Senin, 03 Juni 2013

Bab XII - HAJI




Bab XII
HAJI

“Dan serulah setiap diri kemanusiaan untuk mengerjakan hajji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh,”
 (QS 22:27)
I
badah hajji adalah merupakan tahap puncaknya pelatihan dalam mencapai keberserah dirian (islam). Ini disebut sebagai puncaknya pelatihan, sebab, selain sebagai rukun berserah diri (islam) yang terakhir, juga, ibadah hajji ini ditutup dengan ber-qurban sebagai lambang kemurnian (keikhlasan) berserah diri atau islam.
Sekarang ini, untuk melakukan ibadah hajji semakin terasa berat dan sulit. Tidak semudah sebelumnya, tidak dibatasi kuota bagi masing-masing negara. Di negara kita, harus mengantri (indent), menunggu giliran hingga tiga tahun lamanya. Bila yang punya duit saja masih diberi kesulitan, apalagi yang belum punya biaya tetapi berharap bisa melaksanakannya di suatu waktu. Allah Maha Tahu, hanya Dia-lah yang akan memudahkan bila tiba waktunya untuk dapat mampu melaksanakan ibadah hajji, sebagai panggilan dari-Nya.
Kemampuan-nya adalah karena diberi kemampuan yang diberikan Allah, juga adalah anugerah yang tetap perlu dipertanggung jawabkan, kelak. Kehendak serta ketetapan-Nya (sunathullah) meliputi segala sesuatu, termasuk anugerah dan karunia-Nya kepada setiap diri. Dan pada ibadah ini, yang bermakna luas sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim. Menyadari alam yang penuh keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.
Pembelajaran agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari susunan keseluruhan alam semesta yang ada dalam sistem ketetapan ciptaan-Nya, atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari atom, sebagai materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah pada yang Maha Tunggal.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ...........” (QS 22:18)
Ibadah hajji, di dalamnya banyak mengandung keutamaan atau makna dari kisah-kisah Ibrahim dan keluarganya, yang sesungguhnya adalah sebagai sarana pelatihan dan pengajaran yang berguna bagi kehidupan keseharian kemanusiaan sebagai wujud keberserah dirian (islam)-nya. Insya Allah, makna-makna tersebut dapat dipahami dan menjadikan ibadah-nya diterima-Nya sebagai Hajji Mabrur, dan dapat membawa-nya terus di kehidupan kepada amal perbuatan-nya yang mabrur pula. Dan bagi mereka yang belum dapat melaksanakan panggilan-Nya ini, namun akan mendapatkan makna-makna yang amat berguna bagi kehidupannya dan merupakan maksud inti dari penyelenggaraan ibadah hajji ini. Keutamaan tersebut mengandung makna-makna, diantaranya adalah,
Makna Diri yang Polos (Suci)
Pakaian Ihram yang dikenakan ketika beribadah hajji, adalah lambang kepolosan atau kesucian bagi setiap insan kemanusiaan, sebagai kehendak Allah agar setiap diri menyadari fitrah sesungguhnya yang ada pada diri-nya.
Pada masa pra (sebelum) kenabian Muhammad SAW, malah dilakukan dengan telanjang bulat, tanpa sehelai pakaian pun. Hal ini, mungkin merupakan persepsi yang berlebihan dalam memahami petunjuk agama-nya. Dan setelah kenabian-nya, beliau pun merubah cara ritual peribadatan lama yang menyesatkan, seperti itu, tanpa menghilangkan makna-makna yang dikehendaki Allah kepada setiap diri kemanusiaan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Menyadari fitrah dirinya yang merupakan wadah kosong yang telah disempurnakan kejadian-nya, kemudian barulah diisi (ditiupkan) ruh Allah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah (QS 38:71-72), yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk dapat mengenal diri-nya, maka kenalilah Tuhan-nya. Dan untuk dapat mengenal Tuhan-nya, maka kenalilah diri-nya. Setelah mengenal keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Sempurnanya kejadian wadah kosong (jasad) insan kemanusiaan, adalah sempurna terbentuknya organ-organ tubuh-nya sebagai pendukung kehidupan sehingga layak menerima hidup dari-Nya. Jadi jelaslah, bahwa hidup diri kemanusiaan adalah karena ruh-Nya, yang pada suatu waktu nanti, yang telah ditetapkan-Nya, akan kembali lagi kepada Dia yang memiliki, begitu pun jiwa yang telah dapat selalu bersama-Nya (manunggal), akan ikut bersama ruh-Nya kembali pulang. Akan tetapi pada jiwa yang tersesat dan terlena pada kehidupan dunia, maka akan tertinggal di alam dunia, sebagai jiwa tanpa jasad yang masih penasaran pada keduniaan-nya, menggapai tidaklah bisa, dan kembali pulang pun tidak bisa. Terjebak pada kesesatan-nya sendiri.
Diri, juga merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan, kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah titipan yang pada saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego) menjadi dominan berlebihan hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.
Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku-ngaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
Kebanyakan diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa (hawa nafs)-nya, sehingga mau berbuat untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya. Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa tidak ikhlas-nya tersebut pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa. Tiada spirit (ruh) dalam mengerjakannya. Maka akibat-akibat buruk lainnya akan siap-siap mendatanginya, menyusul kemudian.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Ketiadaan diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
Bila dirinya lebih memaksakan kehendak hawa nafsunya atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Hilangnya pengakuan (ego), adalah dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Makna Tauhid (Yang Maha Tunggal)
Ka’bah adalah perlambangan sebagai pusat atau sumber segala sesuatu mengarah untuk kembali pulang. Karena, Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai awal segala sesuatu bersumber, dan arah tujuan segala sesuatu kembali pulang.
Dia-lah Allah yang Maha Tunggal, Allah tempat meminta (bergantung) segala sesuatu, tidak ber-anak dan tidak diper-anak-kan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.
Ibadah Hajji ini, pada saat mengelilingi Ka’bah (tawaf), adalah pembelajaran agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari struktur makro semesta alam yang ada dalam sistem siklus ciptaan-Nya (sunathullah), atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari mulai atom, sebagai salah satu materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah kepada yang Maha Tunggal.
“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ........(QS 21:30)

Semesta alam ini, yaitu langit dan bumi, diciptakan-Nya dari sesuatu yang padu (satu wujud), kemudian Dia pisahkan menjadi dua wujud (langit dan bumi). Dalam bahasa ilmiah uraiannya menjadi, dari cahaya-Nya (sebagai sesuatu yang padu), dengan partikel-partikelnya yang ber-massa berat dan ber-massa ringan sebagai penyusun struktur cahaya, Allah memisahkan keduanya melalui ketetapan hukum-Nya, yang bermassa lebih berat berkumpul menyatu kemudian membentuk bumi. Sedangkan yang bermassa jauh lebih ringan memisahkan diri semakin menjauhi massa yang lebih berat (melawan gaya grafitasi karena terdesak keluar oleh yang lebih berat) dan kemudian membentuk langit. Proses ini seperti proses terbentuknya lapisan atmosfir, yang berlapis-lapis sesuai berat massa-nya.
Allah menyebut diri-Nya sebagai Kami pada penjelasan ayat di atas, yang bermakna Dia menugaskan pekerjaan ini kepada para aparat (malaikat)-Nya. Keyakinan (iman) adanya malaikat telah diuraikan panjang lebar pada bab keimanan, sebelumnya, dan akan lebih sedikit detail lagi diulas pada bagian ke 4 Lahir & Bathin di belakang. Termasuk pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan Allah kepada mereka sebagai tugas yang diembannya bagi keberlangsungan secara keseluruhan sistem kerja semesta alam.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Malaikat, secara ilmiah, adalah merupakan energi (energi cahaya), yang bersumber dari cahaya-Nya (nur Allah), yang meliputi dan menggerakkan  segala sesuatu di alam raya ini yang hanya atas perintah dan kehendak-Nya. Itulah, sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ‘Kami’ pada setiap firman-Nya. Dan melimpahnya cahaya yang menuju bumi, baik siang dan malam, membuktikan begitu banyaknya pekerjaan malaikat bagi memudahkan kehidupan kemanusiaan di bumi, sesuai dengan perintah Allah agar mereka tunduk sujud kepada kepentingan kemanusiaan (QS 2:34). Akan tetapi, perlu diingat, segala sesuatu Allah ciptakan bersama pasangannya, bahwa ada pula yang sebagai pembangkang yang menolak tunduk sujud, yaitu sebagai yang disebut iblis, yang justru timbul dari kuatnya hawa nafsu kemanusiaan itu sendiri, yang malah menyesatkan dirinya  pada kecelakaan.
Jadi berdasarkan ayat QS 21:30, dengan cahaya-Nya (nur Allah), Dia menciptakan malaikat sebagai aparat-Nya, disebut pula nur Cahya. Kemudian Dia perintahkan aparat-Nya untuk bekerja memisahkan dan membentuk bumi dan langit beserta isinya, yaitu semesta alam yang penuh berisi partikel struktur cahaya-Nya, sebagai sumber penciptaan atau pembentukan segala sesuatu isi semesta alam melalui ketetapan-Nya (sunathullah). Istilah ilmiahnya adalah proses gravitasi semesta, yaitu gerak berkumpul atau gaya tarik menarik antar partikel-partikel cahaya ke masing-masing pusat kawasan yang tersebar, disinilah proses persenyawaan antar partikel membentuk senyawa-senyawa kompleks. Maka terbentuklah bintang-bintang di dalam banyak kawasan yang disebut galaksi. Seluruh benda langit ini berasal dari partikel-partikel cahaya-Nya (nur Allah). Hingga pada pembentukan senyawa-senyawa yang jauh lebih kompleks lagi, apalagi setelah ada atau terbentuknya air di bumi, yaitu sebagai unsur-unsur dasar kehidupan, dari mulai tumbuh-tumbuhan sampai kepada hewan bersel tunggal, bahkan semakin jauh lebih kompleks yang terdiri dari milyaran sel, hingga penciptaan manusia.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)
Seluruh pemahaman tersebut, bersumber dan mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal, baik karena terpaksa maupun secara sukarela. Hanya karena, pada diri kemanusiaan, struktur unsur pembentuk sel-selnya yang amat-teramat kompleks, maka lebih kompleks pula untuk dapat menyadari keberadaan dan kuasa-Nya, kecuali hanya karena petunjuk yang atas kehendak-Nya. Dan ini merupakan salah satu dari sarana-sarana pelatihan keberserah dirian (islam), seperti lebih menyatakan syahadat tidak hanya sekedar pernyataan-nya saja, shalat juga yang direfleksikan  dalam setiap gerak amal perbuatan, puasa untuk menekan segala keinginan yang tak terkendali, zakat mensucikan segala niat sebelum bergerak kepada amal perbuatan, ibadah haji untuk keberserah dirian melalui ber-qurban yang sesungguhnya adalah kenyataan, bahwa hidup adalah pengorbanan. Yang ternyata kesemuanya adalah mengarahkan diri menghilangkan pengakuan (ego)-nya. Yaitu dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Menyadari bahwa diri kemanusiaannya adalah wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di alam, dan sebagai khalifah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn. Seperti itulah fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan Allah.
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) kemudian darianya Dia ciptakan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu, Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (sanggup berbuat) demikian itulah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapa kamu dapat dipalingkan?(QS 39:6)
Makna Akbar (Keragaman)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”  (QS 2:136)
Kumpulnya berbagai kaum, etnik, dan bangsa dari seluruh penjuru dunia saat melaksanakan ibadah Hajji. Dengan membawa keragaman warna kulit, logat dan bahasa, tabiat, dan lain sebagainya yang juga merupakan keragaman perbedaan yang menambah hidupnya suasana di Masjidil Haraam. Itulah kenyataannya, agama Allah yang merangkum diri-diri dengan aneka keragaman dan perbedaan, dari mulai makanan, warna kulit, logat, bahasa, sampai kepada watak tabiat.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka selalu berselisih pendapat. (QS 11:118)
Adalah sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman sekaligus bersama perbedaannya yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim.
Menyadari alam yang penuh keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS 17:44)
Memahami betapa akbar, semesta alam ini amat dipenuhi oleh kekayaan dan keragaman segala sesuatu yang tak terkira banyaknya. Yang bila semakin dihitung, maka semakin takkan pernah habisnya selesai terhitung. Dan bila semakin ingin diketahui, maka semakin pula tidak selesai dapat tersimpulkan. Semakin kaya dan beragamnya alam ini, dengan pula perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya, membuat bervariasi dan semakin sempurna terlihat keindahannya. Sekalipun tak terhitung dan tak terpahami, tetapi nikmat-nya yang sampai kepada diri sebagai yang merasakannya, dan rasa syukur yang berisi puji-pujian yang mengarah kepada Dia sang Pencipta langit dan bumi beserta segala sesuatu isinya.
Tahap kesadaran ini seharusnya membawa insan kemanusiaan kepada rasa kebersamaan yang merupakan bagian dari setiap keragaman dan perbedaan-nya sebagai pengisi keindahan sistem semesta, melenyapkan pengakuan (ego) rasa eksklusivitas dan suprioritas-nya, dan melenyapkan ego kepentingan diri-golongan-etnis-bangsa sendiri, serta lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara global, demi keseimbangan sistem semesta yang mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Diciptakan-Nya berbagai macam keragaman dan perbedaan, tentu bukanlah dengan maksud terciptanya kondisi atau keadaan mereka yang saling bertentangan hingga saling merusak dan melenyapkan. Merasa paling benar sendiri, merasa paling hebat sendiri, merasa paling pintar sendiri, dan lain-lainnya yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya ketimbang rasa kebersaman inilah yang menyebabkan terganngunya sistem keseimbangan kehidupan yang justru yang akan kembali kepada diri-nya sendiri sebagai yang menuai bencana. Bukan itu yang dikehendaki Tuhan.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
Dia ingin kita memahami dan mengetahui keindahan yang sempurna hanya bisa didapat dari berbagai keragaman dan perbedaan yang selalu diiringi rasa kebersamaan. Bersama-sama di satu tempat (alam) dalam kebaikan, sebagai suatu yang berpadu, yaitu keindahan yang sempurna. Berbagai keragaman dan perbedaan bukanlah hal yang buruk yang harus dihindari, justru keduanya adalah rahmat dari Tuhan yang dapat memperkaya khasanah segala sesuatu di dalam kehidupan. Bukanlah keseragaman monoton yang membosankan. Keragaman adalah Sifat Tunggal Dia, yaitu Allahu Akbar (pada bab keimanan). Bukan disebut sebagai keragaman jika tak ada perbedaan atau seragam. Tidaklah sulit jika Dia menghendaki keseragaman. Hal ini sama tidak sulitnya dengan jika Allah menghendaki kemanusiaan ini menjadi satu umat. Maka jawaban Dia-pun, tersirat di dalam firman-Nya, yaitu seperti bunyi ayat di bawah ini.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Jika Allah hanya menghendaki yang tunduk patuh atau berserah diri saja yang memenuhi alam-Nya ini, maka cukuplah adanya malaikat, yang telah selalu bertasbih memuji dan mensucikan nama-Nya, tak perlu menciptakan kemanusiaan yang tak pernah merasa puas. Akan tetapi, Dia menginginkan pada insan kemanusiaan, yang merupakan wujud ciptaan-Nya yang sungguh amat-teramat kompleks lahir dan bathin-nya, yang sesempurna-sempurnanya (QS 95:4), pada akhirnya dapat menjadi perwujudan Dia Yang Maha Terpuji di alam. Yaitu yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama-nya, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Makna Godaan
Dalam keberserah dirian-nya, Ibrahim sebagai yang hendak ber-qurban atas perintah Allah dan telah ikhlas, serta Ismail sebagai yang hendak dikorbankan pun telah ikhlas karena perintah Tuhannya, mereka berdua tidaklah lepas dari godaan iblis yang berusaha menggagalkan ibadah mereka. Dan mereka berdua pun membalas iblis dengan melemparinya menggunakan batu-batu kerikil agar iblis pergi menjauh dan tidak menghalangi ibadah mereka.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Mengapa Allah perlu bukti keikhlasan mereka berdua? Padahal Dia Maha Mengetahui termasuk rahasia hati yang paling dalam. ........ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30). Dia (Allah) menghendaki kejadian ini dapat menjadi pelajaran sebagai contoh teladan dari bukti-bukti nyata rasa ikhlas keberserah dirian pada setiap diri insan kemanusiaan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan diri melupakan atau bahkan menyepelekan hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu keberserahan dirinya kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha Pengasih dan yang Maha Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari sebanyak lima kali didalam setiap shalat, tetapi kebanyakan tidak memahami maknanya dan mengeluarkannya tidak kepada bentuk amal perbuatan yang dilandasi penyerahan diri dan keikhlasannya hanya kepada Allah semata. Sehingga, amal perbuatannya hanya sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja, tidak sampai kepada ridha Allah SWT. Diri-nya lupa, bahwa kekuatan untuk dapat berbuat adalah juga karena kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah kepadanya, dia lupa menyadari bahwa Allah meliputi segalanya, dan dia lupa, sesungguhnya perbuatannya itu akan terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT.
Penyerahan diri juga mencakup makna memuliakan Tuhan yang maha Mulia, dan diharapkan tetap menjaga kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas malah mengotori kemuliaan-Nya. Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan yang kelihatan indah dipandang mata, akan tetapi malah menjerumuskan. Yang bermakna pula, tidak mengotori dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela. Banyak perbuatan yang dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan atau bahkan pertumpahan darah. Bila diri-nya mengorientasikan amal ibadahnya kepada ke-Muliaan Tuhan yang maha Benar, maka caranya pun sebaiknya dengan cara-cara yang mulia dan benar.
“.... Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)
Tiada lagi susah ataupun senang, sedih dan bahagia, kesulitan dan kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya sama. Yaitu sama karena pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun untuk menolaknya. Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka pasti semuanya itu beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya. Bukan berarti hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru malah ikut serta dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan seluruh makhluk disekitarnya.
Makna Keberserah Dirian
Seperti yang telah diketahui dan diakui, bahwa Ibrahim As adalah bapak dari beberapa bangsa besar. Dari sinilah kisah diambil agar menjadi contoh teladan bagi problematika kehidupan sesudahnya. Terutama teladan dari keikhlasan istri kedua-nya dan anaknya, Siti Hajjar dan Ismail putra mereka yang masih belia, yang ketika itu ditempatkan untuk tinggal berdua tiada tetangga, di daerah tandus, kering, dan tiada air. Yaitu di sekitar Ka’bah, yang dahulunya masih berupa situs reruntuhan rumah peribadatan kuno, dan belum berpenghuni.
Hal ini terjadi karena masalah-masalah kerumah tanggaan, yaitu kecemburuan Siti Sarah, istri pertama Ibrahim As, setelah hamilnya Siti Hajjar. Sekalipun, adalah ide-nya sendiri agar suaminya memperistri Siti Hajjar untuk mendapatkan keturunan, akan tetapi, itulah sifat dasar kemanusiaan. Begitu lekatnya pengakuan (ego) mempengaruhi diri-nya. Dia tak dapat rela melihat kebahagiaan suaminya bersama bersama wanita lain dan putra mereka.
Keikhlasan seorang istri (Siti Hajjar) kepada suami-nya, yang bersama anaknya yang masih kecil, ditinggal di tempat terpencil tak berpenghuni, dan tandus tiada air. Kepada siapa lagi ia dan anak-nya akan bergantung, selain hanya berserah diri kepada Allah. Momen-momen inilah yang akhirnya diabadikan Allah yaitu dengan dijadikannya sebagai contoh teladan keberserah dirian seseorang kepada Tuhannya. Yaitu, saat panik berlarian bolak-balik kebingungan mencari air. Yang dengan izin Allah, maka keluarlah air dari dalam pasir tersebut. Itulah mata air zam-zam. ............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30).
Dia panik, berlari-lari kecil bolak balik dari saffa ke marwah, kebingungan mencari air untuk anaknya. Tidak ada lagi kepada siapa dia berharap dan bergantung, selain hanya kepada-Nya. Momen inilah yang diabadikan dalam bagian ibadah hajji. Tiada yang tidak mungkin bagi Dia bila telah berkehendak, maka keluarlah air dari sela-sela di bawah kaki anaknya. Dan air yang keluar, akhirnya sebagai mata air di tengah gurun tandus, yang tak pernah habis hingga sekarang, sejak ribuan tahun lalu, dan diambil jutaan orang setiap tahunnya. Bukan hanya itu, karena keberserah dirian mereka yang ikhlas, serta doa Ibrahim, maka kelimpahan rezeki bagi keturunan-keturunannya yang tinggal di situ hingga sekarang, menjadi bangsa yang makmur dengan kelimpahan rahmat dari Tuhan mereka.
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (baithullah) yang dihormati, ya Tuhan agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati bagi sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur.” (QS 14:37).
Ini bukanlah tugas kenabian-nya, bukan tugas dari Tuhan-nya, akan tetapi ini jelas adalah jalan hidup-nya, istri dan anak keturunan-nya. Jalan hidup yang sekilas tampak tak memiliki harapan ke depan. Bagaimana mungkin berharap dapat tinggal dan hidup di daerah terpencil, tak berpenghuni, dan gersang tak ada air. Dan dengan keberserah dirian (islam)-nya ternyata telah ikut mempengaruhi kehendak Tuhan sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang sesudahnya. Tentu akan menjadi lain halnya, bila diri ini menggunakan akal pikiran dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tidak akan mungkin akal sehat menyetujui untuk mau tinggal di tempat yang terpencil, gersang, dan tak ada air. Ternyata, Dia membuktikan, bahwa tak ada yang tak mungkin bila Allah telah berkehendak.
Itulah makna berserah diri, yang diambil dari kisah keikhlasan seorang yang hanif, bersama istri dan anak-nya dalam sebuah keluarga, yang dengan penuh keikhlasan mereka berserah diri kepada Tuhannya, telah menentukan kebaikan bagi anak keturunannya hingga ribuan tahun setelahnya.
............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Hikmah yang dapat diambil sebagai teladan dari ritual hajji ini, yang dilambangkan melalui kisah keluarga nabi Ibrahim, adalah seluruhnya mengenai keikhlasan dalam keberserah dirian (islam)-nya hamba kepada Tuhannya, seperti keikhlasan seluruh segala sesuatu yang berada di semesta alam ini berserah diri kepada-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ...........” (QS 22:18)
Keberserah dirian akan terasa maknanya bila diri kita telah terpojok dalam suatu masalah dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali datangnya mu’jizat atau pertolongan dari yang menguasai masalahnya. Semakin berat ketidak berdayaannya maka semakin besar pula rasa keberserah diriannnya kepada yang sesungguhnya berkuasa. Maka bayang-bayang akan dosa-dosanya pun bermunculan dan menghantui sebagai yang disesalinya. Pada saat itulah diri menyadari diperlukan keikhlasan turut menyertai berserah diri (islam)-nya.
Dan kemudian terbukalah hijab yang sebelumnya menutupi hatinya. Bila dirinya dapat tetap menjaga kesadaran keadaan dan kondisi tersebut, maka kepekaannya pun semakin bertambah lagi dalam melihat kebenaran-kebenaran. Hingga dirinya telah dapat melihat hakikat segala sesuatu yang seluruhnya mengarah kepada Yang Maha Tunggal. Pada saat itulah dirinya barulah menyadari keikhlasan berserah diri (islam) yang sejati hanyalah kepada-Nya yang sesungguhnya menguasai segala sesuatu. Menyadari betapa diri-nya amat bergantung pada setiap rahmat-Nya. Menyadari bahwa hanya kepada Dia-lah tempat dirinya berlindung dari segala kelemahan dan keterbatasan-nya sebagai makhluk. 
Makna Pengorbanan (Ber-qurban)
Berangkat dari kisah tentang perintah ber-qurban kepada Allah, dengan menyembelih Ismail (umat Nasrani dan Yahudi beranggapan adalah Ishak) putra sulung Ibrahim As yang dikisahkan dalam al Qur’an sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Bila ada pertentangan yang menganggap siapa sesungguhnya (anak sulung Ibrahim) yang hendak dikorbankan, seperti umat Nasrani dan Yahudi yang beranggapan Ishak-lah yang hendak dikorbankan, sesungguhnya hal itu tidak menjadi penting. Malah menimbulkan masalah-masalah pertentangan. Akan tetapi lebih kepada makna kejadiannya-lah sesungguhnya kisah ini dapat menjadi teladan bagi umat-umat kemudian. Dan bila masih merasa menganggap pentingnya tentang siapa sesungguhnya anak sulung yang dikorbankan, maka berarti diri-nya masih dilekati pengakuan (ego)-nya yang dapat menyeretnya kepada pertentangan akibat perbedaan.
Renungkanlah kisahnya, seorang yang telah memasuki masa tua-nya, dan belum dikaruniakan keturunan, kemudian setelah harapan-nya dikabulkan oleh “pemilik”-nya, dan di saat-saat hatinya sedang berbahagia dengan kehadiran seorang anak, tiba-tiba datang perintah agar memberikan “pengorbanan” berupa anak satu-satunya yang baru saja dimilikinya itu. Sekalipun, sungguh, sudah pasti Allah mengganti atau membalas pengorbanannya tersebut sebesar maupun sekecil apapun itu. Keyakinan seperti apakah itu? Setinggi apakah rasa keberserah dirian-nya terhadap yang sejatinya memiliki, menguasai, serta memelihara kerajaan langit dan bumi ini? Itukah sejatinya berqurban? Maka, ini merupakan pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak sejatinya berqurban. Tentu tidaklah mungkin kita akan mengalami hal seperti kisah tersebut, akan tetapi sungguh banyak dan sering kita temui di sekitar kita yang membutuhkan bantuan sedangkan kita pun merasa pas-pasan, pas hanya tinggal untuk kita sendiri. Tinggal satu-satunya, lantas bagaimana untuk kita nantinya?
Justru karena, yang tinggal (hanya) satu-satunya yang kita miliki itulah yang membuatnya menjadi bernilai tinggi dan mulia, kemudian ikhlaskanlah perbuatan itu hanya karena dan untuk Allah semata. Seperti kisah Ibrahim diatas yang difirmankan Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Itulah sejatinya ber-qurban. Kapan lagi kita dapat berqurban yang sebenar-benarnya berqurban? Ingatlah inti dari ibadah Haji adalah (dan) ditutup dengan ber-qurban. Sedangkan Rukun Islam (berserah diri) pun ditutup dengan ibadah Haji. Maka syarat sah-nya muslim (orang-orang yang telah berserah diri) adalah ikhlas, yaitu amal perbuatan yang murni hanya karena dan untuk Allah semata.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Di dalam kehidupan-nya, setiap diri selalu mengalami bentuk-bentuk pengorbanan dari diri yang masih mengaku sebagai pemilik-nya, atau masih melekat pengakuan (ego)-nya. Wujud pengorbanan tersebut dilambangkan dengan ber-qurban, menyembelih hewan ternak saat menutup ibadah hajji-nya. Dan yang perlu direnungkan, bahwa keutamaannya adalah ada pada keikhlasan-nya dalam berqurban. Ber-qurban adalah bentuk pelatihan keberserah dirian, dan ada di dalam rukun ibadah haji. Sedangkan dalam kenyataan hidup di kehidupannya, setiap diri pasti telah mengalami, baik disadari ataupun tidak disadari dalam pengorbanan-nya, maka oleh karena itulah, Allah menghendaki setiap diri melakukannya didasari kemurnian atau keikhlasan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama .......”. (QS 98:5)
Umumnya, kebanyakan orang lebih kepada pemahaman keutamaan berqurbannya hanya pada bulan-bulan Hajji saja, sebagai amal perbuatan (ibadah) yang telah ditetapkan dan direncanakan. Padahal, itu hanya sekedar seremoni atau perayaan saja. Sedangkan hakikinya adalah yang menjadi kehendak-Nya, yaitu adalah kepekaan serta kepedulian rasa dari setiap diri insan kemanusiaan terhadap sesama-nya yang sedang berada dalam kekurangan, yang sedang berada dalam kebutuhan yang amat mendesak memerlukan bantuan atau pengorbanan dari-nya. Keadaan atau kondisi tersebut bukan hanya ada pada bulan-bulan Hajji saja, melainkan di setiap waktu tentu kita banyak menemui situasi dan keadaan tersebut. Pada saat-saat itulah diri-diri kita hendaknya lebih peka kepada mereka yang membutuhkan.
 Bila telah dapat seperti itu, dengan murni dan ikhlas semata hanya karena Allah dalam membantu, maka itulah wujud sejatinya ber-qurban. Dan yakinlah, bahwa Allah tidak akan meminta kepada yang tidak mampu memberi. Karena itulah kepada mereka yang tidak peka hatinya, maka Allah pun tak menghendaki bantuannya. Dan Allah sungguh Maha Kaya serta tidak membutuhkan bantuan makhluknya, yang diinginkan-Nya hanyalah keikhlasan.
...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak meminta ......”. (QS 70:24-25)
Tidak ada bedanya ritual berqurban pada bulan Hajji dengan ritual-ritual berqurban pada umat-umat agama lainnya, yang memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wujud ibadah kepada Tuhannya. Akan tetapi, lebih kepada makna yang diwujudkan dalam amal perbuatan kesehariannya lah yang lebih utama, bahwa keikhlasan berkorban dalam setiap amal perbuatannya-lah yang akan sampai kepada Allah dan sebagai wujud dari keberserah dirian-nya. Itulah makna islam yang sesungguhnya sebagai wujud sejatinya berserah diri dengan ikhlas.
Renungkanlah sedalam-dalamnya, selain menerima, hidup juga adalah berkorban, karena sesungguhnya dipenuhi oleh pengorbanan untuk kepentingan pihak lain. Dan kemurnian atau keikhlasan berkorban adalah wujud berserah diri seorang hamba kepada Tuhannya. Yaitu hamba yang menerima segala anugerah, yang kemudian untuk disebarkan kembali kepada sesamanya, sebagai rahmat dari Tuhannya. Tidak-lah mengakui anugerah tersebut sebagai milik-nya dan sebagai yang dikuasai-nya, tidak pula semena-mena terhadap pengelolaan-nya, serta tidak pula menyebabkan kesesatan pada diri-nya. Anugerah tersebut adalah karunia Tuhannya yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang suatu saat, kelak akan dipertanggung jawabkan-nya. Dan anugerah tersebut dapat berupa kekuasaan dan jabatan, anak keturunan dan istri, harta benda dan perhiasan, ladang pekerjaan, kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan karunia serta sekaligus cobaan dari-Nya.
Pengorbanan bila menerima anugerah kekuasaan dan jabatan, adalah mengorbankan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran mereka yang dikuasai-nya. Pada anugerah anak keturunan dan istri, pengorbanannya adalah dengan mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Pada anugerah harta benda, adalah mengorbankan ego-nya demi pekanya hati melihat sesama yang sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan sebagian dari harta-nya. Pada ladang pekerjaan, pengorbanannya adalah mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi suksesnya pekerjaan sesuai yang diharapkan. Dan lain sebagainya, yang dalam kehidupan-nya tiada yang lepas dari pengorbanan-nya, sebagai pemeliharaan, perawatan dan pengelolaan yang bertanggung jawab dari setiap anugerah yang dikaruniakan-Nya.
Terkadang, diri ini begitu memaksakan pada keinginan, sekalipun keinginan tersebut merupakan kebaikan. Seperti keinginan untuk melakukan ibadah hajji yang berulang-ulang kali, yang dianggapnya adalah suatu kebaikan bagi diri-nya. Hal tersebut tidaklah salah, akan tetapi akan menjadi kesalahan bila disekeliling kita masih banyak orang yang membutuhkan bantuan akibat kesulitannya. Jauh lebih bernilai ibadahnya bila disalurkan kepada membantu meringankan beban kesulitan orang-orang yang membutuhkan bantuannya, ketimbang pergi hajji untuk yang kesekian kalinya. Karena kewajiban ibadah hajji tersebut hanyalah satu kali.
Ada pula mereka yang merasa masih belum sempurna dalam ibadah hajji sebelumnya, sehingga merasa perlu mengulanginya. Padahal ibadah tersebut adalah untuk melatih kemanusiaan memahami makna-makna yang ada di dalam ritual ibadah tersebut untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga tercapailah maksud dan tujuan ibadah tersebut sebagai yang disebut hajji mabrur. Maka, dengan demikian menjadi tak wajib lagi ibadah-ibadah hajji berikutnya, dan menjadi kewajiban baginya merefleksikan atau mewujudkan ibadah hajji pertamanya kepada amal perbuatan kebajikan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Yaitu, dengan mewujudkan makna-makna yang telah disebutkan di atas di dalam gerak hidup kesehariannya. Begitulah seharusnya kita memahaminya, sehingga kemanusiaan dapat lebih memaksimalkan ibadah-ibadah yang jauh lebih utama untuk terwujudnya insan-insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS 2:177)
Mengorbankan keinginan, sekalipun hal tersebut merupakan ibadah, dan suatu kebaikan, akan tetapi ada ibadah lain yang lebih utama yaitu memberikan bantuan. Sehingga menyelamatkan diri-nya dari termasuk orang-orang yang celaka dalam shalat-nya, yaitu termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama, seperti bunyi ayat di atas. Renungkanlah, sesungguhnya iblis telah membiaskan keinginan tersebut, agar terlihat indah bagi kebaikan, sehingga banyak diri-diri kemanusiaan yang terjerumus pada kecelakaan.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
“Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.  Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.”  (QS 2:175)
Itulah hidup, yang ternyata isinya adalah hanya berkorban belaka. Sedang bagi diri-nya adalah hanya rasa nikmat puasnya setelah tercapai. Bahkan untuk makan saja, diri ini harus berkorban dahulu, apalagi untuk hal-hal besar lagi mulia. Dan yang kembali kepada Allah pun, adalah cuma hanya rasa ikhlas dalam melakukannya saja. Dan tak ada yang sia-sia dari setiap pengorbanan yang diirngi keikhlasan. Pengorbanan terbesar dari insan kemanusiaan adalah jihad fi sabilillahi. Sedangkan jihad terbesar (akbar) adalah melawan hawa nafs (keinginan jiwa)-nya sendiri, yaitu melawan pengakuan (ego)-nya sendiri.
Dan bagi mereka yang belum juga kesampaian untuk mampu beribadah hajji yang membutuhkan biaya yang cukup besar, tidak perlu kecewa, sambil menunggu kesanggupan tersebut, maka sadarilah pula bahwa baithullah (rumah Allah) di Mekkah itu adalah yang dzahir, maka adapula baithullah yang bathin, yaitu yang berada di dalam dada, kalbu kita yang paling dalam. Hampirilah rumah Allah tersebut dan menemui-Nya dengan mensucikan hati yang selalu berdzikir (mengingat) Allah. Kelak kita akan memahami hal ini, setelah Dia bukakan dada kita untuk mendapatkan karunia hikmah-Nya yang begitu luas yang sebagian besarnya masih tersembunyi (ghaib). Insya Allah, Dia akan menerima keberserah dirian (islam) kita yang didasari keikhlasan.
“.... sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

(QS 91:7-10)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar