Senin, 10 Juni 2013

Bab XIX - MATERI PENYUSUN JASAD




Bab XIX
MATERI sebagai PENYUSUN
JASAD
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
 (QS 31:20)
J
ika dalam setiap partikel penyusun materi, masing-masingnya membawa energi bawaan, maka tentunya energi dari sebuah unsur, atau molekul, ataupun senyawa kimia lainnya yang jauh lebih rumit, seperti pada benda-benda, tentu akan membawa pula energi bawaan yang semakin terkumpul besarnya sesuai persenyawaan unsur-unsurnya tersebut. Dan adalah manusia, sebagai susunan materi dengan persenyawaan kimia terumit yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan sel, maka tentunya membawa energi bawaan yang amat dahsyat. Bayangkan berapa banyak energi dari apa-apa yang dimakan dan diminumnya yang telah diserap seorang manusia semenjak lahirnya hingga dewasa? Telah berapa huruf yang keluar dari setiap pikir dan ucapnya? Telah berapa kilometer gerak langkah kakinya?
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
Energi bawaan tersebut adalah energi yang berasal saat  penciptaan semesta alam, dan terus terbarukan sebagai yang berkembang karena berinterkasi terus menerus. Seperti telah diulas sebelumnya pada bab keimanan kepada para malaikat, bahwa pada awal penciptaan, segala sesuatu Allah ciptakan dari pancaran cahaya-Nya. Cahaya-Nya itulah sebagai energi bawaan yang merupakan para aparat Allah, sebagai struktur penyusun segala sesuatu ciptaan-Nya, penyampai dan pembawa pesan serta kehendak-Nya. Cahaya-Nya yang terpancar terus menerus itulah yang membuat seluruh aparat-Nya tersebut hidup dan menghidupkan terus berlanjut silih berganti sampai kepada waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Energi-energi atau yang merupakan juga para aparat-Nya tersebut mengalami perubahan wujud-nya, dan tugasnya tergantikan oleh energi baru yang terpancar terus menerus tanpa pernah berhenti melalui cahaya-Nya. Namun energi bawaan tersebut tetap melekat sekalipun wujud-nya telah berubah menjadi wujud yang lain. Menjadi makhluk ciptaan-Nya yang lain sebagai rahmat Tuhannya kepada semesta alam.
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah Barat (-nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”  (QS 24:35)
Karena itulah Dia sebagai Yang Maha Meliputi segala sesuatu, Yang Maha Halus dan Lembut, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat. Sebab seluruh aparat-Nya tersebar kepada segala sesuatu tersebut di seluruh pelosok langit dan bumi, sedangkan Dia tidak bergantung kepada seluruh aparat-Nya tersebut, malah mereka-lah yang amat bergantung kepada-Nya dalam segala hal.
Jasad, yang juga merupakan kumpulan materi, dari waktu ke waktu mengalami perubahan sampai pada kematiannya, terurai kembali sebagai unsur-unsur bebas. Dari semenjak di dalam kandungan, lahir, mengalami masa-masa balita, remaja, dewasa, dan hingga masa tuanya, sekalipun dengan identitas yang sama, pun mengalami perubahan-perubahan. Hanya saja sebutannya yang berbeda-beda, masa-masa di dalam kandungan disebut dengan masa perkembangan janin, masa balita disebut dengan masa pertumbuhan, masa remaja disebut masa peralihan, selanjutnya masa pendewasaan, dan di masa-masa akhir disebut dengan masa senja. Bentuk lahirnya berubah berdasarkan waktu, menjadi tumbuh besar, berubah gemuk atau kurus, kulitnya semakin gelap atau semakin terang, semakin mengendur kekencangannya (keriput), dan rambut yang beruban (memutih). Yang kesemuanya adalah bermakna perubahan wujud. Maka, begitupula dengan jiwanya, sekalipun karakternya sebagai pribadi tidak berubah, akan tetapi kematangannya tentu mengalami perubahan menuju kepada perbaikan (penyempurnaan) dari sebelumnya.
“Dan demi jiwa dan Yang menyempurnakannya.”  (QS 91:7)
Dalam kenyataannya, bukti bahwa setiap materi mengandung energi bawaan, yang sederhana, seperti air yang dipanaskan. Selain membutuhkan energi untuk mengurai unsur-unsur penyusunnya, juga menghasilkan energi, seperti untuk menggerakkan turbin yang dapat berguna bagi kehidupan. Dan sungguh, pada kelanjutannya mempengaruhi materi di sekitarnya untuk berinteraksi lebih jauh lagi.
Juga akan semakin dibutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk mengurai unsur-unsur tersebut menjadi yang lebih kecil lagi, sehingga wujud materinya berubah atau menghilang dan menyisakan yang tinggal hanya energi yang dihasilkannnya. Seperti pada proses fisi dan fusi nuklir, maka energi yang dihasilkannya pun amat jauh lebih besar. Dahsyat.
Seperti itulah proses di permukaan matahari kita. Dimana tidak pernah terbentuk unsur-unsur yang jauh lebih berat dari Hidrogen dan Helium saja, karena selalu dilebur seperti memasak air di panci besar yang tertutup rapat dan api yang terus menyala dengan konstan, sehingga uapnya tidak ada yang keluar dan hilang, melainkan akan jatuh kembali dan dimasak kembali terus berulang-ulang. Bayangkan, itu hanya dipermukaannya, tentu di dalam inti matahari lebih dahsyat lagi. Sedangkan suhu dipermukaannya saja diperkirakan 6000 ⁰ Celcius.
Dan yang terlepas dari proses di permukaan matahari hanyalah pancaran cahayanya, yang ternyata sedemikian besar manfaat kegunaannya bagi kebutuhan energi di bumi, sehingga memperkaya bumi. Proses ini adalah sunathullah sebagai hukum semesta, sebagaimana pada proses awal penciptaan alam semesta yang diawali oleh pancaran cahaya-Nya. Nur Allah.
Cahaya ada yang tak terlihat bentuk atau wujudnya, tetapi ada pula beberapa cahaya yang memiliki warna dan ada pula yang tak memiliki warna alias gelap, kesemuanya dikarenakan panjang gelombang (gerak partikel)-nya yang mempengaruhinya. Disebabkan mata lahir kita yang hanya memiliki keterbatasan dalam menerima panjang gelombang tertentu untuk dapat melihat, dan warna cahaya pun dipengaruhi oleh panjang gelombangnya.
Energi yang bersumber dari energi cahaya tersebut tidaklah hilang karena berubah menjadi materi, melainkan tetap ada sekalipun ‘dia’ telah memiliki wujud baru akibat interaksi dengan sesamanya dalam membentuk koloni. Wujudnya dapat terlihat karena telah berkelompok sehingga semakin membesar. Mata telanjang kita takkan dapat melihat atom sebuah unsur, akan tetapi setelah atom-atom tersebut berkelompok membentuk senyawa barulah dapat terlihat.
Itupun tidak pada semua senyawa, pada senyawa dalam bentuk gas tentu kita tak dapat melihatnya, kecuali hanya mungkin baunya yang tercium untuk dapat diketahui keberadaannya (seperti pada gas amoniak). Dalam keseharian, kita mengetahui bahwa air hujan yang turun dari langit merupakan uap-uap air yang tak terlihat kemudian berkumpul dan saling berinteraksi membentuk koloni awan mendung setelah berkondensasi dan menimbulkan berat hingga akhirnya jatuh kembali ke bumi sebagai wujud air hujan.
Energi merupakan bathin-nya, dan setelah berkoloni kemudian terwujudlah bentuk lahir-nya. Itulah materi, dimana setiap materi memiliki energi sebagai yang tak terlihat. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa materi dapat berubah wujud atau bentuknya dengan membawa energi bawaan-nya bila ada kodrat dan iradat yang menentukannya. Dengan kodrat dan iradat itulah bumi dan langit terbentuk dan kemudian dipisahkan, kemudian di langit yang terlihat sebagai ruang kosong dibentuk bintang-bintang yang jumlahnya milyaran, serta di bumi yang sebelumnya mati atau tandus dan kering kemudian dihamparkan-Nya dengan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai awal mula kehidupan.
“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ........  (QS 21:30)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)
Pada orang-orang yang percaya  ada kekuatan halus yang dipercaya sebagai ruh atau roh yang tak terlihat (dinamisme) yang menempati beberapa atau setiap benda (materi). Pemahaman ini benar tetapi tidak tepat bila tak dimasukkan pula unsur kodrat-iradat yang melekat dan menentukannya, karena kekuatan halus itulah yang merupakan sumber keberadaan (mewujudnya) benda atau materi. Bukan telah ada bendanya dahulu baru kemudian masuk kekuatan halus tersebut. Akan tetapi pada banyak kasus, ada pula energi-energi yang terpancing masuk kedalam suatu benda oleh energi yang memang telah ada pada benda tersebut sebelumnya.
Ini bukanlah hal yang luar biasa, layaknya ilmu yang masuk sebagai pengetahuan kepada diri kita. Inipun dapat terjadi, tentunya, tidak lepas karena kekuatan energi yang mempengaruhi benda atau materi tersebut yang telah ditetapkan kodrat dan iradat-nya.
Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap masih memerlukan cahaya sebagai asupan makanan untuk keberlangsungan gerak hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa energi tidaklah musnah melainkan hanya mengalami perubahan wujud sebagai sifat bawaan. Seperti berubah menjadi energi panas, menjadi energi listrik, menjadi energi bunyi, dan lain-nya yang karena disebabkan interaksinya dengan energi lainnya, dan inilah yang disebut sebagai gerak hidup-nya.
Sebenarnya, begitupun kepada materi sebagai wujud jasad yang membungkus energi, yang dibilang mati atau terurai, ternyata tidaklah musnah, melainkan mengalami gerak hidup-nya dengan berubah wujud. Seperti wujud air yang dipanaskan hingga menguap, materinya terurai berubah wujud menjadi wujud uap (gas), dan akan kembali kepada wujudnya semula bila suhu yang mempengaruhinya kembali normal seperti suhu asal saat berwujud cair. Dan perubahan-perubahan wujudnya selalu memiliki atau membutuhkan waktu.
Maka sumber energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah, sehingga materi (wujud) segala sesuatu adalah perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada yang ghaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus (ghaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini. Ya, kekuatan halus (ghaib) yang merupakan aparat Allah yang menjalankan apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Pada bab sebelumnya tentang keimanan kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)
Energi-energi tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini. Kekuatan ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan. Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan  dibanding yang lainnya.
Dan dalam teori relativitas-nya Albert Einstein disebutkan, bahwa kecepatan cahaya adalah 300 ribu kilometer per detik. Hal ini mewakili kecepatan tersebut sebagai kekuatan gerak atau kerja malaikat yang teramat cepat, bahkan sebelum mata kita sempat berkedip. Bagaimana tidak? Bayangkanlah, bagaimana cepatnya antara gerak-gerak tubuh kita pada saat kita baru menginginkannya, atau yang lebih terasa pada gerak reflek kita terhadap sesuatu yang datang mendadak dan terasa membahayakan diri kita.
“Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)
Dengan demikian, sesungguhnya energi yang mendasari pembentukan setiap materi (benda) tersebut adalah sebagai yang disebut ruh atau para aparat (malaikat) Allah dengan menyandang kodrat dan iradat-Nya. Termasuk pula pada jasad atau tubuh kita yang terdiri dari milyaran sel yang berbeda-beda dalam setiap jaringannya dan memiliki fungsi dan kerja masing-masingnya yang bukan diri kita-lah sebagai yang mengatur dan memerintahkannya, melainkan adalah karena Dia yang telah menetapkan dalam suatu qudrat dan iradat-Nya.
“Dan kepunyaan-Nya lah segala yang di langit dan di bumi. Dan malikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS 21:19)
Begitulah sesungguhnya keberadaan malaikat-Nya, sebagai aparat-aparat Allah yang bertugas menjaga dan membantu kehidupan kemanusiaan.  Juga sebagai makna malaikat yang bersujud kepada kemanusiaan (QS 2:34), bukan malaikat yang menjadi pembangkang yang tak mau bersujud dan menjadi disebut iblis, akibat kehendak kemanusiaan sendiri yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya, dan tidak lagi berserah diri (islam) kepada Tuhannya.
Dan mereka, para aparat Allah ini adalah merupakan energi-enrgi yang tersebar memenuhi alam raya ini, baik yang kelihatan sebagai materi atau benda, maupun yang tak kelihatan seperti unsur-unsur gas atau yang lainnya. Mereka juga sebagai unsur-unsur dasar pembentuk segala sesuatu di semesta alam raya ini, sebab mereka membawa energi bawaan yang disebut qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak) Allah SWT. Dengan demikian telah menjadi masuk akal-lah firman-Nya, “..... apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, kun fa ya kun ( jadilah, lalu jadilah dia).” (QS 3:45-47).
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”(QS 41:53)
Jasad & Ruh
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Dari ayat inilah timbul pemahaman yang kuat, bahwa kemanusiaan dengan jasad, ruh, dan jiwa-nya memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan segala sesuatu (materi) lainnya sebagai makhluk ciptaan, bahkan termasuk dengan para malaikat yang merupakan aparat Allah yang selalu dekat dan selalu bertasbih memuji-Nya. Renungkanlah ayat diatas tersebut secara dalam dan seksama, semoga Allah memberikan hidayah atau petunjuk-Nya agar kita mendapatkan hikmah yang haqq.
Segala sesuatu (materi) dalam bentuk lahir atau nyata, termasuk materi yang menyusun jasad manusia, memiliki ruh atau kekuatan (energi) halus yang tidak kasat mata sebagai bentuk bathinnya. Pada jasad manusia yang multisel tentu dari ujung kaki sampai ubun-ubunnya memiliki ruh-ruhnya pula. Karena diseluruh tubuh  jasad, bukan hanya manusia, yang terdiri dari sel-sel tersebut adalah tumbuh dan berkembang, juga mati dan tergantikan, sehingga bermakna hidup. Dan hidup adalah bukti yang menunjukkan keberadaannya ruh. Ruh inilah yang dimaksud dengan ruh ciptaan Allah. Lain halnya dengan Ruh-Ku seperti bunyi firman ayat di atas. Hal ini menunjukkan kedekatan Allah terhadap manusia dibanding makhluk atau benda-benda materi lainnya.
“..... Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”    (QS 2:3)
Hal inipun menegaskan bahwa manusia adalah wakil (waliiy) atau perwujudan-Nya di alam yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Sebagai penebar rahmat Allah kepada sesamanya (makhluk Allah). Penegasan lainnya adalah gelar Khalifah pada kemanusiaan, sebagai pemimpin alam ciptaan-Nya ini. Dan perlunya membedakan ruh yang mendasari setiap materi termasuk pada jasad dengan Ruh-Ku (Ruh Allah) seperti maksud ayat di atas. Karena ada beberapa kata ruh yang disebut di dalam Al Qur’an dengan makna yang jelas-jelas berbeda, seperti ruh al quds yang menunjuk kepada malaikat (jibril), ruh Kami (kata Kami biasanya dimaknai bahwa Allah melibatkan beberapa makhluk-Nya), dan ruh-Nya.
Bila kita ingat tentang dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah yang merupakan dosa besar yang tak terampuni. Tetapi mengapa di dalam ayat tersebut (QS 38:71-72) justru Dia malah memerintahkan kepada para malaikat untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Sedangkan kepada mereka (para malaikat) yang menolak tunduk dan bersujud kepada selain Allah malah disebut iblis dan dikutuk? (QS 2:30 dan 15:35).
Kepada jasad sebagai materi, dan ruh sebagai yang bathin, tidak diberi kebebasan seperti kebebasan yang diberikan kepada jiwa. Pada setiap materi segala sesuatu yang didalamnya (tak terlihat) mengandung energi bawaan, atau lebih akrab dengan sebutan ruh ini, hanya bekerja berdasarkan kodrat dan iradat dari yang telah ditetapkan oleh-Nya, karena itu mereka dapat bertumbuh, bergerak, ataupun berubah wujudnya sekalipun materi itu banyak disebut sebagai benda mati. Ruh ini pula yang mewakili sifat-sifat kemalaikatan yang secara sukarela penuh dengan kesucian, ketaatan dan tunduk patuh, keikhlasan berserah diri, kasih sayang, serta akal sehat.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Nikmat Allah adalah segala sesuatu apa yang berada di langit dan apa yang berada di bumi, dan segala sesuatu yang merupakan nikmat dari rahmat-Nya adalah pula memiliki lahir dan bathin-nya. Jadi sebagai rahmat yang dapat dinikmati lahir dan bathin-nya pula oleh kemanusiaan. Begitulah Allah mengungkapkan rahmat-Nya, yaitu segala sesuatu di semesta alam ini sebagai yang selain memiliki wujud lahir, sesungguhnya juga memiliki wujud bathinnya yang adalah ruh atau energi bawaan sebagai yang membawa kodrat dan iradat-Nya untuk sampai kepada kemanusiaan sebagai nikmat dari-Nya.
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)

Semakin kompleks persenyawaan kimia suatu materi maupun makhluk, tentu pula semakin tinggi kualitas ruh di dalamnya. Hal ini dapat dilihat atau diamati baik kepada materi-materi yang disebut benda mati maupun terhadap makhluk hidup selain manusia, apakah itu bakteri yang hanya bersel tunggal maupun yang agak lebih tinggi seperti tumbuh-tumbuhan, ataupun yang lebih tinggi seperti hewan-hewan. Yang pasti mereka ini tidak mendapatkan tiupan  Ruh-Ku oleh Allah.
Sebenarnya pada jasadnya, manusia pun mengalami perubahan di setiap masanya. Yang jelas kelihatan perubahan-perubahannya adalah dari masa bayi ke masa balita, ke masa remaja, dewasa, kemudian perubahan di masa tuanya. Yang tidak kelihatan secara signifikan mengalami perubahan hanya identitas pribadinya, yaitu jiwa-nya.
“...... Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”  (QS 17:70)
Sehingga yang membedakan manusia dengan selainnya sebagai makhluk-Nya juga adalah karena jasadnya atau materi penyusun tubuhnya yang bila telah disempurnakan kejadiannya maka Ruh-Ku (Ruh Allah) akan bersemayam di dalamnya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kepada para malaikat seluruhnya untuk tunduk dan bersujud kepada manusia. Kita telah membahas bagaimana tunduk dan bersujudnya kemalaikatan, bahkan iblis sebagai yang disebut pembangkang atau musuh yang nyata bagi manusia pada bab keimanan terrhadap malaikat.
Jasad atau tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel, yang bermula dari satu sel yang membawa genre (sifat lahir, wujud atau bentuk rupa) ayah-ibunya. Di dalam rahim perut ibunya, perkembangan dan pertumbuhannya, sel tersebut membelah diri menjadi dua sel, dan keduanya kembali membelah diri menjadi empat sel. Begitu seterusnya, setiap sel hasil pembelahan selalu kembali membelah dirinya hingga menjadi bermilyar-milyar.
Tidak hanya membelah saja sel-sel tersebut, di dalam perkembangannya, melainkan pula tumbuh berkembang menjadi sel-sel yang berbeda bentuk dan fungsinya masing-masing sesuai kodrat-iradat yang telah ditetapkan kepadanya. Menjadi jaringan yang membentuk organ-organ hingga anggota tubuh. Sungguh kejadian yang teramat rumit dan kompleks.
Bayangkanlah, bahkan dalam setiap harinya, proses-proses setiap segala sesuatu yang sedang berlangsung di bumi ini, berapa ribu atau juta ibu yang sedang mengandung, yang didalam perutnya sedang terjadi milyaran proses kejadian pembentukan (penyempurnaan) bayi manusia. Belum lagi pada hewan-hewan, tumbuhan, hingga kepada bentuk-bentuk makhluk yang lebih sederhana strukturnya. Pada pergerakan angin dan awan, serta lain-lainnya. Belum lagi pada keseimbangan semesta yang terdapat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam milyaran galaksi. Subbahanallah, betapa sibuknya Allah dari waktu ke waktu mengatur sekaligus memelihara semesta alam ini (QS 2:255).
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”  (QS 55:29)
Jangankan untuk dapat menentukan jumlah materi yang mengisi semesta alam ini, untuk menentukan nilai ukuran besarnya alam ini pun tak pernah ada yang sanggup. Dan tak akan sanggup. Bahkan nilai ukuran materi terkecil pun tak sanggup, dan takkan pernah sanggup. Hanya mampu mengatakan “ke-tak-ber-hingga-an” (~), hampir-hampir penulisannya pun membuat rancu dan membingungkan yang membaca. Ya, ke-tak-ber-hingga-an besarnya alam ini, atau,  ke-tak-ber-hingga-an kecilnya sebuah partikel sub atomik penyusun materi.
Itulah kerumitan yang kita sadari dari membayangkan bentuk lahir yang hanya terlihat oleh mata, tetapi perlu disadari bahwa Allah mencipta segala sesuatu selalu dengan pasangannya. Yaitu juga bentuk bathin yang mengiringi segala sesuatu yang belum kita sadari karena tak terlihat. Bentuk bathin yang berupa energi (kekuatan)-nya inilah yang menjadikan segala sesuatu adalah mudah bagi Allah. Kun fa yaakun. Adalah energi bawaan yang membawa aparat-aparat (malaikat) Allah dalam menjalankan perintah dari segala kehendak yang telah menjadi ketetapan-Nya.
Di dalam perkembangan dan pertumbuhannya, kemanusiaan dengan setelah kesempurnaan wujud kejadiannya, dan selain diliputi oleh sifat ke-Maha Kuasaan Allah, kemanusiaan diliputi pula sifat ke-Maha Adilan-Nya, maka Dia-pun memberikan kebebasan kepada diri kemanusiaan (dengan jasad dan ruhnya) berupa jalan kebaikan dan keburukan sebagai yang hendak dipilih jiwanya. Disinilah mulai berperannya jiwa sebagai yang bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tentu menunjukkan pula di saat inilah keberadaan jiwa mulai ada dan terasa pada kemanusiaan.
“..... maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS 91:7-10)
Seiring dengan pertumbuhan kedewasaanya, jiwa kemanusiaan pun semakin berkembang kepada rasa tanggung jawab dari setiap pilihannya. Kesulitan, kekurangan, kesedihan, dan yang sejenis lainnya adalah suatu kondisi penempaan jiwanya, yang kelak, dapat menjadikannya sebagai termasuk dalam manusia-manusia unggul.
Ya, dengan rahmat keburukan (sebenarnya adalah kebaikan, kelak sebagai yang akan disadarinya), diri-diri kemanusiaan sesungguhnya sedang mengalami penyucian atau pemurnian jiwa-nya menuju kepada kesempurnaan. Itulah fitrah kemanusiaan-nya.
Jasad, Ruh & Jiwa
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)
Dan cahaya yang merupakan energi adalah asal dari setiap materi, ternyata terus terbawa sekalipun cahaya tersebut telah berwujud sebagai materi, bahkan sebagai materi yang bersenyawa jauh lebih rumit, sehingga menentukan karakteristik-karakteristiknya. Dan pada manusia, yaitu materi dengan bentuk senyawa sempurna yang jauh teramat kompleks, maka sebagai penyusun jasadnya pun berlaku. Energi bawaan yang berkarakter inilah sebagai yang disebut pribadi atau jiwa (aku). Yang sebelum lahir ke dunia jiwa ini telah mengadakan persaksian dengan Tuhannya akan kodrat dan iradat yang ditetapkan kepadanya.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)
Energi yang berkehendak dan berkeinginan, yaitu yang setelah sempurna keadaannya, bentuk atau wujud kejadiannya di alam, maka memiliki kebutuhan. Dan saat itulah timbul kehendak serta keinginannnya sebagai aku (ego) yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan angan-angan. Bila sebelumnya, kehendak dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.
Pada ayat 9 surah as Sajdah (32) tersebut diatas, maksud Allah dengan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya, adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan  sejati. Tiada pernah memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya.
Juga tidak hendak memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan pemahaman.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)
Kelak setiap diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati, sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Bahkan mereka, diri-diri yang menuhankan agamanya, yang karena lebih mengutamakan ego kelompok atau golongannya dengan berlebihan rela melakukan kerusakan malah sampai kepada saling menumpahkan darah. Bahkan mengatas namakan agama-nya, padahal mereka telah  menerima kitab, dan sebagai ahli kitab. Manusia manakah yang tidak menerima kitab? Bahkan di dalam dadanya pun telah ditanamkan kitab-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat. (QS 11:118)
......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
Jelas dan terang sekali keempat ayat ini menerangkan Bahwa Dia-lah yang memberikan aturan dan jalan yang terang kepada tiap-tiap umat diantara manusia, dan dengan perbedaan-perbedaan Allah hendak menguji diri-diri kemanusiaan agar berlomba dalam berbuat KEBAJIKAN, bukan kerusakan apalagi saling menumpahkan darah. Tidak cukupkah ini menjelaskan?!
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in§, siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Berhati-hati dan selalu waspadalah terhadap siasat iblis akan tujuan utamanya untuk menjerumuskan setiap diri kemanusiaan hingga hari kiamat (QS 15:35-36). Demikianlah seperti yang digambarkan firman-Nya di dalam ayat-ayat Al Qur’an  berikut ini pula.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)
Di setiap firman-Nya di dalam Al Qur’an, Allah tidak pernah menyebutkan bahwa Dia meniupkan Ruh-Nya kepada selain manusia. Dan bila lebih seksama merenungkan dan memahaminya secara mendalam, sesungguhnya Dia menghendaki manusia agar menjadi wakil-Nya sebagai yang mewujudkan sifat-sifatNya di bumi. Tidak hanya sekedar sebagai utusan yang membawa pesan-pesan dari-Nya, tidak pula hanya sekedar sebagai khalifah (pemimpin) melainkan juga amanah, sebagai perwujudan Dia ar Raahmanur-Rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), yaitu sebagai khalifah yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk-Nya.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (QS 2:34)
Satu hal utama yang harus menjadi kewaspadaan pada setiap diri kemanusiaan, yaitu terhadap iblis dengan sifat pembangkangannya terhadap perintah Tuhannya dan sifat takabur (sombong) yang ternyata amat membuat Allah murka, sehingga sebagai yang terkutuk hingga hari kiamat (QS 15:35) dengan neraka sebagai ganjarannya, hingga abadilah kutukan-Nya. Maka hikmahnya adalah, bila diri kemanusiaan melakukan dua sifat tersebut, sesungguhnya dia telah menciptakan iblis di dalam dirinya sendiri untuk menjerumuskan kepada kesesatan yang semakin dalam yang amat membuat Allah murka. Simak kembali bunyi ayatnya, ..... ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah.............. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, .......
Yang diperintah sujud adalah malaikat, dan mereka yang tunduk patuh pun bersujud. Sementara mereka (para malaikat) yang tidak tunduk patuh atau membangkang karena takabur dan sombong, maka disebutlah sebagai iblis. Dengan demikian, iblis tercipta dari malaikat, yang sesungguhnya memiliki sifat yang taat dan tunduk patuh pada dasarnya, menjadi pembangkang dan takabur karena sesungguhnya pula sifat-sifat itu dipengaruhi jiwa kemanusiaan yang selalu memiliki keinginan dan kebutuhan. Pembangkangan dan ketakaburannya tertuju kepada diri kemanusiaan, bukan kepada Allah. Jelas sekali, sebelum diciptakannya Adam mereka senantiasa bertasbih dan memuji serta mensucikan nama Allah. Dan tak ada kekuatan lain selain kekuatan kehendak Dia, termasuk kekuatan untuk membangkang dari perintah-Nya. Bagaimana mungkin aparat-Nya menjadi pembangkang kepada Tuhannya yang Maha Kuasa? Kecuali jiwa kemanusiaan yang memang telah dianugerahi sifat-sifat Dia, sehingga merasa memiliki pula kehendak atau keinginan dan kebutuhannya sendiri yang amat dipengaruhi oleh pengakuan (ego) serta hawa nafsu-nya. Lihat kembali juga pada bab keimanan kepada para malaikat sebelumnya.
Sehingga mereka, diri-diri yang menurutkan hawa nafsu (ego)-nya, maka sesungguhnya, dirinya sendirilah yang telah menciptakan atau menjadikan malaikat yang sebelumnya tunduk patuh untuk membantu sebagai aparat-aparatnya, kini menjadi iblis pembangkang yang  justru menjadi musuh yang menjerumuskan dan merugikan dirinya sendiri.
Sel-sel di dalam tubuh menjadi tidak bersahabat lagi terhadap satu sama lainya. Mereka membangkang, kerjanya menyimpang dari yang ditetapkan, membuat kerusakan hingga terjadi kegagalan sistem (mal function) pada organ tubuh, sehingga, sesungguhnya, dia sendirilah yang telah menetapkan kodrat-iradat bagi dirinya di hari kemudian sebagai yang merugikan.
Dalam sebuah hadits-nya Nabi memperingatkan, bahwa “ada segumpal daging di dalam tubuh yang apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, segumpal daging itu ialah hati.”  Tentunya hal ini membuktikan betapa keterkaitan yang amat mempengaruhi antara yang bathin dapat menentukan kepada yang lahir. Bagaimana hati seseorang yang kotor, yang selalu menuruti hawa nafsunya, dapat merusak tubuh atau jasadnya. Yaitu penyakit hati yang dapat menyebabkan penyakit di jasad atau tubuh seseorang. Yang telah banyak terbukti, tentunya kita sering mendengar tentang penyakit darah tinggi. Pada skala yang berat, pengaruh pikiran penderita amat berat menekan suasana hati-nya, maka penyakitnya akan lebih meningkat lagi menjadi stroke yang menyebabkan kelumpuhan pada beberapa organ tubuhnya, bahkan hingga pada kematian.
Pikiran kotor yang berada dalam hatinya ini adalah merupakan kebalikan atau lawan dari berserah diri (islam) dengan murni atau ikhlas dan rasa syukur nikmat atas setiap rahmat yang sesungguhnya telah diterima baik yang disadari maupun yang tak disadarinya. Pikiran-pikiran kotor inilah yang menghalangi mata-hatinya dalam memandang kebenaran dan kebaikan yang berada dibalik segala sesuatu yang dilihat mata-lahirnya, yang didengar telinganya, bau yang dicium hidungnya, rasa yang dikecap lidah dan rabaannya, dan lain sebagainya yang pada akhirnya dapat menyesatkan dan menjauhkan diri atau jiwanya dari kebenaran yang haqq.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
....... kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.   (QS 7:16-17)
...... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Begitulah seharusnya memaknai islam (berserah diri), bukan malah sebagai komunitas atau kelompok agama yang dengan eksklusivitasnya merasa berbeda sehingga tidak lagi menjadi rahmat bagi semesta alam, dan bahkan malah merusak dan menumpahkan darah.  Memahaminya secara positif adalah bahwa islam (berserah diri secara ikhlas) merupakan salah satu cara atau jalan di dalam jalan lurus menuju Tuhan untuk saling berbagi dan menebarkan rahmat-Nya.
Umat yang dikehendaki Allah adalah komunitas manusia yang menetapkan keberserah dirian (islam)-nya secara ikhlas, berlaku lurus dan selalu mensucikan amal perbuatan berupa kebajikan, serta selalu ingat dan menyadari akan kuasa lindungan dan pemeliharaan Tuhan Rabb semesta alam.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)


......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Bahkan Allah membenci orang yang shalat tetapi amal perbuatan-nya tak mencerminkan shalat-nya. Seolah-olah orang tersebut tak memahami untuk apa ia melakukan shalat. Seakan tak mengerti lagi, bahwa shalat adalah agar diri terhindar dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (mengingkari Allah), apalagi seperti perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah. 
Mengapa kalimat “perbuatan merusak dan saling menumpahkan darah” ini berulang-ulang dipakai ketika kita mengulas umat dan agama?  Ini, tidak lain, karena seringnya terjadi perselisihan yang melibatkan banyak orang sehingga kerusakannya pun tentu semakin besar. Dan yang paling mudah tersulut emosi (ego)-nya adalah, dalam kebanyakan kasus, mengatas namakan agama. Dan sepanjang sejarah peradaban manusia, banyak kejadian yang dilatari oleh isu-isu keagamaan yang tercatat sebagai tragedi kemanusiaan. Ingat kembali surah al Baqarah (2) ayat 35, yaitu ...... Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, ....... Pada ayat tersebut sepertinya Allah menghendaki agar diri-diri kemanusiaan waspada terhadap perbuatan tersebut yang menjadi perhatian dan kekhawatiran para malaikat bahwa manusia tidak akan mampu menghindarinya. Atau kalimat itu merupakan celaan malaikat terhadap sifat-sifat kemanusiaan? Renungkanlah dengan hati yang tertuju kepada Allah semata, dan semoga Dia memberikan hikmahnya kepada diri-diri kita. Amin.
Dalam kejiwaan ini,  tahapan kejiwaan mengalami tingkatan-tingkatan yang dilaluinya dalam kehidupannya yang panjang. Dan sebagai yang perlu diingat dan menjadi dasar pemahaman, bahwa energi bawaan sebagai yang disebut jiwa, mengalami penyempurnaan seperti penyempurnaan yang terjadi pada bentuk-bentuk lahirnya, yang berasal dari partikel kemudian membentuk unsur, kemudian lagi berinteraksi membentuk senyawa, dan terus menyempurnakan diri-nya sendiri (berdasarkan sunathullah) kepada wujud-wujud yang lebih kompleks lagi persenyawaan kimianya.  Seperti yang telah diketahui secara umum, tak ada salahnya bila diulas sekilas sebagai tambahan untuk memahami yang akan diurai selanjutnya.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
Dimulai dari tahapannya ketika masih merupakan materi atau yang disebut benda-benda mati lainnya, sebagai yang disebut al nafs al ammarah, adalah jiwa yang bekerja berdasarkan kodrat dan iradat yang telah ditetapkan kepadanya (seperti di awal bab ini telah diuraikan pula).
Kemudian tahapan kejiwaan berikutnya, al nafs al law-wamah, jiwa yang interaksinya telah dapat merespon lebih variatif lagi terhadap lingkungannya. Jiwa ini bekerja pada tumbuhan dan hewan.
Berikutnya adalah al nafs al mulham-mah, yaitu jiwa yang dapat merespon lebih jauh lagi dari segala sesuatu disekelingnya, yang pada awalnya sebagai petunjuk. Kemudian menimbang-nimbang reaksi yang akan dilakukannya berdasarkan petunjuk tersebut akan nilai-nilai, baik buruk, untung rugi, dan lain sebagainya.
Kemudian yang terakhir sebagai yang tertinggi, al nafs al muthmain-nah, adalah merupakan jiwa yang telah dapat mengendalikan segala sesuatunya demi nilai-nilai luhur.
Keempat tahapan kejiwaan diatas adalah ada yang telah, sedang, dan akan dilalui setiap kemanusiaan. Dua tahapan yang pertama tentu telah dilalui, dan yang ketiga kebanyakan umumnya kemanusiaan sedang menjalaninya sebagai proses menuju tahapan yang terakhir agar dapat kembali pulang kepada Allah SWT secara sempurna. Dan tahapan-tahapan ini sangat berhubungan dengan ulasan pada bab berikutnya tentang yang mempengaruhi jiwa kemanusiaan.





§ Umat-umat yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau sebelum nabi Muhammad SAW, orang-orang yang menyembah bintang atau yang menyembah dewa-dewa.
(Al Quran & Terjemah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf asy-Syarif  Medinah Munawwarah – Kerajaan Saudi Arabia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar