Senin, 03 Juni 2013

Bab XI - SUCI JIWA




Bab XI
ZAKAT
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
A
da sebuah cerita yang membuat tercengang, ketika seorang tamu bertanya, “bagaimana keadaanmu?”.  Sang tuan rumahpun menjawab, “al-hamdulillah, jika aku memperoleh rezeki maka aku makan, dan jika tidak, aku bersabar”. Maka si tamu-pun kembali menyambung dengan berkomentar, “begitulah anjing-anjing yang ada di kampung kami. Tetapi lain halnya dengan orang-orang di sana, jika memperoleh rezeki dari Tuhannya dibagikannya kepada yang butuh, dan bila tidak memperoleh rezeki, mereka bersyukur”.
Zakat adalah pensucian, maknanya akan jadi berbeda bila diartikan sebagai penyucian atau pencucian. Pensucian lebih kepada pembersihan bathin, yang tak kelihatan, yaitu jiwa-nya. Sedangkan penyucian atau pencucian jelas nyata kelihatan dan lebih menunjuk kepada adanya kekotoran terlebih dahulu, barulah kemudian dibersihkan. Pembersihannya pun lebih condong kepada materi. Bukanlah harta yang sesungguhnya dibersihkan atau disucikan dalam berzakat, melainkan jiwa-nya. Ya, jiwa-lah yang sesungguhnya menerima anugerah harta-benda, bagaimanapun cara-cara dalam mendapatkannya. Hanya saja yang dikeluarkannya atau dalam menunaikannya haruslah dengan kelebihan harta atau materi yang dimilikinya sebagai bentuk kepeduliannya kepada yang lemah dan berkekurangan.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Makna pensucian lebih kepada bathin, adalah memurnikan secara ikhlas (bathin) segala niat yang merupakan anugerah yang diberikan Allah, sebelum dikeluarkan dalam bentuk gerak amal perbuatan yang juga merupakan anugerah-Nya, dari kekotoran hawa nafsu pengakuan (ego) sebagai penyebab utama segala bentuk penyesatan dari jalan lurus-Nya. Jadi suci-nya niat dan amal perbuatan yang sedari awal, jelas ini adalah tindakan menghindari penyakit. Bukan setelahnya, barulah kemudian disucikan akibat adanya kekotoran.
Sedangkan makna penyucian atau pencucian, lebih kepada ada terlebih dahulu kekotoran atau kecacatan yang melekat pada niat dan amal perbuatan, maka barulah dibersihkan. Dan ini adalah tindakan mengobati penyakit. Itulah perbedaannya. Disini, dosa telah ada, maka merasa perlu untuk disucikan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Segala sesuatu, amal perbuatan baik atau buruk, sekecil atau seringan apapun, memiliki akibat (ganjaran). Dan itu adalah ketetapan-Nya sebagai yang mutlak dari Yang Maha Adil. Selain itupun, Dia adalah Maha Bijaksana, maka Dia-pun mengingatkan dengan petunjuk-petunjuk, kitab, dan nasehat-nasehat, bahkan dengan kesulitan atau kesempitan, yaitu, berhentilah memperbanyak hutang dosa dan mulailah dengan sebanyak-banyaknya menabung kebaikan (pahala).
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Kebanyakan kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut. Disucikan karena ada kekotoran, ada yang dengan membayar-nya dengan uang (zakat, sedekah dan infak), fidiyah (memberi makan orang miskin), ataupun puasa.
Bila diri telah melaksanakan perintah-Nya, dan menjalankan agama dengan ikhlas (QS 98:5), serta tidak pula dikotori oleh perbuatan yang mendustakan agama (QS 107:1-7), maka tidak ada lagi tindakan membersihkan (penyucian atau pencucian), melainkan karena diri-nya telah selalu mensucikan atau menghindari kekotoran dengan cara berlaku lurus, mengingat-Nya yang tiada putus, mensucikan segala anugerah-Nya, serta pada perbuatan seperti mengayomi anak yatim, mendorong memberi makan orang miskin, hilangnya pengakuan (ego), dan mudah dalam memberikan bantuan kepada sesama, serta banyak amal perbuatan baik lainnya yang berupa kebajikan yang dapat dilakukan secara murni dan ikhlas. Menunaikan zakat-nya tidak lagi karena terlambat, tetapi karena kepekaan kesadaran-nya telah semakin tajam terhadap sekitarnya.
“Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan, dan tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetepi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan niscaya dia akan mendapat kesenangan sejati”. (QS 92:18-21)
Kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan sampai kepada kematian, maka beruntunglah mereka yang mensucikan jiwa-nya, dan merugilah mereka yang mengotori jiwa-nya (QS 91:7-10).
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup, terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci) jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak  agar dapat kembali pulang kepada yang Maha Tunggal.
..... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS 9:34)
Diri-diri yang masih kuat melekat pengakuan (ego)-nya, yang gemar mengumpulkan harta-benda, dan yang mengikuti hawa nafsu ego-nya dengan menumpuk harta benda karena takut akan kekurangan, kelaparan, dan kesulitan pada hidupnya dikemudian hari. Mereka adalah seperti seorang yang mengalami obesitas (kegemukan), tubuhnya dipenuhi lemak (cadangan sumber makanan) yang justru membahayakan hidup-nya, menghalangi kelancaran aliran darah dan sirkulasi pernafasannya, yang malah merupakan sebagai penyebab banyak penyakit yang siap menggerogoti tubuh-nya. Sebagai yang akan menyulitkan diri-nya sendiri. Juga tak enak dipandang oleh pihak lain atau sedikit mengganggu.
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)
Bukan mereka tak menyadari, akan tetapi pengakuan (ego)-nya telah kuat mendominasi dan mengalahkan pemahaman akal di hatinya, bahkan petunjuk-petunjuk dari Tuhannya yang merupakan suatu kebenaran yang mutlak sebagai kebenaran sejati. Harta bendanya sungguh akan menjadi sumber penyakit yang mengundang bermacam-macam keburukan. Selain membuat silau pandangan pihak lain, melainkan pula banyak timbulnya pengaruh buruk pada kejiwaan-nya sendiri dan keluarga.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 17:72)
Rasa takut dan keresahan akan kehilangan jelas pasti meliputi dan menghantui-nya. Keserakahan atau tamak, kesombongan dan riya pun akan mengiringi. Belum lagi, salah dalam pengelolaan, menggunakan dan memanfaatkannya kepada jalan yang sesat dan semakin menyesatkan jiwa-nya. Pola hidup diri dan keluarganya akan banyak berubah dan semakin terjerumus lebih dalam tanpa disadarinya. Dan hanya kepada-Nya sesungguhnya arah tujuan tempat-nya kembali.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya. (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun akan terbalas sebagai ketetapan (sunathullah) dari Tuhannya yang adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana  pembersihan atau penyucian  jiwa.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang ternyata hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun yang merasa aman”. (QS 70:24-28)
Harta-benda, yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Makna zakat takkan berarti apa-apa, dan takkan menyentuh hati, bila di dalam bathinnya tiada kepekaan kesadaran hatinya, bahwa segala sesuatu selalu berhubungan dan memiliki sebab akibat, sekecil apapun segala sesuatu tersebut. Baik itu amal perbuatannya, apa-apa yang ditahan hatinya, dan sekalipun baru berupa niat. Karena ketiganya tersebut pun memancarkan energi, atau telah mengeluarkan energi-nya, dan itulah yang diketahui oleh-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui.
Kepekaan kesadaran jiwanya terhadap sekitarnya, dan pengaruh diri-nya terhadap kehidupan sekitarnya pun sebagai ikut berperan dalam kehidupan bersama yang menciptakan saling berbagi merasakan rahmat Tuhan bersama dengan sesamanya. Besar kecilnya apa-apa yang dikeluarkannya sebagai wujud syukurnya adalah sebanding dengan apa-apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Serta apa-apa yang dimilikinya sebagai anugerah Tuhannya tersebut adalah juga sebagiannya merupakan hak para fakir-miskin, anak-anak yatim, mereka yang lemah dan dalam kesulitan.
Yang dituju dari zakat ini adalah kebersihan diri atau jiwa dengan kepekaan kesadaran-nya untuk selalu berbagi rahmat Tuhannya kepada sesamanya, terutama memberikan bantuan kepada yang berkekurangan, yang membutuhkan, dan yang lemah tak berdaya. Menafkahkan sebagian rezeki yang dimiliki sesuai jalan lurus-Nya, tidak akan mengurangi atau menghilangkan apa-apa yang dimilikinya tersebut. Tidak ada kerugian pada jalan lurus-Nya tersebut. Ibarat memberikan uangnya kepada Bank untuk ditabung, uangnya memang tidak dipegangnya lagi akan tetapi kepemilikannya akan tercatat, dan bila suatu waktu diperlukan akan kembali kepadanya.
Dan yang perlu di-garisbawahi zakat, infak dan sedekah, adalah termasuk dalam menafkahkan sebagian rezeki yang diterima dari Tuhannya. Pengertian atau makna menafkahkan adalah menginvestasikan, dan investasi dengan Allah dijamin takkan merugi, bahkan keuntungan yang akan didapatnya berlipat ganda, sampai 700 kali lipat. Tentu dengan rasa ikhlas dalam menginvestasikan-nya hanya di jalan-Nya yang lurus. Bank manakah yang berani memberikan bunga sampai 700 kali lipat nilai investasi?
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:261)
Keuntungan berlipat ganda tersebut barulah dalam bentuk materi, Allah pun memberikan keuntungan lainnya yang dalam bentuk rasa bathin yang pasti tidak kalah luar biasanya. Maka diri-diri kita sendirilah yang dapat melukiskan rasa-nya tersebut. Itulah surga dunia-nya. Bila jalan lurus-Nya ini telah memasyarakat, bayangkanlah. Akan tercipta kehidupan bersama yang sehat dan murah, itulah wujud berserah diri (islam) yang rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tetapi hal ini akan terasa nyata kebenaran manfaat-nya oleh mereka yang telah kokoh keimanan-nya.
Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surga-nya dalam kehidupan di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dikurangi atau dilebihkan sedikitpun apa-apa yang harus diterima sebagai buah dari amal perbuatan sebelumnya dari setiap diri, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Sebaliknya, bagi yang telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, suci dari segala macam pengakuan (ego), dan tetap menjaga kesadaran (ingat)-nya pada diri yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat dan rasul-Nya, petunjuk melalui kitab-Nya, menyadari hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai waktu menuai segala amal perbuatan sebelumnya, serta baik dan buruk sebagai yang harus dapat diterimanya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Diri-nya merasa hanya menjalankankan apa adanya, sesuai dengan perintah dari dalam kalbu-nya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
“.... Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.

 (QS 2:112)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar