Sabtu, 08 Juni 2013

Bab XVI - MENSUCIKAN




Bab XVI
MENSUCIKAN
(Wayutuzzakata)
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya, Dan Dia lebih mengetahui (keaadaan)-mu ketika Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa.
(QS 53:32)
S
uci mengandung makna terhindar dari segala bentuk kekotoran. Dan sesungguhnya, rasa-lah yang menjadi penentunya, dilihat mata, didengar telinga, dicium baunya oleh hidung, dikecap oleh mulut, dan lain sebagainya oleh indera kemanusiaan-nya, sebagai yang harus disadari bahwa bukan dirinyalah sebagai pemiliknya. Rasa-lah yang menentukan suci tidaknya, kotor atau bersih, serta kelayakan bagi diri (jiwa)-nya. Sesuatu yang memaksa, dipaksakan dan terpaksa maka akan mempengaruhi rasa yang meresahkan bagi jiwanya sebagai dosa, dan menyiksa jasad-nya sendiri sebagai penyakit yang menggerogoti hidup-nya.
Kata ‘zakat’ disini, bukan hanya bermakna kepada mensucikan harta-benda saja, melainkan seluruh anugerah yang telah diberikan Allah kepada insan kemanusiaan dari kenajisan atau kekotoran, yang sesungguhnya adalah akibat pengakuan (ego) dari diri atau jiwa-nya. Kembali menyadari, bahwa diri kemanusiaan hanyalah menerima segala sesuatunya yang merupakan rahmat kebaikan dan kebenaran dari Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada nilai-nilai keburukan dan kesalahan di setiap rahmat-Nya. Akan tetapi, karena di alam dan setelah diterima diri-diri, maka tak terlepas dari kontaminasi pengakuan (ego)-nya yang menjadikan terselipnya nilai-nilai keburukan dan kesalahan. Hal inilah yang menjadi perlu disucikan agar dapat kembali kepada yang memberi, Allah Yang Maha Suci sebagai tempat kembali tujuan akhir.
Kebanyakan kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut.
Disucikan karena ada kekotoran, dan mensucikannya, ada yang membayar-nya dengan uang, zakat, fidiyah (memberi makan orang miskin), infak dan sedekah, ataupun puasa. Perhatikanlah ayat berikut ini, kemudian renungkanlah secara perlahan dan mendalam, sambil mengingat-ngingat kejadian yang pernah terjadi baik pada diri maupun yang pernah terjadi di sekitar kita.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)

Bila telah tidak mendustakan agama (QS 98:5), yaitu telah berada pada jalan lurus-Nya, ingat (sadar) kepada-Nya yang tiada putusnya, serta mensucikan semua anugerah yang diberikan Tuhannya, yaitu yang bila telah dengan ikhlas tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka masihkah perlu membayar untuk mensucikan-nya? Mensucikan (zakat)-nya hanya bagi mereka yang telah terlambat atau terlanjur mendustakan agama. Renungkanlah.
 Makna, mencegah adalah jauh lebih baik dari mengobati sangatlah pas atau sesuai kepada menjalankan agama dengan ikhlas lebih baik daripada timbulnya penyesalan di hari kemudian, yaitu membayar (mensucikan dengan zakat) harga yang belum tentu sesuai dengan nilai kerusakan akibat amal perbuatan yang mendustakan agama. Maka, hal itu tetap saja sebagai hutang yang kelak akan dihisab (diperhitungkan) pada hari akhir.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  tunaikan zakat (mensucikan seluruh anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Bila yang ditekankan membayar untuk mensucikan (zakat), maka asumsi yang timbul adalah, tidak mengapa beramal perbuatan yang mendustakan agama, toh dapat mensucikannya dengan membayar zakat-nya. Sedangkan asumsi kebanyakan orang adalah membayar zakat hanya untuk mensucikan harta-benda yang mungkin saja didapatnya terkontaminasi oleh kekotoran, tidak menyadari dengan cara bagaimana mensucikan amal perbuatan lainnya yang menyimpang dari agama. Atau berusaha sedapat mungkin melakukan segala amal perbuatan yang murni atau ikhlas tak dikotori oleh pengakuan (ego). Mungkin dengan sedekah atau amal-amal sedekah lainnya dapat mengurangi dosa-nya, padahal ternyata sumber sedekah atau amal-amal bantuan lainnya tersebut didapat dari perbuatan yang mendustakan agama. Maha Suci Dia sebagai tempat kembali segala sesuatu. Maka apakah dapat bersih, bila mencuci pakaian dengan air yang kotor?
Harta-benda, yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang. Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Apapun bentuknya, apabila masih melekat kekotoran pada jiwa, maka tetaplah dipertanggung jawabkan sebagai beban pada kehidupan di hari kemudian-nya kelak, sekalipun telah membayar zakat-nya. Dia-lah Yang Maha Adil.
“Katakanlah: Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.”  (QS 17:100)
Daya
“..... Laa quwwata illaa billah (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Daya atau kekuatan yang merupakan energi sebagai sesuatu yang menggerakkan. Akan tetapi tetap, sesungguhnya, kehendak Dia-lah yang memerintahkan kepada daya (energi) tersebut untuk menggerakkan segala sesuatu di dalam jasad diri segala sesuatu ciptaan-Nya, termasuk pula diri kemanusiaan.
Di dalam ulasan pada bab Iman kepada Para Malaikat, telah diterangkan bahwa energi-energi tersebut itulah sesunggunya aparat Allah (para malaikat-Nya). Sedikit kita ulas kembali, bahwa ketetapan-Nya, kehendak-Nya, serta perintah-Nya adalah sebagai yang disebut Nur Allah. Aparat-Nya, yaitu para malaikat adalah sebagai Nur Cahya. Sedangkan setiap diri insan kemanusiaan yang telah bermanusiawi adalah sebagai yang disebut Nur Muhammad (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji).
Limpahan cahaya yang membanjiri bumi sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupan seluruh makhluk-Nya, baik siang maupun malam. Energi-energi tersebut tidaklah musnah atau mati, hanya berubah bentuk, yang pada awalnya energi cahaya, berubah-ubah seperti menjadi energi panas, energi listrik, energi gerak, energi bunyi, dan lain sebagainya. Disitulah para malaikat berperan atas ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya. Energi-energi tersebutlah yang menggerakkan hidup dan kehidupan segala sesuatunya, seperti gerak rotasi dan revolusi bumi yang menjadikan malam dan siang serta musim-musim, gerak angin, gerak awan, gerak proses terjadinya hujan. Kemudian kepada gerak kesuburan tanah di bumi, gerak tumbuhnya tanam-tanaman. Kemudian pula pada gerak proses siklus rantai makanan pada makhluk-makhluk-Nya. Itulah rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah. “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang dapat kamu dustakan?”
Bahkan kepada para aparat (malaikat) yang bertugas di wilayah jasad atau tubuh setiap diri kemanusiaan, energi-energi (para malaikat) tersebut berperan menggerakkan seluruh gerak hidup dari milyaran sel, jaringan, serta organ tubuh-nya. Seperti gerak bernafas, gerak gerak jantung yang berdetak memompa, gerak aliran darah, gerak berpikir, gerak mencerna makanan, serta gerak-gerak lainnya yang tak disadari dan bukan pula diri-nya yang memerintahkan, melainkan ternyata Dia-lah yang memerintahkan. Dan yang diperintah pun bukanlah diri-nya, melainkan para aparat (malaikat)-Nya sebagai energi penggerak apa-apa yang sebagai bagian atau yang hidup di dalam jasad-nya. Itulah mengapa diri menjadi tidak menyadari gerak-gerak tersebut, karena bukan diri-lah yang memerintahkan apalagi berkuasa untuk menggerakkan. Hanya diri yang masih penuh akan pengakuan (ego)-lah yang merasa memerintah dan berkuasa.
“Dan bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan.”  (QS 53:43-44)
Kemudian pada gerak pendengaran, gerak penglihatan, gerak pengucapan, gerak berpikir, gerak tangan dan langkahnya, serta gerak-gerak sadar lainnya adalah merupakan gerak para malaikat yang diperintah oleh Dia dalam ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya.  Daya-daya inilah yang dapat mewujudkan bentuk-bentuk amal perbuatan selain amal perbuatan kebaikan bagi diri dan sesama-nya.  Yang sesungguhnya, selain itu merupakan pengabdian kepada Tuhannya, juga merupakan wujud pengabdian-nya kepada setiap diri kemanusiaan (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji). Seperti yang dimaksud oleh ayat di bawah ini,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Mereka (para malaikat) yang menolak tunduk pada perintah-Nya, disebut iblis. Renungkanlah, pada diri kemanusiaan, yang jiwanya tak mau tunduk patuh kepada Tuhannya, maka dia atau diri-nya sendiri-lah yang telah mengubah aparat (para malaikat) Tuhannya menjadi iblis yang membangkang, dan menyombongkan diri yang mewujud sebagai bentuk pengakuan (ego) pada diri kemanusiaan-nya.
Betapa berbahayanya hal ini, bila para malaikat-Nya pun membangkang dari tugasnya menggerakkan dan malah mengaktifkan yang “sesat”, menjadi iblis (virus, istilah ilmiahnya) atau penyakit yang menyebabkan sakit, dan terganggunya hidup dan kehidupan dirinya sendiri. Juga tak lagi membawa petunjuk Tuhannya, malah menyesatkan penglihatan hati dan akalnya dari kebenaran.
“..... maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari pembalasan.” (QS 38: 26)
Bentuk pengakuan (ego), yaitu yang menyombongkan diri adalah sebagai penyebab utama terjerumusnya diri kemanusiaan, sehingga perlu disucikan dengan meluruskan dan selalu sadar (ingat) kembali kepada Tuhannya, yang “tiada daya (kekuatan) selain daya (kekuatan) yang diberikan-Nya”. Menyadari (ingat) dan mengakui (melepaskan ego-nya) bahwa diri-nya hanyalah menerima daya (kekuatan) dari-Nya.
Cipta
“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (QS 9:105)
Cipta adalah hasil atau wujud dari daya (kekuatan) dan kreasi imajinasi pikir (karsa) yang merupakan anugerah Tuhan kepada setiap diri insan kemanusiaan, dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya sesama makhluk Tuhan. Dia-lah Maha Pencipta (Khaliq), insan kemanusiaan hanya menerima anugerah kekuatan untuk dapat mencipta.
Awalnya adalah kehendak-Nya, kemudian Dia memerintahkan daya atau kekuatan (energi) untuk menggerakkan imajinasi pikir dan bersama gerak kreasi yang kreatif, baik keinginan mencipta suatu yang baru, maupun merekayasa hasil ciptaan yang telah ada. Janganlah pula lupa, mengingat Dia yang tiada putusnya sebagai kesadaran, menjaga kelurusan, dan menjaga pula kesucian segala daya dan kreasi imajinasi pikir (karsa) dari terkontaminasi kekotoran pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan, yang dapat pula mengotori hasil ciptanya.
Hasil cipta-nya ada yang berwujud baik bagi kebaikan dan baik bagi keburukan, ini jelas universal yaitu dapat diterima atau bermanfaat bagi semua. Dan ada pula yang buruk bagi kebaikan dan buruk bagi keburukan, sedangkan ini merupakan hasil cipta negatif atau buruk yang dapat diterima atau ‘bermanfaat’ (padahal sesungguhnya merupakan penyesatan) bagi mereka yang buruk saja, tiada bermanfaat dan tidak dapat diterima oleh kebaikan, sebagai hasil cipta yang terkontaminasi oleh pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan.
Allah sebagai Khaliq (Maha Pencipta) semesta alam dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah karena anugerah-Nya, yaitu dengan bantuan para aparat (malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan kehendak-Nya, maka insan kemanusiaan diberi kekuatan mencipta. Dan jangan dilupakan, setiap anugerah-Nya yang diberikan kepada diri kemanusiaan adalah merupakan sebagai titipan (amanah), yang kelak akan diminta pertanggung jawaban atas pengelolaannya.
Selalu dalam keadaan sadar (ingat) yang tiada putusnya adalah hal utama yang dapat menjaga kelurusan dan kesucian setiap amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Bila amal perbuatan baik menghasilkan pahala kebaikan selama hasil cipta tersebut dipakai dan dimanfaatkan orang lain, maka bagaimana dengan amal perbuatan buruk sebagai hasil ciptanya? Tentu segala keburukan akan menunjuk pula kepada diri-nya, selama amal perbuatan buruk itu dimanfaatkan orang lain. Apalagi bila banyak yang menggunakannya. Bagaimana mensucikannya? Tentu tidaklah cukup hanya dengan membayar zakat-nya.
Banyak penemuan teknologi yang berguna bagi hampir sepanjang sejarah kemanusiaan, teknologi lampu listrik, mesin cetak, mesin tenun, dan lain sebagainya yang sangat bermanfaat pada kehidupan sampai sekarang, dan nama baik mereka pun hidup sepanjang hasil ciptanya tersebut digunakan atau dimanfaatkan orang. Dan orang-orang suci yang membawa ajaran kebaikan yang dilekatkan sebagai ajaran agama dari Tuhan, nama mereka pun masih sering disebut-sebut hingga kini. Apa yang mereka perbuat tentunya mengeluarkan energi, dan energi kebaikan yang keluar tersebut hidup serta bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan sampai akhir zaman.
“... Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dai apa yang mereka kumpulkan.”  (QS 43:32)
Tentu, begitupun sebaliknya, amal perbuatan yang merusak atau membuat kerusakan, seperti Fir’aun dengan menuhankan diri-nya, Qarun sebagai lambang ketamakan pada harta benda (harta karun), Yahudi dengan pembangkangannya, Hitler dan Jengis Khan dengan ambisi kebangsaan dan genosida-nya (pemusnahan etnis). Nama mereka akan terus melekat pada keburukan.
Karsa
Karsa adalah gerak imajinasi pikir dan gerak kreasi yang menuntut kekreatifan secara maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal pula. Rasa ‘menuntut’ inilah yang kelak dapat menjerumuskannya, sehingga sangat perlu disucikan kembali dengan selalau dalam keadaan sadar (ingat) dan meluruskan kembali yang melenceng dari jalan agama, maka akan melenyapkan segala macam pengakuan (ego) yang sebelumnya mengotori alam khayal-nya dalam berkreasi.
Disinilah peran diri (jiwa) sangat mempengaruhi penilaian selanjutnya kepada penilaian akhir, sebagai kebaikan atau sebagai keburukan. Karena, disinilah peran diri (jiwa) yang dapat terjerumus kepada merubah para malaikat-Nya menjadi iblis pembangkang yang seharusnya mengabdi. Sejak itu pulalah iblis mulai dengan peran bujuk rayu godaannya semakin menyesatkan jiwa-nya.
Ini adalah alam khayal yang bathin, dimana segala sesuatu amal perbuatan diniatkan dan dirancang di dalam pikir-nya, dimana masuk pula rasa-rasa yang dapat mendominasi mempengaruhi jiwa akan timbulnya keinginan-keinginan sampingan, seperti untung-rugi, keserakahan atau ketamakan, kepentingan, yang kesemuanya adalah merupakan pengaruh dari pengakuan (ego)-nya.
Bagi orang-orang yang telah beriman, maka terjadilah perang di dalam dada-nya antara malaikat dan iblis, sebagai pembawa kebaikan dan pembawa keburukan. Dan bagi mereka yang telah beriman dan beragama, serta tak menuruti hawa nafsunya, maka iblis telah kalah satu langkah.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Serta bagi mereka yang telah murni (ikhlas) dalam keimanan dan agamanya, maka iblis telah menyerah kalah. Kekuatan mereka adalah pada kemurnian-nya, sebagai kekuatan yang dahsyat. Kekuatan yang dapat menundukkan dan mengembalikan wujud iblis kepada wujud semulanya, yaitu wujud malaikat (aparat)-Nya, mengembalikan tugasnya sebagai yang menjaga, membantu, dan menyampaikan rahmat. Itulah sesungguhnya makna diri kemanusiaan sebagai yang memuliakan Tuhannya.
Anugerah kreativitas yang diberikan Tuhannya adalah anugerah yang luar biasa bagi kehidupan insan kemanusiaan yang bervariasi, tiada pernah monoton dan membosankan, selalu saja ada inovasi-inovasi  kreatif yang membuat hidup kehidupan ini semakin semarak. Begitulah kesempurnaan manusia ciptaan Tuhan, yang bukan tidak mungkin pula, dengan kesempurnaan tersebut, malah menjadikan diri-nya terjerumus pada lupa daratan dan sombong.
 Kehidupan kemanusiaan yang begitu aktif dan dinamis, bagai berada dalam suatu permainan, dan sungguh membuat terlena para pelaku di dalamnya. Bahkan amat menggoda untuk tetap dapat merasakan kehidupan dunia ini selama-lamanya, tak ingin cepat meninggalkannya, serta takut mati. Lebih seperti anak-anak yang sedang asyik dengan permainannya, tak mau terganggu sedetikpun.
Telah tak terhitung segala sesuatu hasil karya yang terwujud dari alam khayal diri-diri kemanusiaan. Dan seluruhnya, kebanyakan besar sekali manfaatnya yang memberi kemudahan dalam kehidupan. Begitulah ajaibnya imajinasi jiwa kemanusiaan, maka Maha Sempurna-lah Dia yang telah mencipta manusia bersama kehidupannya.
Di dalam alam khayal yang bathin ini pula, sesungguhnya banyak masuk petunjuk-Nya, yaitu berupa ide-ide kreatif, ilham yang bersih, dan pembeda antara manfaat dan mudharat. Dan menegaskan kembali lebih kepada keinginan untuk mempermudah hidup dan kehidupan menuju keselamatan dan kesejahteraan, yang sesungguhnya juga merupakan rahmat Tuhan yang direncanakan hendak diberikan kepada sesama makhluk Allah, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Yang sesungguhnya dari mulai kekuatan diri-nya adalah karena kekuatan-Nya, imajinasi kreatif-nya adalah karena petunjuk-Nya, dan hasil daya olah cipta-nya murni hanya dipersembahkan demi kemaslahatan bersama, yaitu kepada sesama makhluk Tuhan. Lurus, selalu ingat, dan suci, itulah sesungguhnya sebagai agama yang benar (diynul qayyimah) dari Tuhannya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”(QS 3:190-191)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar