatu yang berlebihan akan menyebabkan ketidak seimbangan dari yang telah diciptakan-Nya, yaitu ketetapan-Nya atau sunathullah. Dan akan merusak tatanan universal-Nya pada segala sesuatu makhluk Allah, bukan hanya dirinya sendiri yang akan mengalami kerugian.
Itulah fungsi akal dan kesadaran, sebagai yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan. Karena apa yang dilihat nyata, belumlah tentu nyata sebagai realitanya, seperti fatamorgana. Tetapi yang nyata sebagai realita, sudah pasti ada di dalam yang bathin. Sebab, yang bathin itulah isi (intisari) dari yang terlihat nyata. Inilah yang disebut hakikat.
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....”  (QS 53:5-6)
Sehingga, siapapun yang meremehkan dan meninggalkan akal kesadaran-nya, sesungguhnya mereka melepaskan ikatan-ikatan pengaruh malaikat Jibril dari dirinya, bila seperti itu, maka bersiaplah tersesat karena kebodohan. Karena Jibril-lah sesungguhnya sebagai energi atau kekuatan yang membawa petunjuk dari Tuhannya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Ruh-nya Khayal (Imajinasi)
Di dalam perkembangannya pula, akal dan kesadaran ini memiliki kekuatan kreasi imajinasi pikiran, sehingga keyakinan (iman)-nya dapat menjadi indah atau sebagai yang malah dapat menakutkannya. Seperti imajinasi tentang surga dan neraka sebagai gambaran-gambaran visual di dalam benaknya, tetapi itu masih dalam tahap pertengahan perjalanannya. Dan karena imajinasi sebagai yang terus berkembang, dan hidup dengan ruh-nya pula, maka akan banyak pula petunjuk-petunjuk yang hadir, yang mengarahkan jiwanya lebih mendekati kepada kebenaran sejati. Sehingga yang sebelumnya hanya sekedar keyakinan belaka, kini telah dekat mencapai pintu hakikat kebenaran.
Imajinasi, atau alam khayal, dapat timbul karena adanya usaha memahami keyakinan (iman) menggunakan akal pikiran dan kesadaran-nya. Sehingga, sebenarnya jiwa-nya telah memancarkan (mengeluarkan) energi-nya. Dan sungguh, tak ada energi yang musnah atau sia-sia, melainkan berubah bentuk wujud atau hingga akhirnya sebagai yang memiliki jasad materinya, tetapi tetap memiliki ruh sebagai energi bawaan asalnya. Kelak, energi-energi tersebutlah sebagai ruh-ruh yang mewujudkan secara nyata dalam bentuk materi, persis seperti gambaran imajinasinya semula sewaktu masih dalam alam khayalnya.
Adakah sesuatu yang terwujud tanpa kehendak? Dan sungguh kehendak amat dipengaruhi oleh akal pikir dan kesadaran, serta imajinasinya. Bila bukan dirinya yang mewujudkan, bisa saja energi ruh yang telah terpancar tersebut akhirnya hinggap kepada mereka yang dapat mewujudkannya secara nyata atau fisikal, setelah ada transfer energi atau transfer kekuatan pengetahuan dan pemahaman-nya. Ada pula yang memakai istilah, seperti mencuri ide atau mencuri pikiran.
Bagaimana mungkin seseorang bingung dengan lalat dan unta, bagaimana ia dijadikan? sementara semesta alam pun telah ada di dalam dadanya. Maka barangsiapa yang pandangannya terbatas dan berhenti kepada hanya mengagumi keindahan jasad atau bentuk, sesunguhnya akal dan kesadaran-nya telah mati. Dan hatinya telah beku, tak dapat jauh masuk kepada yang bathin, dimana hakikat tersembunyi bersama rahasia segala sesuatu. Justru pada hakikat tersebutlah jiwa telah berada di halaman arsy-Nya.
Diri kemanusian yang penuh cinta, sungguh hatinya kaya akan imajinasi yang menakjubkan. Bathinnya pun kuat bersama keyakinan (iman)-nya bersama keikhlasan akal dan kesadaran-nya. Setiap pikirannya telah memiliki gambaran sebagai petunjuk yang menjelaskan dari Tuhannya. Dia memahami seperti seorang arsitek memahami dari gambar-gambar rancangannya.
Begitulah pentingnya fungsi akal dan kesadaran, dimana Allah menyempurnakan kemanusiaan dengan-nya, sebagai fitrah atas segala kehendak-Nya. Dan khayal atau imajinasi adalah bunga-bunga dengan aneka warna yang indah di dalam akal kesadarannya. Bila tanpanya, kering dan membosankan, serta takkan ada tercipta keindahan yang sempurna dari makhluk ciptaan-Nya.
Akal dan kesadaran adalah bagai sepasang sepatu yang mengantarkan setiap jiwa menuju sampai ke pintu-Nya, maka kemudian setelah menanggalkannya, baru dapat masuk menemui-Nya. Malaikat Jibril (ruhul qudus) tak dapat terus masuk mengantar nabi Muhammad SAW saat mi’raj di Sidratul Muntaha, “cukup sampai di sini, aku tak dapat masuk lagi, teruslah masuk menemui-Nya.”
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas ,.....”  (QS 53:5-6)

Kekuatan akal dan kesadaran tak sanggup (tak berguna) lagi, karena yang bisa menemui-Nya hanyalah keberserahan diri yang tunggal murni tanpa membawa embel-embel apapun untuk menghadap Allah Yang Maha Tunggal. Dia, Sang Realitas Sejati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar