Kamis, 21 November 2013

MUHAMMAD, NAMA & ISTILAH, SERTA MAKNA RASUL PADA DIRI KEMANUSIAAN DI DALAM SYAHADAT

Assalaamu ‘alaykum wr wb, ......
Seringkali umat di luar muslim bertanya kepada saya tentang perlunya bershalawat, alasan mereka, kok kita umatnya yg malah mendoakan nabi-nya ?? Sehingga, bukan hanya mereka, bahkan kita yg telah sering bershalawat pun memahaminya masih dalam keterbatasan, sehingga belum maksimal..... terutama dalam rasa ke-berserah diri (islam)-an kita. Dan sungguh inilah celah-celah dimana keterbatasan kita dalam memahami islam itu sendiri. Sebenarnya, inti dari memahami perlunya bershalawat adalah setelah kita memahami makna syahadat terlebih dahulu....... Maka, izinkanlah saya berbagi. Semoga kita semakin didekatkan kepada kebenaran-NYA..... amiin yaa rabbal ‘aalamiiyn. 

MUHAMMAD, NAMA & ISTILAH, SERTA MAKNA RASUL PADA DIRI KEMANUSIAAN DI DALAM SYAHADAT

“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.” (QS 26:192-194)

Sayangnya, kemanusiaan lebih menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran. Hal tersebutlah yang semakin menjauhkan dirinya dari menyadari fitrah-nya yang juga merupakan menjadi tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini. Jika Allah saja menaruh keyakinan (sebagai Al Mu’min) yang amat tinggi kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan dari seluruh penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan kehati-hatiannya, menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. Namun, memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, kemanusiaan hendaknya tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga tidak menjadikannya sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan tetapi, menyadari fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang utama. 

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)

Sekedar mengingatkan, ulasan ini hanya mengenai kerasulan, dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat kerasulan pada manusia sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu disadari dan dipercayai (diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan. Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai hanya kepada rasul-rasul yang telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah tiada lagi rasul-rasul penerus, padahal setiap hari kita sering mendengar para penyampai kebaikan di sekitar kita yang selalu mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. Itu akibat kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan tidak menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.

Mereka yang terkemuka dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan kesungguhannya sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila dengan kenabian-nya mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya, juga lebih terfokus memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi sudah pasti seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama, sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn. 

Sehingga jangan sampai terkecoh oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki, terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui esgala sesuatu.” (QS 33:40)

Berakhirnya kenabian pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau, bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.

Kerasulan, sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang Maha Terpuji, yaitu setiap diri yang telah beriman dan mengkokohkan kembali keimanannya, sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan menjalankan amanat Allah tersebut. 

Kata muhammad pada bunyi syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri kemanusiaan. Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar ke-muhammad-an tersebut dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.

“.... yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....” (QS 61:6)

Gelar kenabian memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan. Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya) umatnya yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).

Kemudian kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak diceritakan lagi bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut yang kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.

Bila telah memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai yang menyadari fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.

Sehingga makna yang dapat dipahami, sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri kemanusiaan sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. Kemanusiaan yang menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Begitulah sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)

Kita tentu mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.

Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan. 

Tentulah syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisahnya. Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat atau persaksian itu, yang adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasulullaah atau utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah diteladankan nabi kita Muhammad SAW.

Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah utusan Allah”, maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensi dari fitrah dan tugas yang diembannya akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya. Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.

Itulah makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya diharapkan dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban, serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah dapat diterima secara lapang (legowo) oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu menyadari tugas kerasulan yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, akan menjadi ruh dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai manusia yang terpuji perwujudan dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.


Disunting dari : Bab III - MEYAKINI PARA RASUL
http://sandozsantosa.blogspot.com/2013/05/bab-iii-meyakini-para-rasul.html



1 komentar: