Jumat, 14 Juni 2013

BAGIAN 5 - AHAD




BAGIAN 5
AHAD


Bab  XXIV
SEMESTA ALAM
Sebagai Perwujudan ALLAHU AKBAR
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS 41:53)
A
da banyak cara dalam mengenal Allah, malahan tak terhitung banyaknya, sebanyak wujud-wujud di semesta alam raya ini, yang sesungguhnya adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Akbar. Alam raya adalah tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan segala macam kesempurnaan tanpa cacat dari ciptaan-Nya tersebut adalah sebagai bukti Maha Sempurna-Nya Dia sebagai Sang Khalik.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat).”   (QS 67:3)
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Pernah suatu kali, ketika sedang asyik menggambar, keponakan kecil datang menghampiri dan bertanya, “sedang gambar apa Om?” Dan ketika dijawab, “rumah...” Sambil kebingungan dia pun berkomentar, “mana rumahnya... Kok gambar rumah seperti itu?!” Karena yang dia lihat hanya gambar denah lantainya.
Seperti itu pulalah kita ketika berusaha memahami semesta alam ini ketika berusaha memahami makna ayat 115 surah al Baqarah (2),
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:115)
Maka kebingungan sendiri mencari-cari dimana wajah Allah, seperti keponakan kecil tadi kebingungan mencari-cari wajah (gambar) rumah. Semesta alam ini yang kita lihat melalui mata kita adalah sebagian kecil dari perwujudan Allahu Akbar. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah penulis itu sendiri, tentunya.
Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tidak berhinggaan termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya, apalagi wujud atau wajah-Nya.
Allah meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia, sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya saja. Maka Dia-lah Yang Maha Akbar untuk dapat diketahui ataupun didefinisikan melalui sifat keterbatasan makhluk.
Allah  bersifat Qidam, yaitu pendahulu. Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist). Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dengan begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal.
Begitulah sebagian kecil yang dapat diketahui tentang-Nya dari ketidak berhinggaan pengetahuan tentang Dia. Itupun karena diberitahukan oleh-Nya melalui Al Qur’an.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Kali ini, kita akan berusaha lebih mengenal-Nya melalui surah al Fatihah, karena selain surah ini sebagai inti sari Al Qu’an yang sungguh amat luas makna yang terkandung di dalamnya. Juga, al Fatihah ini sebagai surah yang telah banyak dihafal dan diketahui kemanusiaan, karena sebagai surah yang paling banyak dibaca setiap harinya secara berulang-ulang. Bahkan tak sedikit mereka yang di luar muslimin telah mengetahui surah ini, sekalipun tanpa memahami maknanya.
Makna-makna yang terkandung, atau dapat dikatakan pula sebagai penafsiran, sesungguhnya amat luas dan takkan cukup bila kita hendak membahasnya secara lengkap dan mendetail. Sekalipun apa yang akan kita urai tak lengkap dan mendetail, akan tetapi paling tidak, dapat mengarahkan pemahaman kita untuk lebih dekat lagi kepada kebenaran-Nya. Dan semoga Allah melapangkan dada kita dalam menerima setiap hikmah petunjuk-Nya.
Nama-Nama Allah
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.”
 (QS 1:1)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah). Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang.
Di dalam al Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nama terbaik).......  (QS 17:110)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk, yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara, mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
1.        Menyebut Nama-Nya sebagai Yang Mengingat DIA
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
 (QS 2:152)
Basmallah, adalah istilah yang dipakai untuk menyebut nama Allah dalam setiap hendak melakukan aktivitas gerak pekerjaan atau gerak amal perbuatan. Bahkan dipercaya, bahwa setiap perbuatan yang tidak didahului oleh basmallah, akan mengalami kecacatan atau tak mencapai kesempurnaan pada hasilnya. Sekalipun telah melalui perencanaan dan persiapan segala sesuatunya dengan matang, maka tetaplah akan mengalami kecacatan pada hasilnya. Mengapa dapat seperti itu?
Sebenarnya, kita sempat mengulas panjang lebar (pada kitab-kitab sebelumnya, pada kitab Keimanan, Agama, Berserah Diri, Lahir & Bathin, serta Kitab Hikmah) mengenai bahayanya pengakuan (ego) sebagai yang menyelimuti dan menutupi pandangan mata hati kita kepada petunjuk Tuhan, yaitu kebenaran. Dengan begitu, jangankan hendak mendapatkan hasil yang sempurna, dalam perjalanan pelaksanaannya pun tentu akan menemui dan mengalami kesalahan-kesalahan yang dianggapnya sebagai kebenaran.
Pengakuan (ego)-nya adalah kotoran hati, yang karena dengannya diri kemanusiaan menjadi lupa kepada siapa sesungguhnya yang bekerja, yang memberi kekuatan tenaga,  ilmu dan rizki kepadanya, yang memberikan pengetahuan untuk merencanakan. Dan karenanya pula semakin lagi dapat disesatkan kepada keserakahan dan ketamakan yang hendak mendapatkan hasil sebesar-besarnya, melupakan andil yang lainnya yang telah ikut membantunya bekerja.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Basmallah, paling tidak dapat mengingatkan jiwanya akan keterikatan dan kebergantungan dirinya kepada Tuhannya sebagai Penguasa alam, Penguasa segala sesuatu, dan Penguasa hari kemudian yang menentukan hasil gerak pekerjaannya. Bila telah selalu ingat kepada Tuhannya, maka kesadarannya akan selalu terjaga.
Bukan takut kepada balasan azab Tuhannya, bukan pula takut neraka dan menjadi mengharap surga, tidak pula untuk dipandang baik dan mulia oleh orang lain, melainkan lebih menjaga kesadarannya pada fitrah diri-nya sebagai wakil Tuhannya di bumi, sebagai yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Hanya Allah-lah pemilik nama-nama terbaik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama terbaik-Nya tersebut dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.  (QS 7:180)
Sebuah nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.
Mengingat adalah selalu menjaga kesadaran jiwa bahwa sesungguhnya Allah mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu sibuk dengan pekerjaan maupun di waktu senggang, atau bahkan sekalipun di waktu setelah shalatnya. Karena kuasa Dia tak terbatasi oleh ruang dan waktu, begitupun dengan rahmat-Nya. Setiap geraknya pun karena rahmat Tuhannya yang memberikan kekuatan. Ingatnya pun karena rahmat petunjuk-Nya.
Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami dan menjaga setiap gerak amal perbuatannya agar tidak lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari ingatnya kepada Tuhannya. Amal perbuatan yang merefleksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Kesadaran adalah suatu kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.”  (QS 33:41)
...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (QS 2:198)
Kesadaran dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Pada hati yang sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”. Menjadi hal yang tak mungkin.
Kesadarannya ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas, yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin.  Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran (bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini, ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Menyadari kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan  jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut. Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)
Begitulah kemurahan Tuhannya Yang Maha Pemurah, melapangkan dada mereka yang selalu berusaha mencari keberadaan realitas sejati Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya berkuasa, mengurus dan memelihara segala sesuatu di semesta alam ini.
2.        Nama sebagai Sifat Allah
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......
(QS 17:110)
Ar Rahman, Yang Maha Pemurah, dari sifat Maha Pemurah-Nya ini maka sifat-sifat terbaik lainnya menjadi ada untuk di alam, yaitu bagi seluruh makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat kasih-sayang (ar rahiiym). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat menguasai (al malik). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat suci atau bersih (al qudus). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat tidak kekurangan (as salaam). Dan selanjutnya pada sifat-sifat lain-Nya yang masih banyak lagi.
Nama-nama terbaik (asma’ul husna)-Nya adalah penisbahan kepada sifat-sifat Allah, sesungguhnya dapat dijadikan indikator oleh kita, telah sejauh mana sifat-sifat ketuhanan tersebut mewujud pada kemanusiaan kita. Naluri ketuhanan inilah sebagai tingkat kesalehan dan ketakwaan seseorang. Sesungguhnya yang mulia di sisi (di mata) Allah adalah mereka yang takwa.
Bila diri kita hendak menyadari dan hendak mencapai kesalehan serta ketakwaan, yaitu yang dimuliakan oleh Allah Yang Maha Mulia, maka awalilah oleh diri kita dengan mewujudkan sifat sebagai menjadi yang pemurah dengan ikhlas, sehingga sifat-sifat terbaik dan terpuji lainnya akan mengalir dengan sendirinya karena rahmat petunjuk Allah Yang Maha Pemurah, Ar Raahman.
Kemurahan-Nya sungguh adalah rahmat-rahmat yang tak terhitung jumlah dan luas-nya, seluas langit dan bumi. Begitulah sesungguhnya rahmat Allah sebagai perwujudan sifat-Nya, sehingga Dia disebut Akbar, Yang Maha Besar dan Maha Luas, serta Maha Agung dengan segala sifat-Nya. 
Sifat-Nya sebagai Yang Maha Pemurah, maka timbullah sifat penyayang-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Penyayang (Ar Rahiiym). Kemurahan-Nya pula maka timbullah sifat kuasa sebagai Yang Maha Kuasa (Al Malik), kekuasaan-Nya harus ada untuk menyampaikan segala kemurahan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Timbul pula sifat suci Dia sebagai Yang Maha Suci (Al Quddus) dari kekuasaan yang tidak adil dan tidak bijaksana. Karena itu pulalah maka timbul pula sifat Dia Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana (Al ‘Adl dan Al Hakiym). Karena Maha Adil dan Maha Bijaksana-Nya maka Dia haruslah memiliki pengetahuan sebagai Yang Maha Mengetahui (Al ‘Aliym). Begitulah seterusnya seluruh nama-nama yang dinisbahkan kepada seluruh sifat-Nya, hingga tak terhitung banyak dan luasnya sesuai dengan tak terhitung luas dan banyaknya anugerah kemurahan-Nya.
Nama dan sifat adalah seperti satu sisi dari dua sisi mata uang logam, sementara Dzat-Nya ada pada sisi lainnya, keduanya sebagai yang selalu berlekatan tanpa pernah terpisah. Nama dan sifat merupakan sisi zhahir-Nya sebagai yang mewujud di alam, sedangkan Dzat-Nya merupakan sisi bathin-Nya yang tak terlihat oleh seluruh penglihatan mata makhluk-Nya.
3.        Seluruh Nama-Nya adalah Ilmu & Pengetahuan
Nama-nama Dia juga selain sebagai menunjukkan sifat-sifat Allah, ternyata juga adalah merupakan ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui (zhahir) maupun yang belum diketahui (bathin atau ghaib).
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,....  (QS 2:31)

Mereka (para malaikat) menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.  (QS 2:32)
Adam pun takkan dapat memiliki ilmu dan pengetahuan bila tidak diajarkan oleh-Nya, maka, seperti yang dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa segala sesuatu ilmu dan pengetahuan adalah datangnya dari Allah. Maka dengan mengucapkan dan menyatakan basmallah dalam setiap gerak perbuatan adalah wujud mengakui kekuasaan Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang, yang sesungguhnya memberikan kekuatan dan menentukan baik atau buruk akan hasil dari perbuatannya tersebut.
Rahmat Allah, termasuk di dalamnya petunjuk-Nya, yang juga merupakan ilmu dan pengetahuan yang sesungguhnya telah dibentangkan di alam raya ini, dan juga yang sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai kitab mubiiyn, tidak menyentuhnya kecuali mereka yang telah mensucikan hatinya.
Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.  (QS 56:78-79)
“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Oleh sebab Dia-lah sesungguhnya sebagai pemilik seluruh penglihatan, maka bagaimana mungkin yang diberi penglihatan dan yang diberi pengetahuan dapat melihat-Nya, atau dapat memiliki pengetahuan tentang-Nya, jika Allah tak memberikan-nya? Dia memberikan petunjuk atau pengajaran-Nya melalui segala sesuatu, yaitu para aparat-Nya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.  
“......... melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi langit dan bumi serta seluruh apa yang berada pada keduanya. Segala sesuatu tersebut amat bergantung kepada rahmat-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Sebab Dia-lah sesungguhnya mencipta, menguasai dan memelihara serta memberi rizki kepada segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Rahmat rizki-Nya sampai kepada segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang tidak diketahui makhluk-Nya dan diri-diri kita. Siapakah yang memberi makan sel-sel yang berada di dalam tubuh? Dia ataukah kita? Bisakah kita pastikan makanan yang kita kirim masuk melalui mulut kita, telah sampai dengan adil kepada yang berhak (sel-sel tersebut)? Maka sesungguhnya, Dia-lah yang memberi, kemudian mengatur dan memelihara. Tidaklah diri-diri kita sendiri memiliki kekuasaan sampai seperti itu.
Jangankan kekuasaan seperti itu, hidupnya sendiri adalah karena dihidupkan oleh Dia Yang Maha Hidup. Adakah dirinya yang menghendaki kelahiran untuk mengalami kehidupan ini? Jangankan kehendak hidup, nafasnya saja diberikan-Nya. Oksigen-nya disediakan dan berlimpah di alam ini, paru-parunya menghisap dengan normal, kerongkongannya terbuka memperlancar aliran yang masuk, dan hidungnya tak tersumbat. Andaikan penyakit datang kepadanya, pilek misalnya, maka tersumbatlah hidungnya. Dan nafasnya pun menjadi sedikit terganggu, hilanglah satu nikmat Allah yang tak dapat dirasakannya untuk sementara. Tidakkah kita sadari, bahwa masih banyak lagi yang tidak kita ketahui yang sesungguhnya adalah rahmat-Nya kepada diri-diri kita?
Maka merasakan sakit, sesungguhnya adalah menyadari peringatan Tuhannya untuk selalu bersyukur atas kelapangan yang telah diterima selama ini sebagai rahmat dari sekian banyak nikmat-Nya. Umumnya kita, setelah mengalami kesempitan atau musibah, baru teringat kepada-Nya dan menyesali telah menyia-nyiakan kesempatan anugerah yang telah diberikan kepadanya.
Jangan sepelekan peringatan Allah tersebut, jika tak ingin datang menyerangnya penyakit-penyakit lainnya yang merupakan akibat dari penyakit yang pertama. Nafas yang tak normal, tak membawa oksigen yang cukup bagi pembakaran makanan-makanan, sehingga suplay makanan kepada seluruh sel tubuhnya pun tak normal seperti biasanya. Hal ini menyebabkan metabolisme sel pun terganggu, maka bukan tidak mungkin pula menimbulkan penyakit-penyakit susulan pada tubuhnya.
Dari nama-Nya lah maka segala nama dan sebutan menjadi ada, dan dengan demikian seluruh nama dan sebutan itu merupakan rahmat-Nya yang sampai dan nyata sebagai ilmu dan pengetahuan yang amat bermanfaat bagi kehidupan setiap diri kemanusiaan.
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak bernilai, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”  (QS 13:17)
Begitu pula segala sesuatu yang diterima setiap diri kemanusiaan yang selalu dinilainya sebagai kebaikan dan keburukan yang merupakan pasangan segala sesuatu, yang sesungguhnya adalah hanya rahmat kebaikan yang tunggal dari Tuhannya, keburukannya akan hilang seperti buih yang dijelaskan oleh ayat di atas. Seperti itulah rasa yang diterima dari malam dan siang, gelap dan terang, sedih dan bahagia, sempit dan lapang, sukar dan mudah, serta neraka dan surga  yang dinilainya sebagai kebagai kebaikan dan keburukan.
Bersyukur
Segala puja dan puji (hanya) milik (atau bagi) Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
 (QS 1:2-3)
PUJA-PUJIAN ADALAH UNGKAPAN RASA SYUKUR
Mereka yang telah peka mata hati bathin-nya, karena telah bersih dari kekotoran yang menyelimuti hatinya, maka tentu segala puja dan pujian atas kekagumannya terhadap segala sesuatu sebagai yang pasti akan kembali dan berakhir kepada Tuhannya, sebagai yang mencipta, menguasai dan memelihara segala sesuatu yang berada dan tersebar sampai diseluruh penjuru langit dan bumi. Tidak ada segala sesuatu, sekecil atau sebesar apapun yang luput dari rahmat-Nya. Begitulah wujud rasa syukur dari setiap puja-puji atas kekaguman terhadap nikmat yang sesungguhnya hanyalah Allah pemberinya sebagaai Yang Maha Pemurah, pemberi sejati. Melalui seluruh aparat-Nya, maka Dia sebarkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk.
Seluruh aparat-Nya pun merupakan makhluk-Nya, adalah ciptaan-Nya. Maka bersahabatlah dengan seluruh makhluk-Nya karena sesungguhnya Allah menebarkan rahmat-Nya dengan melalui seluruh makhluk yang dijadikan-Nya sebagai pembawa atau penyampai (aparat) segala bentuk rahmat-Nya yang luas dan tak terhitung banyaknya. Sehingga bila dirinya yang menjadi tujuan pujian, maka segera jiwanya mengembalikan pujian tersebut kepada Allah sebagai satu-satunya yang berhak menerimanya. Maka dirinya akan terlepas dari kesesatan akibat kesombongan, rasa riya, takabur, dan pengakuan (ego)-nya.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Begitupun bagi yang memberikan pujian, janganlah menjadi tersesat karena tak menyadari siapa sesungguhnya pemberi rahmat yang sampai kepadanya, sehinga jiwa-nya menjadi hanya berketergantungan kepada makhluk yang dipujinya tersebut. Perhatiannya menjadi hanya tertuju kepada dia, dan menafikan (menyingkirkan) selain-nya. Sehingga, secara tak sadar, telah  menutup pintu-pintu rahmat Allah yang lainnya, yang sesungguhnya masih banyak lagi untuk diterimanya.
Ingatlah segala sesuatu memiliki pasangan-nya, sebagai yang akan datang menyusulnya kemudian. Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kita, sebagai diri-diri kemanusiaan, telah diberi dan telah pula menerima dari-Nya indera-indera seperti pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit.  Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
Penguasa Semesta (Seluruh) Alam
“Yang menguasai hari-hari agama.
(QS 1:4)
Pada umumnya, kebanyakan orang menafsirkan yawmid-diyn’, adalah hanya sebagai hari pembalasan setelah hancurnya semesta alam ini (kiamat). Sehingga maknanya hanya terbatas pada hari atau alam itu saja, yaitu hari-hari di alam surga atau neraka-nya saja. Jika di kembalikan kepada terjemahannya sebagai hari-hari agama, maka maknanya menjadi luas tidak hanya pada hari pembalasan saja.
Bila yang ditujunya adalah penekanan akan adanya pembalasan pun, maka di alam dunia sekarang, masih dalam kehidupan ini, balasan dari setiap amal perbuatannya pun dapat kita rasakan. Tidak usah menunggu lama hingga kiamat terjadi, yang kita tak tau kapan terjadinya. Dengan demikian, bila pemahaman ini telah dipahami dan disadari, maka tiada ada lagi keberanian meremehkan amal perbuatan buruk, akibat hawa nafsunya yang membisikkan kepada jiwanya, “bagaimana nanti saja balasan terhadap kita, yang penting sekarang, adalah menikmati kenikmatan yang ada di depan mata dulu.”
Dalam kehidupannya, segala sesuatu makhluk-Nya, memiliki atau mengalami suasana yang berganti-ganti dan berulang-ulang (siklus) sebagai alam tempat rasa yang dominan mempengaruhi jiwa-nya. Seperti suasana-suasana di sekolah, di kantor, di rumah, di jalan, dan di tempat-tempat mana saja dalam kehidupannya berlangsung. Maka, sesungguhnya, suasana di alam-alam tersebut tidaklah lepas dari kuasa aturan hidup (agama)-Nya. Suasana di alam-alam tersebut sebagai suasana hari-hari (dalam naungan) agama Allah. Dan Dia-lah Penguasanya.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Dan dalam skala kehidupan jangka panjangnya, jiwa mengalami siklus-nya pula pada suasana-suasana lainnya sebagai yang masih ghaib. Yaitu setelah kematiannya, mengalami suasana alam kubur sebagai alam penantiannya sebelum dibangkitan. Alam inipun termasuk di dalam hari-hari dalam naungan agama Allah, tidak lepas dari kuasa, aturan dan pemeliharaan Tuhannya. Suasana penantian ini pun merupakan sebagi yang memiliki kehidupan pula. Layaknya kehidupan ketika masih di dunia yang merupakan kehidupan yang menanti kematiannya, maka di alam kubur pun adalah kehidupan yang menanti kebangkitan-nya kembali. Tentu pula ada dengan amal-amal perbuatan pula yang tetap dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)- Nya, selain tetap pula membawa beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang malah akan memberatkan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai untuk surga dan neraka-nya.
Setelah itu, masih dalam skala kehidupan jangka panjangnya, mengalami dibangkikan untuk mengalami pula kehidupannya kembali dengan suasana alam yang baru tetapi tetap berada dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)-Nya. Juga tetap membawa beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang memberatkan atau meringankan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai sebagai surga dan neraka-nya pula.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya.  Sehingga  tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,  bahwa telah terputus-nya segala amalan.
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”  (QS 3:169)
Sebagaimana kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada kehidupan di hari kemudian. Renungkanlah firman-Nya pada ayat berikut ini.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Kejahatan pada hari itu, maka makna ayat tersebut adalah, bahwa di surga pun ternyata masih ada kejahatan yang mengganggu jiwa-jiwa kemanusiaan penghuninya. Oleh sebab itulah hari-hari tersebut, di alam surga itu, tetap berada dalam naungan agama Allah, termasuk sebagai di dalam hari-hari agama. Tetaplah penghuninya masih membutuhkan perlindungan kuasa-Nya terhadap kejahatan atau keburukan yang dapat saja datang menghampirinya.
Bila telah memahami surga dan neraka adalah rasa bathin di dalam suasana-suasana alam-nya hari kemudian atau hari-hari agama, maka tidak diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Dihancurkannya terlebih dahulu semesta alam ini, temasuk langit dan bumi, kemudian diganti dengan yang baru, maka barulah mengalami surga dan neraka sebagai pembalasannya.
Cukup di semesta alam ini saja. Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya, dan tidak hanya sekali dua kali saja.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat  adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Hati yang diselimuti kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya adalah bagaikan fatamorgana yang timbul membiaskan penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”  (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Begitulah keadilan Tuhan Yang Maha Bijasana. Janganlah kita menyangka mereka yang menikmati kemegahan dunia, hidup bergelimang kemewahan di kehidupan sekarang ini, selalu merasakan nikmat saja dan tak pernah sekalipun mengalami kesedihan, kesempitan, kesulitan, maupun kepayahan dalam sakitnya. Tentu mereka pun pernah mengalaminya, dan itulah bagian dari pembalasan atau nerakanya sebagai selingan kehidupan surganya, yang harus dialaminya, sebagai balasan yang sekarang dituai akibat amal perbuatan buruk di kehidupan sebelumnya.
Begitu pula sebaiknya, mereka yang hidup dalam kekurangan dan kesempitan, pasti mereka pernah mengalami sesekali kenikmatan, kelapangan, kemudahan, kebahagiaan, ataupun nikmat yang yang tak pernah disangka-sangkanya. Dan itulah surganya sebagai selingan dari kehidupan nerakanya yang merupakan balasan yang sekarang dituai dari amal perbuatan baik di kehidupan sebelumnya. Seperti itulah makna ayat di atas.
Dia-lah penguasa semesta (seluruh) alam, termasuk alam dunia sekarang sebelum kematian, setelah kematian adalah alam kubur menanti kebangkitan, kemudian setelah kebangkitan adalah alam pembalasan. Dibangkitkannya pun di alam dunia ini pula, yaitu sebagai mengalami siklus hidup-mati dan dibangkitkan, seperti siklus tidur-bangun hanya saja dalam skala yang panjang waktunya.
Sumber & Tujuan Segala Sesuatu
Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.
(QS 1:5)
Bila menafsirkan menyembah hanyalah pada saat-saat melaksanakan ritual dalam shalat, yaitu ruku’ dan sujud,  maka maknanya menjadi sempit, tidak akan mampu mencapai kepada tujuan shalat itu sendiri sebagai yang mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga menghasilkan manusia-manusia berakhlak mulia dan terpuji.
Maka akan lebih tepat, bila menafsirkannya sebagai beribadah. Dengan begitu, maknanya menjadi lebih meluas kepada amal perbuatan. Karena beribadah, tidak hanya melaksanakan shalat sebagai bagian dari mengingat (menjaga kesadaran) kepada Tuhannya, melainkan pula mewujudkan ingat-nya tersebut kepada bentuk-bentuk amal perbuatan yang mencerminkan shalat atau ingat-nya, yaitu kebajikan.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat kepada sesama makhluk Tuhannya.
Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
 Dan dengan selalu mengingat Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya. Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Orientasi shalat, ibadah, bahkan hidup dan matinya hanya kepada Tuhannya, adalah mengarahkan kesadaran jiwa untuk menyadari kembali, bahwa Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju.
Maka segala sesuatu tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego), agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan. Logikanya, jika telah dikembalikan kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada perlu lagi ada pertanggung jawabannya. Jadi, selama diri merasa memiliki setiap yang dianugerahkan kepadanya, maka tetap memiliki pula tanggung jawabnya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Amal perbuatan yang tak merefleksikan shalat-nya malah sebagai yang dibenci Allah. Karena, amal perbuatan tersebut justru yang meruntuhkan agama Allah, sebagai yang mengingkari kebenaran petunjuk jalan lurus-Nya. Jelas, dengan shalat yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi malah diingkari dengan melakukan  amal perbuatan sebaliknya, yaitu perbuatan yang dimurkai-Nya. Maka celakalah mereka yang seperti itu.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
Shalat seharusnya sebagai yang menjaga kesadarannya bahwa Tuhannya selalu bersama dalam gerak amal perbuatannya di setiap waktu, tanpa pernah dirinya lepas dari kuasa pengawasan dan kuasa pemeliharaan-Nya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, yang mendahului segala sesuatu keberadaan. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah sebagai keberadaan yang  baru. Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan yang mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan segala sesuatu yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia sendiri tidak berawal dan tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir, karena Di-lah yang mengakhiri segala sesuatu selain diri-Nya.
Dengan begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal sebagai sumber dan tujuan segala sesuatu.
“... Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”  (QS 5:18)
“... Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)
Rasa takut dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?
Tidak pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah kecewa karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima (sebagai hari kemudian).
Artinya, segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan, adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri (islam) kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya berserah diri (islam) ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri.
Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya.
Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Kebanyakan diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa-nya, sehingga mau berbuat untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya. Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa yang diterima-nya pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa.
Ketiadaan diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Hilangnya pengakuan (ego) adalah usaha mencapai kesabaran dan bersyukur dalam menerima apapun yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, secara tak langsung, dirinya telah berusaha melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  (QS 2:45-46)
Amal perbuatan yang merefleksikan shalat-nya, tentu akan membuat jiwanya lebih matang, termasuk juga mencapai kesadaran betapa pentingnya bersabar dan bersyukur di dalam kehidupannya. Kehidupan yang sesungguhnya dibawah naungan kuasa dan pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Begitulah sebagai yang berserah diri (islam), yaitu yang mengorientasikan segalanya hanya kepada Allah, karena Dia-lah sumber sekaligus tujuan segala sesuatu. Dari-Nya lah segala sesuatu berasal, dan kepada-Nya lah segala sesuatu tersebut kembali pulang.
Petunjuk
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(QS 1:6)
Ar Raahmanur-rahiiym, Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, sesungguhnya berada dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan dengan kuasa-Nya, Dia tundukkan segala sesuatu seluruhnya yang berada di langit dan di bumi bagi kepentingan kemanusiaan. Dan sempurna-Nya adalah tanpa mengurangi rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka selain kemanusiaan.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Begitulah konsep dan sistem-Nya bagi keseluruhan makhluk-Nya, sebagai yang saling berbagi dan saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tanpa terkecuali, semuanya pun sebagai aparat Allah. Yaitu sebagai pembawa dan penyampai rahmat-Nya.
Dan seluruh makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan, sesungguhnya sedang menuju kesempurnaannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya dengan kemurnian dan kesucian. Maka bila telah tiba batas waktunya tersebut, untuk kembali pulang, maka seluruhnya dengan sukarela atau terpaksa tetap bergerak menuju kepada-Nya.
Bila masih ada yang melekat padanya kekotoran atau kesesatan, sebagai yang tidak murni dan tidak suci, terpaksa mengalami peleburan untuk pembersihannya. Seperti melebur logam emas untuk memisahkannya dari kekotoran yang melekat. Atau seperti orang yang hendak membersihkan tatto di kulit tubuhnya dengan menggunakan soda api atau seterika panas. Rasanya, mungkin, seperti orang yang masih ingin hidup seribu tahun lagi, namun apa daya malaikat maut telah di depan mata.
Rahmat dan karunia telah selalu dan selalu diberikan-Nya, juga waktu dan kesempatan diberikan selalu beriringan dengan anugerah-anugerah-Nya, tetapi mengapa masih pula membawa kotoran yang melekat kuat pada jiwanya. Perjanjiannya adalah, ketika berangkat dalam keadaan suci dan murni, maka kembali pulang-nya pun harus pula dengan keadaan suci dan murni. Begitulah hukum-Nya.
“..... Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil.....” (QS 13:17)
Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya, maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan, bukannya petunjuk.
Kemanusiaan adalah sebagai wakil-Nya, dan merupakan perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”  (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang membanjiri bumi dengan melihara-nya sebagai teman sejawat yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari gelapnya kebodohan menuju kepada cahaya pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat,
“.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13:22)
Segala macam petunjuk yang datang adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi menjadi lebih bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Bila menjadikannya sebagai keburukan dan kesalahan, maka kelak, akan kembali kepada dirinya sebagai yang dituai.
Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan kemanusiaan menuju atau bahkan dekat dengan Tuhannya, bila diri kemanusiaan itu sendiri tidak memiliki keikhlasan kepada Tuhannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.  (QS 15:39)
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Menyadari kuasa Allah kepada para aparat-Nya, malaikat dan rasul yang ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini pula, yang sesungguhnya untuk disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
“.........melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Sebagai contoh, segala sesuatu yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang dikiranya  bekerja dengan sendirinya, yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen, usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya.
Dan bagi orang-orang yang bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan, apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri. Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
“.....dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.....” (QS 8:17)
Gerak langkah, gerak melihat, gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya. Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya.
Bila kita melangkah lebih jauh kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan” pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga).  Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri. Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
Tubuh atau jasad setiap diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah, melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata, catatan-catatan tersebut merupakan catatan amal diri kemanusiaannya yang pula akan harus dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya, kelak. Catatan-catatan itulah yang akan menentukan arah gerak kehidupan-kehidupan selanjutnya.
Semesta alam beserta keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Bila sebelumnya, kehendak dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya, adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan  sejati. Tiada pernah memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya. Juga tidak memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan pemahaman.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)
Kelak setiap diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati, sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Segala sesuatu yang tersebar di semesta alam ini, termasuk diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya selain sebagai yang menerima rahmat petunjuk-Nya, adalah pula merupakan sebagai pembawa dan penyampai rahmat petunjuk-Nya. Mereka yang membawa dan menyampaikan itulah yang disebut rasul. Dan Allah memilihnya dari malaikat dan manusia.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ...... (QS 22:75)
Lalu cobalah akal dan kesadaran kita untuk melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan alam sekitar, mencoba memahami satu per satu apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasa dengan hati yang jernih tanpa membawa kesibukan perhatian lainnya. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki Allah maka semua ini ada untuk memudahkan kehidupan kita? Tentu Dia tak sekedar mencipta serta memelihara demi kemanusiaan. Pastilah ada tujuan utama-Nya maka Dia melakukan semua ini dan nanti.
“.....Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan......” (QS 30:8)
“Sucikanlah nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Kita berusaha memahami kehendak-Nya dan mengenal-Nya, agar jiwa kita bisa selalu tetap berada dalam jalan lurus-Nya, dan justru menjadi tak tersesat dalam rahmat nikmat dari setiap anugerah-Nya yang luas dan tak terhitung.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ, demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”  (QS 38:26)
Bukanlah hal yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha  hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal perbuatan,  maka sang iblis pun menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya. Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan yang selain merugikan orang lain dan tidak pula merugikan dirinya sendiri.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Itulah fitrah kemanusiaan yang dikehendaki Allah, dan merupakan ketetapan-Nya yang takkan berubah. Kemanusian sebagai khalifah adalah merupakan perwujudan Dia Ar Raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) di muka bumi, sebagai wakilnya di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Nikmat & Siksa (Azab)
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS 1:7)
Mengapa Allah memakai kata nikmat, dan bukanlah surga? Padahal yang Allah maksudkan adalah orang-orang terdahulu, yang telah lama tiada. Jika jawabannya, karena bila memakai kata surga, masih menunggu kiamat qubra dahulu. Bila pemahamannya seperti itu, surga dan neraka adalah menunggu kiamat qubra, itu jelas pemahaman yang salah. Allah menegaskan seperti firman-Nya di bawah ini.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)....”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Jelas sekali firman-Nya ini menerangkan keberadaan surga dan neraka yang kekal selama masih adanya langit dan bumi, bukan setelah kiamat dan tidak adanya lagi langit dan bumi. Dan berarti pula, ayat ini menegaskan bahwa surga dan neraka pun berada di alam dunia ini pula. Di kehidupan ini. Sekarang inilah kita pun sedang berada di dalam surga sekaligus neraka-nya.
Nikmat dan siksa adalah alam rasa, begitu pula surga dan neraka adalah alam rasa, bukan alam tempat. Jika kehidupan ini adalah balasan dari kehidupan sebelumnya, mengapa diri kita tak ingat pernah mengalami kehidupan sebelumnya?
Hal tersebut disebabkan oleh sunathullah(-Nya), bahwa masa-masa di dalam kandungan dan masa-masa balita adalah masa pembentukan memori (ingatan) pada jaringaan sel-sel otak, begitupun masa-masa tua-nya hingga kematiannya adalah masa-masa peluruhan atau kehancuran memori (ingatan)-nya.
“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan diantara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”       (QS 16:70)
Ingatan (memori) sebagai yang tersimpan dan berada di jasad (sel-sel otak), maka saat jiwa berpisah dengan jasad maka terpisah pula dengan memori ingatannya. Dan ketika dibangkitkan, sebagai bayi kembali dengan jasad yang baru, dan dengan membawa garis takdir baik dan buruk-nya sebagai neraka dan surga-nya.
Begitulah kita pun diwajibkan beriman kepada takdir baik dan takdir buruk. Diajarkan-Nya kita untuk dapat berserah diri (islam) dengan ikhlas menerima takdir tersebut yang merupakan surga dan neraka kita sebagai akibat perbuatan kita di kehidupan sebelumnya, dan tidak lagi membuat beban-beban baru bagi kehidupan kemudian.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau siklus proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai murni, suci dan bersih .
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih, sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”  (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”
 (QS 2:159)
Betapa banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul  rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan. Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan merasakan nikmatnya surga,  sedang tujuan utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan yang sungguh rentan dengan banyaknya godaan yang hadir silih berganti.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Nikmat dan siksa sebagai pasangan yang menggoda, yaitu pasangan yang dapat menjerumuskan mereka yang hanyut oleh keduanya. Lihatlah mereka yang dilalaikan kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia, serta mereka yang tak sabar dalam penderitaan dan kesempitan.
Mereka ini yang keyakinan atau iman-nya telah tergerus oleh ketakutan yang berada dalam hatinya. Ketakutan berkurangnya atau kehilangan nikmat yang sedang melenakannya. Atau juga mereka yang ketakutan hidupnya akan selamanya terus sebagai yang menyiksanya.
Kedua ketakutan tersebut adalah angan-angan yang menyelimuti dan menutupi hatinya dalam melihat kebenaran-kebenaran dari cahaya petunjuk Tuhannya, sehingga jiwanya bisa semakin tersesat oleh angan-angan yang membawanya terus terperosok semakin dalam. Yang terlena kemewahan dan kemegahan dunia, semakin ingin lebih menikmati segala hawa nafsunya, maka semakin berkembang pulalah hawa nafsu lainnya. Dan mereka yang ketakutan hidupnya akan terus menderita, menjadi semakin tak sabar untuk dapat lepas dari penderitaannya, dan diambillah jalan singkat untuk merubah hidupnya. Dan mereka berdua pun semakin terlena dengan kesesatannya yang semakin dalam dan semakin menjeratnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Secara tak sadar mereka telah menciptakan kehidupan yang tak sehat yang dapat menyebar kepada selain diri mereka sendiri. Telah terjadi hubungan dua arah, yang mereka kira adalah saling menguntungkan mereka, semacam simbiosis mutualisme. Dan hal ini akan terus menyebar bagai wabah penyakit. Seperti pencuri dan penadah, atau juga penyuap dan yang disuap.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Ketika hal ini telah membudaya, maka biaya hidup semakin tinggi, semakin lagi memaksa pada kehidupan yang jauh lebih tak sehat lagi, hingga kronis. Terciptalah krisis multidimensi, di semua sektor kehidupan dan di semua kalangan profesi, semakin merembet kepada krisis moral dan keagamaan. Maka para anak-anak, remaja, dan pemuda pun bukan hanya menjadi korbannya, malah telah ikut-ikutan sebagai pelaku. Ya, telah menyebar ke seluruh kehidupan.
..... dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin
Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun sayangnya, masing-masing merasa dirinyalah yang benar dan baginya yang lain adalah salah. Disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran, merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu di alam ini adalah rahmat-Nya, dan tak ada rahmat-Nya yang mengandung kesalahan atau kecacatan, juga keburukan. Karena keinginan dan kebutuhan-lah, maka manusia menilainya menjadi baik atau buruk. Itulah sebagai keterbatasan makhluk. Bila sesuai keinginan yang didasari kebutuhannya, maka dianggapnya kebaikan, telah menerima nikmat-Nya. Sedangkan, bila tak sesuai keinginan yang didasarkan kebutuhannya, maka dianggapnya sebagai keburukan, sebagai yang sedang menerima cobaan dari-Nya. Sesungguhnya, kemanusiaan itu hanya hidup menerima. Menerima segala rahmat-Nya.
Itulah kadar baik dan kadar buruk yang harus diterimanya, dan bila kesadarannya telah matang, maka hatinya lebih memahami bahwa Tuhannya tak memberikan kadar buruk kepadanya, hanya kebaikan dalam setiap pemberian-Nya.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja, kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya. Belum lagi keragaman pemikiran dan keinginan-nya yang tak pernah terpuaskan.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha membuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Bila yang lahir (zhahir) yang menjadi tujuan dan melupakan yang bathin, maka sesungguhnya dia hanya mendapatkan kulit, tidak isi-nya. Tetapi jika hanya menginginkan yang bathin, maka dia akan membuang kulit. Oleh sebab itu, hilangkanlah segala keinginan agar menerima keduanya. Sebab mereka yang hanya menginginkan yang bathin akan membuang shalat dan puasa-nya, karena hanya mengambil makna-nya saja.
Padahal mereka yang telah mencapai pemahaman yang bathin tentu telah menyadari pula, adalah ketetapan-Nya bahwa kemanusiaan menjadi wakil-Nya di bumi sebagai yang mewujudkan segala sifat-Nya. Itulah fitrah kemanusiaan-nya yang tak pernah akan berubah. Semesta alam ini-pun diwujudkan-Nya untuk menyatakan keberadaan-Nya yang bathin, yang takkan mungkin dipahami oleh keterbatasan makhluk-Nya bila tak ada wujud-wujud sebagai perwujudan (perwakilan wujud)-Nya.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (ghaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Mereka yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam), tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah memiliki kesabaran dan kelapangan dada untuk mencapai keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa, apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Karena sartu per satu tahapan-tahapan (maqam) harus dilalui oleh jiwa dalam perjalanannya, seperti terbukanya selaput hijab-hijab yang menyelimuti kesadaran mata hatinya. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri), apalagi bila mengatakan belum ber-iman. Jadi, hanya pada tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar