Minggu, 02 Juni 2013

Bab IX - SHALAT




Bab IX
SHALAT
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.
(QS 18:14)
K
ita sempat mengulas makna shalat pada bab-bab sebelumnya. Secara umum, makna shalat adalah sebagai mengingat Tuhannya dengan melakukan ritual acara pertemuan antara makhluk dengan Tuhannya. Yang hukumnya wajib dilakukan 5 (lima) kali dalam sehari, yaitu pada waktu terbit matahari (subuh), tengah hari (dzuhur), sore (ashar), tenggelam matahari (maghrib), serta malam (isya).
Dan ada pula shalat-shalat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, dan merupakan tambahan, serta sunah hukumnya atau yang tidak diwajibkan, maka waktunya disesuaikan dengan rasa keinginan atau kebutuhannya. Akan tetapi ulasan bab ini hanya menitik beratkan makna shalat, yaitu sebagai yang mengarahkan kemanusiaan kepada amal perbuatan yang terpuji, dan yang mencerminkan atau merefleksikan shalatnya, sehingga terciptalah  jiwa-jiwa dengan akhlak yang mulia lagi terpuji, sebagai fitrah kemanusiaannya yang membawa amanat sebagai wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Allah dan sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Akan tetapi, setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Makna mengingat pada ayat ini, adalah mengingat yang tiada putusnya (li dzikri) dengan ikhlas berserah diri. Segala amal perbuatan yang diiringi ingat kepada-Nya, tentu akan mensucikan dari kekotoran pengakuan (ego) dan terhindar dari penyesatan dan kesesatan yang menjerumuskan diri kepada kecelakaan. Ini-lah makna shalat-nya pun tetap mengiringi setiap gerak amal perbuatannya, dalam setiap tarikkan dan helaan nafas-nya.
Bila sempat terputus ingat (li dzikri)-nya, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar  sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim terus berkelanjutan atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap syukur alhamdulillah sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan bila telah terbiasa, maka di dalam tidurnya pun hati atau kalbu-nya akan tetap bergerak mengingat-Nya. Perlu pula diperhatikan kembali, bahwa gerak mengingat tersebut pun janganlah di-aku oleh pengakuan (ego), melainkan adalah mengakui hanya karena diberi anugerah kekuatan oleh-Nya untuk dapat mengingat. Sebab, disinilah dasar awal iblis dalam usahanya membelokkan arah kepada penyesatan yang menjerumuskan setiap diri kemanusiaan.
Dan dengan selalu mengingat Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya. Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
..... hanyalah untuk (karena) Allah ......”, adalah ungkapan yang menunjuk kepada kemurnian di hati-nya. Pada Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju kepada-Nya. Maka segala sesuatu tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego), agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan. Logikanya, jika telah dapat kembali kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada perlu lagi ada pertanggung jawaban.
Sah shalat-nya bila suci pakaian, tempat, dan badan-nya. Pernyataan ini mengandung dua makna kesucian. Yaitu suci dan bersih dari kekotoran atau kenajisan baik nyata kelihatannya dan bathinnya. Suci nyatanya, yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya sehingga pantas dan layak, sehingga tidak mengganggu kemurnian shalat-nya dari penglihatan, penciuman, pengucapan, rasa dan pikiran kepada pihak lain dan diri-nya sendiri. Begitupun pada suci bathinnya, yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya dari pengakuan (ego) yang merasa memiliki dan menguasai baik pakaian, tempat, dan badan (tubuh)-nya. Dan bila sebelum shalat-nya diwajibkan bersih (suci), maka setelah shalat-nya pun diwajibkan bersih (suci) amal perbuatan-nya.
Shalat juga adalah salah satu sarana mencapai kemurnian dalam berserah diri. Shalat seharusnya dapat menjaga-nya tetap mengingat Tuhannya sebagai bentuk kedisiplinan yang dapat mempengaruhi pola hidup-nya agar lurus sesuai shalat-nya. Dan bukanlah sebagai orang yang melakukan shalat, tetapi malah lalai terhadap shalat-nya (QS 107:1-7).
Di dalam kehidupan, terkadang ditemui kejadian-kejadian yang dapat menjadi pelajaran sebagai hikmah dari Tuhan. Sekedar cerita, ketika seorang bapak sedang melakukan shalat maghrib berjamaah bersama seluruh keluarganya, terdengar diluar, pagarnya yang terkunci diketuk-ketuk orang. Dia tetap pada shalat-nya hingga selesai, dan suara di luar sudah tak terdengar lagi. Beberapa hari kemudian, di waktu dan keadaan yang sama, dalam shalat-nya, terdengar keras sekali diluar rumahnya, “kebakaran...kebakaran...kebakaran...!!”. Maka dia-pun segera menghentikan shalat-nya, dengan diikuti seluruh keluarganya, diapun bergegas keluar. Ternyata tetangga di seberang rumahnya mengalami kebakaran, untungnya api masih kecil dan banyak orang membantu, tidak ketinggalan dia bersama keluarganya ikut membantu. Sampai api tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan merekapun kembali pulang ke rumahnya. Sambil menutup pintu, ketika semua keluarganya telah masuk, dia bergumam, “haram hukumnya, bila kita tadi tidak segera menghentikan shalat kita, untuk membantu memadamkan api”.
Besoknya, dia mengetahui ada tetangganya yang meninggal dunia. Ketika dia datang melayat, dan mendengar dari pelayat lainnya, bahwa istri dari yang meninggal dunia tersebut, sempat mengetuk-ngetuk pintu pagar rumah-nya untuk meminta pertolongan dengan kendaraan miliknya agar dapat membawa ke rumah sakit, sebelum meninggal. Maka lemaslah seluruh tubuhnya, karena rasa bersalah menyelimuti-nya.
......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Dia merasa telah lalai dari bunyi ketukan yang dianggap sebagai suatu hal yang sepele, ternyata adalah hal yang sangat penting bagi tetangganya tersebut. Yang dia sesali adalah kepekaan yang tidak segera disambut dengan gerak reaksi dari-nya. Penyesalannya tersebut pun telah membuka dada-nya semakin lebar untuk menerima hikmah sebagai petunjuk dari Tuhannya. Insya Allah, penyesalan-nya akan diterima Allah dan kembali kepada diri-nya dalam bentuk ampunan dari-Nya.
“...... dan dirikanlah shalalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Begitu pentingnya memahami makna shalat dan dzikir (mengingat Allah), sehingga menghindarkan diri kita termasuk golongan celaka sekalipun tidak pernah lepas dari ibadah shalatnya. Golongan yang celaka adalah mereka yang tetap melakukan shalat sebagai ibadah kepada Tuhannya, tetapi tetap pada perilaku atau amal perbuatan yang mengingkari Allah. Shalat untuk mengingat, bukan hanya sekedar kewajiban apalagi mengingkari atau melupakan, mengingat agar dirinya selalu tetap berada pada jalan lurus-Nya.
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......”  (QS 4:43)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa diri kita dilarang melaksanakan shalat bila dalam keadaan mabuk. Maka pikirkan dan renungkanlah, bagaimana kepada diri-diri yang sedang mengalami mabuk kehidupan dunia? Apakah itu mereka yang sedang dimabuk cinta-asmara, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dan lain sebagainya.
Apakah hal tersebut menjadi berhubungan maknanya, bila kemudian kita pahami pula pada penjelasan ayat berikut di bawah ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Allah mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang merugikan, menyakiti atau mendzalimi orang lain, atau sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi, bahkan merugikan dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban. (QS 17:36)
Bukan hanya sekedar menyadari, mendengar, melihat, mengucap, serta mencium yang semua itu adalah anugerah pemberian Tuhannya, melainkan pula dengan kepekaan-nya untuk menanggapi atau bereaksi yang sesuai dengan shalat (ingat)-nya agar tidak timbul penyesalan di hari kemudian, sebagai kelalaian-nya.
Jadi makna lalai yang dimaksud Allah adalah menjadi tidak bermanfaatnya shalat (sebagai ibadah ritual kepada-Nya) bagi kehidupan, akibat kebodohannya. Ya, orang yang tidak ingat adalah orang yang kehilangan kepekaan keasadarannya, layaknya orang yang linglung dan bodoh. Apalagi yang tidak mau menggunakan akal pikirannya dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya.
“Dan ingatlah Tuhan-mu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS 107:1-7)
Mengingat Tuhan yang tiada putus, sebagai wujud yang penuh dengan Keagungan dan Kemuliaan serta mewujud di alam kepada setiap diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji. Maka, dengan selalu menyadari dan mengingat-Nya adalah “hal utama yang dapat membuat hati menjadi hidup oleh hidayah (petunjuk)-Nya, sehat oleh karena selalu mensucikan-nya dari pegakuan (ego)-nya, dan peka terhadap kehidupan karena merasa rendah hati dan takut akan mengalami penyesalan akibat tersesat oleh ego-nya sendiri, sebagai kelalaian-nya.
“....... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar