Sabtu, 01 Juni 2013

BAGIAN 2




BAGIAN 2

IKHLAS 
BERSERAH DIRI (ISLAM)
“.... Barangsiapa menyerahkan diri (islam) sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.
 (QS 2:112)
M
akna ayat ini, adalah penyerahan diri secara total, tanpa keraguan, hanya kepada-Nya sebagai wujud kemurnian (keikhlasan) dalam setiap gerak amal perbuatannya, maka tidak ada rasa takut dan sedih hati lagi pada dirinya. Inilah diri atau jiwa yang telah mencapai ketenangan, ketentraman, dan kedamaian sebagai wujud surga-nya di alam dunia. Keikhlasan ini dapat menyertai setiap amal perbuatannya, bila telah hilangnya pengakuan (ego)-nya sebagai yang mengotori jiwa, dan telah kenal diri-nya, serta mengenal Tuhan bersama wujud iman lainnya (malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir-Nya, dan kadar baik-buruk-Nya), kemudian selalu menjaga itu semua tetap dalam kesadaran (ingatan)-nya. Sehingga memahami sepenuhnya, bahwa tiada kekuatan-nya melainkan adalah karunia kekuatan dari-Nya, tiada kuasa-nya melainkan karunia kekuasaan dari-Nya, tiada keinginan-nya melainkan keinginan-Nya, dan tiada sesuatupun yang terjadi tanpa seizin-Nya.
Menyadari semua itu membuat dada-nya terbuka untuk menerima kenyataan, yang sesungguhnya mengakui dengan sadar bahwa keikhlasan sebagai yang mutlak menyertai setiap amal perbuatannya, tanpa basa-basi ataupun keraguan. Inilah makna islam (berserah diri) yang sesungguhnya.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”.  (QS 38:82-83)
Justru keikhlasan inilah yang menjadi sasaran iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya iblis yang memberikan pemandangan indah pada setiap bujuk rayunya, tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada pernah berhenti membisikkan bujuk rayunya yang menyesatkan.
Sungguh, amal perbuatan yang tak diawali keikhlasan akan mejadikan amal perbuatan yang sia-sia, dan malah kembali kepada dirinya sebagai keburukan yang pasti akan disesalinya. Sebab, keikhlasan jelas tidak membawa beban ambisi dari pengakuan (ego) yang mengharapkan balasan (imbalan) dari hasil amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah wujud fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai wujud Tuhannya di alam, yang menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya
Mengenal diri terlebih dahulu, baru kemudian dapat menyerahkan dirinya secara total. Bagaimana mungkin dapat ikhlas menyerahkan diri-nya, jika belum mengenal kepada diri-nya sendiri? Menyerahkan sesuatu yang tidak dikenal dan diketahuinya, tentu tidak masuk akal. Maknanya, menyerahkan segala sesuatu tentu yang terbaik, apalagi kepada Tuhannya. Menyerahkan diri, maka perbaiki diri terlebih dahulu, sehingga bukan hanya pantas untuk diberikan, melainkan pula mengerti dan memahami untuk apa menyerahkan, serta atas dasar apa menyerahkan, sehingga mengenal arah tujuan kemunian (keikhlasan)-nya.
Bila tiada keikhlasan, bagaimana bisa terjadi penyerahan? Yang ada adalah keterpaksaan, yang diserahkan pun bukan diri-nya, melainkan keadaan-nya. Jiwa (diri)-nya tetap di tempatnya, menolak. Tuhan pun Maha Mengetahui, maka Dia-pun menolak segala bentuk keterpaksaan, “tiada paksaan dalam agama Allah”.
Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......”  (QS 2:256)
Pada tahap ini, bagi mereka yang telah mengkokohkan keimanan dan ikhlas dalam beragama, maka tiada lagi menginginkan atau mengharapkan surga, serta takut dan menghindari neraka  (QS 2:112). Keimanan (keyakinan) dan keikhlasan-nya lah yang menyadarinya dengan yakin bahwa Allah Maha Adil dan Dia Maha Benar terhadap firman dan janji-Nya. Tidak ada keraguan bagi orang-orang yang yakin kepada Tuhannya. Keikhlasan atau memurnikan, sesungguhnya, adalah usaha untuk kembali kepada fitrah kemanusiaan-nya yang dikehendaki Allah, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Bila sebelumnya, pemahaman makna ‘islam’ lebih ditekankan kepada tunduk patuh. Maka sekarang, bermakna berserah diri. Bila sebelumnya, lebih pada penekanan, dikatakan kepada mereka yang menolak islam adalah “rasakanlah olehmu azab Tuhan”. Maka sekarang, “rasakanlah olehmu akibat dari perbuatanmu sendiri”.
Hal ini, bukanlah untuk lebih memperhalus penyampaian makna, akan tetapi lebih kepada penekanan, bahwa bukanlah Allah sebagai yang otoriter atau diktator juga kejam, melainkan bahwa segala gerak amal perbuatan akan kembali kepadanya sebagai buah dari yang ditanam-nya sendiri. Bila yang ditanam saja yang bermanfaat, seperti padi misalnya, maka akan pula tumbuh rumput disekitarnya sebagai pengganggu. Maka, bagaimana mungkin menanam rumput, berharap padi pun ikut tumbuh di sekitarnya? Mustahil. Maknanya, bagaimana bisa berharap menghasilkan kebaikan, bila yang dikerjakan adalah amal perbuatan buruk. Renungkanlah.
Jangan lagi terjebak oleh pemahaman yang dapat membuat salah langkah. Kembali kepada pemahaman sebelumnya, “rasakanlah olehmu azab Tuhan (sebagai balasan dari perbuatanmu)”. Yang seolah bermakna, bahwa Allah-lah yang membalas, dan berharap dalam doa-nya agar diampuni Tuhan-nya, sebab Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Padahal tidaklah demikian, sifat-sifat Tuhan tersebut adalah sebagai sifat yang dianugerahkan kepada diri kemanusiaan untuk diwujudkan di alam (dunia), sedangkan segala amal perbuatan-nya tetap akan kembali kepada dirinya sendiri, baik-buruknya pasti akan diterimanya dengan terpaksa maupun sukarela. Sesungguhnya, diri-nya sendirilah yang membalas. Jadi, jangan berharap mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin dapat tidur nyenyak dan bermimpi indah, saat itu kan waktunya hiruk pikuk dan hingar bingar. Belum terlelap, sudah terbangun karena suara berisik. Segala sesuatu telah ada dalam kehendak dan ketetapan-Nya, sebagai keadilan hukum Allah (sunathullah).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Kemurnian atau keikhlasan dalam amal perbuatan, yaitu shalat, ibadah, hidup, dan mati-nya, yang didasari dan ditujukan hanya kepada-Nya, adalah karena telah mengenal diri dan Tuhan-nya, serta sedang dalam keadaan ingat (sadar). Mengenal diri dan Tuhan-Nya, adalah memahami fitrah kemanusiaan-nya sebagai perwujudan dari wujud Tuhan-nya di alam, yang mewujud bersama dengan sifat-Nya, dan keluar dalam bentuk amal perbuatan yang merupakan rahmat bagi sesama makhluk-Nya. Sehingga akan menjaga dirinya dari amal perbuatan buruk sekecil apapun itu.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Berserah diri (islam) bukanlah bermakna pasrah karena tanpa pengetahuan, akan tetapi rela dengan ikhlas karena telah memahami dan menyadari, bahwa keberserah dirian-nya adalah demi mengembalikan kepada fitrah asal-nya yang sungguh mulia, yaitu fitrah diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan Yang Maha Terpuji di alam untuk saling menebarkan rahmat Tuhan kepada semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Berserah diri (islam) pun bukan hanya mengandung makna hanya menyerahkan diri-nya kepada Tuhan-nya, akan tetapi pula, dengan ikhlas berusaha menghilangkan pengakuan (ego) yaitu  menyerahkan segala sesuatu yang sebelumnya dirasakan sebagai milik-nya. Seperti anak-istri, harta benda, rumah tinggal, kendaraan, hewan ternak atau peliharaan, ladang pekerjaan, dan lain sebagainya. Kemudian pula pada apa-apa yang ada didalam jasad atau tubuh-nya, apa-apa yang diingat dan dipikir-nya, apa-apa yang diucap-nya, apa-apa yang didengar-nya, dan apa-apa yang dilihat-nya, serta gerak dan tenaga-nya, bahkan pada nafas-nya, yang semua itu, ternyata bukanlah dia sebagai pemilik-nya, melainkan Dia-lah pemilik yang sesungguhnya.
Tidak ada sedikitpun kekuasaan dan kekuatan-nya terhadap semua itu, kecuali bila atas izin dan kehendak-Nya. Diri-nya hanyalah cuma menerima semua itu sebagai anugerah dari Allah yang masih harus dikelola-nya secara lurus, baik, dan benar, serta sebagai yang akan dipertanggung jawabkan-nya, kelak. Menerima karena hidup yang diberikan atau dianugerahkan oleh Dia Yang Maha Hidup.
Alam raya ini, langit dan bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang merasa diluar kuasa-Nya. Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam kuasa dan kehendak-Nya. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapan dan kehendak-Nya.
Ingatlah, istri serta anak-anak, saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah, bahkan diri dan tubuh-nya sendiripun bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan milik Allah SWT. Yang, segalanya tersebut, sewaktu-waktu, dapat saja hilang atau pergi meninggalkannya.
Apa-apa yang disedekahkan pun adalah karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali kepada-Nya. Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada secuilpun yang dimilikinya secara hakiki, dan abadi, serta merupakan hasil dari kekuatannya sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan (kekuasaan) selain dari kekuatan (kekuasaan)-Nya.
Sesungguhnya telah berserah diri apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya. Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan serta siang dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran awan-awan pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem.
Bahkan pada tubuh insan kemanusiaan, pada peredaran darahnya dengan jantung yang memompa mengirimkan makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru yang mengatur pernapasan, sel-sel yang tumbuh dan saling menunjang. Akal pikiran dan ilmu, seluruhnya tunduk dan berserah diri pada ketetapan hukum-Nya. Semua itu adalah karena kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri kemanusiaan-nya. Hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang merasa diluar kuasa-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia? ...........” (QS 22:18)
Berserah diri dengan menyatakan kelima rukunnya, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Ternyata hanya baru pernyataan, maka belumlah sah bila tidak mewujudkan secara ikhlas dengan mengeluarkan-nya dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai dengan pernyataan-nya tersebut. Dan kembali, untuk memurnikan keberserah dirian (islam)-nya sangatlah didukung oleh mengkokohkan kembali rasa iman yang telah dibahas pada bab pertama sebagai dasar pijakan dalam mencapai keikhlasan.
Dikarenakan kelima rukun-nya tersebut sebenarnya merupakan cara-cara ibadah yang lebih bertujuan mencapai kemurnian (keikhlasan) dalam berserah diri pada setiap insan kemanusiaan, atau sebagai sarana latihan pensucian dan pembersihan dari pengakuan (ego) sebagai penyebab segala sesuatu yang menyesatkan jiwa. Yaitu jiwa-jiwa yang diharapkan telah mencapai ketenangan melalui pengendalian diri-nya yang dapat diaturnya secara stabil dan membawanya pada ketentraman hidup.
Keyakinan-nya yang membuat jiwa-nya merasa selalu di dalam perlindungan serta pemeliharaan Dia yang menguasai langit dan bumi dengan segala isinya, sehingga tiada lagi rasa takut pada diri-nya dan tidak pula bersedih hati. Sebab wujud diri-nya adalah perwujudan-Nya, keinginan-nya adalah kehendak-Nya, kekuatan-nya adalah kekuatan-Nya, nafas-nya pun hawa-Nya, apa yang dimiliki-nya adalah anugerah dari-Nya, bahkan apa yang dirasakan-nya adalah karena hidup yang dihidupkan-Nya.
Itulah kesaksian sejati, yang dengan mata hatinya telah dapat melihat serta merasakan secara langsung akan keagungan Dia Yang Maha Pemurah lagi Yang Maha Tunggal, sehingga membawa jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) secara ikhlas total semata hanya kepada-Nya.
“Allah, tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
(QS 2:255)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar