Jumat, 31 Mei 2013

MU'MIIYN




Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
 (QS 2:136)
B
er-keimanan mengandung makna luas, tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya, kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir, ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya, sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya, kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi, adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab, hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui. Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji (muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah), di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat, sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu apa sajakah itu?
Kelak, dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan.  Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)”. (QS 6:162-163)
Ibadah shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad, pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin, yaitu  pengakuan yang mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat sah-nya shalat.
Jasadnya yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya. Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad, pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Tersesatnya jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa, yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran, gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia sungguh dalam kerugian.
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Kebaikan dan keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditanam sebelumnya, serta bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian, dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya. Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia, dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini. Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat, tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian (ibadah). Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Marilah kita, sebagai insan kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara. Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli (pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah. Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa (nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan, bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti, untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya, melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi. Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih, tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional, malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas semua itu.
Sungguh ironis, parahnya keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya. (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah pemilik segala sesuatu.
Hidup dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat. Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar