Minggu, 02 Juni 2013

Bab X - PUASA




Bab X
PUASA
“.... Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
 (QS 2:184)
P
uasa memiliki makna serta manfaat yang beragam,  diantaranya dari beberapa aspek, seperti aspek kesehatan, aspek kejiwaan, dan aspek kehidupan sosial sampai pada kehidupan ekonomi. Bagi kesehatan, puasa adalah menahan lapar dan haus, untuk pembersihan pada sisa-sisa makanan di dalam pencernaan, untuk pembakaran lemak berlebih, juga sebagai waktu istirahat beberapa organ tubuh.
Pada aspek kejiwaan, puasa melatih kedisiplinan, kesabaran, menekan hawa keinginan, dan lain-lainnya yang merupakan pengelolaan hati atau jiwa kedalam ketenangan dan ketentraman. Sedangkan pada aspek kehidupan sosial, puasa dapat menumbuh-timbulkan rasa peka atau kepedulian terhadap sesama dan rasa kebersamaan. Selain itu, dari semua aspek diatas yang dapat disimpulkan, memiliki makna kearah penekanan atau pengurangan dari kebiasaan sebelum-belumnya, maka secara ekonomi seharusnya, puasa adalah wujud penghematan. Apalagi bila pada waktu bulan Ramadhan, sebagai kewajiban satu bulan penuh, maka seharusnya dampaknya akan lebih terasa bagi tubuh dan jiwa.
Namun pada kenyataannya malah terbalik, justru pada bulan Ramadhan-lah, semua harga kebutuhan melonjak naik, orang sibuk mencari kerja tambahan untuk mendapatkan penghasilan lebih, dan aksi kriminalitas pun ikut meningkat. Apakah ini yang dimaksud Nabi Muhammad rasulullaah SAW dengan, (pada saatnya nanti) puasa hanya meninggalkan haus dan lapar? Energi-nya menjadi hilang dengan percuma tanpa menghasilkan makna apa-apa, dan jangankan pahala dari Tuhannya, malah akan menjadi beban yang tetap harus dipertanggung jawabkan, kelak.
Ibarat petani yang menanam di ladang atau kebunnya, tetapi tak ada tanamannya yang menghasilkan buah. Kemanakah kemudian tanaman itu dimanfaatkan? Tentu, digunakan sebagai kayu bakar, yang sebagai bahan bakar memasak bagi keluarganya, paling tidak masih ada manfaat dari-nya. Perhatikan ayat berikut untuk direnungkan maknanya.
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka jahanam”. (QS 72:15)
Padahal, puasa di bulan Ramadhan yang dimaksudkan Allah, sesunggguhnya adalah sebagai sarana pelatihan dan penggemblengan pembentukan disiplin jiwa-jiwa yang kuat, serta baik bagi kesehatan tubuh atau jasad. Sehingga terbentuklah insan kemanusiaan yang kuat siap tubuh, mental dan jiwa-nya, serta terpuji dan mulia akhlak-nya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Bagaimana mungkin dapat terwujud sesuai dengan kehendak-Nya, bila dalam latihannya saja, suasananya bukan lagi pada penekanan, pengurangan, dan penghematan. Malah sebaliknya, kebutuhan pokok malah meningkat tajam, menyebabkan meningkatnya kebutuhan lainnya yang secara ilmu ekonomi adalah disebut sebagai pemborosan yang menyebabkan masalah-masalah sosial baru yang dapat juga dipolitisir secara tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan seperti ini, dimana waktunya telah tertentu disetiap bulan Ramadhan.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”  (QS 2:183)
Maka suasana seperti ini tidak lagi mendukung pembentukan jiwa-jiwa seperti yang dikehendaki Allah. Tabungan hasil kerja payah selama sebelas bulan ternyata habis untuk satu bulan di bulan Ramadhan. Belum lagi, energi yang dikeluarkan untuk pulang mudik. Sebenarnya bukan kepada sekedar hilangnya seluruh energi atau tabungan tersebut yang menjadi keprihatinan, akan tetapi juga, kepada makna kehidupan dan keberserahan diri-nya kepada yang seharusnya pun menjadi terbelokkan, ternyata hanya sebatas ‘wah’-nya suasana di bulan puasa dan suasana saat mudik. Kembali kepada fitrah lebih diartikan dengan mudik dengan atribut yang ‘wah’, sebagai lambang kesuksesan diri-nya. Kembali, pengakuan (ego)-nya yang menjadi momok atau biang kerok terjerumusnya insan kemanusiaan kepada kesesatan.
Budaya-nya yang ternyata selaras dengan pengakuan (ego)-nya telah ikut membentuk dan mempengaruhi jiwa-nya secara lebih dominan ikut membelokkan arah jalan lurus yang telah ditetapkan, melunturkan ingatan kepada-Nya, serta mengotori kesucian niat dan amal perbuatan, sehingga keikhlasan hanya sebatas pengakuan (ego) diri dan keluarga-nya saja. Riya, atas nama tuntutan budaya mudik, dan ini adalah hal yang dapat melunturkan nilai-nilai religius puasa Ramadhan itu sendiri.
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)
Hal ini semakin berbahaya, karena jelas mempengaruhi kepada pola hidup kehidupan sebelas bulan berikutnya setelah Hari Raya. Tentu, bila tidak segera mengokohkan keimanan pada Tuhannya sebagai arah tujuan keikhlasan termasuk pada puasa-nya, pada malaikat atau aparat-Nya yang sebagai penggerak dan pencatat niat serta amal perbuatan, pada kerasulan-nya sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk-Nya dan sebagai teladan, pada kitab-Nya sebagai yang telah diwariskan dan harus dinyatakan atau diamalkan, pada hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai hari diri-nya menuai apa yang ditanam sebelumnya, serta pada kadar baik dan buruk-nya sebagai sesuatu yang pasti akan diterima-nya. Yang kesemuanya tersebut merupakan sebagai yang membawa jiwa-nya kepada keselamatan hidup yang sehat, tenang, tentram dan damai.
Lihat dan rasakan sendiri kehidupan yang terjadi sekarang ini, serba menjadi mahal dan tidak sehat. Dan hal ini disebabkan pola melatih diri atau jiwa yang salah melalui puasa yang seharusnya dapat mengekang hawa nafsu keinginan jiwa yang berlebihan. Akibatnya pun meluas kepada aspek-aspek kehidupan lainnya, karena jiwa yang tak mudah lagi dikendalikan, bahkan kepada pelemahan keimanan, dan semakin membuat jauh kedalam kesesatan.
Memang kehidupan di bulan Ramadhan menjadi lebih semarak, akan tetapi orientasinya hanyalah materi, dan pandangan kepada akhiratnya menjadi tertutup karena terbawa tuntutan. Banyak mereka yang rela berbuat apapun tanpa batas, hanya demi materi menghadapi bulan puasa dan lebarannya. Norma-norma agama yang mengarahkan jalan lurus pun dilanggarnya, tidak lagi ingat kepada Tuhannya, dan lebih berani mengotori jiwanya ketimbang mensucikannya. Dan hilanglah keberserahan diri (islam)-nya sebagai makhluk kepada Tuhan yang sesungguhnya menguasai hidup dan kehidupan, Allaahu Rabbul ‘Aalamiiyn. Semua hanya karena tuntutan kebutuhan yang telah membudaya di negri ini. Maka janganlah heran bila KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) banyak menjerat para pejabat negri ini. Bayangkan jika KPK pun menangani kasus-kasus korupsi yang kecil-kecil, bukan tak mungkin sebagian warganegara negri ini akan terjerat. Itupun bila penjaranya cukup.
Jika Puasa saja, sebagai yang seharusnya melatih jiwa agar dapat mengekang hawa nafsu diri-diri kemanusiaan, tetapi malah berbelok arah tujuannya, maka dengan apa lagi untuk memperbaiki keadaan ini? Apapun kesulitannya, tetaplah keadaan ini harus segera diperbaiki, terutama menggugah kesadaran setiap diri kemanusiaan untuk mengembalikan Puasa Ramadhan kepada makna dan tujuan utamanya sebagai pelatihan jiwa-jiwa dalam pengekangan hawa nafsunya. Tidak lain pula pengkokohan keimanan kembali, dan selalu menjaga kesadaran dengan ingat kepada Tuhannya adalah sebagai dasar pijakan melangkah untuk dapat memperbaiki keadaan ini.
Akan jauh lebih penting memperbaiki keadaan dibanding menjerat atau menghukum, karena dengan memperbaiki keadaan adalah menciptakan kondisi yang sehat dalam jangka panjang kehidupan bersama. Paling tidak, beberapa generasi akan terbaiki. Dan adalah diri-diri kita sebagai yang memiliki andil dan tanggung jawab memikul tugas tersebut, demi kehidupan sehat anak cucu kita sebagai pelaku generasi mendatang.
Sungguh, jika ini dibiarkan akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi-generasi selanjutnya, yang akan semakin mengikis makna melatih pengekangan hawa nafsu melalui ibadah puasa. Apa yang terjadi selanjutnya adalah, kita malah menurunkan generasi yang bermental lembek dan tidak tahan banting, yang terus hanyut menuruti hawa nafsunya. Maka kehancuran umat-lah yang akan terjadi di masa kemudian. Masa kemudian adalah masa-masa bagi anak cucu keturunan kita sendiri. Maka adalah menjadi tanggung jawab diri-diri kita sebagai penentu hari esok.
“Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang bila ditimpa musibah mengucapkan: segala sesuatu datangnya dari Allah dan kembali pula kepada-Nya. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”  (QS 2:155-157)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah akan memberi cobaan diantaranya ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta. Maka bagaimana diri-diri kita dapat melaluinya, bila sekarang saja dudah tidak ada kepedulian pada masalah-masalah tersebut yang seharusnya telah dapat dibendung melalui latihan puasa.
Dan sadarilah, lihatlah bagaimana ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta malah telah jadi sebagai yang mencengkeram masyarakat kita. Seperti yang telah kita lihat dan ketahui, pada momen-momen tertentu, pembagian sedekah atau zakat yang dihadiri dan dikerubuti orang yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, tanpa koordinasi yang baik, sehingga menimbulkan kecelakaan, ada yang terinjak-injak, terhimpit, dan pingsan demi uang yang tak seberapa, bahkan mungkin akan habis dalam sehari itu juga, tapi lihatlah perjuangan mereka.
Kemudian pada setiap masa-masa pemilihan pemimpin daerah atau Pemilu, tidak jarang yang memakai politik uang kepada masyarakatnya. Dan mereka, sebagai objeknya, berani mempertaruhkan lima tahun kehidupannya kedepan, hanya demi uang yang tak seberapa, dan akan habis dibelanjakan dalam satu hari itu juga. Tidak lagi berpikir pada memperbaiki kehidupan jangka panjang.
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)
Mereka sebagai objek, dan para pemberi zakat atau calon pemimpin yang membagi-bagikan uang adalah sama-sama yang memprihatinkan. Kedua hal yang menyayat hati tersebut di atas, merupakan indikasi betapa negri ini tengah mengalami krisis moralitas, tidak lagi perduli kehidupan masa depan, hanyalah demi kepentingan sesaat. Bukan lagi merupakan kehidupan yang sehat, dan sangatlah jauh dari nilai-nilai fitrah kemanusiaan seperti yang dikehendaki Allah SWT. Sampai kapan hal ini akan terus berlangsung bila kita segera mengambil sikap? Seakan tidak ingat lagi kepada amanat yang diembannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, dan sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang merupakan rahmat bagi semesta alam.
“..... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keaadaan yang ada pada diri mereka sendiri,....”  (QS 13:11)
Bila juga tidak segera kembali kepada agama, secara murni atau ikhlas menerima dan menjalankan segala niat dan amal perbuatan secara lurus sesuai fitrah yang telah ditetapkan-Nya, secara murni atau ikhlas selalu dalam kesadaran atau mengingat kepada-Nya yang tiada putus, serta secara murni atau ikhlas menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)-nya dalam setiap niat dan amal perbuatan hanya karena dan akan kembali kepada-Nya.
Sekali lagi, seharusnya, puasa adalah sebagai sarana pelatihan dan penggemblengan kepada pengendalian serta pembentukan kedisiplinan jiwa agar dapat mencapai kesadaran penuh pada keutamaan kemurnian atau keikhlasan berserah diri dalam shalat-nya, ibadah-nya, hidup-nya, dan mati-nya adalah karena dan untuk Allah semata. Sebagai perwujudan di alam dari Dia Yang Maha Terpuji dan Mulia melalui insan kemanusiaan yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama sesuai fitrah-nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar