Bab X
PUASA
“.... Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS 2:184)
P
|
uasa memiliki makna serta manfaat yang
beragam, diantaranya dari beberapa
aspek, seperti aspek kesehatan, aspek kejiwaan, dan aspek kehidupan sosial
sampai pada kehidupan ekonomi. Bagi kesehatan, puasa adalah menahan lapar dan
haus, untuk pembersihan pada sisa-sisa makanan di dalam pencernaan, untuk
pembakaran lemak berlebih, juga sebagai waktu istirahat beberapa organ tubuh.
Pada aspek kejiwaan, puasa
melatih kedisiplinan, kesabaran, menekan hawa keinginan, dan lain-lainnya yang
merupakan pengelolaan hati atau jiwa kedalam ketenangan dan ketentraman.
Sedangkan pada aspek kehidupan sosial, puasa dapat menumbuh-timbulkan rasa
peka atau kepedulian terhadap sesama dan rasa kebersamaan. Selain
itu, dari semua aspek diatas yang dapat disimpulkan, memiliki makna kearah penekanan
atau pengurangan dari kebiasaan sebelum-belumnya, maka secara ekonomi
seharusnya, puasa adalah wujud penghematan. Apalagi bila pada
waktu bulan Ramadhan, sebagai kewajiban satu bulan penuh, maka seharusnya dampaknya
akan lebih terasa bagi tubuh dan jiwa.
Namun pada kenyataannya malah
terbalik, justru pada bulan Ramadhan-lah, semua harga kebutuhan melonjak naik,
orang sibuk mencari kerja tambahan untuk mendapatkan penghasilan lebih, dan
aksi kriminalitas pun ikut meningkat. Apakah ini yang dimaksud Nabi Muhammad
rasulullaah SAW dengan, “(pada saatnya
nanti) puasa hanya meninggalkan haus dan lapar”? Energi-nya
menjadi hilang dengan percuma tanpa menghasilkan makna apa-apa, dan jangankan pahala
dari Tuhannya, malah akan menjadi beban yang tetap harus dipertanggung
jawabkan, kelak.
Ibarat
petani yang menanam di ladang atau kebunnya, tetapi tak ada tanamannya yang menghasilkan
buah. Kemanakah kemudian tanaman itu dimanfaatkan? Tentu, digunakan sebagai kayu
bakar, yang sebagai bahan bakar memasak bagi keluarganya, paling
tidak masih ada manfaat dari-nya. Perhatikan ayat berikut untuk direnungkan
maknanya.
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan
bakar
bagi neraka jahanam”. (QS 72:15)
Padahal,
puasa di bulan Ramadhan yang dimaksudkan Allah, sesunggguhnya adalah sebagai
sarana pelatihan dan penggemblengan pembentukan disiplin
jiwa-jiwa yang kuat, serta baik bagi kesehatan tubuh atau jasad. Sehingga
terbentuklah insan kemanusiaan yang kuat siap tubuh, mental dan jiwa-nya, serta
terpuji dan mulia akhlak-nya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji dan Maha
Mulia.
Bagaimana mungkin dapat
terwujud sesuai dengan kehendak-Nya, bila dalam latihannya saja, suasananya
bukan lagi pada penekanan, pengurangan, dan penghematan. Malah
sebaliknya, kebutuhan pokok malah meningkat tajam, menyebabkan meningkatnya
kebutuhan lainnya yang secara ilmu ekonomi adalah disebut sebagai pemborosan
yang menyebabkan masalah-masalah sosial baru yang dapat juga dipolitisir secara
tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari
keadaan seperti ini, dimana waktunya telah tertentu disetiap bulan Ramadhan.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2:183)
Maka suasana
seperti ini tidak lagi mendukung pembentukan jiwa-jiwa seperti yang dikehendaki
Allah. Tabungan hasil kerja payah selama sebelas bulan ternyata habis untuk
satu bulan di bulan Ramadhan. Belum lagi, energi yang dikeluarkan untuk pulang
mudik. Sebenarnya bukan kepada sekedar hilangnya seluruh energi atau tabungan
tersebut yang menjadi keprihatinan, akan tetapi juga, kepada makna kehidupan
dan keberserahan diri-nya kepada yang seharusnya pun menjadi terbelokkan,
ternyata hanya sebatas ‘wah’-nya suasana di bulan puasa dan suasana saat
mudik. Kembali kepada fitrah lebih diartikan dengan mudik dengan atribut
yang ‘wah’, sebagai lambang kesuksesan diri-nya. Kembali, pengakuan
(ego)-nya yang menjadi momok atau biang kerok terjerumusnya insan
kemanusiaan kepada kesesatan.
Budaya-nya yang ternyata
selaras dengan pengakuan (ego)-nya telah ikut membentuk dan mempengaruhi
jiwa-nya secara lebih dominan ikut membelokkan arah jalan lurus yang telah
ditetapkan, melunturkan ingatan kepada-Nya, serta mengotori kesucian
niat dan amal perbuatan, sehingga keikhlasan hanya sebatas
pengakuan (ego) diri dan keluarga-nya saja. Riya, atas nama tuntutan budaya
mudik, dan ini adalah hal yang dapat melunturkan nilai-nilai religius puasa
Ramadhan itu sendiri.
“Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa
dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Hal ini
semakin berbahaya, karena jelas mempengaruhi kepada pola hidup kehidupan
sebelas bulan berikutnya setelah Hari Raya. Tentu, bila tidak segera mengokohkan
keimanan pada Tuhannya sebagai arah tujuan keikhlasan termasuk pada puasa-nya,
pada malaikat atau aparat-Nya yang sebagai penggerak dan pencatat
niat serta amal perbuatan, pada kerasulan-nya sebagai yang saling
menyampaikan rahmat petunjuk-Nya dan sebagai teladan, pada kitab-Nya
sebagai yang telah diwariskan dan harus dinyatakan atau diamalkan, pada hari
akhir dan hari kemudian-Nya sebagai hari diri-nya menuai
apa yang ditanam sebelumnya, serta pada kadar baik dan buruk-nya sebagai
sesuatu yang pasti akan diterima-nya. Yang kesemuanya tersebut merupakan
sebagai yang membawa jiwa-nya kepada keselamatan hidup yang sehat, tenang,
tentram dan damai.
Lihat dan
rasakan sendiri kehidupan yang terjadi sekarang ini, serba menjadi mahal dan
tidak sehat. Dan hal ini disebabkan pola melatih diri atau jiwa yang salah
melalui puasa yang seharusnya dapat mengekang hawa nafsu keinginan jiwa yang
berlebihan. Akibatnya pun meluas kepada aspek-aspek kehidupan lainnya, karena
jiwa yang tak mudah lagi dikendalikan, bahkan kepada pelemahan keimanan, dan
semakin membuat jauh kedalam kesesatan.
Memang
kehidupan di bulan Ramadhan menjadi lebih semarak, akan tetapi orientasinya
hanyalah materi, dan pandangan kepada akhiratnya menjadi tertutup karena
terbawa tuntutan. Banyak mereka yang rela berbuat apapun tanpa batas, hanya
demi materi menghadapi bulan puasa dan lebarannya. Norma-norma agama yang
mengarahkan jalan lurus pun dilanggarnya, tidak lagi ingat
kepada Tuhannya, dan lebih berani mengotori jiwanya ketimbang mensucikannya.
Dan hilanglah keberserahan diri (islam)-nya sebagai makhluk kepada Tuhan
yang sesungguhnya menguasai hidup dan kehidupan, Allaahu Rabbul ‘Aalamiiyn. Semua hanya
karena tuntutan kebutuhan yang telah membudaya di negri ini. Maka janganlah
heran bila KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) banyak menjerat para pejabat
negri ini. Bayangkan jika KPK pun menangani kasus-kasus korupsi yang
kecil-kecil, bukan tak mungkin sebagian warganegara negri ini akan terjerat.
Itupun bila penjaranya cukup.
Jika Puasa
saja, sebagai yang seharusnya melatih jiwa agar dapat mengekang hawa nafsu
diri-diri kemanusiaan, tetapi malah berbelok arah tujuannya, maka dengan apa
lagi untuk memperbaiki keadaan ini? Apapun kesulitannya, tetaplah keadaan ini
harus segera diperbaiki, terutama menggugah kesadaran setiap diri
kemanusiaan untuk mengembalikan Puasa Ramadhan kepada makna dan tujuan
utamanya sebagai pelatihan jiwa-jiwa dalam pengekangan hawa nafsunya. Tidak
lain pula pengkokohan keimanan kembali, dan selalu menjaga kesadaran
dengan ingat kepada Tuhannya adalah sebagai dasar pijakan melangkah
untuk dapat memperbaiki keadaan ini.
Akan jauh
lebih penting memperbaiki keadaan dibanding menjerat atau menghukum, karena
dengan memperbaiki keadaan adalah menciptakan kondisi yang sehat dalam jangka
panjang kehidupan bersama. Paling tidak, beberapa generasi akan terbaiki. Dan
adalah diri-diri kita sebagai yang memiliki andil dan tanggung jawab memikul
tugas tersebut, demi kehidupan sehat anak cucu kita sebagai pelaku generasi
mendatang.
Sungguh, jika ini dibiarkan
akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi-generasi selanjutnya, yang akan
semakin mengikis makna melatih pengekangan hawa nafsu melalui ibadah
puasa. Apa yang terjadi selanjutnya adalah, kita malah menurunkan generasi yang
bermental lembek dan tidak tahan banting, yang terus hanyut menuruti hawa
nafsunya. Maka kehancuran umat-lah yang akan terjadi di masa kemudian. Masa
kemudian adalah masa-masa bagi anak cucu keturunan kita sendiri. Maka adalah
menjadi tanggung jawab diri-diri kita sebagai penentu hari esok.
“Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang bila ditimpa musibah mengucapkan: segala sesuatu
datangnya dari Allah dan kembali pula kepada-Nya. Mereka itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS 2:155-157)
Ayat di atas
menjelaskan, bahwa Allah akan memberi cobaan diantaranya ketakutan, kelaparan
dan kekurangan harta. Maka bagaimana diri-diri kita dapat melaluinya, bila
sekarang saja dudah tidak ada kepedulian pada masalah-masalah tersebut yang
seharusnya telah dapat dibendung melalui latihan puasa.
Dan
sadarilah, lihatlah bagaimana ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta malah
telah jadi sebagai yang mencengkeram masyarakat kita. Seperti yang telah kita
lihat dan ketahui, pada momen-momen tertentu, pembagian sedekah atau zakat yang
dihadiri dan dikerubuti orang yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, tanpa
koordinasi yang baik, sehingga menimbulkan kecelakaan, ada yang terinjak-injak,
terhimpit, dan pingsan demi uang yang tak seberapa, bahkan mungkin akan habis
dalam sehari itu juga, tapi lihatlah perjuangan mereka.
Kemudian pada setiap masa-masa
pemilihan pemimpin daerah atau Pemilu, tidak jarang yang memakai politik uang
kepada masyarakatnya. Dan mereka, sebagai objeknya, berani mempertaruhkan lima
tahun kehidupannya kedepan, hanya demi uang yang tak seberapa, dan akan habis
dibelanjakan dalam satu hari itu juga. Tidak lagi berpikir pada memperbaiki
kehidupan jangka panjang.
“Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa
dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Mereka sebagai objek, dan para
pemberi zakat atau calon pemimpin yang membagi-bagikan uang adalah sama-sama
yang memprihatinkan. Kedua hal yang menyayat hati tersebut di atas,
merupakan indikasi betapa negri ini tengah mengalami krisis moralitas, tidak
lagi perduli kehidupan masa depan, hanyalah demi kepentingan sesaat. Bukan lagi
merupakan kehidupan yang sehat, dan sangatlah jauh dari nilai-nilai fitrah
kemanusiaan seperti yang dikehendaki Allah SWT. Sampai kapan hal ini akan
terus berlangsung bila kita segera mengambil sikap? Seakan tidak ingat lagi
kepada amanat yang diembannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, dan
sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang
merupakan rahmat bagi semesta alam.
“.....
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keaadaan yang ada pada diri mereka sendiri,....” (QS 13:11)
Bila juga
tidak segera kembali
kepada agama, secara murni atau ikhlas menerima dan
menjalankan segala niat dan amal perbuatan secara lurus sesuai fitrah yang
telah ditetapkan-Nya, secara murni atau ikhlas selalu dalam
kesadaran atau mengingat kepada-Nya yang tiada putus, serta secara murni
atau ikhlas menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)-nya dalam
setiap niat dan amal perbuatan hanya karena dan akan kembali kepada-Nya.
Sekali lagi, seharusnya, puasa adalah sebagai sarana pelatihan
dan penggemblengan kepada pengendalian serta pembentukan kedisiplinan
jiwa agar dapat mencapai kesadaran penuh pada keutamaan kemurnian atau
keikhlasan berserah diri dalam shalat-nya, ibadah-nya, hidup-nya, dan mati-nya adalah karena dan untuk Allah semata. Sebagai perwujudan di alam dari Dia Yang Maha Terpuji
dan Mulia melalui insan kemanusiaan yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada
sesama sesuai fitrah-nya, rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar