Sabtu, 01 Juni 2013

Bab VIII - PERSAKSIAN (SYAHADAT)




Bab VIII
SYAHADAT
Asyhaadu’allaa ilaaha illaallahu, wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
 (QS 7:172)
S
emoga ulasan-ulasan pada dua bab sebelumnya, keimanan dan agama, secara keseluruhan telah cukup menambah sedikit pemahaman kepada mengenal Allah selangkah lebih mendekat lagi dari sebelumnya, dan membawa keinginan jiwa untuk lebih mengkokohkan keimanan-nya kembali. Dan dengan begitu, maka makna syahadat yang sering diucapkan dalam shalat, yang kalimatnya diawali dengan persaksian bahwa tiada tuhan selain Dia, menjadi lebih bermakna dan tidak sekedar ucapan sambil lalu. Yang pula, insya Allah, dapat mengarahkan jiwa untuk memimpin kepada amal perbuatan lurus, ingat, dan suci secara tulus ikhlas berserah diri hanya kepada-Nya.
Menyaksikan Dia sebagai Tuhan Yang Tunggal tidak hanya sekedar ucapan tanpa kenyataan, akan tetapi dapat nyata terasa segala nikmat dari setiap rahmat Dia Yang Maha Pemurah. Yaitu Dia yang telah menganugerahkan segala-galanya, bahkan wujud-Nya sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya. Dan juga dapat nyata terlihat wujud-Nya dalam setiap segala sesuatu sebagai ciptaan-Nya yang sesungguhnya adalah perwujudan Dia, Allahu Akbar.
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:115)
Kemudian kepada kalimat persaksian selanjutnya. Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, nabi Muhammad rasulullah SAW, dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah, dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Kata muhammad pada bunyi syahadat adalah bukanlah bermaksud menunjuk nama Muhammad bin Abdullah”, nabi dan rasul junjungan kita, melainkan adalah menunjuk kepada salah satu sifat atau nama Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan kepada manusia.
Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat gelar tersebut dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad, yang sesungguhnya adalah sebuah gelar tersebut,  jadi lebih melekat kepada beliau dibanding nama asal-nya, yaitu Ahmad. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan, sebagai usaha memahami makna-makna yang masih tersembunyi untuk menambah kokohnya keimanan kepada kebenaran sejati (al haqq).
Bila telah memahami hal ini, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yang insya Allah, setelah memahami maknanya, maka akan lebih meresap kedalam jiwa pengucapnya, sehingga jauh lebih mengenal kepada diri-nya sendiri sebagai perwujudan Tuhannya, dan lebih pula mengenal kepada fitrah dan tugas-nya sebagai khalifah dan wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmatan lil ‘aalamiyn. Itulah amanat yang ditanggung oleh kemanusiaan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)
Begitulah sesungguhnya kemanusiaan telah bersaksi dan berjanji sebelum di kehidupan sebelumnya, yaitu dengan berani memikul amanat tersebut. Dan dengan mengucapkan kembali persaksian (perjanjian) tersebut berupa syahadat sebagai penegasan kembali bahwa kemanusiaan kita tidaklah akan lalai terhadap amanat tersebut. Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersama dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga amal perbuatannya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat terpuji.
Tentu dalam mengucapkan syahadat bukanlah hanya sekedar mengucapkan pernyataan perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok mulia, yang wujud beliau seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihat dan tahu rupa beliau, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisah beliau. Syahadat atau persaksian itu adalah suatu ikrar persaksian yang tentunya mengikat setiap diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasul-rasul Allah atau utusan-utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah ditauladankan nabi dan rasul Allah junjungan kita Muhammad SAW.
“.... dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan syahadat (persaksian) dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS 2:140)
Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyi maknanya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan muhammad (wujud yang terpuji sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji, ini ) adalah utusan Allah”. Maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensinya akan menjadi beban bagi diri pengucapnya. Sedang bagi mereka yang tak dapat menangkap makna ini, tentulah tak akan menyadari beban tugas tersebut, dan pengaruh pada kehidupannya pun tak membawa ketugasannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)
Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat, diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri sebagai fitrah asal-nya, dan kepada siapa sesungguhnya diri ini bergantung. Serta kepada siapa dia menujukan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan, sebagai wujud keberserah dirian-nya. Dan kepada setiap diri kemanusiaan diharapkan menyadari, bahwa segala firman Allah di dalam kitabnya tidaklah hanya ditujukan kepada Muhammad bin Abdulah sebagai rasul, melainkan pula, justru kepada setiap diri kemanusiaan yang membacanya. Dan beliau sebagai manusia pertama yang diberi gelar muhammad oleh Allah, dan dijadikan-Nya sebagai teladan dan contoh bagi setiap diri kemanusian baik pada masa-nya maupun pada masa-masa kemudian setelah-nya.
“Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah segala yang keji, dan janganlah engkau memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”  (QS 74:1-7)
Pada penggalan ayat inilah, sesungguhnya makna kerasulan setiap insan kemanusiaan, yaitu pada perintah-Nya, ...... Bangunlah, lalu berilah peringatan ! ..... kemudian selanjutnya, ..... dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah segala yang keji ...... maknanya adalah mensucikan atau membersihkan apa yang ada pada dirinya (sebagai anugerah Tuhannya) layaknya pakaian, sehingga pantas dan sesuai antara ucap, tekad, dan lampah-nya sebagai pembawa atau penyampai petunjuk dan peringatan.
Sekalipun amal perbuatan nyatanya bersentuhan kepada orang-orang lain, diri-diri lain, atau makhluk lainnya, tetapi diri-nya telah menyadari dan mengenal sepenuhnya, wujud dari perwujudan siapa diri mereka sesungguhnya. Maka, dengan begitu, akan terjagalah segala amal perbuatan-nya pada kelurusan, selalu sadar (ingat), dan suci dari pengakuan (ego) yang menyesatkan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Menyadari kembali bahwa diri-nya sebagai wujud terpuji yang merupakan perwujudan dari Yang Maha Terpuji, dan pelaksana tugas kerasulan sebagai penyampai kebenaran dan rahmat dari Tuhan-nya, juga sebagai yang telah diberi kitab (ahli kitab). Mengucapkan pernyataan syahadat ini dalam setiap shalat-nya, kemudian menyatakan (mewujudkan)-nya dengan melaksanakan tugas-nya dalam setiap amal perbuatannya dengan rasa ikhlas.
Dan tugasnya hanyalah menyampaikan, hasilnya merupakan kehendak dan izin-Nya. Murnikan (sucikan)-lah tugasnya tersebut dari pengakuan (ego) yang dapat mengotori amal perbuatan. Jauhkan dari keinginan dan ambisi yang berlebihan dari yang ditugaskan, karena iblis akan ikut masuk bersama penyesatannya yang menjerumuskan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)
Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri setiap insan kemanusiaan yang ikhlas dalam setiap gerak amal perbuatan, dia hanya merangsang angan-angan keinginan. Dikuatkannya keinginan jiwa melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati diri yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada jiwa-jiwa yang berpaling dari jalan Allah, yaitu yang didominasi oleh pengakuan (ego). Karena itu setiap diri kemanusiaan diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan diri-nya.
Sedikit mengulas kembali, bahwa penciptaan segala sesuatu dimulai dari cahaya-Nya (nur Allah), kemudian darinya diciptakanlah para aparat-Nya atau para malaikat (nur Cahya). Pada cahaya selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat pembangkang (QS 2:34) menjadi ada, dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya sedangkan iblis dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar untuk mendapatkan api, dan bukan benda yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terangnya, tetapi nyala-nya. Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat dengannya, juga cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya membutuhkan benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui keberadaannya. Semua benda ada terlihat karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda.
Keduanya pun dapat bertempat pada diri kemanusiaan, sebagai media benda tersebut, agar fungsinya lebih berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terangnya, sedangkan yang satunya lagi menghasut dengan membakar. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri insan kemanusiaan untuk mencapai tingkat kesempurnannya.
Bila dicermati dan dipahami secara mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir atau berpengaruh, dan semakin kuat mencengkeram jiwa selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya, maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya. Diri yang secara tak sadar terus menjauh dari cahaya Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan diri-nya kepada kesesatan bujuk rayu iblis (kegelapan).
Pada dasarnya diri insan kemanusiaan amat menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang. Tetapi sayang, jiwa-nya tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat menerapkannya kedalam memahami  akan tempat kemana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.
Jangan biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad yang salah, padahal ternyata malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka atau menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri juga. Dan merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.”  (QS 98:4)
Sekali lagi, pengakuan (ego) sebagai biang kerok rusaknya hubungan antar kemanusiaan. Semakin dibuka pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran, bukannya semakin membuka akal dan kesadarannya, tetapi malah semakin kuat kepada kepentingan ego-nya. Ya, Al Qur’an sendiri selalu mengisahkan para nabi dan rasul Allah datang kepada kaumnya, sebagai pembaharu yang membawa pesan dan peringatan dengan bukti-bukti yang nyata pun selalu ditentang oleh mereka yang telah lama mapan dan merasa akan terganggu kemapanannya.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Dengan selalu menyadari (ingat) syahadat (persaksian) serta dengan kemurnian (keikhlasan) dalam melaksanakan tugas kerasulan melalui amal perbuatan-nya, setiap diri, maka terhindarlah diri-nya dari penyesatan yang diupayakan iblis. Tentu, karena dengan melakukan tugasnya, selain menyampaikan segala petunjuk Tuhannya kepada sesama, diapun akan menjaga diri-nya dari penjerumusan iblis.
Iblis menyesatkan setiap diri kemanusiaan melalui apa-apa yang dicintainya, anak dan istri, harta benda, kekuasaan, dan lain sebagainya. Bahkan kepada yang mengatas namakan agama dan tuhan, tidak akan segan iblis berupaya menipu diri-diri kemanusiaan agar terjerumus pada kesesatan dan kehinaan, seperti dia telah menghinakan Adam pertama kali.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Hamba-hamba yang ikhlas dalam amal perbuatannya dengan berserah diri kepada-Nya adalah wujud kemuliaan Tuhan, karena pada diri mereka-lah iblis menyerah, tak dapat menyesatkan, dan menjadi tunduk seperti wujud asalnya yang merupakan aparat atau malaikat Allah.
Itulah sesungguhnya yang dimaksud dengan, menyatakan kemuliaan Tuhan sehingga menjadi nyata kemuliaan-Nya, yaitu dengan mewujudkan Yang Maha Terpuji kepada diri kemanusiaan-nya yang telah berserah diri secara ikhlas dalam setiap amal perbuatan-nya. Itu pulalah sesungguhnya mengembalikan kepada fitrah diri kemanusiaan-nya seperti persaksian di dalam syahadat-nya.
....... maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (dari malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui, bahwa rasul-rasul itu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedangkan (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu”. (QS 72:27-28)

Dengan memahami makna syahadat yang mengembalikan kepada fitrah kemanusiaan-nya ini yang juga menyadari diri-nya pun sebagai rasul Allah, dan ternyata masih perlu diawasi dalam menjalankan tugasnya oleh aparat-Nya (malaikat), maka tentu ini akan membuat diri-nya berusaha menjaga dan mensucikan niat serta amal perbuatan-nya yang berguna sebagai peredam gejolak pengakuan (ego) yang amat mendominasi diri (jiwa) setiap insan kemanusiaan, selain karena diawasi dan dicatat segala amal perbuatannya, juga agar tidak terjerumus pada kesesatan, dan akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman, serta akan membuka pintu-pintu pemahaman lainnya sebagai rahmat petunjuk dari-Nya sebagai karunia yang berguna bagi hidup dan kehidupan yang menuju pada keselamatan, yaitu tidak ada rasa takut pada diri-nya dan tidak pula bersedih hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar