Selasa, 28 Mei 2013

Bab IV - MEYAKINI KITAB-KITAB ALLAH





Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”
(QS 2:136)
S
egala puja dan puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya, maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan, bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah, saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya. Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau bahkan dekat dengan Tuhannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.  (QS 15:39)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan Adam, yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya telah diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini sedikit diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada bujuk rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya ‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan sebagai aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada setiap diri kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”  (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada, dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu? (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya, umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri, bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya. Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi segala macam bentuk makhluk  ciptaan, maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga dieksplorasi dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama sebagai rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman laut.
Banyak negara maju, terutama negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang perginya saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini dieksplorasi serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung jawab, maka akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya pun sebanding dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu, kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk habis isi perut bumi kita.
Maka bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan, sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang dikiranya  bekerja dengan sendirinya, yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen, usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan, apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri. Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat, gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya. Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada” pada setiap  diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga).  Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri. Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah, melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata, catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia  menurunkan al Kitab kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan Injil, sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.”  (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan, mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.”  (QS 3:184)
Ada pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an, Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).”  (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al Qur’an membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh Allah pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang harus percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah, seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di bawah ini.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir, diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
Petunjuk keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500 tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu, berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan, perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.”  (QS 81:27-28)
Belum lagi hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz, dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai penjelasannya.
A.       Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS, sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.       Taurat
Jauh kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi, setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya bani Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur, kemudian berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap sebagai bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun kemudian, bani Isra’il yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai kepada masa nabi Musa As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan perintah dari Tuhan agar mengeluarkan bani Isra’il dari penderitaan di bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama kepadanya.
Kemudian akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka.
Begitulah akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian 3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya memakai Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber lainnya yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada kaumnya untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat atau mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling belakangan datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan mengurai dan mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari nabi Sulaiman dan  kisah Ayub pun masuk kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa. Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga, sehingga kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi Isa, mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula? Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama (The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang menolaknya. Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama atau yang umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.    Bagian Pertama, Taurat sebagai sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah (Pengecualian).
b.    Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi :
·      Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·      Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’, Sifir Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir Nahum, Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.     Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·      Kitab-Kitab Besar,
Sifir al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·      Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·      Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya. Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.       Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian, adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir. Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta sebagian lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan olehnya  dan dapat memasuki serta menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya, sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan sebagai bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.

3.       Injil
Kitab Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani, tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4 Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu dalam kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat Nasrani (Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi I dan Sifir Makkabi II.
Kita tak akan menilai kebenaran dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan pada ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya setelah kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab berikutnya. Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di bawah ini sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.       Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah, dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini, penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan, disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il) sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A.  Al Fatihah
Ada beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.    Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di setiap raka’atnya.
Di dalam Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.    Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan  firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan, sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan, memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus (Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.    Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah  menyebut nama Tuhan, yakni Allah sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam),.....” (QS 6:125)
Tidak hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima kebenaran dari Tuhannya.
4.    Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya, kelak.
Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat (karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya, sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan pertolongan Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang menguasai semesta alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam ini, segala sesuatu berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya dalam bentuk kebaikan dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk kepada kebaikan (nikmat-Nya) agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.    Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan, serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan, yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal (calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.    Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar umat muslim.
7.    Kitabum-munir
Adalah Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di sekelilingnya.
...... lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini. Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Maka hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak, segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah dari yang ditanam sebelumnya.
B.  Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum) dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di tujukan.
·      Ta’awudz
Ta’awudz ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah. Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah  Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita  diingatkan untuk selalu berlindung dahulu kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita, pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk dihindari.
·      Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa, serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya), sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
·      Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada Dia, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C.  30 Juz sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30 (tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya. Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara keseluruhannya juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1.    Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan, cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya, seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan ialah al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).”  (QS 7:16-17)
Diturunkan dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka  yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.”  (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa, dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).”  (QS 3:3-4)
2.    Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al Qur’an yang penuh hikmah.”  (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum, petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya. Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian, setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.”  (QS 6:59)
3.    Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak, melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan, sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah. Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan. Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat, atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila mengalami kerugian.
4.    Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup, maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis. Seperti yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.    Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.”  (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya, yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
 Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
Dan tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada perbedaan-perbedaan tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah), Tuhan semuanya. Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling menghina dan menghujat hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya merupakan perbuatan perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan kemanusiaan terjerumus pada kesesatan.
6.    Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut, maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya, bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah. Adalah mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari Tuhannya, yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai perwujudan keimanan-nya yang keluar membentuk pola kehidupannya yang terpuji. Begitulah sebutan ahli kitab,  yang bermakna sebagai yang pantas menyandang sebutan ahli, yaitu sebagai pewaris haqq yang seharusnya mengelola dengan baik dan sempurna dari segala yang diberikan atau yang dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat) kepada Musa, maka janganlah engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Israil.”  (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu ......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah, hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda, rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka. Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan” wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya untuk menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah sampaikah iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana dengan yang pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang yang mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani, yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran tetaplah satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang kita sadari, adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi tetap merasa dan menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang benar, sementara yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa seperti itulah yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya tersesatnya iblis dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk sujud (tunduk) kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.

Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar