Bab XII
HAJI
“Dan
serulah setiap diri kemanusiaan untuk mengerjakan hajji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari
segenap penjuru yang jauh,”
(QS 22:27)
I
|
badah hajji adalah merupakan tahap puncaknya
pelatihan dalam mencapai keberserah dirian (islam). Ini disebut sebagai
puncaknya pelatihan, sebab, selain sebagai rukun berserah diri (islam)
yang terakhir, juga, ibadah hajji ini ditutup dengan ber-qurban sebagai
lambang kemurnian (keikhlasan) berserah diri atau islam.
Sekarang ini, untuk melakukan
ibadah hajji semakin terasa berat dan sulit. Tidak semudah sebelumnya, tidak
dibatasi kuota bagi masing-masing negara. Di negara kita, harus mengantri
(indent), menunggu giliran hingga tiga tahun lamanya. Bila yang punya duit saja
masih diberi kesulitan, apalagi yang belum punya biaya tetapi berharap bisa
melaksanakannya di suatu waktu. Allah Maha Tahu, hanya Dia-lah yang akan
memudahkan bila tiba waktunya untuk dapat mampu melaksanakan ibadah hajji,
sebagai panggilan dari-Nya.
Kemampuan-nya adalah karena
diberi kemampuan yang diberikan Allah, juga adalah anugerah yang tetap perlu
dipertanggung jawabkan, kelak. Kehendak serta ketetapan-Nya (sunathullah)
meliputi segala sesuatu, termasuk anugerah dan karunia-Nya kepada setiap diri.
Dan pada ibadah ini, yang bermakna luas sebagai pembelajaran diri
agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman
yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
Kemampuan berinteraksi dan
beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya,
bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya
Yang Raahman dan Rahiim. Menyadari alam yang penuh keragaman akan
makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang
Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan
selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.
Pembelajaran
agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari susunan keseluruhan alam semesta
yang ada dalam sistem ketetapan ciptaan-Nya, atau Af’al Tunggal dari Dia Yang
Maha Tunggal. Dari atom, sebagai materi terkecil, sampai kepada bintang wujud
benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan
ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah pada yang Maha Tunggal.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Ibadah
hajji, di dalamnya banyak mengandung keutamaan atau makna dari
kisah-kisah Ibrahim dan keluarganya, yang sesungguhnya adalah sebagai sarana
pelatihan dan pengajaran yang berguna bagi kehidupan keseharian kemanusiaan
sebagai wujud keberserah dirian (islam)-nya. Insya Allah, makna-makna tersebut dapat dipahami dan
menjadikan ibadah-nya diterima-Nya sebagai Hajji Mabrur, dan dapat membawa-nya
terus di kehidupan kepada amal perbuatan-nya yang mabrur pula. Dan bagi mereka
yang belum dapat melaksanakan panggilan-Nya ini, namun akan mendapatkan
makna-makna yang amat berguna bagi kehidupannya dan merupakan maksud inti dari
penyelenggaraan ibadah hajji ini. Keutamaan tersebut mengandung makna-makna,
diantaranya adalah,
Makna Diri yang Polos (Suci)
Pakaian
Ihram yang dikenakan ketika beribadah hajji, adalah lambang kepolosan
atau kesucian bagi setiap insan kemanusiaan, sebagai kehendak Allah agar
setiap diri menyadari fitrah sesungguhnya yang ada pada diri-nya.
Pada masa pra (sebelum)
kenabian Muhammad SAW, malah dilakukan dengan telanjang bulat, tanpa sehelai
pakaian pun. Hal ini, mungkin merupakan persepsi yang berlebihan dalam
memahami petunjuk agama-nya. Dan setelah kenabian-nya, beliau pun merubah cara
ritual peribadatan lama yang menyesatkan, seperti itu, tanpa menghilangkan
makna-makna yang dikehendaki Allah kepada setiap diri kemanusiaan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Menyadari fitrah dirinya
yang merupakan wadah kosong yang telah disempurnakan
kejadian-nya, kemudian barulah diisi (ditiupkan) ruh Allah sebagai
perwujudan sifat-sifat Allah (QS
38:71-72), yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk dapat
mengenal diri-nya, maka kenalilah Tuhan-nya. Dan untuk dapat
mengenal Tuhan-nya, maka kenalilah diri-nya. Setelah mengenal
keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak
ternilai.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Sempurnanya
kejadian wadah kosong (jasad) insan kemanusiaan, adalah sempurna terbentuknya
organ-organ tubuh-nya sebagai pendukung kehidupan sehingga layak menerima
hidup dari-Nya. Jadi jelaslah, bahwa hidup diri kemanusiaan adalah
karena ruh-Nya, yang pada suatu waktu nanti, yang telah ditetapkan-Nya, akan
kembali lagi kepada Dia yang memiliki, begitu pun jiwa yang telah dapat selalu
bersama-Nya (manunggal), akan ikut bersama ruh-Nya kembali pulang. Akan tetapi
pada jiwa yang tersesat dan terlena pada kehidupan dunia, maka akan tertinggal
di alam dunia, sebagai jiwa tanpa jasad yang masih penasaran pada
keduniaan-nya, menggapai tidaklah bisa, dan kembali pulang pun tidak bisa.
Terjebak pada kesesatan-nya sendiri.
Diri, juga
merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai
kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan,
kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar
maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya
yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah titipan yang pada saatnya
nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego)
menjadi dominan berlebihan hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari
jalan lurus-Nya.
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah
dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula
dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada
rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan
mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel
tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku-ngaku
sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa
milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru,
mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya
adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta
pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat
bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah
satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa
menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan
keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran.
Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
Kebanyakan diri terlena dan
memanjakan keinginan-keinginan jiwa (hawa nafs)-nya, sehingga mau berbuat untuk
orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit
keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati
atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya.
Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa
tidak ikhlas-nya tersebut pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan
yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa. Tiada spirit (ruh)
dalam mengerjakannya. Maka akibat-akibat buruk lainnya akan siap-siap
mendatanginya, menyusul kemudian.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Ketiadaan
diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui
yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya,
karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah
sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan,
sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik
disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
Bila dirinya lebih memaksakan
kehendak hawa nafsunya atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Hilangnya pengakuan (ego), adalah dengan melenyapkan aku-nya,
dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal
perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.
Makna Tauhid (Yang Maha Tunggal)
Ka’bah adalah perlambangan
sebagai pusat atau sumber segala sesuatu mengarah untuk kembali pulang. Karena,
Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai awal segala sesuatu bersumber, dan arah
tujuan segala sesuatu kembali pulang.
Dia-lah Allah yang
Maha Tunggal,
Allah tempat meminta (bergantung) segala sesuatu, tidak ber-anak dan tidak diper-anak-kan, dan tidak ada sesuatu
pun yang setara dengan Dia.
Ibadah
Hajji ini, pada saat mengelilingi Ka’bah (tawaf), adalah pembelajaran agar
memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari struktur makro semesta alam
yang ada dalam sistem siklus ciptaan-Nya (sunathullah),
atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari mulai atom, sebagai salah
satu materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar,
semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah),
seluruhnya mengarah kepada yang Maha Tunggal.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ........” (QS 21:30)
Semesta alam ini, yaitu langit
dan bumi, diciptakan-Nya dari sesuatu yang padu (satu wujud), kemudian
Dia pisahkan menjadi dua wujud (langit dan bumi). Dalam bahasa ilmiah uraiannya
menjadi, dari cahaya-Nya (sebagai sesuatu yang padu), dengan
partikel-partikelnya yang ber-massa berat dan ber-massa ringan
sebagai penyusun struktur cahaya, Allah memisahkan keduanya melalui ketetapan
hukum-Nya, yang bermassa lebih berat berkumpul menyatu kemudian
membentuk bumi. Sedangkan yang bermassa jauh lebih ringan memisahkan
diri semakin menjauhi massa yang lebih berat (melawan gaya grafitasi karena
terdesak keluar oleh yang lebih berat) dan kemudian membentuk langit. Proses
ini seperti proses terbentuknya lapisan atmosfir, yang berlapis-lapis sesuai
berat massa-nya.
Allah menyebut diri-Nya sebagai
Kami pada penjelasan ayat di atas, yang bermakna Dia menugaskan
pekerjaan ini kepada para aparat (malaikat)-Nya. Keyakinan (iman) adanya
malaikat telah diuraikan panjang lebar pada bab keimanan, sebelumnya, dan akan
lebih sedikit detail lagi diulas pada bagian ke 4 Lahir & Bathin di
belakang. Termasuk pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan Allah kepada mereka
sebagai tugas yang diembannya bagi keberlangsungan secara keseluruhan sistem
kerja semesta alam.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis.
Ia menolak dan
menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Malaikat, secara ilmiah, adalah
merupakan energi (energi cahaya), yang bersumber dari cahaya-Nya (nur Allah),
yang meliputi dan menggerakkan
segala sesuatu di alam raya ini yang hanya atas perintah dan
kehendak-Nya. Itulah, sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ‘Kami’ pada
setiap firman-Nya. Dan melimpahnya cahaya yang menuju bumi, baik siang dan
malam, membuktikan begitu banyaknya pekerjaan malaikat bagi memudahkan
kehidupan kemanusiaan di bumi, sesuai dengan perintah Allah agar mereka tunduk
sujud kepada kepentingan kemanusiaan (QS 2:34). Akan tetapi, perlu diingat,
segala sesuatu Allah ciptakan bersama pasangannya, bahwa ada pula yang sebagai pembangkang
yang menolak tunduk sujud, yaitu sebagai yang disebut iblis, yang justru
timbul dari kuatnya hawa nafsu kemanusiaan itu sendiri, yang malah menyesatkan
dirinya pada kecelakaan.
Jadi
berdasarkan ayat QS 21:30, dengan cahaya-Nya (nur Allah), Dia menciptakan
malaikat sebagai aparat-Nya, disebut pula nur Cahya. Kemudian Dia perintahkan
aparat-Nya untuk bekerja memisahkan dan membentuk bumi dan langit beserta
isinya, yaitu semesta alam yang penuh berisi partikel struktur cahaya-Nya,
sebagai sumber penciptaan atau pembentukan segala sesuatu isi semesta alam
melalui ketetapan-Nya (sunathullah). Istilah ilmiahnya adalah proses gravitasi
semesta, yaitu gerak berkumpul atau gaya tarik menarik antar
partikel-partikel cahaya ke masing-masing pusat kawasan yang tersebar,
disinilah proses persenyawaan antar partikel membentuk senyawa-senyawa
kompleks. Maka terbentuklah bintang-bintang di dalam banyak kawasan yang
disebut galaksi. Seluruh benda langit ini berasal dari partikel-partikel
cahaya-Nya (nur Allah). Hingga pada pembentukan senyawa-senyawa yang jauh lebih
kompleks lagi, apalagi setelah ada atau terbentuknya air di bumi, yaitu
sebagai unsur-unsur dasar kehidupan, dari mulai tumbuh-tumbuhan sampai kepada
hewan bersel tunggal, bahkan semakin jauh lebih kompleks yang terdiri dari
milyaran sel, hingga penciptaan manusia.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan
dalam bentuk
yang sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Seluruh
pemahaman tersebut, bersumber dan mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal, baik
karena terpaksa maupun secara sukarela. Hanya karena, pada diri kemanusiaan,
struktur unsur pembentuk sel-selnya yang amat-teramat kompleks, maka lebih
kompleks pula untuk dapat menyadari keberadaan dan kuasa-Nya, kecuali hanya
karena petunjuk yang atas kehendak-Nya. Dan ini merupakan salah satu dari
sarana-sarana pelatihan keberserah
dirian (islam), seperti lebih menyatakan syahadat tidak
hanya sekedar pernyataan-nya saja, shalat juga yang direfleksikan dalam setiap gerak amal perbuatan,
puasa untuk menekan segala keinginan yang tak terkendali, zakat
mensucikan segala niat sebelum bergerak kepada amal perbuatan, ibadah
haji untuk keberserah dirian melalui ber-qurban yang sesungguhnya adalah kenyataan,
bahwa hidup adalah pengorbanan. Yang ternyata kesemuanya adalah mengarahkan
diri menghilangkan pengakuan (ego)-nya. Yaitu
dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya,
maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan
sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Menyadari bahwa diri
kemanusiaannya adalah wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di
alam, dan sebagai khalifah di muka bumi yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Seperti itulah fitrah kemanusiaan yang telah
ditetapkan Allah.
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) kemudian darianya Dia
ciptakan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu,
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (sanggup berbuat) demikian itulah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapa kamu dapat dipalingkan?” (QS 39:6)
Makna Akbar (Keragaman)
“Katakanlah,
kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (QS 2:136)
Kumpulnya berbagai kaum, etnik,
dan bangsa dari seluruh penjuru dunia saat melaksanakan ibadah Hajji. Dengan
membawa keragaman warna kulit, logat dan bahasa, tabiat, dan lain sebagainya
yang juga merupakan keragaman perbedaan yang menambah hidupnya suasana di
Masjidil Haraam. Itulah kenyataannya, agama Allah yang merangkum diri-diri
dengan aneka keragaman dan perbedaan, dari mulai makanan, warna kulit, logat,
bahasa, sampai kepada watak tabiat.
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
sebagai umat yang satu, tetapi mereka
selalu berselisih pendapat.” (QS 11:118)
Adalah
sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara
sehat bersama keragaman-keragaman sekaligus bersama perbedaannya yang
terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah
jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat
karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim.
Menyadari alam yang penuh
keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai
perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti
diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Memahami
betapa akbar, semesta alam ini amat dipenuhi oleh kekayaan dan keragaman segala
sesuatu yang tak terkira banyaknya. Yang bila semakin dihitung, maka semakin
takkan pernah habisnya selesai terhitung. Dan bila semakin ingin diketahui,
maka semakin pula tidak selesai dapat tersimpulkan. Semakin kaya dan beragamnya
alam ini, dengan pula perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya,
membuat bervariasi dan semakin sempurna terlihat keindahannya. Sekalipun tak
terhitung dan tak terpahami, tetapi nikmat-nya yang sampai kepada diri sebagai
yang merasakannya, dan rasa syukur yang berisi puji-pujian yang mengarah kepada
Dia sang Pencipta langit dan bumi beserta segala sesuatu isinya.
Tahap kesadaran ini seharusnya
membawa insan kemanusiaan kepada rasa kebersamaan yang merupakan bagian
dari setiap keragaman dan perbedaan-nya sebagai pengisi keindahan sistem
semesta, melenyapkan pengakuan (ego) rasa eksklusivitas dan suprioritas-nya,
dan melenyapkan ego kepentingan diri-golongan-etnis-bangsa sendiri, serta lebih
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara global, demi keseimbangan
sistem semesta yang mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Diciptakan-Nya berbagai macam
keragaman dan perbedaan, tentu bukanlah dengan maksud terciptanya kondisi atau
keadaan mereka yang saling bertentangan hingga saling merusak dan melenyapkan.
Merasa paling benar sendiri, merasa paling hebat sendiri, merasa paling pintar
sendiri, dan lain-lainnya yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya ketimbang
rasa kebersaman inilah yang menyebabkan terganngunya sistem keseimbangan
kehidupan yang justru yang akan kembali kepada diri-nya sendiri sebagai yang menuai
bencana. Bukan itu yang dikehendaki Tuhan.
“......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
“Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang
pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
Dia ingin kita memahami dan
mengetahui keindahan yang sempurna hanya bisa didapat dari berbagai
keragaman dan perbedaan yang selalu diiringi rasa kebersamaan. Bersama-sama di
satu tempat (alam) dalam kebaikan, sebagai suatu yang berpadu, yaitu keindahan
yang sempurna. Berbagai keragaman dan perbedaan bukanlah hal yang buruk
yang harus dihindari, justru keduanya adalah rahmat dari Tuhan yang dapat
memperkaya khasanah segala sesuatu di dalam kehidupan. Bukanlah keseragaman
monoton yang membosankan. Keragaman adalah Sifat Tunggal Dia, yaitu Allahu
Akbar (pada bab keimanan). Bukan disebut sebagai keragaman jika tak ada
perbedaan atau seragam. Tidaklah sulit jika Dia menghendaki keseragaman. Hal
ini sama tidak sulitnya dengan jika Allah menghendaki kemanusiaan ini menjadi
satu umat. Maka jawaban Dia-pun, tersirat di dalam firman-Nya, yaitu seperti
bunyi ayat di bawah ini.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak
dan menumpahkan darah disana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Jika Allah hanya menghendaki
yang tunduk patuh atau berserah diri saja yang memenuhi alam-Nya ini, maka cukuplah
adanya malaikat, yang telah selalu bertasbih memuji dan mensucikan nama-Nya,
tak perlu menciptakan kemanusiaan yang tak pernah merasa puas. Akan tetapi, Dia
menginginkan pada insan kemanusiaan, yang merupakan wujud ciptaan-Nya yang
sungguh amat-teramat kompleks lahir dan bathin-nya, yang sesempurna-sempurnanya
(QS 95:4), pada akhirnya dapat menjadi perwujudan Dia Yang Maha Terpuji di
alam. Yaitu yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama-nya, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Makna Godaan
Dalam keberserah dirian-nya,
Ibrahim sebagai yang hendak ber-qurban atas perintah Allah dan telah ikhlas,
serta Ismail sebagai yang hendak dikorbankan pun telah ikhlas karena perintah
Tuhannya, mereka berdua tidaklah lepas dari godaan iblis yang berusaha menggagalkan
ibadah mereka. Dan mereka berdua pun membalas iblis dengan melemparinya
menggunakan batu-batu kerikil agar iblis pergi menjauh dan tidak menghalangi
ibadah mereka.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Mengapa Allah perlu bukti
keikhlasan mereka berdua? Padahal Dia Maha Mengetahui termasuk rahasia hati
yang paling dalam. “........ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS 2:30). Dia
(Allah) menghendaki kejadian ini dapat menjadi pelajaran sebagai contoh teladan
dari bukti-bukti nyata rasa ikhlas keberserah dirian pada setiap diri
insan kemanusiaan.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan diri melupakan atau bahkan menyepelekan
hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu keberserahan dirinya
kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha Pengasih dan yang Maha
Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari sebanyak lima kali didalam
setiap shalat, tetapi kebanyakan tidak memahami maknanya dan mengeluarkannya
tidak kepada bentuk amal perbuatan yang dilandasi penyerahan diri dan
keikhlasannya hanya kepada Allah semata. Sehingga, amal perbuatannya hanya
sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja, tidak sampai kepada ridha Allah
SWT. Diri-nya lupa, bahwa kekuatan untuk dapat berbuat adalah juga karena
kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah kepadanya, dia lupa menyadari bahwa
Allah meliputi segalanya, dan dia lupa, sesungguhnya perbuatannya itu akan
terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT.
Penyerahan diri juga mencakup makna memuliakan Tuhan yang maha
Mulia, dan diharapkan tetap menjaga kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas
malah mengotori kemuliaan-Nya. Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan
yang kelihatan indah dipandang mata, akan tetapi malah menjerumuskan. Yang
bermakna pula, tidak mengotori dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Banyak perbuatan yang dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan
atau bahkan pertumpahan darah. Bila diri-nya mengorientasikan amal ibadahnya
kepada ke-Muliaan Tuhan yang maha Benar, maka caranya pun sebaiknya dengan
cara-cara yang mulia dan benar.
“....
Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Tiada lagi susah ataupun senang, sedih dan bahagia, kesulitan dan
kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya sama. Yaitu sama karena
pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun untuk menolaknya.
Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka pasti semuanya itu
beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya. Bukan berarti
hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru malah ikut serta
dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan seluruh makhluk
disekitarnya.
Makna Keberserah Dirian
Seperti yang
telah diketahui dan diakui, bahwa Ibrahim As adalah bapak dari beberapa bangsa
besar. Dari sinilah kisah diambil agar menjadi contoh teladan bagi problematika
kehidupan sesudahnya. Terutama teladan dari keikhlasan istri kedua-nya
dan anaknya, Siti Hajjar dan Ismail putra mereka yang masih belia, yang ketika
itu ditempatkan untuk tinggal berdua tiada tetangga, di daerah tandus,
kering, dan tiada air. Yaitu di sekitar Ka’bah, yang dahulunya masih berupa
situs reruntuhan rumah peribadatan kuno, dan belum berpenghuni.
Hal ini
terjadi karena masalah-masalah kerumah tanggaan, yaitu kecemburuan Siti Sarah,
istri pertama Ibrahim As, setelah hamilnya Siti Hajjar. Sekalipun, adalah ide-nya
sendiri agar suaminya memperistri Siti Hajjar untuk mendapatkan keturunan, akan
tetapi, itulah sifat dasar kemanusiaan. Begitu lekatnya pengakuan (ego)
mempengaruhi diri-nya. Dia tak dapat rela melihat kebahagiaan suaminya
bersama bersama wanita lain dan putra mereka.
Keikhlasan
seorang istri (Siti Hajjar) kepada suami-nya, yang bersama anaknya yang masih
kecil, ditinggal di tempat terpencil tak berpenghuni, dan tandus tiada air.
Kepada siapa lagi ia dan anak-nya akan bergantung, selain hanya berserah
diri kepada Allah. Momen-momen inilah yang akhirnya diabadikan Allah yaitu
dengan dijadikannya sebagai contoh teladan keberserah dirian seseorang kepada
Tuhannya. Yaitu, saat panik berlarian bolak-balik kebingungan mencari air. Yang
dengan izin Allah, maka keluarlah air dari dalam pasir tersebut. Itulah mata
air zam-zam. “............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS 2:30).
Dia panik, berlari-lari kecil bolak
balik dari saffa ke marwah, kebingungan mencari air untuk anaknya. Tidak
ada lagi kepada siapa dia berharap dan bergantung, selain hanya kepada-Nya.
Momen inilah yang diabadikan dalam bagian ibadah hajji. Tiada yang tidak
mungkin bagi Dia bila telah berkehendak, maka keluarlah air dari sela-sela di
bawah kaki anaknya. Dan air yang keluar, akhirnya sebagai mata air di tengah
gurun tandus, yang tak pernah habis hingga sekarang, sejak ribuan tahun lalu,
dan diambil jutaan orang setiap tahunnya. Bukan hanya itu, karena keberserah
dirian mereka yang ikhlas, serta doa Ibrahim, maka kelimpahan rezeki bagi
keturunan-keturunannya yang tinggal di situ hingga sekarang, menjadi bangsa
yang makmur dengan kelimpahan rahmat dari Tuhan mereka.
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (baithullah)
yang dihormati, ya Tuhan agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati bagi sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka
bersyukur.” (QS 14:37).
Ini bukanlah
tugas kenabian-nya, bukan tugas dari Tuhan-nya, akan tetapi ini jelas adalah jalan
hidup-nya, istri dan anak keturunan-nya. Jalan hidup yang sekilas tampak
tak memiliki harapan ke depan. Bagaimana mungkin berharap dapat tinggal dan
hidup di daerah terpencil, tak berpenghuni, dan gersang tak ada air. Dan dengan
keberserah dirian (islam)-nya ternyata
telah ikut mempengaruhi kehendak Tuhan sebagai contoh dan teladan bagi
orang-orang sesudahnya. Tentu akan menjadi lain halnya, bila diri ini
menggunakan akal pikiran dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tidak akan
mungkin akal sehat menyetujui untuk mau tinggal di tempat yang terpencil,
gersang, dan tak ada air. Ternyata, Dia membuktikan, bahwa tak ada yang tak
mungkin bila Allah telah berkehendak.
Itulah makna berserah diri,
yang diambil dari kisah keikhlasan seorang yang hanif, bersama istri dan
anak-nya dalam sebuah keluarga, yang dengan penuh keikhlasan mereka
berserah diri kepada Tuhannya, telah menentukan kebaikan bagi anak keturunannya
hingga ribuan tahun setelahnya.
“............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Hikmah yang dapat diambil
sebagai teladan dari ritual hajji ini, yang dilambangkan melalui kisah keluarga
nabi Ibrahim, adalah seluruhnya mengenai keikhlasan dalam keberserah
dirian (islam)-nya hamba kepada Tuhannya, seperti keikhlasan seluruh segala
sesuatu yang berada di semesta alam ini berserah diri kepada-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Keberserah
dirian akan terasa maknanya bila diri kita telah terpojok dalam suatu masalah
dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali datangnya mu’jizat atau
pertolongan dari yang menguasai masalahnya. Semakin berat ketidak berdayaannya
maka semakin besar pula rasa keberserah diriannnya kepada yang sesungguhnya
berkuasa. Maka bayang-bayang akan dosa-dosanya pun bermunculan dan menghantui
sebagai yang disesalinya. Pada saat itulah diri menyadari diperlukan keikhlasan
turut menyertai berserah diri (islam)-nya.
Dan kemudian
terbukalah hijab yang sebelumnya menutupi hatinya. Bila dirinya dapat tetap
menjaga kesadaran keadaan dan kondisi tersebut, maka kepekaannya pun semakin
bertambah lagi dalam melihat kebenaran-kebenaran. Hingga dirinya telah dapat
melihat hakikat segala sesuatu yang seluruhnya mengarah kepada Yang Maha
Tunggal. Pada saat itulah dirinya barulah menyadari keikhlasan berserah diri
(islam) yang sejati hanyalah kepada-Nya yang sesungguhnya menguasai segala
sesuatu. Menyadari betapa diri-nya amat bergantung pada setiap rahmat-Nya.
Menyadari bahwa hanya kepada Dia-lah tempat dirinya berlindung dari segala
kelemahan dan keterbatasan-nya sebagai makhluk.
Makna Pengorbanan (Ber-qurban)
Berangkat
dari kisah tentang perintah ber-qurban kepada Allah, dengan menyembelih Ismail
(umat Nasrani dan Yahudi beranggapan adalah Ishak) putra sulung Ibrahim As yang
dikisahkan dalam al Qur’an sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Bila
ada pertentangan yang menganggap siapa sesungguhnya (anak sulung Ibrahim) yang
hendak dikorbankan, seperti umat Nasrani dan Yahudi yang beranggapan Ishak-lah
yang hendak dikorbankan, sesungguhnya hal itu tidak menjadi penting. Malah
menimbulkan masalah-masalah pertentangan. Akan tetapi lebih kepada makna
kejadiannya-lah sesungguhnya kisah ini dapat menjadi teladan bagi umat-umat
kemudian. Dan bila masih merasa menganggap pentingnya tentang siapa
sesungguhnya anak sulung yang dikorbankan, maka berarti diri-nya masih dilekati
pengakuan (ego)-nya yang dapat menyeretnya kepada pertentangan akibat
perbedaan.
Renungkanlah
kisahnya, seorang yang telah memasuki masa tua-nya, dan belum dikaruniakan
keturunan, kemudian setelah harapan-nya dikabulkan oleh “pemilik”-nya, dan di
saat-saat hatinya sedang berbahagia dengan kehadiran seorang anak, tiba-tiba
datang perintah agar memberikan “pengorbanan” berupa anak satu-satunya yang
baru saja dimilikinya itu. Sekalipun, sungguh, sudah pasti Allah mengganti atau
membalas pengorbanannya tersebut sebesar maupun sekecil apapun itu. Keyakinan
seperti apakah itu? Setinggi apakah rasa keberserah dirian-nya terhadap yang
sejatinya memiliki, menguasai, serta memelihara kerajaan langit dan bumi ini?
Itukah sejatinya berqurban? Maka,
ini merupakan pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak sejatinya berqurban. Tentu tidaklah
mungkin kita akan mengalami hal seperti kisah tersebut, akan tetapi sungguh
banyak dan sering kita temui di sekitar kita yang membutuhkan bantuan sedangkan
kita pun merasa pas-pasan, pas hanya tinggal untuk kita sendiri. Tinggal
satu-satunya, lantas bagaimana untuk kita nantinya?
Justru karena, yang tinggal
(hanya) satu-satunya yang kita miliki itulah yang membuatnya menjadi bernilai
tinggi dan mulia, kemudian ikhlaskanlah perbuatan itu hanya karena
dan untuk Allah semata. Seperti kisah Ibrahim diatas yang difirmankan Allah
sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Itulah sejatinya ber-qurban.
Kapan lagi kita dapat berqurban yang sebenar-benarnya berqurban? Ingatlah inti
dari ibadah Haji adalah (dan) ditutup dengan ber-qurban. Sedangkan Rukun
Islam (berserah diri) pun ditutup dengan ibadah Haji. Maka syarat sah-nya
muslim (orang-orang yang telah berserah diri) adalah ikhlas, yaitu amal perbuatan yang murni hanya karena
dan untuk Allah semata.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Di dalam kehidupan-nya, setiap
diri selalu mengalami bentuk-bentuk pengorbanan dari diri yang masih
mengaku sebagai pemilik-nya, atau masih melekat pengakuan (ego)-nya.
Wujud pengorbanan tersebut dilambangkan dengan ber-qurban, menyembelih
hewan ternak saat menutup ibadah hajji-nya. Dan yang perlu direnungkan, bahwa
keutamaannya adalah ada pada keikhlasan-nya dalam berqurban. Ber-qurban
adalah bentuk pelatihan keberserah dirian, dan ada di dalam rukun ibadah haji.
Sedangkan dalam kenyataan hidup di kehidupannya, setiap diri pasti telah
mengalami, baik disadari ataupun tidak disadari dalam pengorbanan-nya, maka
oleh karena itulah, Allah menghendaki setiap diri melakukannya didasari
kemurnian atau keikhlasan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama .......”. (QS 98:5)
Umumnya,
kebanyakan orang lebih kepada pemahaman keutamaan berqurbannya hanya pada
bulan-bulan Hajji saja, sebagai amal perbuatan (ibadah) yang telah ditetapkan
dan direncanakan. Padahal, itu hanya sekedar seremoni atau perayaan saja.
Sedangkan hakikinya adalah yang menjadi kehendak-Nya, yaitu adalah kepekaan
serta kepedulian rasa dari setiap diri insan kemanusiaan terhadap
sesama-nya yang sedang berada dalam kekurangan, yang sedang berada dalam
kebutuhan yang amat mendesak memerlukan bantuan atau pengorbanan
dari-nya. Keadaan atau kondisi tersebut bukan hanya ada pada bulan-bulan Hajji
saja, melainkan di setiap waktu tentu kita banyak menemui situasi dan keadaan
tersebut. Pada saat-saat itulah diri-diri kita hendaknya lebih peka kepada
mereka yang membutuhkan.
Bila telah dapat seperti itu, dengan murni
dan ikhlas semata hanya karena Allah dalam membantu, maka itulah wujud sejatinya
ber-qurban. Dan yakinlah, bahwa Allah tidak akan meminta kepada yang tidak
mampu memberi. Karena itulah kepada mereka yang tidak peka hatinya, maka Allah
pun tak menghendaki bantuannya. Dan Allah sungguh Maha Kaya serta tidak
membutuhkan bantuan makhluknya, yang diinginkan-Nya hanyalah keikhlasan.
“...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang
meminta dan yang tidak meminta ......”. (QS 70:24-25)
Tidak ada
bedanya ritual berqurban pada bulan Hajji dengan ritual-ritual berqurban pada
umat-umat agama lainnya, yang memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wujud
ibadah kepada Tuhannya. Akan tetapi, lebih kepada makna yang diwujudkan
dalam amal perbuatan kesehariannya lah yang lebih utama, bahwa keikhlasan
berkorban dalam setiap amal perbuatannya-lah yang akan sampai kepada Allah
dan sebagai wujud dari keberserah dirian-nya. Itulah makna islam yang
sesungguhnya sebagai wujud sejatinya berserah diri dengan ikhlas.
Renungkanlah
sedalam-dalamnya, selain menerima, hidup juga adalah berkorban,
karena sesungguhnya dipenuhi oleh pengorbanan untuk kepentingan pihak
lain. Dan kemurnian atau keikhlasan berkorban adalah wujud berserah diri
seorang hamba kepada Tuhannya. Yaitu hamba yang menerima segala
anugerah, yang kemudian untuk disebarkan kembali kepada sesamanya, sebagai
rahmat dari Tuhannya. Tidak-lah mengakui anugerah tersebut sebagai milik-nya
dan sebagai yang dikuasai-nya, tidak pula semena-mena terhadap pengelolaan-nya,
serta tidak pula menyebabkan kesesatan pada diri-nya. Anugerah tersebut adalah
karunia Tuhannya yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang suatu saat, kelak akan
dipertanggung jawabkan-nya. Dan anugerah tersebut dapat berupa kekuasaan dan
jabatan, anak keturunan dan istri, harta benda dan perhiasan, ladang pekerjaan,
kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan karunia serta sekaligus
cobaan dari-Nya.
Pengorbanan
bila menerima anugerah kekuasaan dan jabatan, adalah mengorbankan hati,
pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran mereka yang dikuasai-nya. Pada anugerah anak keturunan dan istri,
pengorbanannya adalah dengan mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta
daya lainnya demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Pada anugerah
harta benda, adalah mengorbankan ego-nya demi pekanya hati melihat sesama yang
sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan sebagian dari harta-nya. Pada ladang
pekerjaan, pengorbanannya adalah mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga,
serta daya lainnya demi suksesnya pekerjaan sesuai yang diharapkan. Dan lain
sebagainya, yang dalam kehidupan-nya tiada yang lepas dari pengorbanan-nya,
sebagai pemeliharaan, perawatan dan pengelolaan yang bertanggung jawab dari
setiap anugerah yang dikaruniakan-Nya.
Terkadang,
diri ini begitu memaksakan pada keinginan, sekalipun keinginan tersebut
merupakan kebaikan. Seperti keinginan untuk melakukan ibadah hajji yang
berulang-ulang kali, yang dianggapnya adalah suatu kebaikan bagi diri-nya. Hal
tersebut tidaklah salah, akan tetapi akan menjadi kesalahan bila disekeliling
kita masih banyak orang yang membutuhkan bantuan akibat kesulitannya. Jauh
lebih bernilai ibadahnya bila disalurkan kepada membantu meringankan beban
kesulitan orang-orang yang membutuhkan bantuannya, ketimbang pergi hajji untuk
yang kesekian kalinya. Karena kewajiban ibadah hajji tersebut hanyalah satu
kali.
Ada pula mereka yang merasa
masih belum sempurna dalam ibadah hajji sebelumnya, sehingga merasa perlu
mengulanginya. Padahal ibadah tersebut adalah untuk melatih kemanusiaan
memahami makna-makna yang ada di dalam ritual ibadah tersebut untuk diwujudkan
dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga tercapailah maksud dan tujuan ibadah
tersebut sebagai yang disebut hajji mabrur. Maka, dengan demikian
menjadi tak wajib lagi ibadah-ibadah hajji berikutnya, dan menjadi kewajiban
baginya merefleksikan atau mewujudkan ibadah hajji pertamanya kepada amal
perbuatan kebajikan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Yaitu, dengan
mewujudkan makna-makna yang telah disebutkan di atas di dalam gerak
hidup kesehariannya. Begitulah seharusnya kita memahaminya, sehingga
kemanusiaan dapat lebih memaksimalkan ibadah-ibadah yang jauh lebih utama untuk
terwujudnya insan-insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintai
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah
orang-orang yang
bertaqwa.” (QS 2:177)
Mengorbankan keinginan,
sekalipun hal tersebut merupakan ibadah, dan suatu kebaikan, akan tetapi ada
ibadah lain yang lebih utama yaitu memberikan bantuan. Sehingga
menyelamatkan diri-nya dari termasuk orang-orang yang celaka dalam
shalat-nya, yaitu termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama, seperti
bunyi ayat di atas. Renungkanlah, sesungguhnya iblis telah membiaskan keinginan
tersebut, agar terlihat indah bagi kebaikan, sehingga banyak diri-diri
kemanusiaan yang terjerumus pada kecelakaan.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
“Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk
dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah
beraninya mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Itulah
hidup, yang ternyata isinya adalah hanya berkorban belaka. Sedang bagi
diri-nya adalah hanya rasa nikmat puasnya setelah tercapai. Bahkan untuk
makan saja, diri ini harus berkorban dahulu, apalagi untuk hal-hal besar lagi
mulia. Dan yang kembali kepada Allah pun, adalah cuma hanya rasa ikhlas
dalam melakukannya saja. Dan tak ada yang sia-sia dari setiap pengorbanan yang
diirngi keikhlasan. Pengorbanan terbesar dari insan kemanusiaan adalah jihad fi sabilillahi. Sedangkan jihad terbesar
(akbar) adalah melawan hawa nafs
(keinginan jiwa)-nya sendiri, yaitu melawan pengakuan (ego)-nya
sendiri.
Dan bagi mereka yang belum juga
kesampaian untuk mampu beribadah hajji yang membutuhkan biaya yang cukup besar,
tidak perlu kecewa, sambil menunggu kesanggupan tersebut, maka sadarilah pula
bahwa baithullah (rumah Allah) di Mekkah itu adalah yang dzahir,
maka adapula baithullah yang bathin, yaitu yang berada di dalam
dada, kalbu kita yang paling dalam. Hampirilah rumah Allah
tersebut dan menemui-Nya dengan mensucikan hati yang selalu berdzikir
(mengingat) Allah. Kelak kita akan memahami hal ini, setelah Dia bukakan dada
kita untuk mendapatkan karunia hikmah-Nya yang begitu luas yang sebagian
besarnya masih tersembunyi (ghaib). Insya Allah, Dia akan menerima keberserah
dirian (islam) kita yang didasari keikhlasan.
“.... sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS 91:7-10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar