Minggu, 26 Mei 2013

Bab I - TIADA TUHAN SELAIN ALLAH



Bab I
Meyakini  ALLAH
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) Agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
 (QS 7:172)
K
emanakah seharusnya seluruh keyakinan mengarah, dan harapan serta daya kekuatan bertumpu, bila selain kepada Dia yang sesungguhnya mencipta, menguasai, dan kemudian memelihara? Yaitu yang mencipta segala sesuatu dengan sempurna rancangan dan kejadiannya yang tanpa cacat, menguasai segala sesuatu dengan sempurna adil dan bijaksana-Nya, serta memelihara segala sesuatu dengan sempurna kasih dan sayang-Nya. Dia-lah Cahaya diatas cahaya, yang mencipta segala sesuatu dengan cahaya-Nya, menetapkan pada kehendak-Nya dan meneranginya dengan petunjuk-Nya, kemudian memelihara dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya yang Maha Adil lagi Bijaksana. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari-Nya.
Bukan mata yang tak melihat dan bukan pula hati yang buta, akan tetapi cahaya sejati yang seharusnya menerangi segala sesuatu tersebut yang belum menyentuh jiwanya. Sehingga kesempurnaan segala sesuatu tersebut, baik ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan pemeliharaan-Nya menjadi tak nyata oleh mata dan hatinya terhalang oleh kekotoran-kekotoran akibat kecintaan yang berlebihan kepada selain-Nya, bukan mata yang tak melihat, melainkan hatinya yang buta. Jadilah jiwa-nya kehilangan keyakinan.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Bila cahaya sejati telah menyentuh jiwa-nya, maka dia telah berada di dalam naungan istana sadar. Seperti layaknya berada di dalam ruangan yang diterangi cahaya lampu setelah gelapnya, maka hati dan jiwanya telah memiliki keyakinan, ketenangan, dan ketentraman, setelah sebelumnya merasa sempit, resah, gundah, serta takut dan tersesat. Cahaya sejati itulah yang menerangi jiwa-nya hingga mengetahui dan memahami dengan kesadaran-nya, tentang mana yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menyelamatkan dan menjerumuskan.
Bukan pula hati tak mengetahui atau menyadari keberadaan dan kuasa mutlak-Nya, akan tetapi kepentingan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya jauh lebih kuat mempengaruhi jiwa, menyesatkan dari petunjuk-Nya dari jalan lurus sesuai kehendak-Nya. Pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya menjadi lebih kuat yang didorong oleh keinginan dan kebutuhan yang telah membelenggu kehidupannya. Hal tersebutlah yang semakin menjauhi dirinya dari cahaya petunjuk Tuhannya, yang seharusnya dapat melihat segala kebenaran hakiki menuju keselamatan dirinya.
Keadaan seperti itu membuat pengenalan terhadap Tuhannya menjadi semakin terkikis, semakin tersesatlah dirinya dari jalan kembali kepada Tuhannya. Padahal kembali kepada Tuhannya adalah hal yang utama dari setiap tujuan, karena segala sesuatu di semesta alam ini, termasuk dengan dirinya, adalah berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Jangankan menyadari keberadaan Tuhannya, menyadari keberadaan para aparat (malaikat)-Nya, yang sesungguhnya bersinggungan langsung dengannya dan sebagai penyampai segala kehendak dan ketetapan-Nya pun tak pernah terasa apalagi diketahui dan dikenalnya. Ya, aparat Allah yang sesungguhnya menjaga, membantu, dan membawa petunjuk atas perintah Tuhannya, inipun menjadi semakin tak dirasa keberadaannya. Lama-kelamaan terkikis dan hilanglah keyakinan peran mereka terhadap kehidupan kemanusiaan.
Karena di alam, maka diri kemanusiaan tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin, yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui sebagai Yang Maha Pemberi (Pemurah), kecuali bila telah diberi pengetahuan yang atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenal segala sesuatu, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha Tunggal (Allaahu Ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala tempat keberadaan-Nya.
Dzat atau Wujud Tunggal
Ar Rahman adalah sebutan Dia untuk dzat atau wujud tunggal-Nya. Wujud-Nya adalah Maha Pemurah kepada segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dalam pemeliharaan-Nya yang maha sempurna. Dan segala sesuatu tidak ada yang lepas dari rahmat-Nya.
Dia merahmati seluruhnya apa-apa yang berada di langit maupun yang berada di bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, setiap saat, mengatur dan memeliharanya dengan sangat sempurna. Begitulah kesibukan-Nya yang sama-sekali tidak tersentuh oleh kelelahan maupun rasa kantuk untuk merahmati seluruh makhluk (QS 2:255).
Melalui cahaya-Nya (nur Allah) penciptaan diawali dengan penciptaan para aparat atau malaikat-Nya (nur Cahya), kemudian semesta alam dengan segala sesuatu isinya, termasuk insan kemanusiaan (nur Muhammad sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji). Dengan demikian Dia-lah sumber asal segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah Dia. Segala sesuatu tersebut yang tak terhitung jumlahnya dan bertebaran di semesta alam ini adalah perwujudan Dia. Akbar di dalam Tunggal-Nya.
 Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah) segala sesuatu secara saling berketerkaitan atau berinteraksi hingga tercapai keseimbangan yang sempurna yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan-Nya (sunathullah). Itulah mengapa kemurahan-Nya menjadi berhubungan sekali dengan keadilan-Nya, yaitu menjaga keseimbangan pada setiap rahmat-Nya, baik itu menjaga keseimbangan dalam mencari rizki, kehidupan sosial, dan pula menjaga keseimbangan alam sebagai tempat kehidupan.
Begitu pula kemurahan-Nya berkaitan dengan kekuasaan-Nya, agar dengan kuasanya rahmat-Nya sampai kepada seluruh ciptaan-Nya. Dan begitu pula keterkaitan dengan ilmu-Nya, tentu pengetahuan-Nya haruslah meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya. Begitulah keterkaitan segala sifat dari Maha Pemurah-Nya, maka Dia adalah Maha Segala-galanya di dalam ketunggalan-Nya.
Masih begitu banyaknya segala sesuatu wujud, baik yang nyata terlihat (lahir) maupun yang tak terlihat (bathin), yang belum diri-diri kemanusiaan ketahui, dan setelah semakin diketahui maka telah menunggu lagi berikutnya untuk pula diketahui. Jangankan menentukan berapa banyak jumlah wujud yang belum diketahui, menentukan jumlah yang sudah diketahui saja pun takkan pernah selesai.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)

Begitulah Dia, wujud Sang Maha Pemurah. Segala sesuatu wujud yang berada dan tersebar di semesta alam ini adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Pemurah, ar raahman, dan Dia bukan-lah segala sesuatu tersebut. Keterbatasan diri kemanusiaan-lah yang sesungguhnya menjadi tabir yang menutupi penglihatan kepada-Nya, sedangkan Dia mengetahui segala sesuatu tanpa batas. Bagaimana mungkin diri kemanusiaan dapat melihat dan mengetahui Dia yang sesungguhnya memberi penglihatan dan pengetahuan kepadanya? Kecuali Dia berkehendak lain kepadanya. Dia-lah yang zhahir dan yang bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami, apalagi dalam hal mendefinisikan Dzat-Nya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
Allah memang kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas. Akan tetapi Dia pun menyatakan, hanya kepada mereka yang mau menggunakan akal-nya itulah maka Allah berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya. Sehingga kehendak-Nya adalah bagi mereka yang menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran dan menerapkan apa-apa yang didapat melalui akalnya.
Sekalipun akal kemanusiaan pun sebagai yang memiliki keterbatasannnya, namun sesungguhnya, akal dan kesadaran tersebut adalah merupakan yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya. Dan sungguh, keterbatasan pada diri-diri kemanusiaan pun mengalami tingkatan-tingkatan yang lebih karena berdasarkan sejauh mana penggunaan akal-nya yang terbatas, apalagi dalam hal mengenal-Nya. Selama dia tak berhenti pada suatu tingkatan, dan menjadi taqlid tak lagi hendak menggunakan akal-nya,  maka akal-nya akan terus berkembang kepada tingkatan-tingkatan yang membawa kesadaran-nya kepada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Seluruhnya tersebut, yang sampai kepada diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya adalah karena karunia kemurahan-Nya untuk seluruh umat kemanusiaan. Lihat dan renungkanlah, segala sesuatu yang Allah ciptakan, kemudian segala sesuatu tersebut memiliki gerak atau kehidupannya, sesungguhnya demi kemudahan kehidupan kita, diri-diri kemanusiaan. Bila rahmat-Nya tersebut ada yang terasa buruk bagi kita, sesungguhnya adalah karena keterbatasan dan menjadikan karena ulah perbuatan kita sendiri. Maka, kelak setelah mendekati puncak kesadaran, kita akan memahaminya bahwa, sesungguhnya hal-hal itupun demi mencapai kebersihan diri kita sendiri juga. Demi menyucikan kekotoran atas dosa-dosa yang meliputi jiwa, agar mencapai kesempurnaan akhir pada saat hendak kembali pulang kepada-Nya, ilayhi raji’un. Subhanallah, sungguh Dia Yang Maha Kasih Sayang lagi Maha Bijaksana yang bahkan dengan azab-Nya. ternyata adalah karena Cinta Kasih-Nya hendak menyucikan segala kekotoran dosa makhluk-Nya.
Kita, sebagai diri-diri kemanusiaan yang merupakan ciptaan-Nya, hanya dapat mengenal wujud-Nya melalui segala rahmat-Nya. Bila hanya satu atau dua rahmat-Nya, belumlah tentu cukup untuk dapat mengenal-Nya. Itulah sebabnya Dia selalu mengingatkan kita agar selalu menggunakan akal dan hati dalam setiap interaksi dengan sesama makhluk-Nya di alam ini.
Nama Tunggal
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......  (QS 17:110)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah). Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang, dan Dia sendirilah yang memberitahukan melalui firman-Nya,
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,........”  (QS 18:14)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk, yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara, mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
Di dalam al Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Sebuah nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.

Predikat Tunggal
Pekerjaan-Nya yang selalu sibuk mencipta segala sesuatu disetiap waktu, tiada pernah berhenti dan tiada tersentuh kelelahan, dan tiada pula tersentuh rasa kantuk (QS 2:255), maka sebutan Khaliq atau Maha Pencipta adalah sebagai  predikat tunggal Tuhan. Dia-lah pencipta segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Dan segala sesuatu selain Dia adalah ciptaan-Nya, yaitu semesta alam, langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya, kemudian menyempurnakan dengan menentukan kadar-kadarnya (sunathullah) dalam kuasa serta pemeliharaan-Nya.
Segala sesuatu Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah), dan dengan cahaya-Nya tersebut yang sebagai bahan baku penciptaan para aparat-Nya yang disebut malaikat (nur Cahya). Sampai disitulah, Dia yang Maha Tunggal, kini hanya tinggal memerintah para aparat-Nya untuk mengerjakan apa-apa yang dikehendaki-Nya (itulah mengapa terkadang pada firman-Nya menggunakan kata “Kami”  yang berarti memerintahkan kepada para aparat-Nya, yakni para malaikat, untuk mengerjakan apapun kehendak-Nya). Dan kemudian, dengan memerintahkan para malaikat-Nya, kemudian dibentuk dan dibangunlah semesta alam beserta segala isinya, yaitu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk diri-diri kemanusiaan sebagai perwujudan yang Maha Terpuji (nur Muhammad).
Nur atau cahaya tersebutlah yang sesungguhnya sebagai energi, yang dengan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, yang menggerakkan atau menghidupkan segala sesuatu (materi) bekerja dalam satu (ke-Tunggal-an) sistem semesta secara keseluruhan yang begitu akbar, tak terhitung jumlah materi beserta sifatnya yang tercipta, bahkan termasuk rizki yang berupa makanan-nya demi kelangsungan kehidupan sistem tersebut.
Semesta alam ini, bumi dengan jumlah populasi tumbuhan yang mencapai milyaran, populasi hewan yang mencapai milyaran, dan populasi manusia pun mencapai milyaran. Di langit pun begitu, bintang yang bertebaran di dalam satu galaksi saja, populasinya pun mencapai milyaran, sedangkan di langit terdapat milyaran galaksi. Bayangkanlah betapa luas dan tak terhitungnya isi semesta alam ini. Suatu predikat Yang Maha Agung-lah penciptanya.
Allah yang menciptakan, memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam. Itulah nama atau sebutan predikat tunggal-Nya sebagai Khaliq. Dan Dia-lah pencipta segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk langit dan bumi itu sendiri sebagai tempat atau alam yang amat teramat luas (semesta alam).
Af’al Tunggal
Af’al tunggal-Nya adalah Semesta Alam, sebagai karya cipta-Nya yang tunggal (QS 21:30), yang merupakan suatu sistem makro semesta yang saling terkait satu sama lainnya dari setiap keseluruhan isinya secara sempurna dalam suatu hukum Tuhan, yang disebut sunathullah. Sehingga tidak sedikitpun sesuatu yang terlihat cacat pada setiap bagiannya, sekecil apapun itu (QS 67:3).
Tentu pula, semesta alam ini dipenuhi oleh nur Allah, nur Cahya, dan nur Muhammad sebagai unsur dasar pembentukan segala sesuatu yang menjadi makhluk-Nya. Bahkan, makanan berikut sumber-sumber makanan-nya pula, yang dalam ilmu biologi disebut dengan ‘siklus rantai makanan’, yang merupakan rizki dari Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Suatu makhluk yang merupakan rizki makanan bagi makhluk lainnya, menjadi saling berketergantungan kepada manfaat satu sama lainnya.
Nur atau cahaya inilah yang sesungguhnya merupakan energi yang membentuk wujud atau struktur setiap materi, kemudian menghidupkan-nya, yaitu tumbuh dan berkembang, bahkan ikut serta membentuk wujud-wujud atau struktur-struktur yang jauh lebih kompleks dan rumit yaitu makhluk hidup, seperti manusia. Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap masih memerlukan cahaya untuk keberlangsungan gerak hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Kesemuanya tersebut adalah merupakan kehendak-Nya dalam sebuah ketetapan (sunathullah). Kelak, di bab-bab selanjutnya, tentang energi ini akan diuraikan secara bertahap dan lebih luas lagi.
Segalanya dicipta, dibentuk, kemudian dihidupkan dan menerima pula segala sesuatunya dalam sistem lindungan dan pemeliharaan-Nya. Tiada yang luput sedikitpun dari setiap kehendak dan ketetapan Dia yang Maha Kuasa. Adalah sifat makhluk sebagai yang menerima, sedangkan Dia adalah sebagai pemberi, yang Maha Pemurah (ar Rahman) dan Maha Adil. Keadilan-Nya lah yang menciptakan keseimbangan yang sempurna di alam ini.

“...dan  Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. (QS 55:7-9)
Sifat Tunggal
Segala sesuatu dinamakan berdasarkan sifatnya. Begitupun kepada Dia, akan tetapi dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat yang tak terhitung banyaknya (Akbar), maka tak ada nama yang sesuai dan layak diberikan untuk segala sifat-Nya. Sehingga disebut Akbar sebagai sifat tunggal-Nya agar mencakup keseluruhan sifat-Nya yang tak terhitung.
Penafsiran dari beriman kepada Allah adalah lebih untuk mengenal-Nya melalui sifat-sifat Allah yang mewujud di alam, serta kemudian membuat diri ini tergugah untuk menggunakan sifat-sifat tersebut kepada setiap amal perbuatannya. Sehingga terciptalah manusia-manusia ber-ketuhanan yang maha esa, yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti luhur lagi mulia, yaitu perwujudan Allah di bumi sebagai penebar rahmat-Nya kepada semesta alam, khalifah yang rahmatan lil alamiin.
Pengertian ketuhanan disini bukan berarti yang ber-tuhan itu adalah tuhan, melainkan perwujudan dari sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Seperti pada pengertian kita kehujanan, maka bukti-bukti keberadaan hujan ada pada kita, yaitu basah-nya sebagai salah satu sifat hujan yang membasahi. Dengan demikian, pemahamannya adalah mewujudkan sifat-sifat Tuhan pada setiap gerak amal perbuatannya yang jelas bersentuhan dengan apapun selain pula dirinya, sehingga menjadi rahmat bagi bagi diri dan sesama makhluk Tuhan. Rahmatan lil ‘aalamiyn.
 Akbar-nya sifat-sifat Allah yang tak terjangkau dengan hitungan dan bilangan-Nya oleh kemanusiaan, dikarenakan hitungan dan bilangan-Nya pun adalah merupakan makhluk ciptaan-Nya (segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan, pun termasuk nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah makhluk), adalah sebagai yang menunjukkan bukti keakbaran rahmat dan nikmat Allah yang sesungguhnya, keseluruhannya dianugerahkan bagi kehidupan kemanusiaan.
 Lihatlah dalam kehidupan dunia sehari-hari disekitar kita, sekalipun dikatakan, orang-orang beriman telah langka, tetapi norma masihlah hidup diantara mereka, terbukti masih ada kepedulian dan kasih sayang antar sesama, sekalipun yang sebaliknya pun tetap merajalela. Artinya, sifa-sifat Allah tetap mewujud di bumi melalui manusia-manusia yang ber-keimanan berdasarkan tinggi-rendahnya kadar keimanannya.
Dalam teologi dan metafisika Islam, para ulama membedakan antara Dzat Tuhan dan Sifat Tuhan yang dinyatakan-Nya melalui wahyu. Di dalam Al Qur’an, Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pengasih, Yang Maha Pemurah, Yang Hidup, Yang Maha Kuasa, dan lain-lainnya. Dari sebutan-sebutan itulah kemanusiaan memahami sifat-sifat Allah yang akbar (banyak dan tak terhitung), namun Dzat-Nya diluar jangkauan pengetahuan kemanusiaan.
Oleh sebab itulah, maka para ulama memisahkan antara Dzat Tuhan di satu sisi dengan Sifat-Sifat Tuhan di sisi yang lain. Dimana Dzat Tuhan sebagai yang bathin (tak terlihat atau ghaib), dan Sifat-Sifat Tuhan sebagai yang zhahir (nyata atau lahir) bagi pengetahuan kemanusiaan. Tidak seperti kemanusiaan memahami yang selain Tuhan, malah kebalikannya. Segala sesuatu selain Tuhan, dapat dipahaminya melalui wujud dan bentuknya sebagai yang zhahir (nyata atau lahir)-nya, dan sifat-nya sebagai yang bathin bathin (tak terlihat atau ghaib). Karena itulah Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang Bathin.
Secara ekstensial, tidak ada perbedaan yang dapat memisahkan antara Dzat dan Sifat. Sekalipun demikian, kemanusiaan memandang adanya perbedaan antara pengampunan Tuhan dengan siksa-Nya, seolah ada sisi baik dan kejam dari kuasa-Nya. Padahal pengampunan Tuhan adalah bagi mereka makhluk-Nya yang berusaha keras memperbaiki kesalahan tanpa mengulanginya kembali, sedangkan siksa-Nya adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri yang terus hanyut dengan kesalahan yang berlarut-larut. Seperti itulah hukum atau ketetapan (sunathullah)-Nya yang takkan pernah berubah.
Marilah kita tinjau dan resapi dalam-dalam, serta coba memahami makna-makna dari sifat dua puluh Allah yang telah dianugerahkan kepada seluruh kemanusiaan, sehingga menyadarkan kita kembali akan keagungan dan kemuliaan Dia, yaitu betapa hampanya kita bila tanpa anugerah-Nya, serta memanfatkan anugerah tersebut sebaik-baiknya, juga siap menerima bila anugerah yang telah diberikan dicabut kembali oleh-Nya.
1.          Sifat Wujud
Dia bersifat Wujud, yaitu ada. Sedangkan ciptaan-Nya, termasuk manusia ternyata tidak ada. Wujud manusia adalah perwujudan Allah. Maka, segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya ternyata adalah perwujudan Allah. Perwujudan Allah adalah wujud semesta alam ini termasuk isi di dalamnya baik yang nyata terlihat dan yang nyata tak terlihat, tetapi Dia bukanlah alam itu sendiri.
Bingung? Tidak usah bingung. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah penulis itu sendiri, tentunya. Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tak berhinggaan termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya.
Allah meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia, sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya saja. Maka Dia-lah yang Akbar.
Sifat wujud-Nya ini dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yaitu wujud yang sesempurna-sempurnanya (muhammad), sebagai perwujudan Dia Yang Maha Sempurna lagi Maha Terpuji.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)

Perwujudan-Nya pada setiap ciptaan atau makhluk-Nya, merupakan petunjuk, bahwa segala sesuatu ada setelah Dia adakan atau wujudkan. Sehingga, mengarahkan kepada pemahaman, bahwa sesungguhnya Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu.
2.          Sifat Qidam
Allah  bersifat Qidam, yaitu pendahulu. Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist). Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir. Sungguh tak terhitung awal segala sesuatu, maupun akhir dari segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, maka Dia pulalah yang Akbar.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin ada dari segala sesuatu tersebut yang mengetahui kapan Dia berakhir. Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dan sifat sebagai pendahulu inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan. Ya, sifat inilah yang mendasari diri kemanusiaan selalu mendahului dengan menganalisa, memahami, kemudian merencanakan segala sesuatu sebelum melaksanakan niat kehendak-nya untuk mencapai kesempurnaan hasil yang akan didapatnya. Dengan anugerah sifat inilah manusia menjadi memiliki peradaban yang selalu berkembang semakin sempurna dari waktu ke waktu.
Segala sesuatu selalu didahului oleh kehendak serta ketetapan dari setiap perencanaan-Nya. Tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya dan berada di dalam kesempurnaan kuasa serta pemeliharaan-Nya. Dan Dia sebagai pendahulu segala sesuatu, maka menunjukkan sifat-Nya yang kekal abadi sebagai bukti bahwa segala sesuatu, baik yang telah ada sebelum ini dan telah tidak ada sebelum ini, maupun kelak yang akan ada dan kelak akan tiada, adalah didahului oleh keberadaan dan kehendak-Nya. Dan dengan demikian, maka jelaslah, bahwa Dia-lah yang Kekal Abadi.
3.          Sifat Baqa
Allah bersifat Baqa, yaitu kekal abadi. Sedangkan segala sesuatu selain-Nya bersifat fana atau berubah-ubah, tidak kekal dan sementara atau mengalami kematian (berakhir). Dia abadi bersama segala sifat-Nya, dan tidak ada yang berubah dari apa-apa yang telah ditetapkan-Nya.
Kekekalan dan keabadian-Nya mengkerdilkan segala sesuatu selain Dia. Kerdil dalam segala hal, karena segala hal tersebut pun ternyata adalah ciptaan-Nya. Kerdil pada setiap makhluk-Nya adalah bentuk keterbatasan dalam segala hal tersebut. Hidup yang terbatas, kekuasaan yang terbatas, keadilan yang terbatas, kesabaran yang terbatas, kekuatan yang terbatas, ilmu yang terbatas, penglihatan dan pendengaran yang terbatas, serta dalam segala hal makhluk memiliki keterbatasan yang mutlak.
Anugerah-Nya kepada manusia dari sifat-Nya ini, ialah pada kekalnya jiwa yang dengan amal perbuatan-nya yang melekat terus di diri kemanusiaan, yang terus terbawa di kehidupan-kehidupan selanjutnya, baik itu adalah amal perbuatan baik ataupun amal perbuatan buruk. Kekal sebagai yang mendapat balasan nikmat ataupun balasan siksa selama adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), yang sesungguhnya merupakan sarana pemurnian (kesucian) jiwa agar dapat kembali kepada Tuhannya. Kembali kepada-Nya dalam keadaan bersih dari noda kekotoran selama bersinggungan dengan kehidupan dunia, karena yang dapat kembali kepada-Nya hanyalah mereka yang telah suci.
Segala perwujudan-Nya yang dalam bentuk ciptaan atau makhluk memiliki kekekalan berdasarkan waktu yang telah ditetapkan-Nya untuk suatu urusan dalam setiap rancangan semesta-Nya yang Akbar. Sifat Abadi-Nya mengukuhkan sifat-sifat sebelumnya yaitu sebagai yang wujud dan yang pendahulu. Juga yang mewujudkan segala bentuk dan sifat kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia berbeda dengan selain-Nya, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk-Nya, termasuk manusia yang ternyata sesungguhnya fana ternyata tidak ada atau hampa, karena selalu mengalami perubahan (hadits).
4.          Sifat Mukhalafathul Lil Hawaditsi
Bermakna, Allah berbeda dengan makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Maka segala sesuatu yang selain Dia tidak akan dapat menyamai sifat Allah. Dia-lah yang Maha Tunggal. Tidak ada definisi yang tepat yang dapat ditujukan kepada-Nya, kecuali apa-apa yang telah diterangkan oleh-Nya sendiri melalui firman-Nya.
Jadi jelaslah bahwa segala sesuatu selain Dia adalah tidak ada, kosong atau hampa, dan amat bergantung terhadap semua hal kepada-Nya. Ada karena diwujudkan oleh-Nya, jangankan hidupnya, matinya saja karena dimatikan oleh-Nya. Tidak sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya, yang juga merupakan ciptaan atau makhluk-Nya tentu amat bergantung kepada-Nya.
Dan sifat berbeda inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yang memiliki jiwa dengan karakteristik yang saling berbeda satu sama lainnya. Sehingga dengan demikian, timbullah saling berketergantungan dan saling melengkapi satu sama lainnya dalam keselarasan ekosistem semesta, seperti yang telah ditetapkan dari kehendak-Nya (sunathullah), Tuhan seluruh alam.
Perbedaan ini memang ada efek di sisi negatif-nya, namun efek di sisi yang positif-nya jauh lebih besar dan lebih bermanfaat. Lihatlah seluruh perbedaan yang telah Allah ciptakan dan tersebar di alam ini. Bila segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam bentuk, ukuran, sifat, gerak, dan warna yang seluruhnya memiliki persamaan, maka apa yang terjadi. Semua akan terlihat dan terasa monoton dan membosankan.
Dan Dia yang dengan rahmat-Nya memelihara seluruh segala sesuatu di semesta alam ini menjadi bergantung dan berharap akan kuasa perlindungan dan pemeliharaan-Nya disetiap waktu. Juga Dia yang tak pernah lelah dan tidur memelihara seluruh makhluk-Nya. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan Dia sebagai yang berdiri sendiri atau bersifat mandiri.
5.          Sifat Qiyamuhul Binafsihi
Sifat-Nya yang berdiri sendiri atau mandiri, dan segala sesuatu selain Dia bergantung kepada-Nya, yaitu hidup dalam pemeliharaan-Nya yang sangat sempurna.
Dia tidak membutuhkan sesuatu sekecil atau sebesar apapun, justru kepada Dia-lah segala sesuatu berharap akan rahmat serta karunia-Nya. Segala sesuatu-lah yang sesungguhnya bergantung kepada-Nya. Adanya keberadaan segala sesuatu adalah karena kehendak-Nya, sehingga hanya Dia-lah yang memberikan rahmat pemeliharaan dan perlindungan. Maka, bagaimana mungkin Dia membutuhkan dari selain-nya, sedangkan selain-Nya amat berharap atas segala rahmat-Nya.
Dan sifat berbeda inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan di dalam kehidupannya agar dapat mandiri berusaha dalam menggapai dan mensyukuri setiap rahmat-Nya dengan tidak bergantung atau berharap kepada selain Dia, Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Mandiri sebagai Yang Maha Tunggal.
Tentunya Allah menganugerahkan sifat inipun dengan menganugerah segala rahmat-Nya yang lain agar kemandiriannya dapat terwujud, seperti fisik dan kekuatan, akal dan pikiran, serta kesadaran dan rasa. Yang kesemuanya tersebut merupakan dasar pendukung bagi fitrah kehidupan setiap diri kemanusiaan agar menjadi khalifah di bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan demikian anugerah-Nya itulah yang menjadi petunjuk sebagai bukti, bahwa segala sesuatu mengarah tertuju hanya kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal sebagai tempat kembali segala sesuatu.
6.          Sifat Wahdaniyat
Dia-lah yang bersifat esa atau tunggal, sedangkan yang selain Dia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, adalah berbilang atau jamak, bahkan tak terhitung. Bila dibandingkan, diri-nya bagaikan setetes dari jumlah tetesan air yang memenuhi lautan di atas permukaan bumi. Apalagi keberadaannya bila dibandingkan dengan semesta alam raya ini, bagai titik kecil yang tak terlihat. Dan segala sesuatu di semesta alam raya yang tak terhitung itu, bersumber atau berawal dari-Nya, serta akan mengarah kembali pulang kepada-Nya.
Karena di alam, kemurahan-Nya yang berupa rahmat kebaikan sebagai yang tunggal, menjadi tak terhitung dan berpasang-pasangan dipahami oleh diri-diri kemanusiaan. Dipahami sebagai kebaikan dan keburukan, kemudahan dan kesulitan, terang dan gelap, dan lain sebagainya yang merupakan segala sesuatu yang banyak tak terhitung dan berpasangan.
Akan tetapi, janganlah lupa, bahwa sebenarnya, diri ini yang dengan jasadnya meliputi milyaran sel bersama milyaran kehendak yang berada di bawah pengaruh dirinya. Adalah yang tunggal pula bersama keakbaran-nya. Sadarilah, sesungguhnya inipun adalah anugerah ketunggalan yang diberikan kepada setiap diri kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Tunggal di alam dunia.
Tidak hanya ketunggalan pada wujudnya, tetapi juga dengan ketunggalan kehendak pada diri-nya, ketunggalan kehendak pada keluarga-nya, ketunggalan kehendak pada lingkungan atau kelompok-nya, terus kepada yang lebih luas lagi cakupannya sesuai dengan kapasitas kemampuan dirinya. Kesemuanya untuk mencapai kesempurnaan.
Ketetapan-Nya (sunathullah) yang menghendaki segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya memiliki kecenderungan mendapatkan pasangan-nya, untuk menentramkan rasa kebergantungan yang merupakan fitrah ciptaan atau makhluk kepada penguasa yang menguasainya.
7.          Sifat Qudrat
Sifat-Nya yang berkuasa, sedangkan bagi makhluk-Nya adalah yang dikuasakan, atau dapat pula diartikan sebagai yang diberi kuasa oleh-Nya. Dialah Penguasa Sejati, segala sesuatu selain Dia adalah yang dikuasai-Nya. Kekuasaann-Nya meliputi langit dan bumi, serta apa-apa yang terdapat diantara keduanya. Dan Dia tiada pernah lengah terhadap sesuatu, sekecil atau sebesar apapun itu.
Kekuasaan-Nya diiringi keadilan dan kebijaksanaan sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang serta Maha Memelihara. Dengan itulah terjaga keseimbangan berdasar ketetapan-Nya (sunathullah), sebuah keseimbangan semesta ciptaan-Nya.
Dan pada diri kemanusiaan pun dianugerahkan pula sifat kuasa ini kepadanya sebagai bukti gelar khalifah di bumi yang diberikan saat hendak mencipta kemanusiaan pertama, yaitu Adam AS. Tentu sifat kuasa yang dianugerahkan-Nya tidak untuk dipergunakan sebagai yang merusak dan saling menumpahkan darah (QS 2:30), seperti yang dikhawatirkan para malaikat.
Sayangnya pula kekhawatiran para malaikat terhadap dua hal tersebutlah yang justru benar-benar terjadi selama ini dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Keserakahan akibat hawa nafsu yang mendasari dua perbuatan buruk tersebut adalah, seperti tidak bertanggung jawabnya pada kerusakan alam akibat dieksploitasi habis-habisan kemudian ditinggalkan. Tidak bertanggung jawabnya atas kerusakan kehidupan sosial kemasyarakatan akibat mengejar kebutuhan materi, seperti tumbuh dan berkembangnya prostitusi, judi, hiburan malam, dan narkoba yang merusak moral kehidupan kemanusiaan itu sendiri. Juga pada ego diri ataupun kelompok golongan yang demi kepentingannya, maka menafikan nilai-nilai kemanusiaan, kebaikan dan kebenaran, yang bahkan dapat berujung kepada saling menumpahkan darah.
Kembali kepada kesadaran bahwa sifat qudrat (kuasa)-nya sebagai yang dianugerahkan Tuhannya kepada diri-nya adalah sebagai amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkan, merupakan hal mutlak agar menyadari fitrah-nya sebagai wakil Tuhan di bumi sebagai khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
8.          Sifat Iradat
Dia-Lah yang sesungguhnya memiliki sifat kehendak tehadap segala sesuatu, sedangkan makhluk-Nya adalah yang diberi kehendak oleh-Nya.
Kehendak-Nya merupakan suatu ketetapan yang mutlak bagi maupun dengan melalui makhluk atau ciptaan-Nya. Melalui makhluk-nya, siapapun atau apapun dia, yang pada saat itu dijadikan alat atau aparat-Nya dalam menyampaikan kehendak-Nya, baik itu merupakan rahmat sebagai suatu kebaikan, ataupun azab sebagai suatu keburukan.
Sifat kehendak ini yang juga dianugerahkan kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang harus dimurnikan atau disucikan dari kekotoran ego dan hawa nafsunya agar kelak dalam mewujudkannya tetap berada pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebagai amanat yang kelak akan dipertanggung jawabkannya.
Sifat kehendak ini pula ternyata sebagai yang membawa kepada anugerah kepada sifat-sifat lainnya yang mendukungnya dari mulai penglihatan, pendengaran, hingga petunjuk ilmu dan rasa (hati) yang membuat kehendak-nya ini menjadi bermanfaat dan dapat menetapkan dirinya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Yaitu kehendak-nya yang merupakan perwujudan dari kehendak Dia Yang Maha Tunggal yang sesungguhnya merahmati segala sesuatu yang ada pada dirinya maupun yang datang kepadanya. Bahkan segala sesuatu yang di luar dirinya, baik yang diketahui maupun yang belum atau tidak diketahuinya, seluruhnya sebagai yang berada di dalam kehendak-Nya.
Dan segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya yang berada dalam naungan pemeliharaan-Nya dan berada di dalam kehendak dengan kuasa dan hukum-Nya (sunathullah), akan saling menciptakan keseimbangan kehidupan, yaitu kesetimbangan semesta sebagai ketetapan-Nya yang mutlak. Sehingga segala sesuatu di alam tiada yang lepas dari pengetahuan dan ilmu-Nya.
9.          Sifat Ilmu
Dia-lah yang bersifat ilmu, yaitu yang sejatinya pemilik ilmu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia makhluk adalah yang diberi ilmu, atau dapat disebut pula sebagai keilmuan oleh-Nya. Dan yang selain Dia itu pulalah, yang jangankan memiliki kepintaran, kebodohan pun tidak akan dimiliki-nya bila tidak diberikan oleh Tuhannya.
Dan pada setiap diri kemanusiaan yang diciptakan-Nya dengan kesempurnaan melalui ilmu yang dianugerahkan-Nya yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya, yaitu gelar ke-khalifahan kepadanya. Jadi, ilmu tersebut merupakan anugerah berupa amanat yang kelak harus pula dipertanggung jawabkannya. Ilmu-nya adalah merupakan ilmu-Nya, yang kelak akan kembali kepada pemilik sejati-Nya tetap dalam kemurnian dan kesuciannya, tidak terkotori atau terkontaminasi oleh ego dan hawa nafsunya.
Anugerah inilah yang diberikan kepada Adam, bapak dari setiap diri kemanusiaan, yang justru menimbulkan kedengkian sebagian malikat-Nya. Kemudian disebutlah dia iblis, yaitu malaikat yang membangkang dari perintah Tuhannya (QS 2:30-34). Kedengkiannya itu menjadi dendam abadi sepanjang masa, sampai hari akhir (kiamat), yang berusaha hendak menjerumuskan setiap diri kemanusiaan kedalam kesesatan. Namun, dengan rahmat ilmu inilah manusia, yang bila memanfaatkannya secara maksimal agar tetap dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dapat menghindarkan dirinya dari penyesatan iblis, dan dapat pula mencapai kesempurnaan-kesempurnaan lainnya dalam kehidupannya. Yaitu ilmu yang bermanfaat, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
10.     Sifat Hayyat
Allah bersifat hidup, sehingga hanya Dia-lah yang sejatinya hidup, sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang menerima atau diberi hidup atau kehidupan. Dan yang selain Dia pasti mengalami kematian kemudian terurai di alam. Dan yang selain Dia pula, jangankan kehidupan, kematiannya pun merupakan atas kehendak dan izin-Nya. Hidup-Nya lah yang menghidupkan segala sesuatu ciptaan-Nya.
Begitupun pada diri-diri kemanusiaan yang dianugerahi hidup-Nya bagi kehidupan-nya. Anugerah inipun adalah amanat kepada kemanusiaan sebagai yang harus dipertanggung jawabkannya kelak. Kehidupan kemanusiaan yang membawa tugas amanat sebagai wakil Tuhan di muka bumi agar menjadi rahmat bagi sesama makhluk-Nya di alam. Dengan demikian kematiannya pun tetap melalui kehendak-Nya, tidak seenaknya mengakhirinya sendiri.
Kehidupannya adalah karena diutusnya aparat-aparat (malaikat) Allah pembawa hidup kepada seluruh apa-apa yang berada pada tubuh atau jasad-nya. Mata dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan mulut dapat mengucap. Bahkan kepada hidup-hidup yang lebih halus yang tidak terasa telah bekerja di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak untuk memompa darah, paru-paru yang mengatur pernafasan dan suplay oksigen, usus yang mencerna, sampai kepada metabolisme sel-sel yang jumlahnya milyaran, yang kesemuanya bekerja dalam keseimbangan dalam suatu sisitem kehidupan. Kesemuanya bukanlah diri kita yang mengatur dan memerintahkan-nya.
Bila disadari, sistem kehidupan yang bekerja di dalam satu tubuh diri kemanusiaan, seperti dijelaskan di atas, seharusnya dapat berharmonisasi dengan kehidupan di luar tubuh atau jasad-nya, sehingga terjadi keseimbangannya. Yaitu, kehidupan yang membawa dan menciptakan kehidupan kepada yang lainnya, yang tidak merusak kehidupan atau bahkan saling menumpahkan darah. Kehidupan sebagai khalifah yang merupakan fitrah yang telah ditetapkan oleh-Nya, yang paling tidak adalah sebagai yang memimpin dirinya tetap berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Begitulah kehidupan kemanusiaan sebagai yang menerima anugerah hidup dari Dia Yang Maha Hidup lagi Yang Maha Pemurah.
Kehidupan diri-diri kemanusiaan adalah merupakan perwujudan hidup-Nya, karena kemanusiaan adalah wakil-Nya di alam dunia. Yang mewakili sifat-sifat Dia sebagai Ar Raahman. Kehidupannya akan menjadi bernilai bila pula memanfaatkan anugerah lainnya seperti dengan anugerah pendengaran, penglihatan, dan pengucapan.
Dan sungguh kebanyakan diri-diri kita lalai dari mensyukuri betapa berharganya nilai kehidupan ini, terutama dengan telah diterimanya pendengaran, penglihatan, dan pengucapan. Dan baru akan disadarinya kelak dengan penyesalan yang dalam, bila salah satunya hilang dari dirinya. Apa rasanya mengetahui ada yang perlu dilihat tetapi matanya buta, atau mengetahui ada yang perlu didengar tetapi telinganya tuli, dan ada yang perlu diucapkan tetapi mulutnya bisu?
Ingatlah, sesungguhnya setiap diri kemanusiaan adalah hanya menerima nikmat-Nya, sama sekali tidak ada yang dimilikinya. Hidup-nya saja karena kehidupan yang sesungguhnya dianugerahkan Tuhannya. Menghendaki hidup pun tidak. Pernahkah diri-nya minta dihidupkan? Tentu tidak. Bila demikian mengapa menjadi ada rasa takut mati? Sedangkan meminta hidup saja pun tak mampu, bila tak digerakkan oleh Tuhannya.
Apakah juga pernah meminta nafas, atau meminta udara untuk bernafas? Tentu juga tidak. Ingatlah kembali ketika terserang sakit flu, saat dada sesak dan hidung tersumbat. Maka kelegaan bernafas menjadi terasa mahal baginya saat itu. Renungkanlah, bila melihat orang yang sedang sakit, untuk bernafasnya saja dia harus membeli oksigen. Begiitulah sesungguhnya nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Dan kita sebagai diri-diri kemanusiaan hanya menerima nikmat dari segala rahmat-Nya.
Semua telah Dia berikan, dan bila pemberian-Nya tersebut dapat hilang dari kita, tentulah itu disebabkan ulah diri kita sendiri. Bukan Dia yang mencabut pemberian-Nya. Segala apa yang diberikan Allah kepada diri kemanusiaan adalah hanya rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah (ar raahman), dan rahmat-Nya tersebut menjadi keburukan adalah karena ulah dirinya sendiri. Sesungguhnya bukanlah Tuhan yang memberi keburukan, melainkan dirinya sendiri yang telah mengkufuri nikmat Tuhannya.
11.     Sifat Sama’
Dia bersifat mendengar, maka segala sesuatu selain Dia dapat mendengar bila telah diberikan pendengaran oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia mendengar tidak menggunakan telinga, tidak memerlukan organ-organ pendengaran. Dia mendengar segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pendengaran-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat mendengar karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui dengar-Nya. Dia mendengar segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati. Dia mendengar pula segala suara apa-apa yang berada di kejauhan langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Segala sesuatu termasuk dengan diri-diri kemanusiaan dapat mendengar adalah karena anugerah pemberian dari Dia Yang Maha Pemurah. Pendengaran yang diberikan kepada manusia adalah memiliki keterbatasan, dikarenakan sifat-sifat lainnya yang terbatas pula. Dan segala keterbatasan menjadi ada karena di alam, karena organ-organ pada jasadnya yang membatasi. Dan karena keterbatasannya itupun maka menjadi rahmat yang perlu disyukurinya. Bayangkanlah seandainya dirinya yang serba terbatas dapat mendengar segala macam suara. Juga segala macam alat atau organ, termasuk organ-organ pendengaran yang melekat pada jasad kemanusiaan adalah merupakan aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Harmonisasi terhadap yang lainnya, maksudnya adalah, daun telinga yang menerima informasi suara yang sebagai gelombang energi yang menggetarkan gendang telinganya, kemudian getaran-getaran tersebut disalurkan melalui sistem saraf untuk dibawa ke otak untuk diolah sebagai data-data informasi. Sementara, reaksi balik otaknya menunggu perintah dari hati-nya yang mengelola dan mengatur berdasarkan data-data informasi yang tertanam di otaknya.
Hati yang sedang gelisah takkan dapat mengelola segala informasi yang masuk tersebut dengan baik. Begitupula hati yang amat dipengaruhi hawa nafsu (keburukan), maka akan meresponnya dengan keburukan pula. Begitupun hati yang telah dipenuhi oleh kesibukan dunia, maka tiada akan merespon yang asing dari dunia-nya, seperti informasi tentang akhirat. Dengan berjalan kehidupan-nya, tanpa disadari, sebenarnya adalah usaha melatih keharmonisan organ-organ tersebut melalui pengalaman-pengalamannya.
Mensyukuri anugerah pendengaran ini dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
12.     Sifat Bashar
Dia bersifat melihat, maka segala sesuatu selain Dia, dapat melihat bila telah diberikan anugerah penglihatan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia melihat tidak menggunakan mata, tidak memerlukan organ-organ penglihatan. Dia melihat segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi penglihatan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat melihat karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui lihat-Nya. Dia melihat segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati. Dia melihat pula segala kejadian apa-apa yang berada di kejauhan langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Dan segala macam alat atau organ-organ penglihatan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula. Makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Bila pada pendengaran, data informasi yang diterimanya adalah suara, getaran-getaran yang dihantarkan sistem sarafnya membawa energi gelombang bunyi ke otak, maka pada penglihatan informasi yang diterimanya adalah bentuk dan warna yang kemudian disalurkan sarafnya ke otak. Dan tetap dipengaruhi oleh hati untuk mengelola informasi tersebut.
Sehingga hati-lah yang sesungguhnya dominan merasakannya yang mempengaruhi pengelolaan setiap informasi yang masuk tersebut. Seluruh informasi tersebut dirasakan dan dinilai menjadi baik atau buruk, sehingga yang akan keluar pun tentunya dalam bentuk kebaikan atau keburukan.
Juga dalam mensyukuri anugerah inipun, dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
13.     Sifat Kalaam
Dia bersifat berbicara, maka segala sesuatu selain Dia, dapat berbicara bila telah diberikan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia berbicara tidak menggunakan mulut, tidak memerlukan organ-organ pengucapan. Dia berbicara dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pengucapan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun. Dan Dia-pun tak terbatas hanya kepada mendengar apa-apa yang diucapkan di dalam hati, sekalipun baru hanya niat, maka telah diketahui-Nya.
Anugerah ini adalah salah satu jenis respon yang keluar dari hati-nya melalui alat-alat atau organ-oragan pengucapan. Dari mulai apa yang telah dikelola hatinya berdasarkan informasi-informasi  yang telah tertanam di otaknya, yang kemudian disalurkan melalui sistem sarafnya kepada organ pita suara yang berada dikerongkongan bergerak kepada lidah dan langit-langit, kemudian keluar dari mulut dengan bibirnya.
Karena itulah segala ucapan yang keluar dari mulutnya, sesungguhnya, adalah cerminan apa yang ada di dalam hati. Begitulah pengaruh hati yang amat dominan dalam setiap gerak kehidupan diri-diri kemanusiaan, yang hendaknya selalu terjaga dalam kesucian dan kemurniannya. Ucapan bagaikan mata pedang yang siap mencelakakan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Dan segala macam alat pembicaraan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya, agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
S
elamilah urutan makna-makna ketiga-belas dari dua puluh sifat Allah tersebut, dari mulai wujud yang masih mengandung makna yang sangat luas pengertiannya, semakin dipersempit atau diperjelas sampai dengan iradat. Kemudian semakin diperjelas kembali oleh sifat ilmu sampai dengan kalaam. Sungguh maha sempurna Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya, sekalipun itu hanyalah penyampaian.
Kemudian pada ketujuh sifat Allah pada uraian selanjutnya memiliki keunikan, disebabkan, ternyata adalah pengulangan beberapa sifat-sifat yang diurai sebelumnya, hanya ditambahkan kata ‘Maha’, sehingga lebih bermakna mutlak dalam penafsirannya.
Segala macam sifat-sifat Tuhan tersebut, bahkan yang tak tersebutkan sesungguhnya telah dianugerahkan-Nya kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya. Dan kepada seluruh makhluk-Nya, Allah menganugerahkan sifat-sifat tersebut sebagai petunjuk atau ilmu dan pengetahuan yang berupa perintah dan larangan yang suci dari kesalahan, kekurangan, maupun kecacatan  dengan memerintahkan dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya (yudabiruu fil ‘amr). Suci dari kesalahan-nya akan ternodai bila diri manusia lebih memilih hawa nafsu-nya sebagai yang lebih mendominasi dibanding dengan petunjuk Tuhan-nya, sehingga tatanan atau kadar yang telah ditetapkan Tuhan-nya dilanggarnya dengan membabi-buta.
Pada diri-diri kemanusiaan, diperintahkan dari tempat tunggal-Nya, yaitu dari kalbu atau lubuk hati yang paling dalam, sebagai tempat yang Maha Halus lagi Maha Pengasih dan Penyayang ter-rasa berada. Diperintahkan kepada aparat-aparat Allah yang berada pada jasad tubuh manusia, seperti, akal untuk berfikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium bebauan dan bernafas, mulut untuk berbicara atau makan dan minum, sampai kepada organ-organ tubuh maupun sel-sel pembentuk jaringan, seperti, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, dan memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan, maupun perintah-perintah lainnya yang ternyata bukanlah diri sendiri yang memerintahkan, melainkan Dia-lah yang Maha Halus dan Bathin-lah yang sesungguhnya tanpa terasa yang menetapkan kadarnya, memerintahkan, mengatur, kemudian memelihara setiap urusan pada makhluk ciptaan-Nya.
Bayangkanlah, bila satu urusan saja Dia perintahkan kepada aparat-Nya untuk ‘libur’, tak bekerja, maka apa yang terjadi pada tubuh? Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada jasad-nya. Sakit. Sungguh Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik itu kuasa-Nya, kehendak-Nya, rahmat-Nya, ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, bahkan sampai kepada wujud-Nya.
Mari kembali kepada uraian sifat-sifat Tuhan selanjutnya, setelah barusan sempat terhenti demi penjelasan yang terasa begitu penting, agar maknanya dapat menjadi hikmah untuk uraian selanjutnya yang menjelaskan sifat-sifat yang merupakan hak mutlak Allah memerintahkan langsung melalui aparat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan yang telah dipilih-Nya.
14.     Sifat Qadiraan
Sifat Allah yang Maha Kuasa, yaitu sifat kuasa-Nya yang mutlak yang tiada segala sesuatupun yang dapat menggugat atau bahkan melemahkan kuasa-Nya. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, makhluk ciptaan-Nya, memiliki kekuasaan karena diberikan oleh-Nya, yang merupakan perwujudan kekuasaan-Nya di alam. Dia memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas, tidak dibatasi oleh ruang, tidak pula dibatasi oleh waktu, tidak oleh apa dan siapapun.
Makhluk-Nya diberikan pula kekuasaan sebagai anugerah atau karunia dari-Nya, akan tetapi karena di alam, maka kekuasaan yang diterimanya pun amatlah terbatas oleh ruang dan waktu, serta oleh apa dan siapa. Dia Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu, dan segala kuasa-Nya adalah kebijaksanaan sebagai Yang Maha Memelihara segala sesuatu makhluk-Nya sebagai keseimbangan semesta yang mutlak di alam. Dan segala kuasa-Nya mutlak pula didahului oleh kehendak-Nya.
Keterbatasan kekuasaan yang diberikan secara umum kepada kebanyakan diri-diri kemanusiaan, akan tetapi secara khusus, ada pula sebagiannya yang diberi kelebihan kekuasaan dibanding yang lainnya. Kadar atau tingkat kuasanya, dari hanya menguasai dirinya sendiri, sampai kepada menguasai yang jauh lebih luas, seperti keluarga, lingkungan, suku, daerah aatu wilayah, sampai bangsa atau negara.  Begitulah Maha Kuasa-Nya Dia mengatur kehidupan ini agar tercipta keharmonisan dari saling kebergantungan satu sama lainnya secara sempurna.
Tidaklah diri-diri kemanusiaan dapat memaksakan secara berlebihan dalam pengelolaan kekuasaannya menurut sekehendak hatinya. Bila itu terjadi, maka tunggulah kejatuhannya. Karena begitulah sistem aturan kehidupan (sunathullah) yang telah ditetapkan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya sebagai sistem semesta pula, kebanyakan menyebutnya sebagai hukum alam.
Kuasa sebagai wujud sifat khalifah adalah tetap dalam koridor fitrah kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang membawa rahmat Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
15.     Sifat Muridhaan
Yaitu sifat Allah yang Maha Kehendak, sedangkan ada pula diri-diri kemanusiaan diberi kehendak oleh-Nya lebih dibanding yang lainnya. Pada makhluk pun memiliki kehendak, namun Allah Maha Mengetahui siapa yang pantas dilebihkan, karena Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya berdasarkan keadilan, kebijaksanaan, serta ilmu-Nya.
Diri-diri kemanusiaan pun memiliki kehendak atau keinginan sebagai anugerah-Nya pula, namun tidak semua diri kemanusiaan diberi lebih. Ada beberapa yang diberi lebih dibanding yang lainnya. Sebenarnya hal ini dikarenakan kehendak atau keinginan-nya tersebut amat dipengaruhi hawa diri-nya atau nafs-nya, mereka yang dilebihkan adalah mereka yang kehendaknya tidak terkontaminasi oleh ego dan hawa nafsunya akibat terhanyut oleh megahnya perhiasan dunia. Bila telah tidak begitu, maka kehendak-nya merupakan kehendak-Nya, yaitu Dia Yang Maha Berkehendak.
Dilebihkan-Nya kehendak kepada mereka, sekalipun terkadang diperjalanannya, diri kemanusiaan, dapat pula terkontaminasi oleh penyesatan iblis sehingga memiliki kesalahan-kesalahan, akan tetapi hal tersebut merupakan pelatihan sebagai penyaring kesempurnaan jiwa mereka pula. Ibarat seorang anak yang sedang belajar berjalan mengalami jatuh bangun, serta kesakitan akibat benturan. Tetapi spirit hendak menyempurnakan segala geraknya menjadikannya lebih bernilai, sebagai harapan yang pasti akan terwujud.
“...... Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)
Dia Maha Berkehendak, dan tidak ada kecacatan ataupun kesalahan sedikitpun dari setiap kehendak-Nya, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan tidak sesuatupun yang dapat luput dari pengetahuan-Nya.
Dia Maha Kuasa, maka Dia pun berkehendak, dan kehendak-Nya pasti selalu diiringi oleh pengetahuan-Nya, karena itulah setiap kehendak-Nya tersebut menjadi sempurna terwujudnya.
16.     Sifat Alimaan
Segala sesuatu selain Dia tidak ada yang luput dan selalu berada dalam kuasa kehendak-Nya, dalam kuasa cipta-Nya, serta dalam kuasa pemeliharaan-Nya. Oleh sebab itulah Dia bersifat Maha Mengetahui. Yang segala macam pengetahuan berada dalam ilmu-Nya. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, baik yang tersebar dilangit dan dibumi tanpa ada yang luput dari pengetahuan-Nya.
Diri-diri kemanusiaan, pada dasarnya, selain telah diberi pengetahuan berupa kitab yang telah tertanam di dalam dada (kitab mubiyn), ternyata masih menerima juga ilmu yang ditambahkan (dilebihkan dari orang-orang kebanyakan) dengan cara bertahap melalui petunjuk-Nya sesuai respon kesadaran jiwanya. Beberapa diberi lebih dibanding kebanyakan karena hatinya telah mengalami kepekaan. Hal yang mempengaruhi kepekaan hati adalah kekotoran yang melekat dan menutupi masuknya petunjuk ilmu dari-Nya, semakin banyak kekotoran yang melekat dan menutupi maka hatinya akan semakin buta, karena kesadarannya tak dapat merespon akalnya untuk berpikir. Kekotoran hati banyak penyebabnya, diantaranya adalah pengakuan (ego), hawa nafsu yang tak terkontrol, kebencian, iri dan dengki, munafik, kejam, taklid buta, dan masih banyak lagi yang lainnya sebagai hal-hal keburukan.
Sebaliknya, menjaga hati agar selalu bersih dari kekotoran adalah seperti kaca yang selalu terjaga kejernihannya, dimana segala macam cahaya yang menerangi sebagai petunjuk dapat masuk ke dalamnya, sedangkan debu-debu kekotoran yang hendak ikut masuk terhalang oleh kaca tersebut yang terjaga terus kejernihannya. Begitulah ilmu yang sebagai petunjuk dapat masuk ke dalam hati yang bersih, sehingga kesadarannya dapat merespon akalnya untuk berpikir lebih jauh lagi kepada pemahaman dan hikmah.
Kehidupan dunia (material) yang menghanyutkan setiap jiwa kemanusiaan juga membawa debu-debu kotoran yang jelas dapat melekat di hati, sehingga bila hati tak sering dibersihkan maka debu-debu tersebut akan terus menumpuk dan semakin sulit serta membuat rasa malas untuk membersihkannya. Dan hatinya pun menjadi terhalang untuk mengetahui segala wujud bathin yang tak dapat dilihat mata lahirnya.
“....... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”  (QS 22:46)
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Sungguh banyak ayat yang mengingatkan kembali betapa pentingnya menjaga kebersihan hati untuk dapat menerima petunjuk dari-Nya yang berupa ilmu dan pemahaman yang akan terus datang sebagai rahmat-Nya tanpa pernah habis-habisnya sampai akhir zaman.
“....... Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh keringlah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (lagi).”  (QS 18:109)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
17.     Sifat Hayyaan
Dia-lah Allah yang Maha Hidup. Segala sesuatu selain Dia diberi kehidupan oleh-Nya. Maka segala sesuatu selain Dia akan mengalami kematian, yaitu berakhir, kemudian terurai menjadi sesuatu yang lain, mengalami alam (kehidupan) yang lain. Dan bila tiba saatnya, maka sesuatu yang lain tersebut berkumpul kembali, siap untuk dibangkitkan oleh-Nya. Begitulah yang terjadi pada seluruh makhluk atau ciptaan-Nya. Seperti siklus terjadinya hujan.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Pada hal keberadaan kehidupan insan kemanusiaan, kebanyakan  tidak mau mempercayai dan menganggap tabu hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan atau mengakui proses reinkarnasi yang ada pada ajaran Hindu dan Budha. Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya yang menyebutkan kebangkitan  setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama dengan hidup). Kelak kita akan mengulas tuntas di keimanan terhadap hari akhir, dibelakang.
Jangankan hidupnya, bernafas-nya sajapun karena anugerah yang diberikan-Nya. Dari paru-paru, hidung, mulut, serta saluran-saluran pernafasannya. Adakah kehendaknya yang memerintahkan organ-organ tersebut untuk menerima udara bagi pernafasannya? Udaranya saja, Dia yang menyediakan. Disinilah peran para aparat Allah (malaikat) dalam menjalankanfungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
Akan menjadi lebih bernilai lebih lagi bila telah dapat merasakan pendengaran tidak hanya melalui telinga, merasakan penglihatan tidak hanya melalui mata, dan merasakan ucap tidak hanya melalui mulut. Begitulah hidup yang telah mencapai tingkat rasa. Yaitu hati-nya pun telah hidup, hatinya yang melihat, hatinya yang mendengar, dan hatinya yang mengucap.
Bukan hanya jasadnya yang hidup, akan tetapi dirinya telah menghidupkan hati-nya menjadi lebih peka terhadap segala sesuatu. Mereka inilah yang mendapat karunia dari Tuhannya, sebagai termasuk orang-orang yang dilebihkan dari kebanyakan diri-diri kemanusiaan pada umumnya. Semakin bersih hatinya maka semakin tinggi pula kualitas hidupnya.
Bukan lagi diri-nya yang melihat, mendengar, dan berucap. Melainkan dia melihat melalui penglihatan-Nya, dia mendengar melalui pendengaran-Nya, dan dia mengucap dengan pengucapan-Nya. Hatinya yang memberitahukannya, bahwa dirinya diberi kekuatan untuk dapat melihat, mendengar, dan mengucap oleh kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Pemurah, ar raahman. Tiadalah kekuatan selain dari kekuatan-Nya, bahkan dalalm berkehendak pun tiadalah dirinya memiliki kekuatan. Karena Dia-lah yang sesungguhnya berkehendak, bukanlah dirinya sendiri yang berkehendak melihat, berkehendak mendengar, ataupun berkehendak mengucap.
Tetapi pengakuan (ego) begitu kuat menyesatkan, seolah-olah atas kehendaknya sendirilah dia dapat melihat, mendengar dan mengucap, padahal segala sesuatunya amat bergantung kepada Tuhannya. Tarikan dan hembusan nafasnya pun dirinya tak memiliki kuasa atasnya. Dan terhadap fungsi organ di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak dan memompa darah, paru-paru yang menghisap oksigen, usus yang mencerna, dan lain-lainya bahkan hingga kepada gerak hidup (metabolisme) sel-sel tubuhnya, yang kesemuanya adalah bukan dia yang menguasai dan memerintahkan mereka untuk bekerja. Hidupnya adalah karena kehidupan yang diberikan Tuhannya, sehingga yang dirasakan olehnya adalah dirinya menjadi dapat melihat, mendengar, dan mengucap yang merupakan nikmat yang belumlah disyukurinya.
Begitulah Dia Yang Maha Pemurah memberikan nikmat hidup, yang baru hanya apa yang ada didalam jasadnya. sudah begitu tak terhitung kuasa Dia atas jasad kita, bahkan diri pun tak sadar atas kekuasaannya tersebut. Setelah sakit datang, dan terbaring di tempat tidurnya, barulah menyebut nama Tuhannya, merintih dan meminta pertolongan-Nya.
Kita, diri-diri kemanusiaan, diberi pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit.  Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
18.     Sifat Sami’aan
Tiada sesuatu bunyi  pun yang dapat luput dari pendengaran Allah, sekalipun yang berada di dalam kedalaman bumi atau lautan dengan suara pelan atau bahkan berbisik-bisik. Dia-lah yang Maha Mendengar. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi pendengaran bila dikehendaki-Nya.
Seperti yang telah diulas di atas, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki pendengaran, sedangkan makhluk-Nya adalah diberi alat-alat pendengaran yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuata-nya untuk dapat mendengarpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Adakah diri-nya yang berkuasa dan yang sesungguhnya memerintahkan organ-organ pendengarannya untuk bekerja, dari mulai menerima bunyi yang masuk ke telinga sebagai gelombang dan menyentuh serta menggetarkan gendang telinga kemudian getaran-getaran sebagi informasi tersebut disalurkan saraf-sarafnya menuju otak, dan seterus-seterusnya? Begitulah yang dimaksud dengan peran para aparat Allah (malaikat) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS 32:9)
Bahkan diri kita saja tak sanggup memahami bagaimana organ-organ tersebut dapat ada dan terbentuk. Dari apa dan bagaimana proses pembentukannya saja kita tak memahaminya, apalagi dapat menguasai atau memerintahkannya. Yang kita punya, hanya merasakan nikmat-Nya saja tidak lebih.
Terganggunya saja pendengaran kita, seperti masuknya air ke dalam telinga, maka nikmatnya berkurang dan membuat resah. Apalagi bila pendengaran tersebut dapat hilang.
19.     Sifat Bashiraan
Tiada sesuatu kejadian pun yang dapat luput dari penglihatan Allah, sekalipun yang terjadi di dalam kedalaman bumi atau lautan. Dia-lah yang Maha Melihat. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi penglihatan bila dikehendaki-Nya. Dan dikarunikan-Nya kepada beberapa orang yang telah dikehendaki-Nya berupa kelebihan diantara yang lainnya. Sesungguhnya Dia Maha Adil lagi Maha Bijaksana dengan kehendak-Nya tersebut.
Begiu pula dalam penglihatan, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki penglihatan, sedangkan makhluk-Nya adalah diberi alat-alat penglihatan yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat melihatpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
“....... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”  (QS 22:46)
Ya, seluruh indera dan fungsi jasad kita haruslah dalam keseimbangan yang harmonis dengan hati yang sesungguhnya amat berperan dalam setiap amal perbuatan. Amal perbuatan adalah cerminan apa yang berada di dalam hati, maka hati yang bersih dari kotoran yang melekat, akan membuka kesadaran dan akal kita untuk tetapa berada dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan yang juga berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pula.
“.... Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.”  (QS 30:28)
Hati yang jernih, akan membuat akalnya tidak tersesat kepada pemikiran-pemikiran yang dapat merugikan dirinya sendiri dibelakang hari. Bahkan hatinya dapat lebih jauh lagi melihat pada hal-hal yang masih tersembunyi (ghaib) yang orang-orang lain belum melihatnya. Begitulah Allah melebihkan penglihatan beberapa orang diantara yang lainnya, yaitu kepada mereka yang membersihkan hatinya sehingga dapat menerima sebanyak-banyak petunjuk dari-Nya. Adakah yang lebih bijaksana dan adil dari selain-Nya?
20.     Sifat Mutakalimaan
Dia-lah yang Maha Berbicara, sedangkan segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dapat berbicara bila diberi atau dikaruniakan oleh-Nya. Dia berbicara melalui wujud karya ciptaan-Nya, ilmu-Nya, kuasa-Nya, dan melalui kehendak-Nya, pemurah-Nya, serta kasih dan sayang-Nya.
Bahkan, Dia dapat langsung berbicara kepada makhluk-Nya, siapapun, jika Dia sendiri menghendaki. Apakah melalui ilham, ide, ataupun melalui sebuah mimpi. Yang juga merupakan demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat berbicarapun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Dia memberikan karunia pertunjuk kepada mereka, diri-diri kemanusian, yang telah menyiapkan dirinya untuk menerima petunjuk-Nya. Yaitu mereka yang membersihkan hatinya dari kekotoran yang menghalangi masuknya cahaya (petunjuk) Allah serta karunia-karunia Dia yang lainnya.
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. (QS 76:2)
Mereka inilah yang dilebihkan diantara yang lainnya. Begitu banyaknya contoh mereka yang dilebihkan dalam ucapnya oleh Allah, seperti presiden pertama RI Sukarno sebagai orator ulung, yang pidato-pidatonya dapat menghinoptis mereka yang mendengarnya, dan menggugah jutaan rakyatnya bersatu dan berjuang melawan penjajah, padahal mereka terpisah-terpisah oleh pulau, terpisah-pisah oleh adat istiadat, bahkan oleh komunikasi yang amat sulit tidak seperti sekarang.
Juga seperti yang lainnya, mereka yang penyanyi, yang suara alunan lagunya dapat menggugah emosi pendengarnya bergolak, menangis, atau bahkan berjingkrak-jingkrak tak perduli lagi telah menghilangkan kesadaran normalnya.
Kurang apalagi Allah mengkaruniakan segala sifat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Adakah yang dapat diingkari? Atau adakah kecacatan dari segala yang diberikan-Nya? Jika diri kita hendak mencari, dan bila menemukannya, maka kekurangan atau kecacatan tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai akibat dari ulahnya sendiri.
Dia-lah Allah Yang Maha Tunggal, ar raahman, Yang Maha Pemurah, yang memerintah dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya untuk menjalankan apa-apa yang menjadi kehendak-Nya.
Tempat Tunggal
Dimanakah Allah berada? Begitu banyak pula jawaban, tetapi tak pernah dapat memuaskan hati. Diantaranya adalah, kemana pun menghadap disitulah wajah Allah, Allah lebih dekat dari urat leher sendiri, Allah bersemayam di arsy, dan bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Allah berada di langit, tak heran bila selalu mengadahkan wajahnya ke atas saat berdoa memohon kepada-Nya.
Allah meliputi seluruh makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Seluruhnya, yaitu segala sesuatu baik nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat. Betapa luasnya jangkauan pemahaman ini sehingga seluruh jawaban diatas adalah nyata benarnya. Maka dapat disimpulkan, bahwa segala sesuatu tersebut, seluruh tempat (alam), sesungguhnya justru yang berada dalam jangkauan-Nya, bukanlah Allah yang berada di mana, melainkan segala sesuatu itulah yang berada pada-Nya, ada dalam lindungan, kuasa, dan pemeliharaan-Nya. Maka ‘Arsy,  yang paling tepat sebagai sebutan untuk tempat tunggal-Nya.
“..... yang bersemayam di atas ‘arsy. Milik-Nya lah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan apa yang ada dibawah tanah.”  (QS 20:2-6)
Sekalipun demikian, sesungguhnya, hanya kepada makhluk-lah seharusnya ditujukan pertanyaan mengenai dimana keberadaan tempatnya, karena justru makhluk atau ciptaanlah yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidaklah layak kepada pencipta dibatasi oleh tempat atau ruang ataupun alam, sejatinya Dia sama sekali tidak membutuhkan tempat atau ruang sebagai letak-Nya berada. Dia tidak serupa dengan segala sesuatu. Dikarenakan seluruh makhluk-Nya disebut sebagai semesta alam, sedangkan Dia meliputi seluruh makhluk, maka jelas segala tempat berada di dalam Dia. Kelirulah yang mengatakan bahwa Dia berada di dalam tempat ataupun alam.
Dia yang meliputi segala sesuatu, maka tempat-tempat yang dinisbatkan kepada-Nya adalah diambil berdasarkan makna sebutan-sebutan maupun sifat-sifat Allah, seperti Allahu rabbul alamiin (Allah yang menguasai seluruh ruang atau alam), Allahu maliikiyawmid-diiyn (Allah yang menguasai seluruh waktu atau masa), dan Allahu rahmaanur-rahiim (Allah yang menguasai seluruh rasa). Maka, jelaslah ‘tempat keberadaan’ Allah pun meliputi segala sesuatu. Padahal Dia tak terbatas oleh ruang, waktu, dan rasa. Lebih tepatnya, segala sesuatu bertempat pada (arsy)-Nya. Segala tempat adalah singgasana (dalam kuasa)-Nya.
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)
1.          Allaahu Rahmaanur-Rahiim
Dia-lah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Rasa kasih dan sayang-Nya berada di dalam bathin setiap segala sesuatu, makhluk ciptaan-Nya. Kasih dan sayang-Nya tersebut diwujudkan secara nyata (dzahir) di dunia dan kelak nanti di akhirat. Itulah mengapa timbul penafsiran bahwa Allah berada dan bertempat di dalam bathin, yaitu Allaahu arsyis tawaa. Sesungguhnya, Dia-lah penguasa alam rasa (bathin).
Apakah mata yang sesungguh-nya melihat, ataukah yang berada di dalam kalbu yang melihat? Apakah pula telinga yang mendengar, ataukah yang berada di dalam kalbu yang sesungguhnya mendengar? Juga, apakah sesungguhnya mulut yang berbicara, ataukah yang berada di dalam kalbu yang berbicara? Kemudian gabungkanlah, seolah-olah sedang mengobrol bersama teman sambil minum teh, merokok, dan sesekali menerima sms, kemanakah arah semua itu menuju, baik pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan? Maka, sesungguhnya yang berada di dalam kalbulah yang memerintahkan semuanya. Yaitu Dia, Allaahu arsyis tawaa.
Kalbu atau bathin yang paling dalam sebagai tempat Dia yang Maha Tunggal secara halus-lembut bersemayam, adalah tempat yang suci dan bersih, serta yang memancarkan cahaya kebenaran-Nya yang sebagai pengiring bagi niat, ucap, dan perbuatan. Akan tetapi, jika, diri telah terbiasa mengikuti hawa-hawa diri (nafs), maka kepekatannya akan meliputi kalbunya, sehingga cahaya kebenaran-Nya tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
Kalbu berada di kedalaman hati yang paling dalam, itulah mengapa secara tak sadar kebanyakan kita mengatakan bahwa, apa yang disuarakan dari hatinya yang paling dalam adalah sebuah kebenaran paling benar (haqq). Disitulah ar rahmaanur-rahiim sebagai Yang Maha Pemurah (Kasih) lagi Maha Penyayang (Sayang) memerintah, akan tetapi terkadang perintahnya dibiaskan oleh hati yang dipenuhi kekotoran.
Tentu kita sering mengalami, begitu tersentuhnya hati kita melihat seorang yang sedang dalam kesusahan (peminta-minta, misalnya) , dan itulah yang pertama timbul di benak kita sebagai wujud kasih dan sayang dari perwujudan Dia ar rahmaanur-rahiim, akan tetapi hal tersebut dibiaskan oleh kekotoran yang melekat di hati kita, maka akal dan pikiran kita menjadi tersesat dan timbullah was-was (sebagai yang dibisikkan setan), seperti “bila kuberikan, maka akan berkurang uangku, sedangkan kebutuhanku masih banyak”. Atau juga “ah, tubuhnya masih kuat untuk bekerja, biarkan saja dia”. Akhirnya, timbullah keragu-raguan sebagai yang menghasut hati dan menyesatkannya.
Padahal Allah menganugerahkan penglihatan, pendengaran dan hatinya untuk hal-hal tersebut, dimana kepekaannya yang pertama timbul, saat hatinya tersentuh itulah kebenaran yang seharusnya direalisasikannya. Dan realisasi kepekaannya lah yang menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi sesamanya.
Jika diri ini menyadari dengan mendalam, seharusnya bersyukur telah melihat hal tersebut, dan menjadikannya sebuah kesempatan untuk melakukan amal perbuatan baik. Bila uang yang tinggal hanya selembar-selembarnya di saku celana atau bajunya, maka berkacalah kepada Ibrahim yang hanya memiliki satu-satunya anak yang baru dikarunikan Tuhannya setelah di masa tuanya kemudian diminta Allah untuk di-qurbankan kepada-Nya. Kita memang bukan sekelas dengan para nabi, namun jelas sekali Allah mengisahkan segala kisah para nabi di dalam Al Qur’an sebagi petunjuk bagi kemanusiaan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran agar memperoleh keselamatan hidup di dalam setiap jalan lurus-Nya. Begitulah hikmah kisah Ibrahim yang merupakan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian.
Sesungguhnya, justru yang tinggal satu-satunya itulah yang disebut sebagai sejatinya ber-qurban. Ya sebuah pengorbanan di dalam ber-qurban kepada Allah dengan mewujudkan kebajikan kepada sesama makhluk-Nya, sebagai wujud rasa berserah diri (islam)-nya semata-mata hanya kepada Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Begitulah Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang karena kepekaan hati, maka keberadaan-Nya begitu terasa di dalam kalbu kita yang paling dalam. Dekat sekali. Itulah mengapa surga dan neraka kita berada pada rasa yang amat mempengaruhi jalannya kehidupan kita. Rasa tentram dan damai, senang dan bahagia, serta kemudahan dan kelapangan adalah surga yang dinikmati rasa dan tak perlu menunggu semesta alam ini hancur dulu baru merasakannya. Tetapi di kehidupan ini, sekarang ini pun dapat dirasakan.
Begitupun panasnya neraka, tidak perlu menunggu kematian dan kemudian menunggu di alam kubur hingga dibangkitkan di hari kiamat, tetapi dapat dirasakan ketika dada terasa sempit dan sesak, sedih dan takut, kekurangan dan kesulitan, serta sakit dan menderita.
Akan tetapi semua itu hanyalah sebagai perjalanan dalam penyucian dan pemurnian jiwa setiap diri kemanusiaan yang pada akhirnya menuju kepada-Nya, setelah tercapai kemurnian dan kesucian jiwanya. Selama masih ada kekotoran yang melekat pada jiwanya, maka perjalanan tersebut akan terus berulang-ulang, selama langit dan bumi ini masih ada, atau belum kiamat (QS 11:106-108).
2.          Allaahu Rabbul Alamiin
Dia-lah Allah semesta alam, yang menciptakan, menguasai, hingga memelihara langit dan bumi serta segala sesuatu yang terdapat diantara keduanya dengan maha sempurna. Ini berdasarkan firman-Nya (QS 2:115, kearah manapun menghadap, disitulah wajah Allah). Sehingga timbullah penafsiran bahwa Allah berada dan meliputi keseluruhan alam.
Tempat-Nya adalah perwujudan segala macam sifat-Nya di alam, dan sungguh nyata, dan terasa keberadaan-Nya. Seperti bila kita hadir di baithullah Mekkah, di masjid-masjid, atau ketika melakukan shalat di rumah. Akan tetapi selamilah, berdasarkan urutan keterangan tempat di atas yang berdasarkan tingkat kesakralannya, maka begitu pulalah kita menjaga tingkat kesucian diri kita yang berdasarkan kesakralan tempat tersebut.
Itulah keteledoran diri kita yang menganggap Tuhan hanya berada di tempat-tempat yang memiliki kesucian tingkat tinggi, sehingga bila sedang berada di pasar atau di pusat perbelanjaan, maka merasa Tuhan pun lengah dari kuasa pengawasan-Nya. Ataupun di tempat-tempat lainnya yang tidak terasa kehadiran-Nya disitu, seperti di kantor, di terminal, di tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya.
Kemanakah Allah beserta aparat-Nya? Allah bukan tidak ada, atau menjauh serta sirna menghilang. Akan tetapi, tentunya, cahaya kebaikan-Nya akan tertutupi, menjadi tidak terlihat nyata lagi, bila gelapnya keburukan telah begitu pekat bertumpuk dan bersatu padu. Maka akibatnya bisa kita tebak, kemungkaran semakin merajalela dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga segala yang haqq (kebenaran sejati) tertupi oleh banyak dan bersatu padunya kebathilan (kesesatan). Maka iblis dan bala tentaranya pun tidak perlu lagi berlama-lama disitu, segeralah dia meninggalkan pasar menuju tempat-tempat yang lebih dianggap sakral, agar dia memiliki kesibukan yang lebih menantang.
Dan merupakan keteledoran kita pula bila memahami, bahwa setelah alam dunia ini (kiamat), yaitu alam akhirat, adalah hanya alam keabadian dan kenikmatan saja bagi mereka yang menerima nikmat surganya, atau hanya alam keabadian dan azab bagi mereka yang menerima nerakanya. Alam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat adalah alam bagian dari semesta alam, dimana Allah tetap menguasai dan merahmati-nya, tetap dalam aturan dan sistem kehendak-Nya. Surga dan neraka adalah hari pembalasan dari amal perbuatan sebelumnya ketika kehidupan sebelum kematiannya, dan jelas-jelas berada di alam dunia ini juga.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Dari penjelasan ayat tersebut di atas, para malaikat berdoa agar para penghuni surga dapat terhindar dari kejahatan. Maka penafsirannya, bahwa di surga pun masih ada kejahatan yang dapat pula menjerumuskan mereka penghuninya masuk ke dalam neraka pula. Jadi kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia adalah tetap merupakan kehidupan dalam naungan agama. Yaitu kehidupan yang tidak lepas juga dari amal perbuatan penghuninya dalam hukum agama (aturan)-Nya, Allaahu Maliikiyawmid-diin.
Jadikanlah dimanapun keberadaan, adalah sesungguhnya tempat Allah. Yang perlu disucikan melalui setiap niat dan perbuatan, karena sesungguhnya Dia tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Dimulailah dari masing-masing diri yang hendak menyucikan hati dan langkahnya demi suatu tujuan akhir, yaitu keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Kemudian orang yang dekat akan mengambil sebagai contoh untuk kebaikan dirinya pula. Demikian seterusnya kepada yang didekatnya pula, contoh itu tertular, lama kelamaan semakin meluas sebagai kebaikan semesta. Amin, yaa Rabbal Alaamiiyn.
3.            Allaahu Maliikiyawmid-diiyn
Dia-lah Allah yang menguasai hari-hari agama yaitu hari-hari yang diliputi oleh sistem yang mengatur jalannya kehidupan di hari-hari tersebut. Adalah sifat Allah yang mencipta segala sesuatu, maka mutlak pula Dia menguasai hari-hari agama, karena sesungguhnya Dia-lah penguasa Ruang dan Waktu juga Rasa, baik di alam dunia dan alam akhirat sebagai Allaahu rabbul alamiin (Tuhan pemilik semesta atau seluruh alam). Baik alam dunia, alam rasa dan alam akhirat yang meliputi kematian, alam kubur (barzhak) atau hari-hari penantian, hari-hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan. Kesemuanya tersebut, baik di hari-hari dunia, hari kematian, hari-hari penantian, hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan adalah terangkum dalam hari-hari agama, dan Dia pulalah sebagai Penguasa-nya (maliikiyawmid-diin).
Segala sesuatu selain Dia, pasti mengalami hari akhir maupun hari kemudian (waktu setelah hari akhir), yang sering dianggap sepele dikarenakan kebutuhan jasad yang mendesak. Padahal, yang kemudian itu sangatlah dipengaruhi oleh yang sebelumnya maupun oleh yang sekarang ini. Sayangnya, bisikan dan godaan setan ikut berperan untuk semakin mendesakkan kebutuhan-kebutuhan jasad manusia semakin intens, melupakan dan menutupi gambaran akibat-akibat yang akan dituainya kelak di kemudian hari. Disamarkan dengan pemandangan indah yang dibuat iblis agar diri-diri terjerumus oleh segala macam bujuk rayunya.
Segala sesuatu pada akhirnya adalah kembali kepada-Nya, melalui penghakiman atau hisab, seperti yang telah dijanjikan dan ditetapkan oleh-Nya. Dan Dia-lah sebagai Hakim yang Adil, segala sesuatu, sekecil apapun itu, telah tercatat di dalam catatan-Nya. Penghakiman dan hisab, adalah peristiwa pada masa transisi sebagai penentu pada kehidupan berikutnya yaitu dengan mengalami atau merasakan surganya ataukah nerakanya, yang merupakan akibat dari perbuatan dari masa kehidupan sebelumnya.
Kehidupan berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat. Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau lebih bersifat sebagai yang sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Jika demikian, maka akan timbul pertanyaan, telah berapa kalikah diri ini mengalami siklus hidup-mati (kebangkitkan)? Seperti layaknya tidur dan bangun di dalam skala kehidupan sehari-hari.Hal ini akan lebih luas diuraikan pada keimanan terhadap hari akhir di belakang.
Dan hanya bathin yang telah kosong dari segala macam hawa nafsu pengakuan (ego), dan memenuhi hati aatu bathin-nya  dengan rasa mengakui yang akan dapat merasakan Kasih Sayang Allah melalui segala kemurahan-Nya. Inilah upaya membersihkan kembali hati atau kalbu yang telah dipekati oleh kotoran-kotoran hawa diri (nafs) yang telah lama melekat, agar cahaya kebenaran-Nya dapat menembus keluar bersama niat-ucap-perbuatan.
D
ari ketiga keterangan diatas yang sedikit mengulas keberadaan ‘tempat’ Allah, maka membuktikan secara logika yang dapat diterima akal pikiran dan hati, bahwa keberadaan Allah tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu serta rasa, atau tidak dibatasi dimensi apapun dalam anggapan makhluk, melainkan di setiap tempat atau alam, di setiap waktu, dan di setiap rasa. Dia sempurnakan setiap kejadian melalui sifat-Nya sebagai Pencipta, dan Dia sempurna adil dan bijaksana melalui sifat Kuasa-Nya, serta sempurna kasih dan sayang melalui sifat-Nya sebagai Pemelihara.
Karena itu, tidaklah mungkin Dia berada hanya pada satu tempat saja, seperti di langit ke tujuh, atau kemana mata menghadap disitulah wajah Allah, ataupun di dalam dada orang yang beriman, sehingga hal ini dapat membuat kesalah pahaman bahwa Dia terbatas hanya di tempat-Nya menetap. Dan Maha Suci Allah dari segala prasangka makhluk-Nya.
Arsy tempat Allah bersemayam, mengandung makna yang bathin atau tersembunyi. Bila Allah sendiri-pun mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka penafsiran tempat keberadaan-Nya, mengisyaratkan bahwa Arsy juga berada di setiap segala sesuatu. Secara lebih spesifik lagi adalah, tempat atau Arasy-Nya berada di dalam bathin setiap segala sesuatu makhluk-Nya, yang tentunya juga paling halus dan bathin yang paling dalam. Pada diri manusia adalah di lubuk hati yang paling dalam atau biasa disebut kalbu.
Tetapi hal ini tak memuaskan jiwa, karena kalbu pun tak pernah tepat di ketahui letak pasnya dimana. Hanya berada di dalam dada sebagai yang bathin. Semua pasti akan menunjuk ke dalam dada, bila ditanya dimana letak kalbu.  Keberadaan-Nya haruslah ada sebagai yang bathin, juga ada sebagai yang nyata. Karena Dia, sesungguhnya adalah Yang Dzahir selain juga Yang Bathin.
Keterbatasan diri kemanusiaan dalam memandang dengan inderanya, mendefinisikan dengan ilmu atau akalnya, serta merasakan dengan hati dan kalbunya adalah hal yang takkan pernah terwujud atau kesampaian bila tanpa petunjuk dari-Nya sendiri. Dia hanya bisa dicapai hanya oleh kesucian yang murni.
Bagaimana hendak mengetahui dan mengenal-Nya dengan menggunakan indera, ilmu dan akal, serta hati dan kalbu, sedangkan sesungguhnya semua itu adalah pemberian-Nya? Bagaimana hendak mengetahui Dia Yang Maha Mengetahui, sedangkan segala pengetahuan adalah karena pemberian-Nya? Hanya apabila Dia telah berkehendak kepada siapa yang dikehendakinya mendapatkan petunjuk dari-Nya, maka tabir-tabir yang menyelimuti pandangan hati dan kalbunya terbuka sedikit demi sedikit sesuai dengan kemurnian dan kesucian hati atau kalbunya. Kelak kita akan sampai pula dengan menyadari nyatanya Dia adalah pada ketunggalan wujud-wujud ciptaan-Nya, sebagai perwujudan Dia Yang Bathin.
Bila diri hendak memaksakan juga, resapilah, segala usaha sejauh mata memandang, sekeras apapun akal pikir bekerja, dan sedalam-dalamnya dengan kepekaan kesadaran yang tajam masuk ke dalam hati atau kalbu, maka akan berujung kepada Dia Yang Maha Tunggal. Kelak, Allah akan menambahkan petunjuk-Nya secara bertahap untuk menghilangkan rasa dahaga kita, dan dengan izin-Nya kita akan mengulas keimanan terhadap yang lainnya, yang semoga dengan itu maka terbukalah sedikit-demi sedikit hijab yang menutupi hati dan jiwa kita dari memandang Dia.
Semoga ulasan terbatas dari yang serba terbatas ini, cukup membuka kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan-Nya untuk meneguhkan kembali keimanan atau rasa keyakinan kepada Allah SWT sebagai Khaliq segala sesuatu, dan menggugah jiwa kita lagi kepada petunjuk-Nya yang banyak tersebar di semesta alam raya ini sebagai kebenaran yang hakiki, termasuk apa-apa yang berada di dalam diri-diri kita masing-masing. Dan sesungguhnya Allah-lah yang membuka dada dan menerangi jiwa dengan cahaya-Nya agar bertambah teguh hati orang-orang yang telah beriman.
Diri yang ber-Ketuhanan
Kembali kepada uraian sifat-sifat Allah yang telah diulas. Ketiga belas sifat dari wujud hingga kalaam, sesungguhnya adalah ‘menunjukkan’ akan ketiadaan diri kemanusiaan-nya, baik wujudnya hingga sifat-sifat, yang sesungguhnya semua adalah karunia dari Allah.
Itulah kesadaran awal dari keimanan. Sadar bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada atau gaib, bahwa segala sesuatu adalah atas rahmat karunia-Nya, dan tiada satupun yang sesungguhnya sebagai yang dimiliki-nya, bahkan seluruh apa-apa yang terdapat di dalam tubuh-jasadnya yang ternyata adalah milik-Nya yang dianugerahkan kepada-Nya. Bila demikian, mengapa Dia tak terlihat, justru yang terlihat (wujud) adalah makhluknya?
Apakah sama yang mencipta dengan yang dicipta? Siapa yang memiliki pengetahuan, yang dicipta atau yang mencipta? Yang dicipta hanya dapat melihat yang mencipta melalui perwujudan-Nya. Perwujudan-Nya yaitu ciptaan-Nya sendiri. Itulah makna, ke arah manapun engkau menghadap disitulah wajah Allah. Karena semua, seluruh apa-apa yang berada di langit dan di bumi maupun yang berada diantara keduanya adalah ciptaan-Nya, makhluk-Nya, yaitu perwujudan segala sifat-Nya. Tidaklah mungkin sesuatu dapat melihat yang mewujudkan-nya.
Bagaimana mungkin Dzat-Nya dapat dilihat, didefinisikan, dan dibuktikan oleh wujud-wujud yang segala sesuatunya amat teramat bergantung justru kepada-Nya. Penglihatan-nya, adalah karena diberi penglihatan oleh-Nya. Pikir  dan akal-nya pun karena diberi petunjuk oleh-Nya. Segala sesuatu yang dirasa sebelumnya adalah sebagai yang dimilikinya, ternyata adalah anugerah dari-Nya, dan atas kehendak-Nya maka dirinya pun dapat menerima anugerah tersebut.
Dan cahaya hanya terlihat bila dalam kegelapan, seperti terlihatnya bintang-bintang di malam hari, tak perlu dicari lagi, hanya tinggal mendongakkan kepala ke langit yang jernih. Demikian pun Dia, keberadaan-Nya tak terasa bila jiwa sedang dalam kesenangan akan kemewahan dunia, tetapi akan terasa dan dibutuhkan bila jiwa sedang dalam kesempitan. Tetapi yang Allah kehendaki, adalah kepada mereka yang sedang dalam kesenangan akan kemewahan dunia agar berbagi kepada mereka yang sedang dalam kesempitan. Berbagi cahaya rahmat-Nya kepada sesama-nya sebagai makhluk.
Dzat Tuhan yang tak terlihat, bukan sekedar hanya pemahaman bahwa, bila Dia dapat terlihat, maka kehidupan akan menjadi berbeda. Bila seperti itu, tiada lagi unsur ujian dalam kehidupan ini. Bagaimana hendak melakukan kesalahan, bila ada polisi yang siap menjeratnya. Bukan sekedar seperti itu. Perwujudan Tuhan pada kemanusiaan, intinya, adalah memahami diri-nya pun telah dianugerahkan sifat-sifat keilahi-an (ketuhanan). Artinya, polisi-nya pun ada di dalam diri-nya, makna-makna hukum ada di dalam dada-nya, sebagai kitab yang di dalam dada.
Karena di alam, cahaya pun selalu hadir bersama bayangannya sebagai kegelapan, dan dengan ke-Maha Adilan-Nya pun, Dia menyerahkan kepada setiap jiwa untuk dapat memilih dengan kesadaran yang murni (keikhlasan) segala sesuatu arah tujuan-nya. Sekalipun tiada lepas Dia menunjuki dengan memberikan rambu-rambu sebagai tanda yang terang arah keselamatan dari setiap tujuan. Padahal, jiwa hanya dapat berkeinginan, sedang kekuatannya tetap adalah kekuatan dari-Nya. Kemurnian (keikhlasan) atau tidaknya lah yang menentukan sesat atau tidaknya arah tujuan-nya.
Tidaklah salah mereka yang mencari Dzat Tuhan, karena dengan usaha-nya mereka akan menemui wujud-wujud Dia di alam sebagai Allahu Akbar, yaitu perwujudan Dia, Allah Yang Maha Tunggal yang Maha Pemurah, Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan yang memerintah segala kehendak dari tempat tunggal-Nya.
Apakah engkau yang memerintahkan jantung memompa darah dan kemudian mengalirkannya keseluruh tubuh, ataukah Dia yang memerintahkan?
Apakah engkau yang memerintahkan paru-paru menghisap udara, kemudian memisahkan oksigen dari gas lainnya bagi keperluan pernafasan, ataukah Dia yang memerintahkan?
Dan apakah sesungguhnya engkau yang mendatangkan pembeli untuk menguntungkan setiap perniagaanmu?
Atau siapakah yang sesungguhnya menumbuhkan dengan subur tanam-tanaman di ladangmu?
Siapakah pula yang sesungguhnya melindungimu ketika kamu keluar dari rumah kediamanmu? Ketika berjalan, bekerja, berkendara, atau bahkan ketika tidur?
Dia-lah Allah yang berkehendak, mengatur, serta memelihara setiap diri kemanusiaan ataupun makhluk lainnya. Diri kemanusiaan adalah bentuk wadah kosong sebagai jasadnya yang telah siap menerima sifat-sifat Allah yang dianugerahkan kepadanya agar saling berbagi rahmat-Nya kepada sesamanya. Itulah keutamaan menyadari bahwa ‘aku’ (ego) sesungguhnya adalah tiada, dan yang ada hanyalah ‘Aku’ (Dia atau Allah).
Makna laa hawla walaa quwwata illa billahi menyadarkan-nya, bahwa diri-nya adalah wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya. Dengan demikian segala ucap-nya adalah ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak perbuatan-nya adalah gerak-Nya.
Disadari sepenuhnya, bahwa hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia hidup kehidupan dari Dia Yang Maha Hidup. Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat.
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”  (QS 10:100)
Bukan pula karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan terhormat atau kekuasaan, dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki anak-anak yang menyenangkan hati, serta dapat memiliki istri yang cantik. Bahkan sekalipun semua tersebut dengan rasa ikhlasnya, bukanlah karena diri-nya, melainkan seluruhnya tersebut adalah hanya karena kemurahan Tuhannya mengkaruniakan kepada diri-nya. Hanya karena kehendak Tuhannya, hanya karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena ketetapan Tuhannya.
Jika rahmat dari setiap sifat-Nya dicabut oleh Allah dari manusia itu, maka matilah dia. Atau sebagian kecilnya saja dari nikmat-nikmat tersebut yang dicabut-Nya, mungkin manusia itu dalam keadaan ‘koma’, tidak dapat berinteraksi layaknya manusia normal. Atau juga, satu saja rahmat penglihatan-Nya yang dicabut oleh-Nya, memiliki bola mata tetapi tak dapat melihat. Lebih menyempit lagi, ditumbuhkannya jamur di lensa hitam matanya, maka itulah penyakit katarak yang akan mengganggu penglihatan, sehingga pandangannya menjadi buram. Persempit lagi dengan, saat mencari sesuatu benda yang tidak bisa ditemukan, bila tidak diberi tahu oleh yang lain bahwa ternyata benda itu berada didekatnya. Subhanallaahu.
Itulah tahap kesadaran awal dalam usahanya kembali mengkokohkan iman dan keyakinan-nya dengan memahami makna ketiga belas sifat Allah di dalam sifat tunggal-Nya. Kemudian melangkah kepada ketujuh sifat terakhir yang membawa diri kepada tahap kesadaran berikutnya, yaitu yang justru membangunkan diri dari kehampaan sebelumnya, agar lebih mengenal diri karena ‘merasa’ selalu disertai atau bersama Dia yang berkehendak, baik itu dalam ucap, tekad, perbuatan, janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa-nya. Bahwa ucap, adalah ucap Allah, tekad adalah tekad Allah, dan selanjutnya yang tiada lepas dari kuasa sifat Allah yang mewujud kepada dirinya untuk berbagi rahmat kepada sekitarnya, yang pula harus dijaga kemurniannya.
Dalam perwujudan-Nya, seorang diri kemanusiaan yang diberi kepercayaan, atau anugerah, atau derajat yang sedikit lebih tinggi dari beberapa yang lainnnya, adalah diri kemanusiaan yang diberi beban amanat sesuai kadar yang telah diamanatkan (kadar ketetapan Allah). Ia mendapatkan dan merasakan nikmat darinya (derajat tersebut), maka akibatnya pun membayangi nikmat tersebut. Diperjalanannya, setan-setan pun membisikkan, iblis pun menggoda, serta hawa diri (nafs)-nya coba-coba ikut bermain. Maka bayang-bayang nikmatnya pun mewujud sebagai sesuatu yag dipandang indah memukau.
Hanya dua hal yang mungkin terjadi (ketetapan Allah), yaitu kehinaan bila ia justru terhanyut oleh godaan., atau berwujud kemuliaan bila ia dapat tak tergoda dan malah akan menaiki tangga derajat berikutnya. Dan bagi mereka yang keteguhannya disebabkan ia tak ingin dijauhi oleh Dia, maka, cukuplah Allah yang akan melindungi serta memelihara-nya. Diri seperti itulah orang yang takwa, mengerjakan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarang Tuhan-nya. Inilah kesadaran jiwa yang telah dan selalu diiringi cahaya yang menunjukkan perbedaan antara yang terang dan yang gelap, sehingga tahu arah tujuan. Akan tetapi, janganlah lengah, karena bila ada cahaya maka disitu pun pasti ada bayangannya, yaitu kegelapan. Tahap ini adalah masih berada dalam taraf berharap atau bergantung kepada lindungan serta pemeliharaan-Nya. Berharap rahmat-rahmat terbaik dari setiap karunia-Nya.
Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barang siapa menghendaki tentu dia mengambil jalan menuju kepada Tuhannya. Tetapi kamu tidak mampu, kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS 76:29-30)
Tahap selanjutnya, dan merupakan tahap yang terakhir, adalah tahap telah berada dalam taman nikmat-Nya. Yaitu, ilaihi raji’un,  kembali pulang kepada-Nya, tinggal bersama-Nya. Dimana, ada segala sesuatu secara bersamaan  manunggal dalam satu keaadaan dan dalam satu wujud, karena Dia-lah, maka segala sesuatu itu ada bersama dalam wujud Tunggal-Nya.
Segala yang berpasangan seperti susah-senang, sedih-bahagia, gelap-terang, dan seluruh pasangan lainnya, tidak akan dapat ikut masuk, sehingga tidak ada kebutuhan lagi akan semua itu. Bagaimana ada, sedangkan diri-nya pun telah tiada, sirna menyatu, di tempat itu hanya ada yang Maha Tunggal. Sayangnya, dikarenakan keterbatasan diri ini untuk dapat menguraikan secara panjang lebar dan lebih detail, maka menghambat penguraiannya. Jadi biarkanlah setiap masing-masing diri mengalaminya sendiri secara langsung setelah melalui tahapan pengokohan keimanan, pemurnian berserah diri, kemudian memelihara keduanya sebagai ketakwaan yang abadi dalam hidupnya. Insya Allah.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada rasul Allah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapatkan kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”
(QS 49:7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar