Selasa, 04 Juni 2013

Bab XIII - TULUS IKHLAS




Bab XIII
MEREKA yang IKHLAS
(Mukhlis)
“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan rezeki untukmu dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). Maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai-(nya).”
(QS 40:13-14)
C
ukuplah bagi setiap diri insan kemanusiaan mencapai tahap ini, yaitu tingkat keikhlasan berserah diri (islam) dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang didasari oleh kokohnya keimanan. Biarkanlah tahap-tahap selanjutnya berjalan berdasarkan kehendak Dia Yang Maha Pemurah menganugerahkan kepada diri-nya. karena mereka yang ikhlas telah lepas dari segala macam bentuk keinginan, sekalipun keinginan tersebut mulia kebaikannya. Sehingga, telah lepasnya segala bentuk keinginan dari jiwa adalah kemuliaan itu sendiri.
Ada kejaran-kejaran lainnya yang sungguh menggiurkan bagi para pencari, seperti tahap tarikhat, hakikat, ma’rifat, dan hikmah, namun kehendak Dia pulalah yang menentukan segalanya. Akan tetapi, sama sekali, kita tidak akan menyentuh kejaran tahap berikutnya tersebut, mungkin di waktu-waktu yang lain, insya Allah, barulah kita akan dapat mengulasnya. Sekali lagi, menjaga kokohnya keimanan dan keikhlasan berserah diri adalah hal yang amat mutlak, yang bila hal tersebut sampai terjadi kelalaian, maka pengakuan (ego)-lah yang akan meruntuhkannya.
Jangankan harapan  menerima anugerah mencapai tahap-tahap kejaran selanjutnya tersebut di atas, jiwa-nya akan kerepotan sendiri dan disibukkan oleh kebutuhan ego-nya tersebut. Itulah makanya banyak ulama yang menyarankan memulai langkah tahapan kejaran dari kekokohan syariat, sehingga tidak akan tersesat. Tetapi, apalagi yang dibutuhkan jiwa-jiwa yang telah ikhlas, selain telah lenyapnya segala bentuk keinginan? Sesungguhnya, tahapan kejaran tersebut, akan datang dengan sendirinya atas kehendak Allah sebagai petunjuk, bila jiwa ini memang telah siap menerimanya. Dan hanya Dia yang mengetahui jiwa-jiwa yang telah siap, serta hanya dengan kehendak Dia pula kepada siapa hendak diberikan.
“..... Laa Quwwata illaa BILLAH (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Kembali kepada makna, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena diberikan oleh-Nya. Maka kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya akan menjaga keinginan tersebut tetap sebagai kehendak-Nya. Dan yang lebih mulia adalah terhindar dari segala bentuk keinginan yang ternyata beresiko menjerumuskan kepada kesesatan. Pada setiap keinginan tersebutlah sesungguhnya iblis ikut menumpang sambil membawa bujuk rayu penyesatan yang dikemas agar terkesan indah pada pandangan.
Apakah tidak menjadikan orang-orang yang apatis bila telah tidak memiliki keinginan? Pertanyaan seperti ini pasti akan timbul dan menyebabkan kekhawatiran, seolah telah ikut pula menggerus kembali kokohnya keimanan yang telah dibangun. Hal ini menjadi perlu diluruskan karena keinginan yang dapat menyesatkan, lebih jauhnya, adalah keinginan yang didasari atau dipengaruhi oleh kebutuhan. Belum lagi keinginan, yang dalam perjalanannya, dipengaruhi oleh angan-angan menggoda dan menggiurkan yang diperlihatkan iblis sebagai pemandangan yang indah.
Agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlanjut, maka akan dibuka kembali makna-makna yang sebelumnya telah terurai dan dibahas sebelum-belumnya, namun mungkin masih belum lengkap menuntaskan sehingga ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah ada bahasan baru. Hal tersebut merupakan kewajaran yang lumrah dan juga ada pada ketetapan-Nya (sunathullah), yaitu betapa luasnya ilmu Allah, tak terkira dan terhitung. Membuka yang satu, maka akan ada kebutuhan untuk membuka yang lainnya, begitu seterusnya tanpa pernah tiada lagi yang tak bisa lagi dibuka atau telah terpenuhi. Sebab Dia-lah Allahu Akbar.
Sebagai dasar pijakan pertama adalah, bahwa keinginan bukanlah niat. Jangan diidentikkan keduanya sebagai yang satu makna. Niat yang mengawali segala amal perbuatan, dan masih bathin berada di dalam kalbu, sehingga membuat umumnya niat adalah selalu suci atau bersih, yang dapat mengotorinya justru keinginan yang hadir kemudian, menambahkan. Karena itu pula ada ungkapan, kembalilah ke niat awal.
Sedangkan keinginan, yang hadir kemudian, selalu dipengaruhi pikiran-pikiran yang tersimpan di dalam memorinya, dan kekotorannya adalah karena kebutuhan-kebutuhan yang secara tiba-tiba ikut pula hadir. Memori pikiran yang mempengaruhi dapat berupa ketakutan, keserakahan, ingin dipuji, dan lain-lainnya sebagai yang pernah terekam di dalam otak-nya.
Dan keinginan ini dapat hadir pula sebelum niat telah menjadi amal perbuatan yang diwujudkan. Tetapi, yang jelas, setelah adanya niat. Itulah mengapa keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Jadi, bukanlah dilarang, melainkan diarahkan agar tetap terjaga dan terkendali. Inilah yang dimaksud dengan nafs al mutma’innah, sebagai jiwa yang tenang terkendali, bukan yang justru dikendalikan oleh keinginan.
Dasar pijakan kedua adalah, keinginan merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan perlu diingat kembali, bahwa setiap anugerah-Nya bukanlah hibah kepemilikan, dan tetap akan diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sehingga keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya, serta membawa kepada amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dasar pijakan ketiga adalah, tanpa keinginan bukan berarti tidak dapat mewujudkan niat. Seringkali, justru jiwa yang telah memiliki niat malah dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang dapat membelokkan niat awalnya. Padahal yang utama adalah niat-nya yang sebagai penentu mewujudnya amal perbuatan, serta penentu baik atau buruk hari kemudian-nya. Bila telah terkontaminasi kekotoran keinginan yang menyesatkan, maka amal perbuatannya pun akan ikut terkotori, pada akhirnya, di hari kemudian-nya, dia akan membawa beban-beban pembersihan akibat kekotoran tersebut.
Bila kita kembalikan kepada kitab, firman Tuhan, yang menyatakan haramnya khamar (sebagai yang memabukkan), dikarenakan lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, maka demikian pula dengan keinginan. Dapat pula memabukkan dan menyesatkan, bahkan bahkan akibat dampaknya pun adalah dapat merugikan orang lain, selain dirinya sendiri sebagai pelakunya.
Banyak sekali contoh-contoh dimana niat mulia pada awalnya, dapat dibelokkan atau disesatkan oleh keinginan-keinginan, seperti pada halnya para politikus yang pada niat awal-nya mulia dengan mengatas namakan rakyat, akan tetapi setelah dalam perjalanannya dapat dibelokkan oleh keinginan-keinginan yang datang kemudian akibat kebutuhan atau terlena oleh empuknya kursi jabatannya. Seperti para pedagang yang tergiur keuntungan kemudian menimbun saat mengetahui akan terjadi kenaikan harga. Karyawan atau pegawai negri yang terpaksa korupsi akibat dibelokkan keinginan dari kebutuhan-kebutuhan yang datang kemudian, yang membiaskan dari niat awal yang mulia, yaitu bekerja demi keluarga.
Kembalikan keinginan sebagai yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Karena sesungguhnya, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena diberikan oleh-Nya. Demikianlah wujud keikhlasan dalam berserah diri (islam).
........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)
Itulah bahayanya keinginan yang tiada terkendali. Dan pada umumnya, keinginan tersebut ditimbulkan oleh ketakutan. Sedangkan rasa takut dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?
Tidak pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima (sebagai hari kemudian). Artinya, segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan, adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya berserah diri ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
Sekedar untuk mengingatkan agar menggugah syaraf-syaraf kesadaran kita. Maka bayangkanlah, bila amal perbuatan kebaikan yang tidak disertai rasa ikhlas, seperti sekolah untuk menuntut ilmu, menjadi guru untuk mendidik, bekerja untuk keluarga, menjadi penegak hukum untuk keadilan, menjadi pemimpin untuk mereka yang dipimpin. Tentulah hasilnya bisa ditebak dengan mudah, maka akan terjadi hidup kehidupan yang tidak murah dan tidak sehat, bahkan saling menularkan seperti halnya wabah penyakit. Sesungguhnya itu sebagai yang kembali lagi kepada masing-masing diri-nya sebagai hasil yang dituai, dan biaya hidup kehidupan yang mahal dan berpenyakit tersebut, ternyata, mereka sendirilah yang menciptakannya.
Bayangkanlah betapa telah menjadi mahalnya kehidupan sekarang ini, seperti di terminal, di stasiun, atau di pasar sebagai fasilitas umum, untuk buang air kecil saja harus bayar. Parkir kendaraan pun begitu, sekalipun hendak berbelanja yang jelas mengeluarkan biaya. Untuk berdagang di emperan pasar saja, terkena bayaran retribusi, belum lagi pungutan lainnya seperti preman. Bahkan untuk pengurusan izin-izin dan surat-surat yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan, selalu ada pungutan-pungutan tambahan. Tentunya hal ini akan menular, karena biasa ditodong, maka sekarang gantian, diri-nya pun akan menodong,  karena tuntutan kebutuhan biaya hidupnya yang telah tinggi akibat sering ditodong.
Maka hal ini akan menular terus, seperti harga-harga pun akan terus cenderung menaik akibat terus meningginya pula biaya-biaya penodongan tersebut. Dan ternyata, itu kembali lagi kepada masing-masingnya menjadi seperti proses siklus penodongan, hanya saja biayanya terus meninggi. Sebenarnya bukan masalah tinggi biayanya, akan tetapi nilai kebaikan dan kebenaran sebagai moralitas hidup kehidupannya yang menjadi rusak. Keikhlasan berbuat telah sirna tergantikan tuntutan kebutuhan. Sportivitas kehidupan hilang dan hanya meninggalkan saling sikut-sana sikut-sini. Bapak dibohongi anaknya, suami dibohongi istrinya, bos dibohongi kacungnya, pembeli dibohongi penjual, pencari keadilan dibohongi penegak keadilan, begitupun sebaliknya. Semua saling membohongi demi memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginannya. Itulah bukti telah sakit-nya kehidupan saat ini.
Begitu reformasi bergulir, dan segala permasalahan dibuka seluas-luas dan sebebas-bebasnya oleh media, yang terkadang pula tak jarang berlebihan dalam penyajiannya, dari mulai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pungli, pemerasan, premanisme, bahkan sampai kepada bahayanya narkoba, maka seperti bom waktu yang baru saja meletus. Banyak pengamat dadakan yang bermunculan yang angkat bicara tidak hanya di televisi, akan tetapi juga, malah sampai warung-warung kopi di setiap sudut jalan, hingga sebagai pembuka obrolan antar tetangga.
Tidak hanya itu, para da’i dan ulama pun, di setiap ceramahnya, juga tidak lupa untuk mengangkat hal ini, seolah-olah ini adalah hal yang baru yang sebelumnya tak pernah ada, dan seolah juga ini tak berhubungan dengan pembentukan moral umat di waktu-waktu yang lalu. Ya, semua komponen dan semua profesi bertanggung jawab, bahkan seluruh masyarakat warga negara adalah pelaku sekaligus korban. Karena massif dan kompleks-nya kerusakan yang telah terjadi di negri ini, bahkan korbannya pun kepada anak keturunan yang belum lahir ke dunia inipun kelak akan merasakannya.
Sekarang, begitu hukum hendak ditegakkan, kerusakan hendak diperbaiki, dan permasalahan bangsa hendak diselesaikan, yang ada malah kebingungan, terjadilah saling tuding satu sama lain. Sistem yang ada menjadi kambing hitam, dan undang-undang pun terasa perlu direvisi, hingga timbul wacana hukuman mati untuk dikenakan kepada para perusak yang telah mengacak-ngacak negri ini.
Hukuman mati bukanlah hal yang tabu bila harus digunakan pada kondisi negara seperti ini, yang sedang dalam keadaan darurat begini. Tapi jika para penentu kebijakan negri ini dapat arif dan bijaksana hendak menyelesaikan dan dapat melihat permasalahan sesungguhnya secara murni dan jernih, dan tidak sebagai yang malah ikut terjebak dalam kubangan kesalahan kolektif di negri ini, yang sesungguhnya justru hendak menyelamatkan jiwa-jiwa warga negaranya dari kebangkrutan moral yang telah menyebabkan parahnya keadaan ini, maka hendaklah dimulai dari pembenahan moral bangsa. Yaitu moral masing-masing diri.
Dan dimulailah dari diri sendiri, hingga kemudian dapat menjadi teladan bagi keluarga, kemudian bagi lingkungan sekitar sampai hingga jauh ke yang lebih luas lagi. Barulah para penentu kebijakan, yang juga sebagai pemimpin menjadi layak sebagai pemimpin yang membawa teladan, kemudian mengajak seluruh komponen secara massal untuk membenahi moral bagi seluruh warganya.
Bila ada anggapan, bahwa hal ini tentu telah dilakukan para da’i dan ulama yang telah berperilaku sempurna dan mulia sebagai teladan dan sebagai penyampai ajaran lurus. Apakah benar begitu? Buktinya keadaan malah bertambah parah setelah reformasi?
Ya, tidak hanya da’i dan ulama yang bertanggung jawab atas keadaan ini, melainkan setiap diri bangsa. Apapun profesinya. Bahkan termasuk dengan insan pers yang membuka seluas-luasnya yang membuat seluruh masyarakat sadar bahwa dirinya pun kini sedang berada  di dalam kubangan. Sayangnya, mereka kebanyakan tak menyadari bahwa diri-dirinya pun ternyata sebagai yang berperan ikut membangun kubangan tersebut, di dalam kesalahan kolektif yang merusak negrinya sendiri.
Maka, bila sebelumnya, mereka saling todong sebagai sebab, kini yang mereka hadapi adalah saling tuding yang sebagai salah satu akibat selain akibat lainnya, yaitu mengalami mahalnya kehidupan sehari-harinya. Disinilah, di alam dunia ini, kita mengalami hari kemudian yang termasuk di dalamnya pula sebagai hari pembalasan dari setiap amal perbuatan kita sebelumnya. Sadarilah, apakah bayi-bayi yang sekarang berada dalam kandungan tidak ikut merasakan kesulitan? Ingatlah, banyak kasus balita yang kekurangan gizi di beberapa daerah. Maka bila kita hendak menyadari dan memperbaiki, maka segeralah kembali dengan memperbaiki moral kita masing-masing, karena sesungguhnya apa yang kita perbuat jelas sekali berdampak kepada banyak lainnya, sekecil apapun itu. Sekalipun sebagai yang ditodong, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dari birokrasi. Anak keturunan kitapun akan merasakan akibatnya.
Dan begitu pula bila amal perbuatan tersebut di atas telah disertai keikhlasan-nya, namun diperjalanannya dapat masuk pula keinginan-keinginan yang dapat mengotori dan melunturkan keikhlasan-nya. Tentu akibatnya adalah seperti yang terurai di atas. Maka adalah kewajiban setiap diri kitalah untuk memulai kembali mengkokohkan keimanan, kembali kepada jalan lurus (agama), serta memurnikan (keikhlasan) berserah diri dalam setiap gerak amal perbuatan sebagai usaha memperbaiki keadaan kehidupan yang bila kita selami, baik di sekitar kita, maupun sampai kepada wilayah yang jauh lebih luas, telah sangat memprihatinkan.
Bukan (hanya) karena kemiskinan atau kekurangan gizi, bukan karena sulitnya lapangan pekerjaan, bukan karena tingginya angka kriminalitas, bukan karena maraknya premanisme yang bahkan dengan mengatas namakan agama, serta bukan karena korupsi yang merajalela di setiap lini kehidupan. Juga bukan pula (hanya) karena banyaknya bencana yang menimpa sebagai balasan atau azab, akan tetapi hanya lebih kepada sekedar usaha memperbaiki keadaan kehidupan demi kehidupan ke depan, dimana semua keturunan kita pun akan hidup menetap, juga sebagai hari kemudian kita, tentunya.
Kepuasan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan tidak akan pernah tercapai dalam kehidupan dunia ini, yang ada malah tersesat oleh angan-angan keinginan dan kebutuhannya tersebut. Perut kita pun hanya cukup menampung sepiring dua piring makanan. Bila berlebihan pun, malah menjadikannya penyakit yang merepotkan sendiri. Begitu pula pada keinginan banyaknya harta benda, yang justru malah kembali kepada dirinya sebagai yang meresahkan hati dan jiwa-nya. Juga kepada keinginan memiliki wanita atau istri-istri, maka akan selalu ditemui wanita-wanita yang lebih muda, cantik, serta selalu menarik perhatiannya, tiada akan pernah ada habisnya. Termasuk pula pada kekuasaan, tidak akan pernah ada kekuasaan yang sejatinya benar-benar berkuasa dan akan terus selamanya dimiliki, tetap saja makhluk memiliki keterbatasan. Keterbatasannya itulah yang tak disadari, sementara keinginan hati menghendaki lebih. Inilah yang dimaksud Allah dengan firman-Nya sebagai berikut.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah fana, berubah-ubah, atau hampa bila didasari atau dimulai oleh keinginan, apalagi kebutuhan, maka bukan nikmat yang datang, melainkan akan menjadi bumerang, yang akan kembali kepada dirinya membawa setumpuk masalah lain yang amat menyusahkan jiwanya sendiri. Akan menjadi lain, terasa nikmatnya serta membawa kedamaian dan ketentraman, bila anugerah-anugerah tersebut memang diterimanya bukan karena usaha memenuhi keinginan dan kebutuhannya, melainkan menyadari bahwa anugerah tersebut merupakan amanah, dan dengan keikhlasan berserah diri menjalankan atau mengelolanya secara bertanggung jawab pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Keikhlasan bentuk kemurnian segala amal perbuatan yang terbebas dari kontaminasi akibat kekotoran yang menyertai amal perbuatan tersebut. Di alam ini, bahkan seluruh rahmat Allah Yang Maha Pemurah yang berupa nikmat kebaikan, begitu sampai kepada diri kemanusiaan, maka terbias menjadi dua hal yang berpasangan. Begitulah kemanusiaan selalu menilainya, yaitu nikmat kebaikan dan keburukan. Bila sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, maka disebutlah rahmat tersebut sebagai nikmat kebaikan. Sedangkan bila bertolak belakang dengan keinginannya, maka yang datang dari Tuhannya tersebut disebut sebagai azab atau keburukan.
Mereka inilah yang tak dapat menyadari bahwa dirinyalah yang telah berlebihan dalam berharap dan berkeinginan, atau berlebihan dalam perbuatan yang tidak berada dalam kehendak-Nya. Sehingga harapan dan kenyataannya bagai jauh panggang dari api. Segala sesuatu telah Allah tentukan kadar-kadarnya sebagai keseimbangan yang pasti terjaga keadilannya. Karena itu, ketika mereka berlebihan dalam menerima rahmat Allah tersebut, maka kelebihan-nya tersebut pasti kembali kepada dirinya sebagai keburukan.
Dimulai dari keikhlasan berserah diri dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang dilandasi oleh kokohnya keimanan adalah sebagai jalan bagi masing diri yang hendak memperbaiki keadaan ini. Tidaklah mungkin untuk mengandalkan pemimpin-pemimpin untuk dapat mengubah keadaan ini untuk menjadi lebih baik, apalagi mengharapkan perubahan yang sekejapan mata. Hanya dengan memperbaiki akhlak masing-masing diri, kemudian saling mengingatkan yang juga dimulai dari ruang lingkup yang lebih kecil dahulu, seperti keluarga, maka insya Allah, perlahan tapi pasti, akan semakin berkembang menular pula tetapi dalam arti kebaikan, yaitu sebagai teladan. Dan pada akhirnya dapat memperbaiki keadaan kehidupan semesta yang sehat, terpuji, dan mulia sebab diri-diri kita adalah perwujudan dari Dia Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sehingga, paling tidak, kita telah menciptakan lingkungan yang layak dan sehat, serta dipenuhi diri-diri yang berakhlak terpuji dan mulia, sebagai diri-diri yang jujur, terpercaya, disiplin, dan teguh pendirian pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Maka tiada lagi kekhawatiran pada hari kemudian, kelak. Dengan demikian, jiwa kita telah mendapatkan ketenangan dan ketentraman, serta siap kapanpun, bila telah tiba waktunya, untuk kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik segala sesuatu, termasuk dengan kebersihan jiwa dan jasad-nya, ilay’ihi raji’un. Inilah makna sesungguhnya keikhlasan dalam berserah diri (islam) dengan menyusuri setiap langkah demi langkah dari jalan lurus (agama)-Nya, yaitu diynul qayyimah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar