Senin, 10 Juni 2013

Bab XX - HATI, AKAL & KESADARAN BAGI JIWA



Bab XX
HATI, AKAL & KESADARAN
bagi JIWA
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
 (QS 3:190-191)
H
ati atau kalbu (qalb) adalah tempat akal dan kesadaran bekerja dan berperan lebih bernilai lagi bagi kehidupan yang telah dibangkitkan oleh ruh terhadap jasad. Kedua hal tersebut, akal dan kesadaran, sungguh amat mempengaruhi jiwa kemanusiaan. Bila keduanya terganggu maka jiwapun menjadi terganggu pula. Pada tingkat keparahan yang berat gangguan yang menimpanya, disebut gila, maka hukum manapun tak berlaku lagi dikenakan kepadanya. Karena jiwanya dianggap tak ada, sekalipun dia dikatakan hidup, jasadnya masih tumbuh dan berkembang, ruh-nya pun masih melekat, serta masih butuh makan dan minum juga buang air apalagi bernafas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya seperti hewan, tumbuhan, maupun yang dikatakan sebagai benda mati. Yaitu jiwa-nya yang berakal kesadaran.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Kembali kepada keberadaan jiwa, kapan jiwa mulai ada keberadaannya dan menyentuh jasad serta ruh kemanusiaan. Karena begitu dominannya akal dan kesadaran bagi kejiwaan seorang manusia, bahkan hukum manapun (termasuk hukum Tuhan) tak berlaku bila akal dan kesadaran dalam gangguan berat, maka tentunya keberadaan jiwa-pun bergantung dengan keberadaan akal dan kesadaran kemanusiaan. Bagi umat muslim tentunya masa akil baligh, yaitu masa dimana hukum telah dapat dikenakan kepadanya.
Dan dalam kondisi sadar-lah, maka rasa-nya dapat merangsang akal untuk bereaksi bekerja membuat hatinya menjadi lebih hidup lagi menerangi jiwa. Begitupun sebaliknya, dimulai dari hati yang resah atau hati yang memendam kekotoran, maka akal dan kesadaran-nya hanya tertuju pada apa yang ada di dalam hatinya saja, sedang untuk hal-hal lainnya maka akal dan kesadarannya menjadi lemah. Karena energi-nya tersedot kepada penggunaan akal & kesadaran pada hatinya yang kotor, pada saat inilah hawa nafsunya menjadi semakin kuat bergolak dan bisa tak terkendalikan lagi oleh jiwanya.
Keadaan seperti itu, tak selamanya berlangsung, dan bila Allah berkehendak, maka Dia-pun berkuasa menyentuh kesadaran-nya dengan petunjuk (cahaya yang menerangi). Dan sekali lagi akalnya akan berperan, untuk segera beralih atau terus melanjutkan kesesatannya. Bagi jiwa yang menjauhi terang cahaya-Nya, maka diri-nya sendirilah yang sesungguhnya menjauhi cahaya Allah, dan semakin butalah hatinya di dalam kegelapan yang jauh dari terangnya cahaya Allah.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 7:72)
Kesadaran adalah suatu kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.”  (QS 33:41)
...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (QS 2:198)
Kesadaran dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.
Yang paling terasa dan nyata bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan adalah, produk-produk tekhnologi modern saat ini yang merupakan hasil eksplorasi kesadaran dan akal yang pada awalnya dianggap gila dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang lainnya. Satu contoh saja produk terakhir yang ada sekarang ini, yaitu telepon selular, maka tak terhitung manfaatnya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan. Padahal, pada awalnya mungkin ratusan atau ribuan tahun yang lalu, seperti telepati sebagai cikal bakal produk ini, dianggap sebagai produk takhyul yang tak mungkin. Bila ternyata telepati berhasil dibuktikan, dianggap menggunakan jin dan merupakan perbuatan syirik. Belum lagi pada eksplorasi kesadaran dan akal pada bidang-bidang pengobatan dan kedokteran, yang pada masa-masa awalnya para juru penyembuh disebut dukun atau tukang sihir. Begitulah diri-diri, yang karena ketakutan mengalami kesesatan tetapi justru malah terpenjara oleh ketakutan (kesesatan)-nya sendiri.
Maka pikirkanlah, apa yang akan terjadi kepada mereka yang meremehkan peran kesadaran dan akal bagi kehidupannya? Tentu, sama saja dengan menutup pintu hati-nya dari menerima petunjuk yang dapat memberi kemudahan bagi dirinya sendiri, kelak.  Sehingga dirinya sebagai yang tak dapat merasakan nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya telah banyak diterimanya. Ya, nikmat-nikmat yang sesungguhnya Allah berikan adalah nikmat tunggal, bukan saja tak dirasakan nikmat kebaikannya tersebut, tetapi pula telah berubah menjadi nikmat keburukan. Karena di alam, diri kemanusiaan menerima segala sesuatu selalu bersama pasangannya.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu, agar tidak tersesat. Dan sungguh luas makna tersesat dalam ayat ini. Yang dalam makna keseluruhannya adalah menjaga kesadaran dengan mengingat  Allah, maka akan terhindar dari segala macam kesalahan atau tersesat, yang justru, sesungguhnya, akan merugikan dirinya kelak.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang di lihat, di dengarnya, di penciumannya, di rasanya, hingga di pikirnya. Akan tetapi kemanusiaan tidak akan langsung mencapai kesadaran tersebut, ada beberapa tahapan sedari awalnya yang pasti dilaluinya jenjang per jenjang.
Kesadaran Jasad (Inderawi)
Kesadaran ini adalah kesadaran yang bekerja pada tahap indera-indera kemanusiaan telah berfungsi. Dimana indera-indera seperti mata telah dapat melihat dengan jelas baik rupa dan bentuknya juga warna-warnanya, telinga pun telah dapat mendengar dengan jelas, hidung dapat mencium bau-bauan, dan lain sebagainya seperti yang telah diketahui secara umum, sehingga dirinya telah dapat berintraksi dengan lingkungannya.
Kesadaran ini telah hadir pada diri kemanusiaan di masa kanak-kanak atau balita, paling tidak usia dua tahun. Maka akan lucu bila ada orang dewasa yang telah matang secara intelektual yang tidak mau mempercayai suatu hal, dan merasa harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, atau mendengar langsung dari sumbernya. Maka orang tersebut masih berada pada tahap kesadaran kanak-kanak. Yang segala sesuatunya dipandang secara nyata terlihat oleh matanya, terdengar oleh telinganya, dan teraba oleh kulitnya. Yaitu serba materi, terjebak dengan paham materialisme sendiri.
Ketahuilah, paham ini sungguh akan mengkungkung jiwanya dari penjelajahan ke tingkat pemahaman-pemahaman yang jauh lebih luas dan tinggi dari sebelum-sebelumnya, sehingga jiwa tidak mendapatkan wawasan yang maksimal.
Seperti gunung yang terlihat jauh adalah berupa onggokan berwarna biru kusam. Setelah didekati ternyata warnanya berubah menjadi hijau kusam. Dan semakin didekati lagi warnya hijau tua. Setelah semakin dekat kita menyadari bahwa warna yang berubah-ubah itu adalah kumpulan pepohonan yang terlihat rapat berwarna hijau tua. Setelah sampai di gunung tersebut, kita tidak lagi melihat onggokan yang berubah-ubah warnanya tersebut, melainkan warna-warni dedaunan dan rerumputan. Bahkan tidak hanya itu, hawa sejuk yang sebelumnya tidak kita rasakan pun hadir menerpa indera-indera kita sebagai yang baru. Belum lagi aneka penghuni di dalam ekosistemnya yang dapat kita ketahui. Itulah salah satu contoh penjelajahan pemahaman yang menggugah kesadaran manusia menuju ke tingkat yang lebih tinggi lagi. 
Di kali yang lain, masih terhadap orang seperti ini, yang takkan pernah percaya bila tak melihat dengan mata kepalanya sendiri, dan dia merasa telah beriman dengan baik dan benar. Termasuk percaya kepada nabi-nabinya, yang tak pernah dapat lagi dilihat, didengar, apalagi diraba atau dicium keberadaanya. Bagaimana mungkin, sedangkan foto atau gambar nabi saja tidak pernah ada. Dalam hal ini dia dapat mempercayainya. Maka bagaimana pula imannya kepada Tuhan?
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)
Suatu dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi di dalam kehidupan sehari-hari dia hanya mau menerima yang realita saja, tetapi di sisi lainnya, yang menyangkut keagamaannya, dia secara taklid dapat menerima sebagai yang diyakininya tanpa pengetahuan yang mendasari segala sebab akibat. Sehingga makna ikhlas dalam keberserah dirian (islam)-nya tidak menjadi hal yang mendasari setiap amal perbuatannya.
Begitulah Allah menghendaki setiap diri kemanusiaan menggunakan hati dan akalnya untuk memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang banyak tersebar di alam ini, yang juga dapat bermanfaat bagi kehidupannya.
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi itu sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, segala puji bagi Allah. Tetapi kebanyakan mereka tak memahaminya.”  (QS 29:63)
Bila kita mau jujur, justru yang seperti inilah yang ternyata menghinggapi kebanyakan manusia. Dimana imannya adalah merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya. Sekali lagi, kesadaran ini adalah tahap kesadaran kanak-kanak. Layaknya anak-anak yang ketika ditanya bukti-bukti atas pernyataanya maka mereka akan menjawab, “begitulah yang dibilang ayah dan ibuku kepadaku.”
Kesadaran Ilmiah (Rasional)
“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)
‘ilm al yaqqin
Kesadaran setiap diri kemanusiaan seharusnya berkembang, dari yang semula hanya merupakan kesadaran kanak-kanak naik kepada yang diatasnya, yaitu kesadaran yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Ya, kesadaran ilmiah yang berdasarkan tingkat rasionalitas yang ada pada dirinya yang juga seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.
Sesungguhnya, orang-orang yang telah mengamalkan ilmunya, baik yang didapat dari bangku pendidikan atau selainnya, sebagai orang yang telah menggunakan kesadaran ilmiahnya. Jika belum sampai diamalkan atau dipraktekkan, tetap saja merupakan kesadaran inderawi. Teori, atau hanya angan-angan belaka. Karena bila ditanya bukti-bukti pernyataannya, jawaban yang adapun seperti layaknya jawaban anak-anak, “begitulah yang dibilang guruku kepadaku.” Atau jawaban seperti ini, “begitulah yang dibilang si fulan kepadaku.”
Seperti di masa kecil, kita mendapat pengetahuan bahwa bumi-lah sesungguhnya mengelilingi matahari. Padahal yang dilihat matanya yang bergerak adalah matahari, saat pagi matahari terbit di Timur dan tenggelam sore harinya di Barat. Akalnya belum bisa menerima pengetahuan itu, dan hatinya tak puas.
Lama sekali setelah sampai di masa remajanya, dan hampir-hampir saja terlupakan, hatinya yang masih tak puas  terhadap pengetahuan tentang gerak revolusi bumi itu, saat ia bepergian ke luar kota bersama teman-teman dengan menggunakan kereta api, yang dalam lamunan dengan kepala menyender ke jendela kaca dan melihat pemandangan, tiba-tiba hatinya tersentuh, akalnya terbuka. Ya betul, apa-apa yang dilihatnya barusan, yang berada di luar kereta api, pepohonan dan rumah-rumah serta benda lainnya yang sebenarnya tak bergerak menjadi terlihat bergerak, sedangkan dirinya yang sebenarnya sedang bergerak bersama kereta api yang ditumpanginya terasa tak bergerak. Begitupun ketika seseorang di dalam pesawat dalam perjalanannya, tentu tak merasakan dirinya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, bahkan jauh melebihi kecepatan kereta api, kecuali bila kesadarannya mengingatkan itu.
Begitulah Allah memberi petunjuk kepadanya, dan masih banyak cara Allah dalam memberikan petunjuk-Nya secara misterius, yang tak disangka-sangka ketika datangnya.
Suatu kesadaran yang disandarkan kepada ilmu tentunya harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebenarnya tahapan kesadaran inipun masih dalam taraf materi atau bentuk lahir. Belumlah menyentuh kepada yang bathinnya. Karena, ternyata, begitu banyaknya yang tak terlihat dibalik yang kita lihat dengan mata lahir kita.
Kesadaran inipun sebenarnya terbantukan oleh hadirnya banyak alat-alat bantu canggih modern yang canggih, seperti mikroskop elektron-optik, teleskop, satelit, radar, GPS, radio, televisi, komputer, handphone dan lain-lainnya yang sungguh-sungguh membuat kemudahan bagi manusia untuk dapat membuka kesadaran-kesadaran tahap-tahap selanjutnya.
Contohnya, bila kita buka Al Qur’an Surah al Mu’minuun ayat 14, yang memberitatakan tahap pertumbuhan janin di dalam rahim sang ibu, maka dengan adanya alat USG kita pun dapat memonitor secara langsung bagaimana pertumbuhan seperti yang diungkapkan ayat tersebut.  Jadi tidak lagi menjawabnya seperti anak-anak menjawab, “begitulah yang aku baca di dalam Al Qur’an.”
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)
Sekalipun kita meyakini Al Qur’an adalah kitab berisi wahyu Tuhan yang berisi kebenaran, tetapi jauh lebih sempurna kita meyakininya dengan keyakinan yang nyata yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan keyakinan buta.
Di alam ini begitu banyak tersebar petunjuk kepada pemahaman yang menggugah kesadaran kita serta dapat menggiring jiwa kita kepada kesadaran-kesadaran pada tahap-tahap selanjutnya yang lebih tinggi dari sebelumnya. Serasa masih banyak lagi yang belum diketahui bagaikan rahasia-rahasia yang menyelimuti kedalaman lautan, yang dari luar permukaannya terlihat tenang  tetapi banyak misteri kehidupan di dalamnya.
Contohnya lagi adalah, bintang-bintang yang bertebaran di langit malam yang menggugah kesadaran manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu astrologi (dulu ilmu falak) kemudian berkembang kepada mempelajari musim-musim sehingga berguna pada perkembangan pemahaman dalam penentuan musim tanam pada pertanian, dan pada kelautan yang berguna bagi nelayan, bahkan juga kepada pengetahuan navigasi bagi para penjelajah yang tertarik pada penemuan-penemuan daerah-daerah baru sebagai daerah jajahan yang hendak dikuasainya.
Dan dunia pun semakin kesini semakin terasa sempit setelah kesadaran demi kesadaran terkuak satu per satu. Sekarang ini bahkan, setelah internet telah dapat diakses oleh siapapun, dalam hitungan detik kita dapat mengetahui keadaan suatu daerah sekalipun nun jauh di negri atau benua lain. Akan tetapi, semakin diketahui satu per satu, semakin pula mengundang yang lain berikutnya untuk diketahui dan dikenalnya, seakan tak pernah habis-habisnya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
Allah memang kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas, akan tetapi Dia pun menyatakan kepada mereka yang mau menggunakan akalnya itulah maka Allah berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya.
Jadi, semakin manusia menggunakan akalnya, maka semakin terbukalah kesadaran-kesadaran yang akan ditemuinya sebagai yang wajib disyukurinya, kelak. Karena telah memberinya kemudahan-kemudahan bagi yang sebelumnya terasa menyulitkannya. Yang kelak pada kesadaran tahap tertinggi, dimana hati pun ikut berperan selain akalnya, maka keimanan bukan lagi sekedar keyakinan, melainkan sebagai realitas yaitu kenyataan yang terlihat, terdengar, terrasa, tercium, bahkan terraba. Bahwa keyakinannya bukanlah cerita omong kosong para orangtua pendahulunya, melainkan perjalanan panjang kesadaran jiwa menuju sebuah kenyataan yang hakiki.
Sebenarnya, dari ayat di atas pula, menjadi timbul pemahaman pada diri ini, bahwa adanya paham Jabariyah dan Qadariyah adalah pasangan paham yang tumbuh di dunia pemikiran muslim, seperti layaknya pasangan malam dan siang atau yang lainnya, yang keduanya adalah kebenaran, dan akan menjadi kesalahan bila salah satunya dihilangkan atau dianggap tiada. Kita takkan mencapai pemahaman ini, bila sebelumnya tak mencapai pula kesadaran bahwa segala sesuatu Allah ciptakan saling berpasangan. Bahkan termasuk dengan pemikiran dan pemahaman kita.
Jika inderanya saja belum mampu mengetahui dan menyadari segala sesuatu yang nyata wujudnya, maka bagaimana hendak beralih hendak memahami kepada segala yang bathin dan masih ghaib serta jauh sekali dari akal pemikirannya? Tetapi keyakinannya terhadap adanya segala sesuatu yang tak tampak dari apa-apa yang dilihat oleh mata lahirnya, membuat jiwanya terus menerawang berusaha dapat menembus selaput-selaput yang menyelimuti pandangan mata hatinya.
Pada saat itulah jiwanya mengalami awal transformasi kesadaran menuju kepada kesadaran yang lebih tinggi. Yaitu menuju kepada kesadaran ruhani yang halus dan lembut, yang sesungguhnya hanya dapat ditembus juga oleh hati yang halus dan penuh kelembutan.
Kesadaran Ruhani
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
‘ayn al yaqqin
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, ruh adalah eksistensi yang tersembunyi dan bersifat halus (ghaib) tak terlihat, tak terdengar,  tak tercium, bahkan tak terraba. Tetapi bagi hati yang peka maka akan terrasa keberadaannya. Maka tentunya kesadaran pada tahap ini sungguh adalah kesadaran yang amat sulit bagi umumnya jiwa kemanusiaan, kecuali mereka yang di dalam hatinya sebanyak mungkin menghilangkan kekotorannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Apa hubungannya hati yang bersih dengan hal ini? Tidak usah kepada kesadaran tahap yang tinggi ini, kepada kesadaran yang terendah saja, yaitu kesadaran jasad (inderawi), akan menjadi tidak berguna bila hati kita sedang dipenuhi kekotoran, seperti lamunan misalnya.  Terkadang orang di sekitar berbicara apapun kita takkan mengerti, jangankan untuk paham, mendengar sajapun tidak. Terkadang guru atau dosen menerangkan sejauh manapun, murid atau mahasiswanya pun yang sedang dilanda problema di hatinya, menjadi percuma, karena jangankan akan dimengerti, didengarnya saja pun tidak. Atau bahkan bila sedang disibukkan lamunan, kita tak menyadari kehadiran seseorang atau apapun.
“Dan banyak sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya.(QS 12:105)
“....... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami.(QS 30:59)
Hatinya sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”. Menjadi hal yang tak mungkin.
Itulah sebabnya Allah mengingatkan kita agar ber-ta’awudz, memohon perlindungan-Nya dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari bisikan-bisikan yang menyesatkan yang dilakukan oleh utusan-utusan iblis (setan) untuk  menyimpangkan makna-makna yang dibaca.
Memohon perlindungan-Nya agar terhindar dari kesalahan, penyimpangan, ataupun kesesatan. Sungguh di dalamnya, Al Qur’an itu, banyak terkandung petunjuk dan hikmah sebagai kebenaran yang haqq dari Tuhan Yang Maha Haqq. Jika membaca Al Qur’an yang suci saja kita dianjurkan untuk berlindung dari penyesatan setan, maka apalagi kepada hal-hal yang jelas kesuciannya meragukan, akan menjadi wajib bagi kita untuk terus benrlindung dalam kuasa Tuhan.
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
Kesadaran ini adalah tahap kesadaran awal untuk dapat mengenal Tuhannya. Suatu kesadaran untuk dapat memahami segala apa yang sebelumnya hanya sekedar diimani atau diyakini, tanpa pernah dapat memuaskan hatinya. Dimana hal inilah yang menyebabkan hatinya mudah berubah-rubah, sebagaimana dikatakan banyak orang sebagai yang tak memiliki keteguhan di hatinya. Selalu dalam kebimbangan, keresahan, kesempitan, bahkan hingga kepada tak dapat mensyukuri segala rahmat Tuhan yang telah banyak diterimanya selama ini.
Untuk mengasah dan masuk lebih dalam lagi kepada kesadaran ini, maka selalu ingat dan memohon perlindungan-Nya dari kesesatan pemahaman yang dibisikkan setan atau iblis kepadanya, sebagai awal mengasah kepekaan menjadi lebih tajam dari sebelum-belumnya.
Di perjalanannya, menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego) dengan berusaha berserah diri secara ikhlas, menyempatkan diri dengan mengambil waktu-waktu tertentu di kesunyian dan keheningan malam untuk melakukan perjalanan malam (isra’) menuju dan mendekati (mi’raj) Tuhannya. Maka tunggulah dengan kesabaran juga rasa syukur dan ikhlas berserah diri, hingga pada suatu waktu kelak, yang dengan kehendak-Nya, maka Dia akan memberikan hikmah-Nya sebagai karunia yang besar. Sempatkanlah.
Kesadaran ruhani ini adalah kesadaran yang mulai menyadari bahwa adanya eksistensi Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu yang telah diketahuinya, kemudian mengatur keseimbangannya agar terjaga, hingga kepada memelihara hidup dan kehidupannya. Dan itu berlangsung terus menerus, tiada henti dari awal yang tak pernah diketahui siapapun dan berakhirnya pun tanpa pernah diketahui siapapun. Hanya Dia Yang Maha Sempurna sendirilah yang mengetahuinya.
Sayangnya kesadaran ini mulai timbul dan terasa, pada umumnya kemanusiaan, adalah pada usia produktivitasnya sedang tinggi-tingginya, yaitu pada kisaran usia antara 30-50 tahun. Dimana pada usia-usia tersebut umumnya kemanusiaan disibukkan oleh urusan dunia-nya, seperti antara karir dan nafkah kebutuhannya, saling berebut untuk mendahului keibutuhannya membuat kesadaran ini menjadi terabaikan oleh hatinya yang sibuk.
Kesadarannya ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas, yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin.  Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran (bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini, ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Menyadari kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan  jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut. Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
Kesadaran Sejati (Realitas Tunggal)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)
haqq al yaqqin
Kesadaran ruhaninya telah mengakui eksistensi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya berperan dalam segala hal terhadap segala sesuatu di jagat raya ini. Tetapi, baginya, keberadaan-Nya tersebut masih tersembunyi.
Ya, matanya memang belum melihat, telinganya pun belum mendengar,  akan tetapi hatinya-lah yang merasakan kehadiran-Nya. Membuat jiwanya semakin merasa dahaga menginginkan untuk dapat bertemu demi menyatakan keyakinannya menuju yakin yang dapat diketahuinya. Tentu mudah untuk mengetahui keberadaan hujan dari mengalami kehujanan. Akan tetapi keyakinannya tersebut tentu pembuktiannya tak semudah itu.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam sia berkata, sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”  (QS 6:75-79)
Renungkanlah makna bunyi ayat di atas .... sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ..... Setelah beliau (Ibrahim) kebingungan sendiri, akhirnya dia berserah diri kepada siapapun yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi dari usaha pencariannya yang tak memuaskan hatinya. Begitulah wujud manusia yang hanif, yang berusaha meluruskan kembali tujuan utamanya agar tak tersesat.
Perjalanan jiwa dalam menapaki kesadaran demi kesadaran amatlah panjang dan tak mudah. Hal ini karena amat pula dipengaruhi oleh kejernihan hati serta penggunaan akal dari setiap apa yang dilihat, didengar, dicium, diraba, yang kesemuanya agar dapat dirasakan untuk dapat diolah lagi sebagai informasi yang berguna bagi pemahaman yang haqq atas segala sesuatu.
Sesungguhnya ini pula sebagai proses menuju kedewasaan dan kebijakan  yang amat berguna bagi jiwanya. Tentu di perjalanannya pasti bertemu dengan segala macam yang menjadi rintangan, yang sesungguhnya bila direnungkan, justru adalah bagian dari proses penyucian yang dapat memurnikan segala tujuan kepada hanya tujuan tunggal.  Tujuan dari segala tujuan, yaitu Dia Yang Maha Sempurna, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Tunggal.
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.  (QS 18:14)
Kesadaran ruhaninya pula yang berjasa membawanya kepada Realitas Tunggal, bahwa segala apa yang dilihatnya adalah karena telah diberi penglihatan sebagai anugerah dari-Nya, sekalipun tak pernah ia merasa minta untuk diberi penglihatan.
Sekarang, setelah menyadari betapa penting dan bergunanya penglihatan bagi kehidupan, baru menyadari bahwa ia diberi tanpa meminta. Tentu dulunya, ketika masih di dalam kandungan ibunya sebagai waktu yang tepat untuk meminta, maka jangankan meminta penglihatan dengan perangkatnya berupa bola mata serta syaraf-syarafnya, mengerti fungsinya pun tidak.
Begitupun kepada pendengaran, penciuman, dan banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya diberikan Allah sebagai anugerah yang lupa untuk dapat disyukurinya. Bagaimana dapat mensyukurinya, memahami fungsi pentingnya bagi kehidupannya saja baru saat ini. Sungguh lalai jiwa ini terhadap kasih dan karunia-Nya. Dan telah puluhan tahun kelalaian ini berlansung tanpa disadari.
Padahal masih banyak lagi yang belum kita sadari, dan ternyata telah bekerja membantu dan mempermudah kita dalam kehidupan ini. Apakah jiwa kita menyadari, siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan jantung untuk berdetak dan memompa darah keseluruh tubuh agar terpenuhi suplay makanan dan oksigen bagi sel-sel yang membangun tubuh kita? 
Dan siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan paru-paru untuk bekerja demi pernafasan yang dibutuhkan tubuh kita?
Dan siapa pula yang sesungguhnya mengatur dan memerintahkan sel-sel untuk membelah dirinya untuk mengganti sel-sel lain yang telah mati?
Siapa sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan syaraf-syaraf menyalurkan setiap informasi yang masuk dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa panas atau dingin, rasa yang menyenangkan atau yang menyedihkan, rasa puas atau kecewa?
Bagaimana bila Dia Yang Maha Sempurna libur sehari saja dalam pemeliharaan-Nya terhadap kita seluruh makhluk-Nya?
Tentunya masih banyak lagi yang belum kita ketahui sesungguhnya, yang telah terjadi dari semenjak lahirnya kita, bahkan membuat lupa diri dengan menjadikan pengakuan (ego)-nya lebih kuat. Merasa sombong, berbangga diri, merasa kuasa dan sekehendak hati, bahkan terhadap tubuh sendiri, karena merasa memiliki, merasa telah mengetahui banyak hal, maka menyepelekan hal-hal lainnya dan mengutamakan apa yang menjadi hawa nafsu-nya. Yang padahal sesungguhnya Allah-lah pemilik, penguasa, dan pemelihara langit dan bumi serta apa-apa yang berada dan diantara keduanya, termasuk segala sesuatu yang berada di tubuh atau jasad kita. Semuanya, termasuk dengan ilmu, akal, dan rasa kita adalah karena kemurahan-Nya.
Bernafas pun karena kemurahan-Nya. Pernahkah merasakan sakit flu? Dimana saat malam tiba, mengalami kesulitan tidur yang disebabkan tenggorokan gatal membuat batuk-batuk, telinga tersumbat dan berdengung yang mengganggu pendengaran, di sekitar mata terasa bengkak dan berair yang mengganggu penglihatan, hidung tersumbat terasa susah untuk bernafas. Begitulah tubuh ini menjadi banyak terganggu hanya karena virus flu yang menyerang kita. Hanya karena satu sebab, maka efek berantainya amat mempengaruhi banyak yang lainnya, kemudian menjadi sebab-sebab lainnya yang menyebar sehingga menyulitkan banyak hal dalam beraktivitas.
Dia Yang Maha Sempurna sebagai Eksistensi dari segala eksistensi-Nya, Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya, dan Dia-lah Realitas Sejati Yang Maha Tunggal dari setiap realita yang memenuhi langit dan bumi.
Dia-lah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu tersebut. Sedang Dia sendiri tak berawal juga tak berakhir (wa awalu wa akhiru). Dia-lah sumber segala sesuatu, pusat dari segala sesuatu berangkat dan pusat segala sesuatu kembali pulang (inna lillahi wa inna ilay’ihi raji’un).
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.”  (QS 13: 22)
Ada hikmah yang dapat kita ambil dari penggalan ayat di atas yang mengatakan, .... menolak kejahatan dengan kebaikan, .... Yaitu dengan memaknainya, bahwa mendahului perbuatan kebaikan sesungguhnya dapat terhindar dari kejahatan yang akan datang kepada dirinya. Bagaimana mungkin orang tega melakukan kejahatan kepada orang yang selalu melakukan kebaikan, sedangkan kebaikan-kebaikannya itulah yang ternyata menjaga dirinya dari kejahatan karena tertanam di benak orang-orang di sekitarnya.
Jika menanam kebaikan maka yang tumbuh dan berkembang adalah kebaikan pula, disamping itu tumbuh pula keburukan sebagai rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan itu sesungguhnya pula adalah proses menuju kemurnian atau kebersihan diri. Ibarat menanam padi (sebagai kebaikan) di sawah, maka yang tumbuh dan berkembang adalah tanaman padi, tetapi secara bersamaan tumbuh pula rerumputan di sekitarnya yang mengganggu (sebagai keburukan). Sedangkan bila yang ditanam adalah rerumputan (keburukan), maka jangan sekali-kali berharap akan tumbuhnya tanaman padi (kebaikan). Suatu hal yang mustahil. Begitulah sunathullah sebagai ketetapan-Nya, dan tidak ada yang berubah dari fitrah ketetapan-Nya, kecuali Dia menghendaki lain.
“...... maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
Dan kita akan mengulas lebih jauh dan lebih luas lagi mengenai kebaikan atau kebajikan ini, disebabkan telah mulai sedikit memahami keberadaan Realitas Sejati sebagai Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya. Dan tiada keburukan sedikitpun yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Tetapi, karena di alam, maka manusia pun menilai segala sesuatu sebagai yang berpasangan, menilainya sebagai baik atau buruk, senang atau sedih, pahit atau manis, dan lain sebagainya. Padahal segala sesuatu yang Allah berikan adalah rahmat (kebaikan), maka bagi jiwa yang di hatinya banyak kekotoran, rahmat yang merupakan kebaikan menjadi hal yang buruk dirasakan menimpanya. Yang ternyata pula, pada akhirnya, kelak, hal tersebut berguna bagi dirinya, yaitu karena sedang mengalami pelatihan atau pembersihan bagi memurnikan jiwanya dari kekotoran.
Bila dapat merasakan nikmatnya makan makanan yang enak-enak yang menggugah selera hingga kenyang dan puas, maka nikmatilah pula perut kencang dan mulas hingga ingin ke belakang untuk buang air. Begitulah di alam.
Bagai cahaya matahari yang sampai ke bumi yang merupakan rahmat Tuhan yang besar bagi kehidupan, tetapi ada pula bagian bumi yang tidak terkena cahaya tersebut sebagai bagian dari wilayah bumi yang gelap, tentu bukanlah berarti sebagai keburukan dari rahmat-Nya melainkan  yang sedang mengalami malamnya.
Bila dapat menerima malam yang gelap sebagai kebaikan pula seperti layaknya menerima siang yang terang, mengapa tak dapat menerima kesedihan seperti layaknya menerima kebahagiaan? Mengapa tak dapat menerima kesulitan layaknya menerima kemudahan? Hingga tak dapat menerima kematian layaknya menerima kehidupan?
Tahapan kesadarannya meningkat lagi kepada menyadari dan bersyukur atas apa-apa yang telah diterimanya adalah merupakan rahmat dari Tuhannya. Yaitu telah dapat menikmati keburukan sama seperti ketika menerima kebaikan, menikmati sakit sama seperti menerima sehat, menikmati kesulitan sama seperti ketika menerima kemudahan, menikmati kesedihan sama seperti ketika menerima kebahagiaan, menikmati kekurangan sama seperti ketika menerima kecukupan, dan lain-lainnya. Baginya semuanya itu adalah sama, tiada dualitas. Merupakan pasangan dari segala sesuatu, sedangkan segala sesuatu bersumber dan mengarah kepada Allah sebagai Yang Maha Tunggal. Pada tahap inilah, kesadaran telah mencapai tahap tertinggi yang hendak menuju tempat terakhir.
Dan pada usaha mencapai tahap kesadaran ini pula, maka berdzikir (mengingat) Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu adalah suatu cara paling baik dalam melatih diri untuk menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang dilihat, didengar, dipenciumannya, dirasa, hingga dipikirnya. Hingga pada suatu waktu kelak sampai kepada, Allah-lah yang sesungguhnya ada dilihatnya, didengarnya, diciumnya, dirasanya, sampai kepada yang ada dipikirnya. Sehingga pula dirinya pun telah sampai kepada menyadari, bahwa sesungguhnya yang melihat adalah Allah, sesungguhnya yang mendengar adalah Allah, sesungguhnya yang mencium bau adalah Allah, sesungguhnya yang merasa adalah Allah, bahkan sesungguhnya yang berpikir pun adalah Allah. Dan dimanakah jiwanya? Jiwanya hanya ada di setiap nikmat-Nya.
Manusia itu hanya menerima segala rahmat dari Allah raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), tidak kurang dan tidak lebih sebagai yang telah ditetapkan-Nya. Dari mulai nafas, hidup dan rezeki kehidupan, mati, dan dibangkitkan. Maka apakah yang utama dari hal-hal tersebut? Dapat merasakan nikmatnya-lah yang utama, oleh sebab itu bersyukurlah yang banyak pula kepada-Nya.

Itulah  ketauhidan murni, telah memahami Realitas Tunggal sebagai sejatinya realita dari segala realita yang ada di alam. Sehingga kemanapun menghadap, timur, barat, selatan dan utara, atas dan bawah maka yang ditemuinya adalah Dia. Sejauh manapun akal berpikir, maka tiada lepas dari semakin menyadari keagungan Dia Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya menguasai, mencipta, dan memelihara segala sesuatu. Maka jiwanya pun akan menjaga hawa nafsunya dari kesesatan yang dapat disesalinya kelak. Karena telah menyadari dirinya adalah wujud sempurna yang terpuji (muhammad, yang dimaksud bukan Muhammad bin Abdullah nabi SAW) sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Sempurna dan Maha Terpuji. Sebagai wujud yang mewakili perwujudan sifat-sifat Allah di alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar