Sabtu, 08 Juni 2013

Bab XVIII - HIKMAH



Bab XVIII
HIKMAH

D
ari sudut pandang penciptaan semesta alam, yang begitu panjang memakan waktu (milyaran tahun, menurut ilmu pengetahuan terakhir), hingga pada penciptaan kemanusiaan yang struktur tubuh atau jasad-nya sangatlah kompleks dan terdiri dari milyaran bahkan trilyunan sel pembangunnya, maka semakin jauhlah kemanusiaan ini terhadap sumber asalnya. Bagaimana mungkin dapat membayangkan untuk ingat akan kembali pulang kepada asalnya yang begitu jauh dan panjang memakan waktu.
Seperti yang telah diulas pada Bagian Pertama Bab II Meyakini Para Malaikat, yang mengulas awal penciptaan dari pancaran energi cahaya-Nya. Dan kelak akan diulas pula tentang penciptaan diri kemanusiaan yang teramat kompleks susunan senyawa unsurnya pada jasad, ruh dan jiwanya, serta dengan misteri akal dan kesadaran yang juga terus berkembang melakukan perjalanan transformasi menuju kesempurnaan, yang panjang dan berliku dengan segala macam problematikanya tersebut, membuat dirinya semakin jauh dan melupakan dari dan kemana sesungguhnya dirinya akan menuju. Maka menjadi penting dengan menggugah kesadarannya untuk  ingat kembali akan asal-usulnya sebagai yang akan mengalami kembali pulang kepada sumber asalnya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya mewujudkan dirinya di alam hingga sebagai kemanusiaan dengan segala anugerah rahmat dari-Nya.
Bukanlah hal  yang mudah untuk memahami secara sekaligus apa-apa yang telah kita ulas, karena itu bersabarlah dalam mengharap karunia petunjuk dari Allah, sambil tidak lupa membersihkan dan mencegah hati kita dari kotoran-kotoran yang dapat melekat yang dapat menghalangi masuknya cahaya petunjuk-Nya. Tidaklah mungkin kita menerima petunjuk, apalagi memahami hikmah dari petunjuk tersebut, bila hati dan jiwa kita masih sibuk dengan menginginkan dunia yang berlebihan. Ya, perhatiannya tentu akan hanya mengarah kepada kebutuhan dunianya saja, dan jadi melalaikan perhatiannya kepada akhirat.
Segala sesuatu dicerna hanya sesuai dengan apa yang dilihat mata lahirnya saja, menjadi materailis belaka, tanpa menyadari dan memahami yang berada dibaliknya, yaitu bathin-nya. Inilah yang membuat hati tidak peka lagi kepada naluri ilahiah (naluri ketuhanan) sebagai fitrah dari Tuhannya. Ya, fitrah yang tidak disadarinya lagi sebagai perwujudan Tuhannya, dan sebagai yang mewakili sifat-sifat Tuhan di bumi yang membawa dan saling menyampaikan rahmat Tuhannya kepada seluruh makhluk di semesta alam.
Pasangan segala sesuatu yang selalu dinilai diri kemanusiaan sebagai kebaikan dan keburukan, sesungguhnya adalah rahmat yang tunggal, yaitu hanya kebaikan. Akan tetapi, diri menilainya selalu pada baik atau buruk-nya. Ini dikarenakan keterbatasan dirinya yang selalu dibatasi dan terhalang, atau tertutupi oleh hawa nafsu atau pengakuan (ego)-nya. Ibarat cahaya yang menerangi, kemudian terhalang atau tertutupi sehingga tak dapat terus masuk dan menyentuhnya, maka bagian yang gelaplah yang diterimanya, seperti itulah keburukan sebagai sisi gelapnya. Seperti pulalah hati yang tak tersentuh cahaya petunjuk dari Tuhannya.
Keburukan yang diterima adalah seperti bungkus yang menyelimuti kebaikan, yang sesungguhnya adalah rahmat Tuhan. Rahmat tersebut baru terbuka dan diketahui atau dipahami setelah bungkusnya terbuka, tidak menghalangi lagi. Usaha membuka bungkus inilah yang dimaksud dengan mengenal hikmah, yaitu mengenal hakikat segala sesuatu. Itu pula kesadaran yang sempurna yang dicapai akal dan jiwa dengan melalui kebersihan hati, menghilangkan atau melunturkan sedikit demi sedikit kekotoran hati yang menghalangi dan mentupi masuknya cahaya petunjuk Tuhannya yang membawa kebenaran sejati (Haqq).
Kekotoran di hati yang melekat menutupi dan menghalangi masuknya cahaya Allah sebagai asupan makanan bagi energi-energi atau aparat-Nya, yaitu para malaikat, yang tugasnya bekerja menjaga dan membawa petunjuk Tuhannya di dalam hati setiap diri kemanusiaan. Karena terhalang masuknya asupan tersebut, maka terganggu pulalah sistem kerja para aparat Allah, dan berubahlah para malaikat yang semula tunduk menjaga dan membantu kemanusiaan menjadi pembangkang yang disebut iblis. Selanjutnya adalah ketersesatan yang semakin dalam yang akan dialami diri-diri tersebut, bila tak segera beralih mengambil jalan kembali kepada Tuhannya.
Menyadari betapa pentingnya hal di atas adalah langkah awal meneguhkan keimanan. Kemudian, membersihkan hatinya dari hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya adalah dengan banyak mengingat Allah di setiap waktu (termasuk di dalamnya adalah shalat), berpuasa yang melatih pengekangan hawa nafsu, banyak melakukan kebajikan, serta bertobat terhadap kesalahan-kesalahan yang telah lalu.
Mencegah kotornya hati adalah dengan menghindari kemaksiatan atau amal perbuatan buruk, seperti iri dan dengki, munafik, kejam, merusak, taklid, syirik, dan lain-lainnya yang selain dapat merugikan orang lain juga merugikan dirinya sendiri.
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemelihara, tidakkah itu cukup menjamin kehidupan kemanusiaan yang sesungguhnya hanya menerima? Kesibukan adalah adalah tugas kemanusiaan dalam beramal perbuatan sebagai hamba Tuhan, akan tetapi keikhlasan-nya menjadi tidak ada bila kebutuhannya lebih mendominasi kesibukan (amal perbuatan)-nya.
Mengembalikan pemahaman kepada Dia Yang Maha Haqq, yang memiliki kebenaran sejati, dengan menyerahkan hati dan kesadaran kita hanya kepada-Nya. Mengkokohkan kembali keimanan yang tidak sekedar sebuah keyakinan, melainkan berusaha mendapatkan kebenaran dari apa-apa yang sebelumnya hanya diyakininya saja. Yaitu keyakinan (keimanan) yang telah nyata kebenarannya dan dapat diterima hati dan akalnya, sehingga tidak lagi hanya mempercayai yang ghaib. Ya, segala yang ghaib itu, kelak akan menjadi nyata. Karena itu gapailah, masih jauh lebih banyak lagi dan tak terbatas hikmah di kehidupan ini yang tersebar merata di setiap bagian alam ini.
Sebagai diri yang telah berusaha secara murni atau ikhlas beriman, dan beragama, serta berserah diri secara total, tentu didasari oleh keyakinan yang tidak sekedar hanya yakin belaka, melainkan keyakinan yang dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Sehingga tidaklah lagi seperti sebelumnya, masih sebagai yang gaib, tetapi kini telah nyata keberadaan Dia yang mengadakan atau mewujudkan segala sesuatu. Dengan demikian menjadi kenyataan pula, bahwa setiap dirinyalah yang sesungguhnya gaib atau tidak nyata (tidak ada). Seperti seorang yang sedang bermimpi dalam tidurnya, dia dapat merasakan keberadaan jasadnya tetapi tak dapat berbuat apa-apa, hanya mengikuti saja alur mimpinya. Keberadaan diri-nya dapat menjadi ada karena diwujudkan oleh-Nya, sekalipun wujud tersebut adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji.
Wujud jasad adalah wadah kosong milik atau ciptaan-Nya, yang diisi oleh Ruh-Nya, sedangkan diri atau jiwa-nya adalah merupakan identitas pribadi-nya sebagai yang dikaruniai hidup. Maka menjadi sah hidup dan kehidupan-nya bila diri atau jiwa-nya dapat menerima, yaitu menerima segala sesuatu, baik disadari ataupun tidak disadari, dari mulai menerima jasad sebagai wujud-nya, kemudian menerima hidup dari-Nya, menerima daya (kekuatan)  dari-Nya, menerima segala anugerah rahmat kebaikan dan keburukan dari-Nya, bahkan menerima kematian pun adalah dari-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi adalah atas kehendak-nya, melainkan dirinya hanya menerima setiap kehendak-Nya. Apakah itu suatu kebaikan ataupun keburukan bagi dirinya.
Di dalam rukun iman yang terakhir, yaitu iman kepada kadar baik dan buruk, memahaminya adalah bahwa segala sesuatu yang diterima diri atau jiwa, apakah itu sebagai anugerah kebaikan maupun keburukan, sesungguhnya yang Allah anugerahkan adalah kebaikan dan benar kebenarannya.
Oleh sebab Dia adalah ar raahman Yang Maha Pemurah, tiada sesuatupun yang datang dari-Nya adalah keburukan dan kesalahan, yang dianugerahkan adalah tunggal dan dianugerahkan oleh Yang Maha Tunggal, hanya kepada mereka yang merasa berkeinginanlah maka menjadi ada pula keburukan dan kesalahan, sehingga memandang segala sesuatu dari nilai baik dan buruknya. Padahal yang diberikan-Nya adalah hanya rahmat, yakni kebaikan.
Sedangkan bagi mereka yang telah lepas dari segala keinginan maka diri atau jiwa-nya dapat menerima. Yaitu mereka yang tidak dipengaruhi oleh keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya menyesatkan, sehingga segala sesuatu tidak lagi dipandang dari sisi baik dan buruknya, sebab telah memahami hikmah segala sesuatu. Ya, segala sesuatu yang datangnya dari Allah adalah hanya kebaikan atau rahmat-Nya. Kesesatan hatinya-lah yang membuat dalam memahami rahmat Tuhannya yang datang, sebagai yang menjadi azab atau keburukan bagi diri-nya. Janganlah diri kita menjadi lebih terjerumus karena salah memahami Tuhannya, sesungguhnya adalah sebagai yang hanyalah pemberi rahmat kepada makhluk-Nya, sebab Dia Maha Pemurah lagi Penyayang. Dan rahmat-Nya adlah kebaikan, bukan azab atau keburukan.
Mereka yang telah yakin terhadap keimanannya kepada kadar baik dan buruk adalah mereka  yang telah dapat menerima keburukan seperti menerima datangnya malam setelah siang. Mereka yang seperti ini adalah mereka yang menyadari betapa mereka telah banyak menerima anugerah kebaikan dibanding menerima anugerah keburukannya. Mereka adalah yang telah menyadari, karena di alam, maka segala sesuatu menjadi berpasang-pasangan. Sehingga orang lain yang memandangnya sebagai orang yang sabar dalam menerima keburukan. Dirinya pun lebih mengerti makna setiap merasakan nikmatnya dalam kesulitan, seperti nikmatnya lapar, nikmatnya tidak punya uang, nikmatnya sakit, bahkan hingga nikmatnya kematian. Maka tiada lagi rasa takut dan gelisah hati.
Kemudian, kepada mereka yang telah merubah haluannya untuk kembali kepada agama-nya, yaitu yang lurus dalam setiap niat, ucap, dan perbuatan. Kemudian yang didasari ingat kepada-Nya dalam setiap janji, diri, dan segala apa yang dianugerahkan (diwariskan)-Nya sebagai fitrah kemanusiaan-nya. Serta selalu mensucikan segala daya (kekuatan), keinginan atau rencana (pemikiran), dan juga hasil karyanya sebagai yang dianugerahkan Allah kepada diri-nya.
Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah (mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki diantara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
(QS 2:213)
Kitab yang membawa kebenaran sebagai keterangan-keterangan yang nyata telah ada, bahkan tertanam di dalam dada  setiap diri kemanusiaan, maka adalah karena pengaruh hawa nafsu dan pengakuan (ego)-lah sebagai penyebab banyaknya terjadi perselisihan di muka bumi ini.
Dalam hidup keagamaan-nya pun, tiada lagi mereka hendak mengedepankan perbedaan sebagai karunia dari Tuhannya, dan dapat menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kemajemukan atau keragaman sebagai wujud dari perwujudan Allahu Akbar. Allah Yang Maha Tunggal yang menurunkan ajaran atau agama tunggal, yang karena di alam, maka menjadi beragam atau akbar. Dalam satu agama saja, maka terbias menjadi banyak aliran atau banyak sekte. Layaknya terbiasnya cahaya matahari oleh uap-uap air di udara menjadi cahaya pelangi yang berwarna-warni. Itulah keragaman di alam sebagai wujud Allahu Akbar.
Salah atau sesatkah agama-agama selain agama-nya? Maka, jawabnya adalah seperti pertanyaan berikut, salahkah warna merah, kuning, dan biru pada pelangi bila hijau adalah warna yang engkau sukai? Salahkah pemahaman-pemahaman yang berbeda yang sesungguhnya adalah Dia pula yang menganugerahkannya kepada mereka sebagaimana seperti menganugerahkannya kepada diri-mu? Yang salah dan sesat adalah mereka yang dengan adanya perbedaan maka menjadi berbuat kerusakan, apalagi  sampai menumpahkan darah.
Di alam, maka cahaya pun memiliki bayangan sebagai bagian yang gelapnya. Di alam, maka yang satu pun membutuhkan teman-nya yang tak terhitung sebagai penggenapnya. Di alam, kebaikan pun menjadi butuh akan keburukan agar diketahui keberadaannya. Juga karena di alam, maka Allah Yang Maha Tunggal pun mewujud menjadi Allahu Akbar, yaitu seluruh semesta alam sebagai wujud tunggal-Nya. Karena Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai sumber atau asal-nya segala sesuatu, dan sebagai tempat kembalinya segala sesuatu tersebut. Jika demikian, maka mereka yang telah paham dan menyadari hal ini, maka tidak akan berani menolak keburukan dari Tuhannya sendiri sebagai yang dihindari karena telah ditetapkan seperti itu, sebagai kemutlakan dari ketetapan-Nya (sunathullah).
Di dalam kehidupan-nya, mereka akan menjaga kelurusan, ingat yang tiada putus kepada-Nya, serta mensucikan gerak perbuatan-nya sebagai hidup yang sehat, baik sehat pada jiwa maupun pada jasad-nya. Kehidupan mereka akan menjadi murah dan terjangkau, karena segala sesuatunya telah tidak diaku-nya sebagai milik-nya, melainkan semata hanya milik Allah yang dianugerahkan kepada-nya sebagai amanat yang kelak tetap akan dipertanggung jawabkannya. Baik itu adalah keinginan maupun kebutuhan-nya, yang sungguh itu adalah yang berpotensi dapat menjerumuskan diri atau jiwa-nya pada kesesatan.
Sesatnya yang diakibatkan oleh keinginan dan kebutuhan, seperti terjadinya saling sikut, saling todong, bahkan saling bunuh untuk mencapai keinginan dan kebutuhan-nya. Sehingga menciptakan hidup yang tidak sehat, yaitu kehidupan yang mahal. Mahal untuk mendapatkan jaminan keamanan, mahal untuk mendapatkan kemudahan, mahal untuk mendapatkan kesehatan, mahal untuk mendapatkan makanan dan minuman, mahal untuk mendapatkan pendidikan, bahkan menjadi mahal untuk mendapatkan keadilan. Begitulah bahayanya bila kesesatan telah menjadi kesesatan berjama’ah, maka kebenaran (haqq) pun menjadi tertutup oleh kejahatan atau kebathilan.
Yang sesungguhnya, semua tersebut, seharusnya telah dijamin oleh Negara melalui pemimpin yang amanah. Pemimpin yang amanah itulah yang Allah maksud dengan khalifah-Nya. Di alam, pemimpin negara, pemimpin wilayah, pemimpin lingkungan, pemimpin keluarga, sampai kepada yang hanya memimpin diri-nya sendiri. Mereka itulah yang sesungguhnya bertanggung jawab terjaminnya semua yang kini telah menjadi mahal. Maka dengan demikian, diri-diri kita pulalah yang ternyata telah menyebabkan kemahalan hidup-nya sendiri. Keadaan seperti itulah yang sebenarnya yang dimaksud firman Allah pada QS 2:34, bahwa sebenarnya kemanusiaan sendirilah yang menyebabkan ada dan terciptanya malaikat-malaikat pembangkang yang tak mau sujud kepadanya, yaitu yang akhirnya disebut sebagi iblis.
Hanya mereka yang telah beriman dan menjaga kelurusan, ingat yang tiada putus kepada-Nya, serta mensucikan gerak perbuatan-nya yang sesungguhnya telah ikut menciptakan kehidupan yang sehat, yang membuat para aparat (malaikat) Tuhannya tetap tunduk patuh pada tugasnya sebagai yang menjaga dan yang membantu kehidupan kemanusiaan, yaitu menciptakan kehidupan yang tidak mahal sehingga dapat dinikmati setiap diri-diri kemanusiaan bahkan sesama makhluk-makhluk Allah lainnya. Sehingga bahkan telah menciptakan surga mereka sendiri di dalam kehidupan dunianya ini. Itulah mereka yang menjaga hubungan baik pula dengan para malaikat Tuhan, bukan malah membuat para aparat Tuhan tersebut berubah menjadi iblis pembangkang yang malah merugikan dirinya sendiri.
Ya, alam yang bersahabat, tidak pernah kebanjiran, tidak ada wabah penyakit-penyakit, tidak ada panas terik yang menyengat, karena selalu menjaga lingkungannya. Betapa nikmatnya hidup di kehidupan yang sehat, sehat jasmani dan sehat rohani, kemanapun berjalan melangkah, baik siang maupun malam, tanpa rasa khawatir terhadap hilangnya rasa aman. Nikmatnya mengurus surat-surat kelengkapan kepada birokrasi yang bersih dari korup dan pungutan liar. Nikmatnya menjadi pedagang yang tidak dikejar-kejar petugas tramtib (ketentraman dan ketertiban) dan tidak ditodong oleh preman. Nikmatnya jadi karyawan ataupun buruh yang tidak dipusingkan oleh harga-harga kebutuhan yang selalu naik mengejar dan menyusul upah kerja yang didapatnya. Serta nikmat-nikmat lainnya yang telah menjadi langka karena mahal akibat tidak sehatnya kehidupan.
Dan mereka yang telah beriman dan beragama, serta ikhlas dalam berserah diri adalah mereka yang memahami secara mendalam makna-makna syahadat, shalat, puasa, zakat, dan pergi melaksanakan hajji sebagai satu kesatuan pembentukan jiwa-jiwa untuk mencapai ketakwaan. Yaitu jiwa-jiwa yang memahami keberadaan diri-nya sebagai perwujudan-Nya, yang memahami fitrah-nya yang selain sebagai penerima juga sebagai penyampai rahmat Tuhan-nya, yang memahami keragaman dan perbedaan sebagai rahmat, dan yang memahami hidup-nya adalah dipenuhi pengorbanan demi kepentingan yang jauh lebih besar. Inilah jiwa-jiwa yang selain sebagai penerima juga sebagai penyampai rahmat Tuhan-nya untuk ditebarkan kepada sesama makhluk Allah, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Tiada lagi kepentingan akan keinginan dan kebutuhan diri-nya, merekalah yang mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang-orang lain ketimbang diri-nya sendiri. Dengan ikhlas dan mengerti atau paham bahwa segala anugerah yang diterima-nya adalah karunia dari Tuhan yang pasti akan kembali kepada-Nya, sehingga sebelum diambil-Nya, maka terlebih dahulu dia tebarkan kembali secara ikhlas kepada sesama-nya sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya. Yang bukan karena terpaksa ataupun karena diminta, melainkan lebih pada kepekaan hati-nya untuk bersama-sama merasakan karunia rahmat Tuhan. Karena yang dilihatnya adalah bahwa diri-nya ada pada mereka, dan mereka ada di dalam hati-nya.
Mereka inilah orang-orang yang telah bersama Tuhannya, yang telah mengosongkan hati-nya dari pengakuan (ego), keinginan dan kebutuhan, serta membiarkan Allah yang memenuhi hati-nya. Diri-nya adalah wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya. Dengan demikian segala ucap-nya adalah ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak perbuatan-nya adalah gerak-Nya. Disadari sepenuhnya, bahwa hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia hidup kehidupan dari Dia Yang Maha Hidup.
Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat. Bukan pula karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan terhormat atau kekuasaan, dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki anak-anak yang menyenangkan hati, serta dapat memiliki istri yang cantik. Bukanlah pula karena kesadaran-nya, maka dia telah dapat beriman, telah dapat berserah diri, telah dapat melepaskan diri dari pengakuan (ego), Juga, bukan pula karena dirinya telah paham makna syahadat-nya maka menjadi tahu kemana arah tujuan kehidupannya. Kesemuanya tersebut sesuai dengan makna yang diucapkan-nya dalam setiap memulai shalatnya, “.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”  (QS 6:162-163)
Mereka-lah yang melihat dengan mata hati-nya, bahwa segala sesuatu dalam kehidupannya sekarang ini, merupakan bagian kehidupan dari hidup-Nya Dia Yang Maha Hidup, yakni bagian dari hari-hari agama (Maliikiyawmid-diiyn) dalam naungan ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan pemeliharaan-Nya.  Baik kehidupan alam dunia sekarang ini, alam sebelumnya, maupun akhirat sebagai alam-alam setelah kematiannya. Apakah itu alam kubur sebagai hari-hari penantian untuk dibangkitkan, alam hisab sebagai hari-hari penghakiman di padang masyhar, hingga alam surga dan neraka sebagai hari-hari pembalasan.
Jiwanya menerawang kembali berusaha memahami dan merasakan kehidupan sewaktu dirinya masih berupa sebagai yang belum dapat disebut. Kesadarannya pun mengatakan bahwa pasti dia akan kembali lagi pada kehidupan-kehidupan tersebut, mengalami kembali sebagai  yang belum dapat disebut. Dari tanah dan kembali lagi kepada tanah.  Dari yang hina dan kembali kepada kehinaan. Bangkit sebagai yang lahir kembali ke dunia mengalami lagi hidup dan kehidupan sambil membawa beban masa lalunya, kemudian mengalami pembalasan sebagai penyucian beban tersebut. Begitu berulang-ulang dalam suatu siklus sistem ketetapan-Nya (sunathullah), sampai kepada bersih dan suci untuk dapat kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Suci.
Semesta alam ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari agama (Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai penguasanya. Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta alam ini berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung dan terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya, sehingga tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala sesuatu tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah Yang Maha Tunggal.
Matanya melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka ragaman wujud, keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka ragaman rasa yang menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut merupakan perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku (es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka  adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal. Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Penglihatannya menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi cahaya Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap, tiada lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit atau mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada lagi takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan lainnya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat karena kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala sesuatu tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
motion.jpg
Dia-lah yang zhahir dan yang bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami apalagi mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun tak terlepas dan menjadi terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak dengan memisahkan antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang bathin. Padahal, kedua sifat Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan bagi pemahaman makhluk. Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap pemahamannya tersebut, sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling menuduh sesat.

Dan mereka yang memahami kebersatuan makhluk dengan Tuhannya, dipelopori oleh Mansyur al Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya Anna al Haqq, dengan pemikirannya tentang satu kesatuan wujud antara makhluk dengan Tuhannya (konsep hullul). Kemudian pada masa-masa selanjutnya didukung oleh Ibn Arabi dengan wahdatul wujud, dengan makna yang sama, cuma lebih sedikit berhati-hati. Pada masa-masa selanjutnya, Syekh Siti Jenar di tanah Jawa dengan konsep manunggaling kawula gusti-nya. Pemikiran-pemikiran mereka menimbulkan pertentangan yang tajam bagi mereka yang berpaham sebaliknya, bahkan sampai menimbulkan pertumpahan darah dengan dihukum matinya mereka, kecuali Ibn Arabi.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran bila menjadi semakin tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga menumpahkan darah. Mereka lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang mempertimbangkannya dengan akal dan hati yang lapang, sehingga lebih memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu diulang-ulang pada bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah rahmat yang tunggal, yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia Yang Maha Tunggal termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai Yang Maha Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai bersama pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya merasa masih dalam keterbatasan.
Dia-lah Yang Maha Halus dan Lembut yang sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga menjadi tak nyata tapi dapat terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan. Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk dalam memahami-Nya. 
Sekalipun itu merupakan wujud keikhlasan berserah diri (islam)-nya, namun bukanlah karena diri-nya, melainkan hanya karena kemurahan Tuhannya, Ar Raahman, yang mengkaruniakan petunjuk serta hikmah kepada-nya. Hanya karena kehendak Tuhannya, hanya karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena ketetapan Tuhannya. Maka tiadalah diri-nya yang sesungguhnya berperan sedikitpun dari segala pemahamannya, dari kesanggupannya, dari kesadarannya, dari melepaskan jeratan hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya, kecuali hanya merasakan nikmat dari segala kemurahan-Nya. Nikmat yang didapat dari petunjuk dan hikmah-Nya sebagai karunia yang besar yang dianugerahkan kepadanya.
Dengan demikian, mereka tidak lagi tergoda menginginkan nikmatnya surga dan menghindari kejamnya neraka. Mereka pun tidak lagi tergoda pada keinginan dan kebutuhan dunianya. Serta mereka pun tidak lagi tergoda oleh pasangan segala sesuatu yang ternyata malah hanya mengaburkan dari makna tunggal-Nya Yang Sejati (Haqq). Kesemuanya tersebut disadari hanyalah sebagai yang akan menggodanya dalam perjalanannya untuk dapat kembali pulang kepada Yang Maha Tunggal. Yang mereka sadari dengan keikhlasannya, hanyalah atas kekuatan dan kehendak-Nya lah maka menjadi penting mewujudkan sifat-sifat Allah di alam ini sebagai rahmat bagi sesama di semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”
(QS 2:269)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar