Senin, 27 Mei 2013

Bab III- MEYAKINI PARA RASUL




Bab III
MEYAKINI PARA RASUL
Asyhaadu’allaa ilaaha illallaahu, wa asyhadu annaa muhammadur-rasulallahu.
“Allah memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........
 (QS 22:75)
B
egitu banyak tak terhitung rasul-rasul yang telah Allah utus di kehidupan dunia ini, dan mereka percaya serta sadar dirinya adalah sebagai utusan Allah di dunia. Namun hampir seluruh kemanusiaan tidak menyadari dan percaya bahwa dirinya sebagai rasul (utusan) Allah yang diutus ke dunia sebagai wakil atau khalifah-Nya yang saling membawa dan menyampaikan rahmat Tuhan-Nya kepada sesama makhluk.
“Dan ada beberaqpa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada pula beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu.....”  (QS 9:24)
Mereka, yang menyadari dan percaya maupun yang tidak, sebenarnya selalu atau telah menyampaikan kebenaran dan menyuruh meninggalkan keburukan, paling tidak kepada sanak keluarganya, sekecil apapun ruang lingkupnya, bahkan hanya untuk dirinya sendiri. Dan saling menasehati kepada kebaikan, juga selalu berharap kebaikan. Serta menganggap kesalahan atau dosa adalah hal kecil yang dapat dimaafkan, kemudian pasti berharap dapat memperbaikinya dengan tanpa mengulanginya kembali. Itulah kebaikan yang sedari dulu terjaga hingga sekarang sebagai norma hidup.
Sayangnya, kebanyakan tidak menyadari diri-nya adalah bagian dari para rasul yang diutus Allah, padahal pada kesadaran itulah Allah berkehendak pada kemanusiaan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Khalifah di bumi, sebagaimana bapak mereka Adam diutus pertama kali sebagai peng-awal dari kemanusian yang bermanusiawi dan ber-kerasulan. Dan beliaulah sebagai yang pertama terjerumus kelalaian akibat bujuk rayu setan, sebagai utusan iblis yang bertugas di wilayah dada, di permukaan luar dari hati atau kalbu kemanusiaan.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)
Sayangnya, kemanusiaan lebih menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.  Hal tersebutlah yang semakin menjauhkan dirinya dari menyadari fitrah-nya yang juga merupakan menjadi tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini. Jika Allah saja menaruh keyakinan (sebagai Al Mu’min) yang amat tinggi kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan dari seluruh penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan kehati-hatiannya, menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. Namun, memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, kemanusiaan hendaknya tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga tidak menjadikannya sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan tetapi, menyadari fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang utama.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)
Sekedar mengingatkan, dalam rukun iman yang ke tiga ini, ulasannya hanya mengenai kerasulan, dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat kerasulan pada manusia sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu disadari dan dipercayai (diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan. Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai hanya kepada rasul-rasul yang telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah tiada lagi rasul-rasul penerus, padahal setiap hari kita sering mendengar para penyampai kebaikan di sekitar kita yang selalu mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. Itu akibat kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan tidak menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.
Mereka yang terkemuka dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan kesungguhannya sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila dengan kenabian-nya mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya, juga lebih terfokus memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi sudah pasti seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama, sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sehingga jangan sampai terkecoh oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki, terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui esgala sesuatu.”  (QS 33:40)
Berakhirnya kenabian pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau, bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.
Kerasulan, sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang Maha Terpuji, yaitu setiap diri yang telah beriman dan mengkokohkan kembali keimanannya, sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan menjalankan amanat Allah tersebut.
Kata muhammad pada bunyi syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri kemanusiaan. Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar ke-muhammad-an tersebut dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.
“.... yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....”  (QS 61:6)

Gelar kenabian memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan. Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya) umatnya yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).
Kemudian kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak diceritakan lagi bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut yang kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.
Bila telah memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai yang menyadari fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.
Sehingga makna yang dapat dipahami, sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri kemanusiaan sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. Kemanusiaan yang menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Begitulah sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)
Kita tentu mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.
Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan.
Tentulah syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisahnya. Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat atau persaksian itu, yang adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasulullaah atau utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah diteladankan nabi kita Muhammad SAW.
Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah utusan Allah, maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensi dari fitrah dan tugas yang diembannya akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya. Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.
Itulah makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya diharapkan dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban, serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah dapat diterima secara lapang  (legowo) oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu menyadari tugas kerasulan yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, akan menjadi ruh dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai manusia yang terpuji perwujudan dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.
Mari kita melangkah lagi kepada uraian wujud yang terpuji ini yang merupakan utusan-Nya, untuk lebih mengenal diri dan mengukuhkan kembali keimanan yang sebelumnya tercerai-berai oleh makna-makna yang sebelumnya ghaib dan dapat pula mengecohkan pemahaman, semoga Allah mengembalikan kita kepada pemahaman yang haqq, yang datang dari sisi-Nya yang Maha Haqq.
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, mensucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa-apa yang belum kamu ketahui.”  (QS 2:151)
Uraian selanjutnya tentang kerasulan sangat berhubungan erat dengan uraian sebelumnya yaitu keimanan kepada malaikat. Kerasulan pada diri manusia dengan jasad perwujudannya yang terdiri dari para malaikat sebagai aparat yang menjalankan segala perintah Allah. Perintah atau kehendak Allah tersebut, dikerjakan para aparat-Nya dengan tugas sebagai utusan pembawa perintah atau kehendak-Nya inilah yang disebut rasul. Jadi rasul adalah aparat Allah (malaikat) yang menyentuh diri kemanusiaan yang bertugas sebagai utusan yang menyampaikan perintah dan kehendak Allah. Yang menyentuh di sini bermaksud diberikan, bahwa kerasulan tersebut selain untuk dirinya juga untuk disampaikan keluar kepada selain dirinya sebagai yang bermanfaat dari rahmat Tuhannya.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ...... (QS 22:75)
“Dan setiap umat (memiliki) rasul...... (QS 10:47)
Sedangkan segala sesuatunya tidaklah terlepas dari setiap kehendak-Nya, maka menjadi jelaslah, bahwa segala sesuatu pun merupakan utusan Allah sebagai aparat yang menjalankan kehendak-Nya yang berupa petunjuk bagi makhluk lainnya. Sehingga pada diri kemanusiaan yang telah menyadari dengan bersyahadat, maka keterikatan janji tersebut bukan hanya pada bathin-nya saja, melainkan termasuk dengan segala apa yang berada di dalam tubuh jasadnya pun ikut bersaksi untuk menjadi utusan-Nya.
Segala sesuatu yang tersebar di alam ini merupakan para aparat (malaikat) dan rasul-Nya. Adakah dari segala sesuatu tersebut yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kemanusiaan? Seluruhnya adalah pembawa dan penyampai kuasa dan kehendak Allah kepada setiap segala sesuatu tersebut itu sendiri, termasuk pada diri-diri kemanusiaan.
Para Rasul Minallaahu
Utusan (rasul) yang ada di dalam diri-diri setiap kemanusiaan dan diperintah langsung dari Allaahu ala arsyitawaa (Ar Raahman), yang disebut  rasul minallaahu, membawa berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq) dan ditanamkan di dalam hatinya, untuk meneguhkan kembali hatinya yang yang telah beriman, dan sebagai petunjuk serta berita gembira bagi mereka yang telah berserah diri.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).”  (QS 16:102)
Inilah sosok yang berpengaruh di dalam dada diri kemanusiaannya sendiri yang diliputi oleh ruhul kudus (malaikat Jibril), yang keberadaanya karena diperintah langsung dan sebagai penghubung langsungnya dengan Allaahu ala arsyitawaa (tempat tunggal-Nya), yang merupakan ruh suci membawa pesan atau berita suci (petunjuk) dari yang Maha Suci kepada diri (jiwa) dan tubuh yang telah disucikan. Karena di alam, diri-nya, merupakan perwujudan dari Allaahu Akbar, dan sedangkan jasad-nya sebagai baithullah. Maka niat dan amal perbuatannya adalah suci dari kesalahan, keburukan, dan mudharat.
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kejendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”  (QS 42:51)
Energi penuh kesucian inilah yang hadir dan menguatkan hati mereka yang telah beriman dengan membawa petunjuk-petunjuk dari Tuhannya, sehingga membuat jiwa-nya tenang dan penuh kedamaian, serta keluar kepada bentuk amal perbuatan yang penuh ketenangan dan kedamaian pula. Petunjuk-petunjuk yang selalu datang adalah sebagai ilham, ide, ataupun solusi dari setiap permasalahan kehidupan-nya. Rasul ini selalu berada bersamanya selama diri-nya menjaga dan memelihara kesucian atau kebersihan dari setiap segala sesuatu (energi-energi) yang masuk maupun yang keluar dari diri dan jasad-nya.
Kesuciannya itulah yang sebagai energi makanan pula bagi setiap aparat di dalam jasad yang menggerakkan setiap organ fungsi tubuh, sehingga secara keseluruhan, energi-energi yang menggerakkan seluruh fungsi tubuhpun adalah energi yang bersih dan suci. Ilmiahnya, maka tubuh menjadi sehat, pikiran pun jernih, maka jiwanya pun kuat. Karena makanan yang masuk dan didistribusikan kepada seluruh bagian sel-sel tubuh akan menjadi energi penggerak kehidupan mikro di dalam tubuh yang makro, yaitu terdiri dari milyaran sel tubuh. Kehidupan di dalam kehidupan. Kesucian di dalam, amat menentukan kesucian yang akan dikeluarkan sebagai bentuk amal perbuatan.
Peran rasul ini akan terasa besar pengaruhnya dan dapat dipahami, karena keterkaitan dengan uraian rasul lainnya. Keterkaitan (keharmonisan)-nya kepada rasul-rasul lainnya yang menjadikan semua yang berupa perintah dan petunjuk dapat terwujud menjadi nikmat yang  dirasakan setiap diri kemanusiaan. Sayangnya, kebanyakan lupa atau bahkan tidak bersyukur. Perannya pula sangat besar terhadap kecerdasan akal diri-diri kemanusiaan, karena apa yang disampaikannya adalah petunjuk-petunjuk yang mengandung kebenaran dari Tuhannya.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan ......” (QS 53:4-6)
Rasul inilah yang berhubungan langsung dengan rasul-rasul lainnya baik yang wilayah tugasnya berada di dalam jasad kemanusiaan maupun yang di luar. Sehingga tak perlu bingung atau heran lagi, siapakah sesungguhnya yang mengatur mekanisme kerja seluruh organ tubuh yang berada di dalam jasad kita, bila ternyata bukanlah kita sendiri yang memerintahkannya, bahkan kehendak kita pun bukan. Serta yang menjadikan kesadaran kita bekerja setelah masuknya informasi sebagai petunjuk yang disampaikan rasul ini kepada hati dan akal dari interaksi antara indera-indera kita (yaitu seperti, penglihatan, pendengaran, dan lainnya) dengan alam sekitar. Yang ternyata sebagai pembawa pesan atau petunjuk pula kepada kita, sehingga terjadilah keharmonisan fungsi masing-masingnya. Demikianlah sehingga kita akan semakin memahami setelah terbukanya kesadaran demi kesadaran yang mengarahkan diri kita terhadap wujud tunggal Yang Maha Sempurna dan Maha Tunggal.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka ini akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiyqiiyn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”  (QS 4:58)
Pada uraian pengokohan keimanan inilah, sesungguhnya yang dapat membuka dada dan hati setiap diri untuk memahami serta menyadari arti peran para aparat Allah ini lebih terasa dan semakin bermanfaat bagi kehidupan, serta kemudian memahami pentingnya makna bersyukur. Bersyukur karena diberi kesempatan hidup kembali sebagai sarana pembersihan kesalahan dari kehidupan sebelumnya, dan masih dipercaya sebagai sarana perwujudan Tuhan-Nya di alam untuk berbagi rahmat-Nya kepada sesama. Pahamilah ini, sebagai karunia dari Maha Kebijaksanaan Dia Yang Maha Pemurah. Ar Raahman.
Para Rasul Min Indi'anfusihim
Utusan (rasul) yang bisa dalam wujud apapun, yang datang dari sekitar membawa berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq), sebagai petunjuk bagi dirinya dalam mendapatkan kemudahan dari setiap rahmat-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan.......... (QS 49:7)
Wujudnya bisa apa saja, orang-orang di sekitar yang membantu kemudahan bagi dirinya, maupun petunjuk yang di dapatkan dari alam sekitarnya. Yang sesungguhnya adalah atas perintah atau kehendak Dia. Hingga pada akhirnya dirinya pun ikut serta menjadi rahmat untuk alam sekitarnya kembali. Bahkan banyak yang mendendangkannya dalam sebuah lagu atau doa-doa yang mencurahkan isi di hati-nya, entah mengerti-tidaknya, atau sekedar hanya berharap, seperti lirik-lirik dalam lagu dan syair, burung yang menyampaikan berita dari yang nun jauh disana, salam yang disampaikan oleh angin malam kepada kekasihnya. Dan tentunya masih banyak lagi lainnya, yang jelas, bahkan (entah) dalam khayalannya saat menciptakan lirik-lirik tersebut, maka Allah pun menyusupkan petunjuk-Nya sebagai ilham ataupun ide.
Banyak tanda-tanda yang tersebar di alam ini yang merupakan petunjuk sebagai pengetahuan yang sangat berguna di kehidupan. Seperti bintang-bintang sebagai petunjuk arah. Arah angin dan pergerakan awan sebagai petunjuk iklim yang akan datang ke suatu wilayah untuk dapat diketahui suhu, curah hujan, bahkan terjadi badai atau tidaknya. Guru-guru yang mendidik para murid, para orangtua yang selalu menasehati, dan teman yang mengingatkan. Buku-buku sebagai kitab yang menjelaskan, jam tangan yang menunjukkan waktu, serta tidak ketinggalan, sampai kepada kokok ayam jantan di kala fajar menyingsing. Sehingga segala sesuatunya sebagai yang ikut memudahkan kehidupan kemanusiaan, dan dapat diambil manfaatnya. Mereka itulah, sebagai rasul-rasul min di’anfusihim, pembawa kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq). Kebenaran yang merupakan petunjuk bagi diri-diri yang telah siap menerima petunjuk tersebut. Maka kemanapun kita arahkan penglihatan, rasa, pikiran, serta ilmu dan pengetahuan, maka yang akan kita temui sebagai ujungnya adalah Allah Yang Maha Tunggal.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. .....” (QS 49:7)
Inilah wujud interaksi antar rasul yang datang dari luar jasad membawa petunjuk, dengan rasul yang berada di dalam sebagai yang menerima petunjuk. Energi-nya akan tersambung sinkron dan berharmonisasi bila dalam satu kesatuan, petunjuk kesucian atau maupun berupa petunjuk kekotoran.
Bila petunjuk yang akan hadir adalah petunjuk kesucian yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sementara yang di dalam masih dipenuhi kekotoran, maka kehadirannya takkan memiliki arti atau makna sebagai petunjuk, sekalipun dipaksakan. Inilah makna, ada dinding pembatas antara kebaikan dan keburukan.
Juga makna, hatinya telah tertutup, hatinya telah membatu, serta bukan mata tak melihat dan telinga tak mendengar. Demikian pula halnya dengan interaksi yang saling bersambung, maka jiwanya akan merasa puas dan senang, baik yang saling bersambung antara dua kesucian, ataupun yang bersambung antara dua kekotoran. Yang satu mendapat petunjuk kepada keselamatan, dan yang satunya lagi mendapat petunjuk kepada kesesatan yang semakin dalam dan mencelakakan dirinya sendiri.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Telah banyak disadari kebanyakan diri kemanusiaan, bahwa kerusakan alam yang disebabkan dari perbuatan mereka juga berakibat kembali kepada dirinya sebagai bencana. Akan tetapi, bila keinginan dan kebutuhan telah mendesak hawa nafsu mereka, maka hilanglah kesadarannya tersebut. Hatinya telah tertutup hawa nafsunya yang didominasi keinginan dan kebutuhannya, sehingga tidak lagi melihat akibat-akibat sebagai bayang-bayang bencana yang akan mendatanginya kelak di kemudian hari.
Banyak hal sepele yang kemudian bertumpuk dan menjadi masalah yang pada akhirnya memberatkan diri mereka sendiri, seperti membuang sampah sembarangan dan menebangi pohon di halaman rumah. Belum lagi bila sumber nafkahnya yang bergantung dari alam seperti pertambangan liar dan mencari kayu di hutan, maka kebutuhan hidupnya yang selalu kurang akan mendorong hawa nafsunya untuk lebih serakah dan berakibat rusaknya alam. Dan bencana adalah yang akan kembali kepada mereka, sebagai akibat ulah perbuatan mereka sendiri.
Menjaga kelestarian alam adalah menjalin persabahatan dengan para malaikat yang tersebar di alam, sehingga menjaga pula fungsi mereka sebagai penjaga, penolong, dan pemberi petunjuk yang membantu bagi kemudahan kehidupan kita. Nikmat Allah berupa alam bagi nafkah kehidupnnya akan menjadi bencana bagi diri mereka sendiri, bila tidak mengelolanya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Tak ada sesuatupun yang dapat mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah. Hitunglah. Telah berapa kalikah mata melihat kebaikan dan keburukan? Telah berapa kalikah telinga mendengar suara-suara kebaikan dan keburukan? Telah berapa kalikah mulut mengucapkan kata-kata atau kalimat kebaikan keburukan? Dan masih banyak lagi yang takkan sanggup kita rinci satu per satu ketidak sanggupan kita tersebut.
Menghitungnya saja tak akan mampu, apalagi mendustakannya. Tidak usah dengan mendustakannya, melupakannya saja adalah kufur nikmat, maka akibatnya kembali kepada diri-nya sebagai musibah ataupun bencana yang merugikan dirinya sendiri. Satu saja malaikat atau rasul-Nya, yaitu yang bekerja di wilayah organ mata kita mogok, tidak mau bekerja. Atau pada organ pendengaran dan pengucapan, maka musibah besar bagi kita. Begitu banyak yang kita dengar melalui pendengaran yang diberikan-Nya, begitu banyak yang kita lihat melalui penglihatan yang diberikan-Nya, dan begitu banyak yang kita pahami melalui pemahaman yang diberikan-Nya.
Semuanya begitu banyak dan tak terhitung  sebagai yang dianugerahkan-Nya pada kehidupan diri-diri kemanusiaan yang sebenarnya hanya hidup menerima. Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah membawa energi atau aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan kehendak-Nya. Syukurilah nikmat-nikmat yang tak terhitung tersebut dengan menyebarkannya kembali kepada sesama sebagai mewujudkan apa-apa yang dikehendaki-Nya, yaitu diri-diri kemanusiaan yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Para Rasul Min 'Indillahi
“Dan, sungguh telah datang kepada mereka seorang rasul dari (kalangan) mereka sendiri......” (QS 16:113)
Bila disadari secara mendalam, sesungguhnya jasad sebagai wadah diri (jiwa) ini tersusun dari milyaran makhluk Allah (sebagai perwujudan Allaahu Akbar), yang kesemuanya pun tunduk pada kuasa serta pemeliharaan Allahu ‘ala ‘arsyis tawaa, maka makhluk-makhluk Allah yang ber-alam di jasad kita inipun memerlukan aturan (agama) sebagai sistem dasar penggerak kehidupannya. Maka, selain Allah mengutus malaikat sebagai aparat yang menjalankan ketetapan-Nya, melainkan diperintahkan-Nya pula rasul-rasul sebagai utusan khusus-Nya sebagai pembawa petunjuk kepada diri-diri kemalaikatan yang bekerja membantu kemanusiaan di dalam jasadnya. Yaitu dengan saling berbagi rahmat, saling menyampaikan perintah dari kehendak-Nya kepada milyaran makhluk yang ber-alam pada jasad-nya.
Utusan inilah yang membuat kemudahan dalam penyampaian petunjuk, seperti pada organ-organ jaringan sistem penglihatan mata, sistem pendengaran pada telinga, dan sistem pengucapan kita untuk melihat dan menyampaikan informasi dari penglihatannya sebagai suatu petunjuk kebenaran dan kebaikan tanpa dikotori oleh yang menyesatkan setelah informasi ini sampai kepada hati atau kalbu.
Dan pada saat itu pulalah, terkadang terasa bisikan-bisikan setan yang berada di permukaan kalbu, membujuk dan berusaha mengotori informasi tersebut. Secara ilmiah, dalam ilmu kedokteran pun, ketiganya tersebut, penglihatan, pendengaran, tenggorokan dan pernafasan adalah satu kesatuan sistem yang saling mempengaruhi bila salah satunya mengalami disfungsi atau gangguan-nya. Betapa rumitnya struktur yang menyusun jasad ini yang terdiri dari milyaran sel sebagai makhluk-makhluk pula dengan bentuk kehidupannya masing-masing, sebagai satu kesatuan sistem (kehendak) atas perintah-Nya kepada utusan (rasul)-Nya untuk disampaikan kepada seluruh aparat-Nya.
Tidak usah jauh membayangkan pada milyaran sel-sel tubuh yang demikian rumit dan butuh penjelasan dengan bahasa-bahasa intelek, maka dengan keberadaan cacing di dalam tubuh, kutu pada rambut, atau jamur pada kulit, serta kuman-kuman di mulut, cukuplah mewakili keberadaan makhluk-makhluk yang menggunakan tubuh atau jasad kita sebagai alam-nya. Bila mereka telah berubah menjadi pembangkang, maka akan menjadi parasit yang mengganggu dan beralih dari fungsi sebelumnya. Maka makna, menjaga kebersihan adalah bagian dari iman, menjadi lebih masuk akal kita. Menjaga kebersihan adalah juga menjaga kesehatan tubuh, ikut memberi kemudahan aparat Allah dalam melaksanakan tugasnya, yang ternyata pun kembali kepada diri sebagai kebaikan.
Juga pada sel-sel darah di dalam tubuh, bila terjadi kesalahan fungsi, yaitu malaikatnya telah menjadi malaikat pembangkang (iblis), sel-sel darah putihnya menggerogoti sel-sel darah merahnya, sehingga sel darah putih yang semula fungsinya sebagai melawan bibit penyakit di dalam darah (sistem kekebalan), kini berbalik dan malah menjadi sumber penyakit yang menyikat habis sel-sel darah merah, seperti telah terjadi perang saudara diantara mereka. Maka diri dan jasad kita yang menerima akibatnya pula. Ya, terjadi pembangkangan atau pemberontakan di dalam tubuh jasad kemanusiaan, sebagai alam kehidupan mereka, makhluk-makhluk Allah yang merupakan aparat-aparat (malaikat)-Nya.
Mereka yang tak menjaga kehidupannya dalam kelurusan dan keseimbangan, termasuk kebersihan, maka akan menciptakan iblis bagi dirinya sendiri, yaitu para malaikat-nya tidak lagi tunduk patuh membantunya. Malah menjadi pembangkang yang merusak dan menjadi penyakit pada jasadnya. Dengan demikian, maka rasul-rasul ini yang bertugas menyampaikan agar mereka (para pembangkang) dapat kembali kepada jalan lurus seperti yang dikehendaki Tuhannya. Begitulah sesungguhnya diri (jiwa) ini ternyata ikut berperan aktif menundukkan (dalam artian positif, mengendalikan), tidak hanya kepada segala sesuatu yang berada di luar, melainkan juga yang berada di dalam jasadnya agar tetap berada pada jalan lurus-Nya, sebagai ketetapan dari kehendak-Nya.
Pada diri yang masih belumlah kokoh imannya, maka rasul-rasul ini tiada berguna, sehingga setiap informasi yang diterima kalbu telah dikotori oleh bujuk rayu iblis, yaitu hawa nafsu-nya sendiri, sehingga timbullah niat amal perbuatan yang dikotori pula oleh kezhaliman, kehasadan, kefasikan, kemunafikan, kejahilan, hingga kepada kemusyrikan. Begitu pula pada indera-indera lainnya, yang dapat menimbulkan ketidak sucian pada hasrat dan keinginan pada setiap diri kemanusiaan. Kekotoran telah menutupi hati atau kalbu-nya.
Dan bagi orang-orang yang telah menjadikan jasadnya sebagai baithullah (rumah Allah), yaitu dengan jalan mensucikan jasadnya dari segala macam pengakuan (nafs atau ego-nya), maka akan jauh lebih mempermudah pekerjaan para aparat Allah, yaitu malaikat dan rasul-Nya dalam menyampaikan segala perintah dan kehendak Dia, Allahu ala arsyis tawaa, yang juga ternyata membawa kebaikan kepada dirinya pula sebagai rahmat dari-Nya. Sebagai wadah atau perwujudan dari Yang Maha Terpuji, maka jiwanya harus dapat menyelaraskan antara jasad sebagai wadah dan energi (malaikat atau aparat Allah) yang menggerakkan untuk hidup kehidupan sebagai yang tunduk sujud yang sesuai kehendak-Nya, begitulah fitrah kemanusiaannya.
Para Rasul Tandzilal Adzizir-rahiim
“(yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu.......”. (QS 44:5-6)
Bumi yang dibanjiri dari segala penjuru semesta oleh cahaya benda-benda langit, seperti matahari, milyaran bintang, bulan, serta benda langit lainnya, merupakan karunia bagi penghuni bumi. Dan sesungguhnya, merupakan petunjuk besar dari Allah, yang seharusnya disadari oleh diri kemanusiaan, bahwa Dia mengutamakan hidup kemanusiaan, dan menghendaki setiap diri menemukan kesejatian manusia-nya. Yaitu sebagai fitarh yang telah ditetapkan Tuhannya, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling menyebarkan rahmat Allah kepada sesama di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiin.
Hanya karena hendak menciptakan kemanusiaan, maka Dia ciptakan semesta alam ini berikut isinya, kemudian menyempurnakan kejadiannya agar layak ditempati manusia yang telah tebarkan-Nya segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dia-lah Allaahu Rahmaanur-rahiiym. Pelindung dan Pemelihara. Dia ciptakan semesta alam ini, langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya hanya untuk menciptakan kemanusiaan yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan rahmat-Nya di alam.
Kembali kepada cahaya-cahaya yang ‘membanjiri’ bumi, yang merupakan rahmat Allah. Sesungguhnya cahaya-cahaya atau dapat disebut pula sebagai energi, yang setiap saat turun ke bumi membawa karunia dan anugerah dari Tuhannya untuk penghuni bumi dan manusia pada akhirnya, sekalipun tak disadarinya. Cahaya-cahaya tersebut yang sesungguhnya merupakan aparat Allah atau malaikat, sebagai aparat pengganti aparat sebelumnya yang telah selesai masa tugasnya sebagai salah satu unsur dasar atau unsur utama kehidupan, dan biasa disebut dengan energi, karena energi-energi sebelumnya tersebut telah berubah bentuknya menjadi rahmat-rahmat Dia yang lain, sementara kesinambungan kehidupan semesta alam ini haruslah terus berlangsung hingga waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Dengan energi itulah maka aparat-aparat lainnya yang bertebaran di bumi tercipta pula, sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Yaitu, sebagai pembawa dan penyampai rahmat dan kehendak Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya yang tak pernah benhenti sampai pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Maka hidup dan kehidupan dapat berlangsung selama cahaya-cahaya tersebut terpancar ke bumi. Adapula ketetapan-ketetapan Dia yang lain, yang manusia melihatnya sebagai bencana, tetapi Dia lebih mengetahui dalam menciptakan keseimbangan bagi kehidupan semesta alam secara keseluruhan di alam raya ini, sedangkan diri-diri kemanusiaan dengan keterbatasannya, maka hanya menilainya berdasarkan baik-buruknya saja apa-apa yang sampai dan diterimanya.
Konon, pada sekitar abad 14, sejarah mencatat, saat setelah meletusnya gunung Tambora di Nusa Tenggara Timur meletus, debu letusannya yang terbawa oleh angin menutupi langit atmosfeer di atas benua Eropa sampai beberapa waktu, akibatnya ratusan ribu jiwa mati kedinginan (belum termasuk hewan ternak), karena suhu menurun drastis akibat tidak sampainya cahaya matahari menembus awan debu yang disebabkan letusan gunung tersebut. Itulah kehendak Allah. Subhanallah.
Belumlah lama berselang, badai di matahari pada satu dekade lalu, dan membuat lidah api raksasa yang panjangnya dapat mencapai jutaan kilometer, menciptakan gelombang kejut elektromagnetik yang sampai ke bumi, dan mengakibatkan kerusakan jaringan komunikasi dan listrik di beberapa negara seperti Taiwan dan Hongkong serta Kanada. Dapat pula melelehkan satelit yang berada di luar atmosfeer bumi.
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Itu adalah dua contoh terganggunya ‘pekerjaan’ malaikat tandzilal adzizir-rahiim sebagai pembawa petunjuk yang berupa rahmat Allah bagi kehidupan di bumi, dan bencanalah jadinya. Dan itupun adalah kehendak-Nya. Serta kedua contoh itu pula, merupakan terganggunya tugas kerasulan pada malaikat tandzilal adzizir-rahiim di bumi. Betapa ketergantungannya manusia kepada alam ini sebagai perwujudan Allah yang Akbar, bahkan kejadian yang jauhnya ribuan kilometer atau ratusan juta kilometer dapat mempengaruhi kehidupannya.
Bersahabatlah bersama alam yang dalam bentuk lahir atau nyata kelihatan, juga kenalilah yang bathin-nya pula sebagai yang membawa energi didalamnya. Alam ini membawa energinya yang amat dahsyat. Bersahabat dengannya juga akan mengenal pula sifat-nya, bukan malah merusaknya yang justru akan kembali kepada diri-diri kita sendiri sebagai bencana dan musibah. Dan itulah maksud atau kehendak Allah dengan, “sebagai khalifah di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Allah kepada sesama makhluk-Nya di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiiyn”.
Diri yang ber-Kerasulan
“Dia mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui bahwa “rasul-rasulitu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.”  (QS 9:24)
Diri yang telah didasari pemahaman sifat kerasulannya, dari ikrar persaksiannya dalam syahadat disetiap shalatnya, akan membawa jiwa (nafs)-nya kepada ketenangan dan ketentraman, serta berdampak lebih jauh kepada amal perbuatan yang bertanggung jawab pada kebenaran dan kebaikan. Segala macam yang belum diketahuinya dan dipahaminya, kelak akan dibuka satu persatu oleh Allaahu ‘alaarsyis tawaa, sesuai kadar dan ketetapan, serta kehendak-Nya, sebagai bekal sifat kerasulannya yang disandangnya. Juga sebagai petunjuk serta pemuas dahaganya akan rasa ingin semakin memahami makna-makna sejati jalan hidup dalam menuju Dia yang Maha Tunggal. Yang sesungguhnya segala sesuatu bersumber dari dan mengarah kepada-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta pada keimanan, dan menjadikannya indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS 49:7)
Dan makna ayat tersebut diatas, sesungguhnya menegaskan kembali bahwa kerasulan meliputi setiap diri kemanusiaan, hadir dan mempengaruhi kehidupannya. Karena tujuan utama sesungguhnya Allah menurunkan al Qur’an bukanlah untuk nabi Muhammad SAW karena beliau telah terbukti memiliki akhlak terpuji dari semenjak sebelum kenabiannya, melainkan untuk seluruh diri-diri kemanusiaan, maka segala firman yang berada di dalamnya pun agar dapat menjadi petunjuk dan pelajaran bagi seluruh umat kemanusiaan. Bukan hanya kerasulan yang telah terhenti sejak Muhammad bin Abdullah telah tiada, dan bukan hanya pula rasul-rasul yang hadir di luar dirinya, akan tetapi rasul-rasul yang berada di dalam diri-nya, kerasulan pada diri-diri kemanusiaannya sendiri.
“Sungguh, engkau adalah seorang dari rasul-rasul, (QS 36:3)
Setelah insan kemanusiaan dapat menerima dan menyadari dirinya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji (muhammad), maka arah kehidupannya telah tentu atau jelas, dan lurus mengarah kepada amal perbuatan yang terpuji. Dan memeliharanya sebagai bentuk pengabdian hamba kepada sesama hamba (perwujudan Allahu Akbar), serta pengabdian yang terpuji kepada Yang Maha Terpuji (perwujudan Allahu Akbar kepada Allahu Arsys Tawaa) Yang Maha Memerintah dari tempat tunggal-Nya. Yaitu pengabdian seorang utusan kepada Yang Mengutus, sebagai tugas mulia bagi wujud-wujud yang terpuji.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)
Kadar atau tingkat kerasulan pada setiap kemanusiaan adalah tergantung diri masing-masingnya dalam memahami makna anugerah kerasulan-nya dan mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan. Dan demikianlah keadilan-Nya, bahkan setiap diripun tidak merasa diberatkan oleh penugasan-Nya tersebut. Bila merasa, maka diri-nya akan rela dan ikhlas dalam menjalaninya. Bila tidak merasa akan tugas-nya tersebut, tiada akan menjadi beban baginya, seolah-olah itu hanya ditugaskan kepada orang-orang pilihan-Nya saja, bukan kepada diri-nya.
Pilihan tetap ada pada diri masing-masingnya, kebaikan atau keburukan, maupun yang berada diantara keduanya. Maka kelak, yang dituainya pun surga atau nerakanya, ataupun yang berada diantara keduanya. (Kelak, pada bab di belakang, kita akan mencapai pula kesadaran bahwa sesungguhnya tiadanya pilihan dalam jalan Allah. Ya, jalan lurus yang hanya satu)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Diantaranya ada yang (langsung) Allah berfirman kepadanya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat....... (QS 2:253)
Dia lebihkan sebagian dari sebagian yang lain, karena mereka pun berbuat lebih dari perbuatan mereka yang lainnya. Termasuk kerasulan pada diri-diri setiap kemanusiaan, dari mulai menyadari kerasulan-nya hingga melakukan tugasnya tersebut dengan kadarnya masing-masing, sehingga membawa kepada derajat yang berbeda satu sama lainnya. Karena Dia-lah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Dan setelah ketiga keimanan ini telah kokoh dipahami dan disadari, maka sekarang, tidaklah gaib lagi. Bahkan nyata, dekat sekali dan ada bersama-sama diri kita ikut mempengaruhi dan mengarahkan kehidupan kita. Maka akan lebih mudah untuk menguraikan keimanan selanjutnya yang memang lebih nyata terasa, atau teraba, atau bahkan terlihat telah ada bersama kita sejak lama, yaitu Al Qur’an. Akan tetapi, jangan hanya terpaku hanya kepada yang nyata terlihat saja, melainkan penting pula memahami makna-maknanya yang lain, yaitu yang nyata terasa tapi tak terlihat maupun teraba sebagai yang masih ghaib, karena masih perlu dipahami melalui petunjuk-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”

(QS 2:159)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar