Sabtu, 25 Mei 2013

MENEGUHKAN KEMBALI KEIMANAN




BAGIAN 1
MENEGUHKAN  KEYAKINAN (IMAN)
Kembali meneguhkan keimanan menuju agama yang diridhai-Nya sebagai upaya perbaikan kehidupan yang lurus dan menuju pada keselamatan sejati.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).”
(QS 16:102)

A
dalah naif, bila diri yang belum memahami jati dirinya tetapi kemudian serta merta dihadapkan pada tuntutan akan kokohnya rasa keimanan, dimana pokok bahasannya adalah keyakinan. Sedangkan keimanan merupakan rasa bathin yang amat kuat mengikat pada ‘sesuatu’ yang tak tampak dan terasa oleh indera, yaitu masih ghaib, sehingga mempengaruhi pola hidupnya. Perjalanan kehidupannya yang panjang dan mengalami banyak hal sebagai pelajaran, kelak sebagai yang akan membuka akal dan kesadaran pada hatinya. Hanya dengan kehendak dan izin Allah sajalah, sesungguhnya, maka segala yang ghaib tersebut dapat dipahami dan jelas terlihat oleh hati yang telah dibersihkan-Nya dari selimut tabir-tabir yang menutupi.
Tidaklah pas kata “tuntutan” bila disandingkan dengan rasa, apalagi rasa tentang keimanan atau keyakinan. Adalah fitrah kemanusiaan memiliki kebebasan dalam keyakinannya, dan tidak ada paksaan dan keterpaksaan dalam agama dan beragama. Begitulah seharusnya. Kebebasan segalanya, termasuk dengan kebebasan berpikir, menggunakan akal logikanya sampai menemukan sendiri, bahwa ada tabir-tabir gelap yang sesungguhnya membatasi diri-nya dalam segala hal. Dan pada akhirnya, diri-nya sendiri pun menyadari keterbatasan-nya sebagai makhluk ciptaan yang, ternyata, segalanya amat bergantung pada kekuasaan mutlak yang sesungguhnya berkuasa atas segala sesuatu, termasuk membuka kegelapan-kegelapan yang meliputi dirinya, dan mengeluarkannya kepada cahaya terang yang menunjukkan.
Kekuasaan apa dan siapa yang sesungguhnya tersebut tentu telah kita ketahui bersama, akan tetapi makna-makna yang lebih dalam semoga akan menggugah lebih jauh akan kesadaran jiwa kita sebagai yang terikat melekat kepada kekuasaan tersebut.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)
Karena sesungguhnya, keterikatan tersebut telah ada sejak diri belumlah berwujud atau terlahir ke dunia bersama jasad. Kehidupan di dunia, yaitu pada pemenuhan kebutuhan jasad, sedikit demi sedikit, telah mengkontaminasi atau mempengaruhi ikatan-ikatan bathin tersebut. Hingga semakin besarnya pula keinginan kehidupan dunia maka semakin besar pula kekuatan melepaskan ikatan-ikatan bathin atau keimanan tersebut. Hal inilah yang membuat jiwa menjadi tersesat, semakin menjauhi ‘asal’ keberadaannya. Jangankan menyadari kepada yang gaib, kepada yang nyata saja telah tertutupi oleh hawa nafsu kehidupan dunia dan dorongan kebutuhan jasad. Ambil satu contoh, narkoba dan minuman keras, betapa itu telah merusak jiwa dan jasad pemakai yang sejumlah besarnya adalah generasi muda yang menjadi tulang punggung harapan para orang tua.
Dalam sejarah kehidupan kemanusiaannya, adalah nurani-nya (cahaya asal) yang menyadarkan dirinya untuk kembali merajut ikatan-ikatan yang telah lepas. Seperti orang yang tersesat dan hendak kembali pulang serta banyak bertanya untuk mendapat petunjuk arah pulangnya. Sungguh telah terbuang dengan percuma waktu selama itu.
“Demi waktu. Sungguh, insan kemanusiaan berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Akan tetapi, Allahu rahmanur-rahiim, Dia yang maha Pengasih dan Penyayang, sangat menyukai orang-orang yang hendak kembali, serta dengan kasih dan sayang-Nya maka Dia akan menunjuki jalan kembali yang terang-benderang, lurus, dan lagi menyelamatkan.
Tersesat adalah tak tahunya arah kemana tujuan seharusnya diambil. Atau disebabkan oleh telah terlalu jauhnya kesesatan menyimpangkan dari arah yang seharusnya. Dan mungkin masih banyak hal lainnya sebagai penyebab sesat dari tujuan, sehingga membuat kesulitan untuk dapat segera keluar dan beralih dari kesesatannya.
Betapa kehidupan dunia ini telah melengahkan diri kita dari pemahaman-pemahaman yang hakiki yang sebenarnya perlu bagi kehidupan yang lebih baik dan sehat lagi dari sebelumnya. Tidak hanya lebih baiknya kehidupan kita sendiri, melainkan juga kehidupan bersama secara umum. Kehidupan dunia memang yang telah melalaikan jiwa kita dari kebenaran yang haqq, dan melalaikan jiwa kita pula akan keberadaan kekuatan aparat-aparat yang diutus Tuhan untuk membantu kehidupan setiap diri kemanusiaan.
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”  (QS 10:100)
Kehidupan dunia pula yang telah melalaikan setiap diri kemanusiaan dari kesadaran-kesadaran yang seharusnya bergerak dan berkembang lebih tinggi lagi dari sebelumnya, yang dapat mengkokohkan kembali keimanannya. Karena begitu erat hubungan antara keyakinan yang didasari oleh kesadaran-kesadaran pemahaman yang merupakan kebenaran dari Tuhannya. Kebenaran-Nya sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang sesungguhnya mengikat kuat setiap diri kemanusiaan, baik disadari ataupun tidak disadari, baik sukarela ataupun terpaksa. Segala sesuatu, termasuk diri-nya adalah yang diliputi oleh kuasa, kehendak, serta rahmat pemeliharaan-Nya.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Tetapi, karena Dia Yang Maha pengasih dan Penyayang tak menginginkan kemanusiaan terus dalam kesesatan, maka bagi mereka yang mau membuka hati dan akalnya, telah begitu banyak Allah tebarkan petunjuk di alam ini, dan orang-orang yang saling menasehati sebagai penyampai petunjuk kebaikan dan kebenaran, serta juga yang telah ada dalam kitab suci sebagai pedoman hidup kemanusiaan. Dan dengan akal kesadaran jiwa-nyalah maka segala apa yang dilihat, dirasa, dan yang sampai kepadanya adalah merupakan rahmat dari-Nya. Juga adalah sifat kemanusiaan yang hendak mengetahui segala sesuatu, maka sungguh diri-nya amatlah membutuhkan petunjuk sebagai cahaya yang menerangi gerak kehidupannnya.
PETUNJUK
Begitu banyak petunjuk Allah yang bertebaran di langit dan di bumi dan yang berada di antara keduanya. Seluruhnya bertebaran dihadapan mata baik yang berada di langit dan di bumi akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang membutuhkan, yang mencari, yang berilmu, yang berfikir, dan juga bagi orang-orang yang beriman. Inilah yang disebut Kitabul Ardhi.
Kedua, petunjuk yang disampaikan langsung ditanamkan kedalam kalbu tanpa proses olah pikir, tanpa pengamatan dan penelitian. Inilah yang disebut di dalam dada, yaitu Lauhul Mahfudz.
Dan ketiga, petunjuk dari Allah yang berupa Kitab Suci, yang didalamnya berisi firman-firman Tuhan yang disampaikan melalui malaikat-Nya kepada salah seorang insan kemanusiaan yang telah diimankan, diislamkan, dan diihsankan oleh Dia sebagai nabi dan rasul-Nya, dan untuk disebarkan kepada umat atau kaumnya agar selamat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Ini disebut Kitab Samawi atau merupakan kitab yang ‘turun dari langit’, yaitu kitab yang berisi firman-firman Tuhan yang merupakan petunjuk kepada keselamatan hidup di dunia dan kelak di akhirat, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al Qur’an.
Ketiganya, sebagai penyampai atau pembawa petunjuk yang mengarahkan kepada adanya hari akhir dan kadar baik-buruk, yang juga merupakan sebagai yang gaib, yang baru akan dapat dihadapi di waktu kemudian. Juga merupakan dua hal utama yang perlu dijadikan acuan sebagai petunjuk keselamatan yang harus diyakini. Berikut pula para malaikat, para rasul dan seluruh kitab suci adalah merupakan alat atau aparat Allah yang bertugas sebagai penyampai petunjuk keselamatan tersebut. Keduanya ini harus diterima dan dicapai dengan baik pada ‘akhir’-nya (khusnul khatimah) agar dapat kembali pulang kepada Allah.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS 2:177)
Iman-nya tersebutlah yang sesungguhnya lebih menghidupkan jiwanya dan mengarahkan kehidupannya menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan iman-nya itu pula, setiap diri hidup berada diatas landasan yang kokoh sehingga mampu melalui masa-masa tersulitnya terus hendak mencapai kesempurnaannya. Bersama iman-lah setiap diri merasa memiliki harapan dan asa-nya ke depan, yaitu hari kemudian-nya.
Dan telah sejak awal kehidupannya, diri kemanusiaan, dari setelah kelahirannya, telah dibentangkann kitab di alam (kitabul ardhi) tersebut sebagai petunjuk yang seiring dengan dibukakan kitab di dalam dada-nya (lauhul mahfudz) untuk dapat menerima pemahaman yang kelak akan datang masuk, kemudian berharmonisasi dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam kitab-kitab suci (kitab samawi) dan kitabul ardhi sebagai peringatan, yang datang melalui seseorang yang terpercaya (rasul Allah).
Akan tetapi tanpa iman, kesemuanya tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa. Tidak akan membawa pada keselamatan di dunia dan akhirat. Padahal untuk hal sekecil apapun saja diperlukan iman atau rasa percaya, keyakinan. Ambil contoh, bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat dengan menggunakan angkutan umum, bila ia tak percaya kepada supirnya, maka apa yang terjadi? Pasti terhambat. Dan bila ia telah percaya, maka masih dibutuhkan keberserah dirian-nya.
Bila terhadap rasa percaya yang sepele saja membutuhkan sebuah keberanian, apalagi kepada rasa percaya terhadap sesuatu  yang besar, yaitu keselamatan hidup di dunia dan di akhirat, tentulah dibutuhkan hal yang lebih besar dari sekedar keberanian. Apakah itu? Mencari sesuatu yang tidak sepele, yang sesungguhnya benara-benar menguasai keselamatan itu sendiri, yang ternyata adalah ada tapi tak kelihatan oleh mata-nya, dan yang berkuasa tapi tak disadari-nya. Dan akan menjadi nyata wujud dengan segala sifat-Nya bagi orang-orang sungguh-sunguh berusaha menuju kepada-Nya. Maka iman itu diklasifikasikan (Rukun Iman) kepada, yaitu :
1.    Allah (Pencipta segala sesutu)
Sebagai nama tunggal bagi pencipta segala sesuatu baik yang nyata kelihatan, maupun yang nyata tidak kelihatan.
2.    Para Malaikat (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
3.    Para Rasul (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
4.    Kitab-Kitab Suci (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Ketiganya merupakan alat atau aparat Allah yang menyampaikan petunjuk kepada keselamatan.
5.    Hari Akhir (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
6.    Kadar Baik-Buruk (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Keduanya, yaitu Hari Akhir dan Kadar Baik-Buruk, merupakan Petunjuk menuju keselamatan agar mencapai akhir yang baik dan sempurna, khusnul khatimah. Beriman kepada Hari Akhir atau hari kemudian, maksudnya agar manusia percaya pada hari penghakiman, dimana segala amal perbuatan sekecil apapun akan diperhitungkan. Dan beriman kepada kadar baik dan buruk, maksudnya agar manusia dalam kehidupannya pun dapat menerima bukan hanya nikmat kebaikan, akan tetapi nikmat keburukan pun harus dapat diterimanya.
Seperti halnya telah menganggap lumrah dalam menerima malam setelah siang, dan telah pula menganggap lumrah, maaf, saat harus buang air (besar maupun kecil) setelah menerima nikmat makanan dan minuman dari Tuhan-Nya. Karena Allah menciptakan segala sesuatu selalu pasti bersama pasangannya, betapa Tuhannya selalu memberikan rahmat-Nya yang hanya berupa rahmat kebaikan, sekalipun diri kemanusiaan menganggapnya adapula keburukan yang diterimanya, namun keburukan tersebut, sesungguhnya adalah agar dirinya mencapai kesempurnaan fitrah-nya.
Sesungguhnya, rahmat-Nya tidaklah berkekurangan dan tidak pula berlebihan, keterbatasan diri-nya lah yang menjadikannya kurang ataupun lebih. Menjadi kurang ataupun lebih, adalah disebabkan karena diri-nya sendiri yang tak mempersiapkan dalam menerima semua rahmat-Nya. Begitulah keterbatasan pada kemanusiaan dalam menilai segala sesuatu selalu dengan pasangannya, sebagai yang baik atau buruk, kurang atau lebih, benar atau salah dan lain sebagainya, yang padahal semuanya tersebut adalah rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan rahmat Allah adalah tunggal, yaitu kebaikan, dan tidak ada yang lainnya, hanya kebaikan. Hanya karena tak sesuai keinginannya, maka dirinya menilai sebagai yang buruk. Padahal dirinya memiliki keterbatasan dalam memandang dan memahami, yang kelak akan disadarinya bahwa apa yang semula dikiranya keburukan, ternyata adalah membuat kebaikan bagi dirinya. Dia-lah Allah Yang Maha Sempurna, dan Dia menghendaki setiap makhluk-Nya pun menjalani kesempurnaan sebagai ciptaan-Nya.
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)
Keenam Rukun Iman tersebut diatas wajib diimani secara nyata dan tidak hanya sekedar percaya tanpa pengetahuan, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Mengimani petunjuk yang merupakan jalan lurus yang terang sebagai kebenaran yang datang dari yang Maha Benar, dan disampaikan melalui penyampai yang benar dan terpercaya, serta berakhlak mulia, lagipula tidak sedikitpun mereka mengharap upah ataupun imbalan, adalah kerugian apabila diri ini mengingkarinya.
Bila diingkari, yaitu amal perbuatan yang tidak didasari oleh keimanan, maka tunggulah saat bencana dan musibah datang yang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri, dimana dada terasa sesak, sempit, dan menghimpit. Maka rasa iman itu baru muncul, dimana penyesalan tiada lagi berguna karena dosa dan balasan kini di hadapan mata dan siap dituai. Karena amal perbuatan seberat biji sawi pun memiliki balasan.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Padahal tidak usahlah maut di hadapan mata, perbuatan seperti, mencuri, menipu, korupsi, dan pidana lainnya akibat tidak adanya rasa iman, maka penjaralah ganjarannya. Itulah kehinaan disebabkan menuruti hawa nafsunya. Itu pula karena belum terlihat oleh hatinya segala yang gaib, termasuk akibat atau balasan dari perbuatan. Bagaimana mungkin, bila sedang haus, kita bisa mengimani (meyakini) bahwa dengan minum maka hauspun akan terobati, tetapi tidak dapat mengimani atau meyakini perbuatan buruk yang kelak akan mengakibatkan keburukan pula bagi dirinya sendiri? Bukan hati yang buta, akan tetapi hawa nafsu (diri) yang membabi-buta, tiada perduli kepada hari kemudian yaitu penjara akibatnya, dan kadar baik-buruk nya yaitu apa yang dipandang baik hari ini maka kelak pasti akan datang pasangannya. Seperti datangnya cahaya yang selalu bersamaan diiringi oleh bayangan gelap-nya. 
Betapa setiap diri kemanusiaan cenderung mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi nurani-nya pun, kelak ketika menghadapi musibah dan bencana, akan mengharapkan petunjuk dan lindungan dari apa yang dianggapnya sungguh-sungguh berkuasa termasuk kepada dirinya. 




................... (BERSAMBUNG)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar