Kamis, 06 Juni 2013

Bab XIV - LURUS (HUNAFA)




Bab XIV
LURUS (HUNAFA)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama qayyimah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”,
(QS 30:30)
K
embali kepada jalan yang lurus (sirathal mustaqiim) adalah upaya perbaikan setelah menyadari telah tersesat jalan, agar tidak semakin jauh tersesat. Memposisikan kembali diri (jiwa) ini pada jalan asal yang lurus, yaitu agama. Jalan yang membawa setiap insan kemanusiaan kepada kebenaran, kebaikan, serta keselamatan. Itulah nikmat sejati dari Tuhan, dan bukan jalan mereka yang sesat serta berbuat kerusakan.
Bukan agama-agama lain yang salah dan sesat, tapi justru diri-diri (nafs) kemanusiaannya sendiri yang telah disesatkan iblis, akibat pengakuan (ego) yang merasa paling benar dan suci sendiri. Tidak menyadari, bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah keturunan Adam, yang disempurnakan Tuhan dengan anugerah-anugerah sebagai manusia pertama, rasul pertama, khalifah pertama, serta ilmu. Bahkan malaikat-pun diperintahkan-Nya sujud (tunduk) kepadanya. Akan tetapi juga bukan berarti dia dapat terhindar dari kelalaian yang menyesatkannya melalui pengakuan (ego) akibat anugerah-anugerah tersebut.
Dengan agama-lah maka mengembalikan insan kemanusiaan untuk selalu meluruskan jalan kehidupannya yang mudah sekali terjerumus pada kesesatan yang merugikan dirinya sendiri. Sedangkan agama adalah jalan atau aturan yang telah tetap dari Tuhan yang Maha Memelihara seluruh makhluk, diturunkan dari Tuhan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi kehidupan, untuk meluruskan kembali bagi mereka yang telah keluar jalur kebenaran dan keselamatan. Semua agama memberi petunjuk kepada kebenaran dan keselamatan yang sejati dari Tuhannya.
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS 3:101)
Tiada yang paling benar. Yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Benar, sedangkan hanya Dia-lah yang menurunkan agama-agama melalui kitab-kitab suci (yang telah kita bahas pada uraian keimanan) yang wajib diimani atau diyakini setiap insan kemanusiaan. Hak kemanusiaan adalah hanya menerima kehidupan dan menjalankan apa yang diperintahkan serta menghindari apa yang dilarang Tuhannya. Sedangkan hak menghukum (sesat atau tidaknya) adalah hak Allah, sebagai Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Janganlah tergoda pada keindahan anugerah-anugerah dari Allah, karena disitu pulalah iblis mengutus setan untuk menjerumuskan kepada kesesatan.
Ingatlah segala sesuatu yang datang berupa rahmat atau anugerah dari Allah, begitu sampai di alam, sampai pada diri-diri kemanusiaan, maka akan dipandang dan dinilainya dalam dua hal. Yaitu kebaikan dan keburukan. Jangankan agama yang diturunkan-Nya yang masih memerlukan penafsiran mendalam, pada cahaya matahari saja maka kita sebagai manusia di bumi, akan menilainya sebagai terang dan gelap. Terang karena tinggal di daerah yang terkena cahaya matahari, dan bagi yang tinggal di belahan bumi yang lain, dengan saat dan waktu yang sama, yang diterimanya adalah kegelapan.
“Dan Dia menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang lamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangatlah zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS 14:33-34)
Begitu juga hujan sebagai rahmat yang diturunkan-Nya dari langit, diterima sebagai nikmat rahmat dari Tuhannya karena kebutuhannya, tetapi bagi mereka yang tak membutuhkannya dapat dirasakannya sebagai musibah atau bencana. Seperti para penjual es, misalnya. Atau mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, tentu ketakutannya akan menyelimuti kedatangan rahmat tersebut.
Tidaklah ada sedikitpun keburukan segala yang datang sebagai rahmat anugerah Tuhan, harus disadari sebagai amanah yang masih perlu dikelola dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Dan sesungguhnya, segala yang datang dari-Nya adalah merupakan rahmat kebaikan, akan tetapi kemanusiaan selalu menilainya berdasarkan keinginan dan kebutuhannya, sehingga akan dinilainya sebagai kebaikan atau keburukan. Bila tak sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka akan dinilainya sebagai keburukan, dianggapnya Tuhannya sedang menguji atau mengazabnya dengan keburukan. Akan tetapi, bila yang diterimanya sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka dianggapnyalah sebagai kebaikan, bahwa Tuhan memberi karunia dan anugerah kepadanya. Begitulah diri-diri kemanusiaan yang lebih cenderung memaksakan apa-apa yang dianggapnya benar, bahkan kepada apapun yang datang kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya, semuanya adalah rahmat kebaikan dari Tuhannya.
Kita akan merasa pas dan benar bila apa yang kita pakai atau gunakan terasa nyaman, tenang, serta tentram. Seperti pada pakaian yang kita pakai. Bayangkanlah, andai kita memaksakan pakaian tersebut untuk dipakai pula kepada orang lain, sekalipun dengan harapan orang tersebut dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan ketentraman yang sama dengan kita. Bila tetap dipaksakan, maka kita telah tiada perduli lagi akan kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) terhadap dan bagi orang lain.
Menyadari kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) adalah sebagai hal yang relatif bagi masing-masing individu yang mutlak dan azasi sebagai hak dasar kemanusiaan. Bila tanpa memandang lagi norma-norma kepantasan dan kebenaran, maka akan terjadi ketidak seimbangan atau pun kerusakan bila hal ini sebagai yang tetap dipaksakan. Relativitas yang hendak diseragamkan adalah hanya akan menyebabkan kesia-siaan belaka. Bukan kebaikan yang akan didapatkan, malah kerusakan yang ada.
Berlaku lurus sebagai perwujudan akhlak mulia yang keluar dari dalam diri berupa kesucian dan kebenaran sejati yang telah ditanamkan Tuhannya sebagai anugerah kepadanya serta keluar sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya, dalam bentuk rahmat bagi sesama insan kemanusiaannya serta makhluk lain di sekitarnya. Agama telah lurus, justru hanya kepada setiap insan kemanusiaannya-lah diharapkan kembali meluruskan amal perbuatannya sesuai jalan lurus yang terdapat serta terpapar jelas di dalam petunjuk-petunjuk setiap keagamaan, yaitu meluruskan segala ucap-nya, meluruskan niat (tekad)-nya, juga meluruskan lampah (amal perbuatan)-nya. Lurus sesuai dengan jalan lurus yang telah ditetapkan dalam norma-norma agama, masyarakat (adat), hukum negara, bahkan hak azasi kemanusiaan, agar memperoleh keselamatan hidup baik kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Meluruskan Ucap
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS 61:2-3)
Ucap yang keluar dari mulut adalah sebagai cerminan apa yang ada di dalam dada. Menjaganya agar yang keluar tidak dikotori oleh kesesatan yang dapat merusak yang mendengarnya. Dengan mensucikan yang berada di dalam dada maka juga akan mesyucikan pula yang akan keluar dari mulut. Ucap ini melibatkan banyak para malaikat (lihat kembali pembahasan iman kepada malaikat), yang merupakan energi suara atau bunyi yang dihasilkan dari energi-energi lainnya. Di dalam tubuh dari mulai energi makanan yang masuk sebagai konsumsi, kemudian dirubah menjadi banyak energi, seperti energi panas, energi gerak, energi listrik statis (dalam berpikir), energi suara atau bunyi dan lain sebagainya. Energi-energi tersebut tidaklah akan musnah, melainkan hanya berubah bentuk.
 Ucap sebagai kata-kata, ucap sebagai pembicaraan, ucap sebagai berita, ucap sebagai janji, ucap sebagai penghibur, dan ucap sebagai perintah. Ucap-ucap tersebutlah yang perlu diluruskan karena bersinggungan langsung dengan sesama insan kemanusiaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ungkapan seperti, lidah setajam pedang dan mulut-mu adalah harimau-mu, merujuk kepada betapa berbahayanya ucap yang tak terjaga.
Ungkapan bahwa fitnah adalah perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Yang sebenarnya adalah pembunuhan terhadap karakter diri seseorang, melalui ucap yang tak terjaga, tanpa dasar, dan tak dapat dipertanggung jawabkan. Ini adalah perbuatan yang amat tercela, pengecut, dan hina. Dunia politik tidak akan pernah terlepas dari perbuatan ini. Kejam tanpa rasa belas kasih. Tiada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Ungkapan tersebut adalah kemunafikan sejati. Tetapi mengapa banyak diri yang tak menghindarinya, bahkan berani berkecimpung di dalamnya dengan tetap mengatas namakan kepentingan rakyat banyak.
Ucap diobral seperti semakin tak ada harganya. Kepentingan yang utama, janji tinggal bagaimana nanti saja. Seakan tiada lagi rasa malu bila tak dapat menepatinya, demi sebuah keinginan ataupun ambisi. Seperti jabatan atau kekuasaan sementara. Seolah-olah, kelak, jabatan atau kekuasaan tersebut tiada akan diminta pertanggung jawabannya. Ini karena penyesatan iblis yang membuat jabatan atau kekuasaan tersebut sebagai yang elite, prestise, dan bergengsi tinggi. Tidak lagi merupakan amanah. Jabatan seperti lambang kemuliaan tertinggi, yang dikejar-kejar seperti layaknya bisa dibeli. Padahal, jabatan yang dibeli kelak akan menjerumuskan diri-nya. Tidak dipahaminya, bahwa jabatannya tersebut adalah anugerah yang juga harus dipertanggung jawabkan.
Kemudian seperti iklan produk konsumtif, banyak hal yang dilebih-lebihkan agar produknya laku. Bahkan menggunakan ustad dan da’i-da’i kondang sebagai bintang iklannya, tidak lagi memikirkan efek negatif bagi kehidupan sosial umat yang semakin konsumtif, dan belum lagi buat produk yang dari segi kesehatan amat meragukan. Kedua hal tersebut, baik ambisi kepada jabatan dan ambisi kepada keuntungan dari produk iklan, tidak lagi memandang baik-buruknya pesan yang disampaikan sebagai kebohongan kepada publik. Bahkan hal ini lebih dilegalkan lagi dengan berdirinya lembaga pendidikan ataupun kursus-kursus yang berhubungan dengan komunikasi massa yang tidak lagi mengedapankan aspek kebenaran dan kejujuran sebagai norma yang harus dijunjung tinggi, melainkan target yang dikejar.
Itulah yang sekarang dikejar banyak diri kemanusiaan, berani dengan mengeluarkan biaya berapapun, tanpa berpikir resikonya kelak di kemudian hari. Tanpa menyadari, bahwa amanah besar tentu memiliki resiko konsekuensi yang besar pula sebagai pertanggung jawabannya.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba (tamak) kepada kehidupan (di dunia), bahkan lebih (loba atau tamak lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:96)
Bagaimana tidak rusak negri ini, bahkan untuk menjadi pegawai negri saja, yang dengan gaji standar, ada pula yang harus menyuap. Dari posisi puncak hingga birokrasi di tingkat bawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya adalah rasa materialistis ikut pula meninggi. Sehingga segala sesuatu akan dinilai pada materi, bukan lagi kepada rasa tanggung jawab dan pengabdian, jangankan sebagai abdi Tuhan, sebagai abdi negara, abdi rakyat, ataupun abdi umat saja sulit. Sungguh kehidupan yang sangat tidak sehat, berpenyakit dan meluas ke segala aspek, dan semakin kronis lama-kelamaan.
Sungguh memprihatinkan akibat dari ucapan-ucapan yang diobral para munafik politik dan saudagar munafik di negri ini. Apalagi bila ada saudagar yang amat berambisi pada kekuasaan politik kenegaraan. Ucap munafik yang awal akan disusul kemunafikan berikutnya untuk menutupi kemunafikan sebelumnya. Begitu terus-menerus, semakin memperparah keadaan.
Pengakuan (ego) pula kembali yang membuat rusaknya kehidupan tersebut. Karena ucap-Nya diakui sebagai milik-nya. Siapa yang sesungguhnya memberikan anugerah kepadanya untuk dapat berucap atau berkata-kata? Siapa yang sesungguhnya menganugerahkannya tenggorokan dengan pita suara, lidah, dan mulut? Bahkan tenaga untuk berucap? Bila ini disadari, masih beranikah menyalahgunakan ucapnya dari amanah yang telah dianugerahkan kepadanya?
Kembalilah kepada jalan lurus yang telah diamanatkan yang sesungguhnya akan diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sekecil dan sesepele apapun ucapnya memiliki buah yang akan dituai kelak dikemudian hari sebagai pertanggung jawabannya. Atau, yang jauh lebih penting untuk di sadari, adalah seberapa besar akibat dan dampak baik maupun buruknya segala apa yang diucap bagi kebanyakan orang lain.
Ucap yang diaku sebagai ucap-nya, yang diaku karena daya kekuatan-nya, yang diaku karena pengetahuan atau ilmu-nya, maka kelak diri-nya sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, diri-nya, bukanlah yang memiliki atau menguasai alat atau organ pengucap. Jangankan memiliki atau menguasainya, mengetahui keberadaan dan fungsi-fungsi organnya tersebut pun tidak. Juga bukan diri-nya yang memiliki pengetahuan atau ilmu sehingga dia dapat bereaksi dengan pengucapannya. Ilmu dan pengetahuannya pun hanyalah karena kemurahan Tuhannya memberikan petunjuk kepadanya.
Keinginan mengucap pun adalah karena kehendak Tuhannya. Bagaimana rasanya memiliki keinginan mengucap, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya? Dimana ada kekuasaan yang menahan geraknya untuk dapat berucap. Yaitu, ketika Tuhannya menahan emosi amarahnya saat sedang berpuasa, misalnya. Atau juga, karena yang dihadapinya adalah seorang anak kecil yang belum mengerti. Begitulah sesungguhnya Tuhannya menguasainya. Sesungguhnya Dia-lah yang meliputi segala sesuatu dengan kuasa, kemurahan, perlindungan dan pemeliharaan-Nya.
Bila tidak dimulai dari masing-masing individu untuk berusaha meluruskan kembali kepada agamanya, tentunya kehidupan bernegaranya akan semakin sakit, yang juga pasti akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai keluhan-keluhan yang menyulitkan. Kita pula yang ikut menentukan keterpurukan kehidupan anak cucu kita kelak, bila tak segera meluruskan kembali kehidupan diri masing-masing kita.
Meluruskan Niat (Tekad)
“...... Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.....” (QS 2:284)
Begitupula kepada niat atau tekad, tidak terlepas sebagai amanah yang dianugerahkan Tuhan untuk dipakai dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, juga sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya kelak dikemudian hari. Niat sebagai yang akan keluar dari dirinya berupa amal perbuatan, sesungguhnyapun adalah akibat dari apa yang datang kepadanya, sehingga amat bergantung kepada kesadaran rasa yang ada padanya. Yaitu penilaian baik atau buruknya terhadap apa yang datang kepadanya, maka respon keluarnya pun akan menentukan kebaikan atau keburukan amal perbuatannya. Meluruskannya adalah dengan membersihkan dari segala hawa keinginan yang selain hanya dan kepada Allah semata.
Terkadang niat atau tekad awal, telah baik dan benar, akan tetapi dalam perjalanannya masuklah godaan setan sebagai yang diutus iblis, membuat kesesatan menjadi dipandang indah memukau, sehingga merubah kelurusan niat awal dan menjerumuskannya kepada perbuatan sesat. Sebelum terlambat terjerumus, maka segerakan meluruskannya kembali agar tiada sesal dikemudian hari. Ini akan berhubungan erat sekali dengan pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian wayuqimusshalat dan wayutuzzakata. Yang sebenarnya dapat menghindarkan diri dari terjerumus kepada kesesatan akibat bujuk rayu iblis yang intensitasnya amatlah sering, disetiap saat dan kesempatan tanpa pernah merasa lelah.
Niat yang berasal dan bersumber dari dalam hati, amat dipengaruhi oleh tingkat kebersihan hati itu sendiri. Bila di dalam hatinya terdapat kekotoran hawa nafsu, maka jelas niatnya akan membawa pula kekotoran hawa nafsu tersebut kedalam amal perbuatannya. Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang dapat mengotori hati kepada niat yang tidak lagi keluar dalam kemurnian atau keikhlasan amal perbuatan. Pada saat itulah telah ditetapkan surga dan nerakanya kelak sebagai yang akan dituainya di hari kemudiannya.
“.... Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS 13:19-21)
Menjaga niat agar tetap dalam keadaan lurus dengan berlindung kepada Tuhan (ta’awudz), dan mengingat Dia yang tiada putusnya, serta mensucikan setiap keinginan yang selalu bersih dari bujuk rayu setan yang selalu menngoda. Pada umumnya, niat awal adalah baik dan benar, akan tetapi diperjalanannya sering melenceng dari arah semula. Bahkan bujuk rayu iblis selalu masuk dari pintu-pintu pengakuan (ego), sebagai unsur yang paling lemah atau rentan dari sifat kemanusiaan.
Tidaklah jarang pada ibadah pun setan masuk menggoda, seperti dalam ibadah mengerjakan shalat, niat yang telah terucap adalah lillahi ta’alaa, dan mengakui dengan ikhlas bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, serta matinya adalah karena dan untuk Allah pemilik semesta alam, juga mengakui yang pertama berserah diri. Akan tetapi, masih di dalam shalatnya, terbayang-bayang pekerjaan yang masih menumpuk untuk segera diselesaikan, atau hal-hal dunia lainnya yang sungguh membuat niat dan keikhlasannya menjadi tidak mempunyai arti sama sekali. Belum lagi, amal perbuatan setelah shalat, yang menyimpang jauh dari makna shalat-nya. Shalat terus dilakukan, maksiat pun jalan terus.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Shalat yang tak terjaga kelurusannya, yaitu dari niatnya, kemudian kepada mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatannya yang menjadi tidak lurus lagi, berbuat riya (pengakuan) dan enggan memberi bantuan kepada sesama. Celakanya lagi, hal tersebut oleh Allah disebut sebagai perbuatan mendustakan agama. Jelas itupun mendustakan Tuhannya. Inilah kemunafikan yang nyata, tetapi tak disadari banyak insan kemanusiaan dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan.
“..........sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (islam).
 (QS 6:162-163)
Kemunafikan yang tak disadari ini, apakah dikarenakan tidak memahami makna shalat dan tidak pula memahami makna ayat tersebut di atas? Dan jika demikian adanya, maka jelaslah bahwa pengakuan (ego) masih melekat pada hatinya, sehingga mudah sekali melupakan janjinya kepada Tuhannya dalam setiap shalatnya. Pengakuan (ego) yang melekat kuat di hatinya inilah yang menutupi kesadaran (ingat)-nya pada janji-janji kepada Tuhannya sebagai orang yang pertama-tama berserah diri (islam) secara ikhlas dalam setiap shalat, ibadah, hidup dan matinya.
Itulah lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu lurus dalam ucapnya ketika di dalam shalat sebagai niat-nya, dan lurus pula yang dikeluarkan dalam amal perbuatannya. Sungguh tak pantaslah kita bersikap munafik kepada Allah Yang Maha Mengetahui, bahkan mengetahui segala isi di dalam hati seluruh makhluk-Nya. Tiadalah yang dapat luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya yang meliputi segala sesuatu sekalipun tersembunyi di dalam kedalaman hati yang paling dalam.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban. (QS 17:36)
Bila demikian adanya, maka keimanannya perlu diperkokoh kembali. Bagaimana mungkin melakukan shalat tetapi tak memahami maknanya, tak memahami untuk apa melakukannya, juga tak memahami kepada siapa sesungguhnya pengabdiannya ditujukan.
Tidak hanya pada shalat, melainkan juga ibadah-ibadah, kehidupan dan kematian-nya pun sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya, karena itu, seperti penjelasan ayat di atas, bahwa segala sesuatu harus dipahami dulu maknanya, baru mengerjakannya, sehingga akan lebih berserah diri (islam) secara ikhlas kepada Dia yang menghendaki diri-diri kemanusiaan menyadari fitrah-nya. Yaitu, sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn.
Meluruskan Amal Perbuatan (Lampah)
Bila pada ucap dan niat telah berada pada kelurusan, yaitu kebaikan dan kebenaran, maka tinggal membuktikan kepada amal perbuatannya. Dapat pulakah lurus seperti pada ucap dan niatnya yang merupakan lebih seperti janji yang perlu dibuktikan kenyataannya?
Perbuatan yang lurus adalah perbuatan yang menjadi rahmat bagi sesama. Dan menyadari bukan pula diri kita yang sebagai pemilik rahmat, melainkan Allah-lah sesungguhnya sebagai pemilik rahmat yang menganugerahkannya kepada diri kita, dan kemudian merupakan kewajiban  menyebarkan kembali ke sesama sebagai wujud rasa syukur atas nikmat anugerah-Nya.
Amal perbuatan yang didasari selalu ingat kepada Allah dan kesucian atau kemurnian (ikhlas) pasti akan membuat amal perbuatannya tetap berada pada jalan lurus, yaitu sesuai agama sebagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Maka keselamatan akan selalu mengiringi setiap langkah dalam amal perbuatannya. Allah akan mengingat mereka yang ingat dan ikhlas kepada-Nya, sehingga amal perbuatannya akan selalu terjaga dan terlindungi dari bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan kepada amal perbuatan sesat, dikarenakan Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan Pemelihara.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Upaya penyesatan yang dilakukan iblis dengan bujuk rayunya, tidak akan berpengaruh kepada mereka yang ikhlas dalam amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah karena mereka selalu mengingat dan diingati Allah. Orang-orang yang telah ikhlas (mukhlisiin) adalah orang-orang yang telah diimunisasi, dan telah kebal dari pengaruh penyesatan iblis, maka tiada penyakit di hatinya.
Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri kemanusiaan (terutama yang ikhlas), dia hanya merangsang angan-angan keinginan diri atau jiwa. Dikuatkannya keinginan tersebut melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada jiwa-jiwa kemanusiaan yang berpaling dari jalan Allah yang lurus. Karena itu diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya, agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan dirinya.
Bila kita mengalami bencana atau musibah yang telah menyusahkan diri atau jiwa kita, maka berkacalah terhadap amal perbuatan yang telah lalu. Bila telah menemukan kesalahan-kesalahan tersebut, bersyukurlah. Yang pertama, karena telah diberi ingatan untuk menyadari kesalahan sehingga mendapatkan pelajaran untuk tak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Yang kedua, kita telah diberi kesempatan menebus kesalahan tersebut sebagai hisabnya, yaitu dengan mengalami musibah ini. Yang ketiga, adalah karena kita masih diberi kesempatan untuk mencapai insan yang sempurna.
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (QS 75: 2-3)
Kesalahan dalam amal perbuatan buruk merupakan penyesatan iblis, dalam banyak kasus, bukan tidak mungkin bila kita tersesat maka akan membuat kita semakin tersesat lebih jauh lagi, bila tak segera menyadarinya. Karena itu bersyukurlah bagi mereka yang telah dapat menyadari kesalahannya, agar tak semakin salah. Kesalahan yang semakin bertumpuk sungguh amat berat hisab-nya.
Betapa nikmatnya hidup di dalam kehidupan lurus yang tak tertuntut keinginan dan kebutuhan yang berlebihan dari yang semestinya diterima. Ketahuilah, kelebihan yang dipaksakan di satu sisi akan menjadi yang mengurangi pada sisi lainnya, sebagai keseimbangan yang telah ditetapkan (sunathullah)-Nya.
Lihat dan perhatikanlah, diri yang menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Orang-orang seperti inilah yang menolak kejahatan dengan menggunakan kebaikan, maka iklim kehidupan pun menjadi sejuk, serta membawa ketenangan, kedamaian, dan ketentraman kehidupan bersama.
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)

Orang seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda atau makhluk lainnya adalah makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Sebagai rahmatan lil’aalamiiyn.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar