BAGIAN 5
AHAD
Bab
XXIV
SEMESTA ALAM
Sebagai Perwujudan
ALLAHU AKBAR
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah
benar.....”
(QS 41:53)
A
|
da banyak cara dalam mengenal
Allah, malahan tak terhitung banyaknya, sebanyak wujud-wujud di semesta alam
raya ini, yang sesungguhnya adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Akbar.
Alam raya adalah tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan segala macam kesempurnaan tanpa
cacat dari ciptaan-Nya tersebut adalah sebagai bukti Maha Sempurna-Nya Dia
sebagai Sang Khalik.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat).” (QS 67:3)
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Pernah suatu
kali, ketika sedang asyik menggambar, keponakan kecil datang menghampiri dan
bertanya, “sedang gambar apa Om?” Dan ketika dijawab, “rumah...” Sambil
kebingungan dia pun berkomentar, “mana rumahnya... Kok gambar rumah seperti
itu?!” Karena yang dia lihat hanya gambar denah lantainya.
Seperti itu
pulalah kita ketika berusaha memahami semesta alam ini ketika berusaha memahami
makna ayat 115 surah al Baqarah (2),
“Dan
kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
(QS 2:115)
Maka
kebingungan sendiri mencari-cari dimana wajah Allah, seperti keponakan kecil
tadi kebingungan mencari-cari wajah (gambar) rumah. Semesta alam ini
yang kita lihat melalui mata kita adalah sebagian kecil dari perwujudan Allahu
Akbar. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah
ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah
penulis itu sendiri, tentunya.
Perwujudan-Nya
yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara
keduanya, menunjukkan ke-tidak berhinggaan termasuk wujud-Nya
sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya, apalagi wujud atau
wajah-Nya.
Allah
meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak
terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia,
sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang
yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan
kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang
dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan
sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya
saja. Maka Dia-lah Yang Maha Akbar untuk dapat diketahui ataupun didefinisikan
melalui sifat keterbatasan makhluk.
Allah bersifat Qidam, yaitu pendahulu.
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu.
Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist).
Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia
sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang
ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki
awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir.
Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya,
bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia
berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia
berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dengan
begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia
pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang
Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan
rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah
bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha
Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai
satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal.
Begitulah sebagian kecil yang
dapat diketahui tentang-Nya dari ketidak berhinggaan pengetahuan tentang Dia.
Itupun karena diberitahukan oleh-Nya melalui Al Qur’an.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Kali ini, kita
akan berusaha lebih mengenal-Nya melalui surah al Fatihah, karena selain surah
ini sebagai inti sari Al Qu’an yang sungguh amat luas makna yang
terkandung di dalamnya. Juga, al Fatihah ini sebagai surah yang telah banyak
dihafal dan diketahui kemanusiaan, karena sebagai surah yang paling banyak
dibaca setiap harinya secara berulang-ulang. Bahkan tak sedikit mereka yang di
luar muslimin telah mengetahui surah ini, sekalipun tanpa memahami maknanya.
Makna-makna yang terkandung,
atau dapat dikatakan pula sebagai penafsiran, sesungguhnya amat luas dan takkan
cukup bila kita hendak membahasnya secara lengkap dan mendetail. Sekalipun apa
yang akan kita urai tak lengkap dan mendetail, akan tetapi paling tidak, dapat
mengarahkan pemahaman kita untuk lebih dekat lagi kepada kebenaran-Nya. Dan
semoga Allah melapangkan dada kita dalam menerima setiap hikmah petunjuk-Nya.
Nama-Nama Allah
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih
Sayang.”
(QS 1:1)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap
penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti
allah, dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian
nama-nama terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain
sebagainya. Allah adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari
al-ilah (dua suku kata al dan ilah yang
dilebur pengucapannya menjadi Allah). Kata al yang
menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan),
sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha
Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang.
Di dalam al
Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya,
yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan
kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia
menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih
mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan
petunjuk-Nya.
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar
Rahman (Yang
Maha Pmurah), dengan nama yang mana
saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nama
terbaik).......” (QS 17:110)
Akan tetapi setiap ‘nama’
dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk,
yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara,
mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama
adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti
tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi
membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang
sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk
memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
1.
Menyebut Nama-Nya sebagai Yang Mengingat DIA
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(QS 2:152)
Basmallah, adalah istilah yang
dipakai untuk menyebut nama Allah dalam setiap hendak melakukan aktivitas gerak
pekerjaan atau gerak amal perbuatan. Bahkan dipercaya, bahwa setiap perbuatan
yang tidak didahului oleh basmallah, akan mengalami kecacatan atau tak mencapai
kesempurnaan pada hasilnya. Sekalipun telah melalui perencanaan dan persiapan
segala sesuatunya dengan matang, maka tetaplah akan mengalami kecacatan pada
hasilnya. Mengapa dapat seperti itu?
Sebenarnya, kita sempat
mengulas panjang lebar (pada kitab-kitab sebelumnya, pada kitab Keimanan,
Agama, Berserah Diri, Lahir & Bathin, serta Kitab Hikmah) mengenai
bahayanya pengakuan (ego) sebagai yang menyelimuti dan menutupi
pandangan mata hati kita kepada petunjuk Tuhan, yaitu kebenaran. Dengan
begitu, jangankan hendak mendapatkan hasil yang sempurna, dalam perjalanan
pelaksanaannya pun tentu akan menemui dan mengalami kesalahan-kesalahan yang
dianggapnya sebagai kebenaran.
Pengakuan (ego)-nya adalah
kotoran hati, yang karena dengannya diri kemanusiaan menjadi lupa kepada siapa
sesungguhnya yang bekerja, yang memberi kekuatan tenaga, ilmu dan rizki kepadanya, yang memberikan
pengetahuan untuk merencanakan. Dan karenanya pula semakin lagi dapat disesatkan
kepada keserakahan dan ketamakan yang hendak mendapatkan hasil
sebesar-besarnya, melupakan andil yang lainnya yang telah ikut membantunya
bekerja.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar
(keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS
29:45)
Basmallah, paling tidak dapat
mengingatkan jiwanya akan keterikatan dan kebergantungan dirinya kepada
Tuhannya sebagai Penguasa alam, Penguasa segala sesuatu, dan Penguasa hari
kemudian yang menentukan hasil gerak pekerjaannya. Bila telah selalu ingat
kepada Tuhannya, maka kesadarannya akan selalu terjaga.
Bukan
takut kepada balasan azab Tuhannya, bukan pula takut neraka dan menjadi
mengharap surga, tidak pula untuk dipandang baik dan mulia oleh orang lain,
melainkan lebih menjaga kesadarannya pada fitrah diri-nya sebagai wakil
Tuhannya di bumi, sebagai yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang saling
menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Hanya Allah-lah
pemilik nama-nama terbaik, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama terbaik-Nya tersebut dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)
Sebuah nama
menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena
pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai
predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka
semakin besar dan agung pula nama-nya.
Mengingat
adalah selalu menjaga kesadaran jiwa bahwa sesungguhnya Allah mengawasi dan
menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu sibuk dengan
pekerjaan maupun di waktu senggang, atau bahkan sekalipun di waktu setelah
shalatnya. Karena kuasa Dia tak terbatasi oleh ruang dan waktu, begitupun
dengan rahmat-Nya. Setiap geraknya pun karena rahmat Tuhannya yang memberikan
kekuatan. Ingatnya pun karena rahmat petunjuk-Nya.
Mereka yang
telah menyadari ini, tentu akan memahami dan menjaga setiap gerak amal
perbuatannya agar tidak lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak
akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal
perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari ingatnya kepada Tuhannya. Amal
perbuatan yang merefleksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi
yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Kesadaran adalah suatu
kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar
dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga
akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang
sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya
menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang
dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati
adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi
tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah
(mengingat) Allah, dzikir
(ingat) yang sebanyak-banyaknya.” (QS 33:41)
“...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat.” (QS 2:198)
Kesadaran dan akal menjadi dua
unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan
dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat,
didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang
bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh,
karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam,
yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Pada hati
yang sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana
kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk
malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi
saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari
api”. Menjadi hal yang tak mungkin.
Kesadarannya
ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi
kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru
disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas,
yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin. Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya
samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana
tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk
pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat
hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran
(bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut
bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap
keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini,
ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat
dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja
belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri
kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha
memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.” (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun
bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan
kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat
mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat
sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan
setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya
hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta
terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya
pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat
mengetahuinya.
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Menyadari
kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan jiwanya kepada rasa berserah diri
(islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya
secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya
hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang
sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut.
Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
“Hai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Begitulah kemurahan Tuhannya
Yang Maha Pemurah, melapangkan dada mereka yang selalu berusaha mencari
keberadaan realitas sejati Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya berkuasa,
mengurus dan memelihara segala sesuatu di semesta alam ini.
2.
Nama sebagai Sifat Allah
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha
Pmurah),
dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam
terbaik).......”
(QS 17:110)
Ar Rahman,
Yang Maha Pemurah, dari sifat Maha Pemurah-Nya ini maka sifat-sifat terbaik
lainnya menjadi ada untuk di alam, yaitu bagi seluruh makhluk-Nya. Dia Maha
Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat kasih-sayang (ar rahiiym). Dia
Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat menguasai (al malik). Dia
Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat suci atau bersih (al
qudus). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat tidak kekurangan
(as salaam). Dan selanjutnya pada sifat-sifat lain-Nya yang masih banyak lagi.
Nama-nama terbaik
(asma’ul husna)-Nya adalah penisbahan kepada sifat-sifat Allah,
sesungguhnya dapat dijadikan indikator oleh kita, telah sejauh mana
sifat-sifat ketuhanan tersebut mewujud pada kemanusiaan kita. Naluri
ketuhanan inilah sebagai tingkat kesalehan dan ketakwaan
seseorang. Sesungguhnya yang mulia di sisi (di mata) Allah adalah mereka
yang takwa.
Bila diri
kita hendak menyadari dan hendak mencapai kesalehan serta ketakwaan, yaitu yang
dimuliakan oleh Allah Yang Maha Mulia, maka awalilah oleh diri kita dengan
mewujudkan sifat sebagai menjadi yang pemurah dengan ikhlas,
sehingga sifat-sifat terbaik dan terpuji lainnya akan mengalir dengan
sendirinya karena rahmat petunjuk Allah Yang Maha Pemurah, Ar Raahman.
Kemurahan-Nya
sungguh adalah rahmat-rahmat yang tak terhitung jumlah dan luas-nya, seluas
langit dan bumi. Begitulah sesungguhnya rahmat Allah sebagai perwujudan
sifat-Nya, sehingga Dia disebut Akbar, Yang Maha Besar dan Maha Luas, serta
Maha Agung dengan segala sifat-Nya.
Sifat-Nya sebagai
Yang Maha Pemurah, maka timbullah sifat penyayang-Nya, dan Dia-lah Yang Maha
Penyayang (Ar Rahiiym). Kemurahan-Nya pula maka timbullah sifat kuasa sebagai
Yang Maha Kuasa (Al Malik), kekuasaan-Nya harus ada untuk menyampaikan segala
kemurahan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Timbul pula sifat suci Dia sebagai
Yang Maha Suci (Al Quddus) dari kekuasaan yang tidak adil dan tidak bijaksana.
Karena itu pulalah maka timbul pula sifat Dia Yang Maha Adil lagi Maha
Bijaksana (Al ‘Adl dan Al Hakiym). Karena Maha Adil dan Maha Bijaksana-Nya maka
Dia haruslah memiliki pengetahuan sebagai Yang Maha Mengetahui (Al ‘Aliym).
Begitulah seterusnya seluruh nama-nama yang dinisbahkan kepada seluruh
sifat-Nya, hingga tak terhitung banyak dan luasnya sesuai dengan tak terhitung
luas dan banyaknya anugerah kemurahan-Nya.
Nama dan sifat adalah seperti
satu sisi dari dua sisi mata uang logam, sementara Dzat-Nya ada pada sisi
lainnya, keduanya sebagai yang selalu berlekatan tanpa pernah terpisah. Nama
dan sifat merupakan sisi zhahir-Nya sebagai yang mewujud di alam, sedangkan
Dzat-Nya merupakan sisi bathin-Nya yang tak terlihat oleh seluruh penglihatan
mata makhluk-Nya.
3.
Seluruh Nama-Nya adalah Ilmu & Pengetahuan
Nama-nama
Dia juga selain sebagai menunjukkan sifat-sifat Allah, ternyata juga adalah
merupakan ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui (zhahir) maupun yang
belum diketahui (bathin atau ghaib).
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
seluruhnya,....” (QS 2:31)
“Mereka (para malaikat)
menjawab: Maha Suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 2:32)
Adam pun takkan dapat memiliki
ilmu dan pengetahuan bila tidak diajarkan oleh-Nya, maka, seperti yang
dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa segala sesuatu ilmu dan pengetahuan
adalah datangnya dari Allah. Maka dengan mengucapkan dan menyatakan basmallah
dalam setiap gerak perbuatan adalah wujud mengakui kekuasaan Dia sebagai
Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang, yang sesungguhnya memberikan kekuatan
dan menentukan baik atau buruk akan hasil dari perbuatannya tersebut.
Rahmat
Allah, termasuk di dalamnya petunjuk-Nya, yang juga merupakan ilmu dan
pengetahuan yang sesungguhnya telah dibentangkan di alam raya ini, dan juga
yang sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai kitab
mubiiyn, tidak menyentuhnya kecuali mereka yang telah mensucikan hatinya.
“Pada kitab yang
terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS 56:78-79)
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
Ilmu dan pengetahuan Allah
meliputi segala sesuatu, tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Oleh sebab
Dia-lah sesungguhnya sebagai pemilik seluruh penglihatan, maka bagaimana
mungkin yang diberi penglihatan dan yang diberi pengetahuan dapat melihat-Nya,
atau dapat memiliki pengetahuan tentang-Nya, jika Allah tak memberikan-nya? Dia
memberikan petunjuk atau pengajaran-Nya melalui segala sesuatu, yaitu para
aparat-Nya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.
“.........
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS 10:61)
Ilmu dan pengetahuan Allah
meliputi langit dan bumi serta seluruh apa yang berada pada keduanya. Segala
sesuatu tersebut amat bergantung kepada rahmat-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya dan
tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Sebab Dia-lah sesungguhnya mencipta,
menguasai dan memelihara serta memberi rizki kepada segala sesuatu yang berada
di langit dan di bumi.
“Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Rahmat
rizki-Nya sampai kepada segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang tidak
diketahui makhluk-Nya dan diri-diri kita. Siapakah yang memberi makan sel-sel
yang berada di dalam tubuh? Dia ataukah kita? Bisakah kita pastikan makanan
yang kita kirim masuk melalui mulut kita, telah sampai dengan adil kepada yang
berhak (sel-sel tersebut)? Maka sesungguhnya, Dia-lah yang memberi, kemudian
mengatur dan memelihara. Tidaklah diri-diri kita sendiri memiliki kekuasaan
sampai seperti itu.
Jangankan
kekuasaan seperti itu, hidupnya sendiri adalah karena dihidupkan oleh Dia Yang
Maha Hidup. Adakah dirinya yang menghendaki kelahiran untuk mengalami kehidupan
ini? Jangankan kehendak hidup, nafasnya saja diberikan-Nya. Oksigen-nya
disediakan dan berlimpah di alam ini, paru-parunya menghisap dengan normal,
kerongkongannya terbuka memperlancar aliran yang masuk, dan hidungnya tak
tersumbat. Andaikan penyakit datang kepadanya, pilek misalnya, maka
tersumbatlah hidungnya. Dan nafasnya pun menjadi sedikit terganggu, hilanglah
satu nikmat Allah yang tak dapat dirasakannya untuk sementara. Tidakkah kita
sadari, bahwa masih banyak lagi yang tidak kita ketahui yang sesungguhnya
adalah rahmat-Nya kepada diri-diri kita?
Maka
merasakan sakit, sesungguhnya adalah menyadari peringatan Tuhannya untuk selalu
bersyukur atas kelapangan yang telah diterima selama ini sebagai rahmat dari
sekian banyak nikmat-Nya. Umumnya kita, setelah mengalami kesempitan atau
musibah, baru teringat kepada-Nya dan menyesali telah menyia-nyiakan kesempatan
anugerah yang telah diberikan kepadanya.
Jangan sepelekan
peringatan Allah tersebut, jika tak ingin datang menyerangnya penyakit-penyakit
lainnya yang merupakan akibat dari penyakit yang pertama. Nafas yang tak
normal, tak membawa oksigen yang cukup bagi pembakaran makanan-makanan,
sehingga suplay makanan kepada seluruh sel tubuhnya pun tak normal seperti
biasanya. Hal ini menyebabkan metabolisme sel pun terganggu, maka bukan tidak
mungkin pula menimbulkan penyakit-penyakit susulan pada tubuhnya.
Dari nama-Nya lah maka segala
nama dan sebutan menjadi ada, dan dengan demikian seluruh nama dan sebutan itu
merupakan rahmat-Nya yang sampai dan nyata sebagai ilmu dan pengetahuan yang
amat bermanfaat bagi kehidupan setiap diri kemanusiaan.
“Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa
buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk
membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.
Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang
sebagai sesuatu yang tak bernilai, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS 13:17)
Begitu pula segala
sesuatu yang diterima setiap diri kemanusiaan yang selalu dinilainya sebagai
kebaikan dan keburukan yang merupakan pasangan segala sesuatu, yang sesungguhnya
adalah hanya rahmat kebaikan yang tunggal dari Tuhannya, keburukannya
akan hilang seperti buih yang dijelaskan oleh ayat di atas. Seperti itulah rasa
yang diterima dari malam dan siang, gelap dan terang, sedih dan bahagia, sempit
dan lapang, sukar dan mudah, serta neraka dan surga yang dinilainya sebagai kebagai kebaikan dan
keburukan.
Bersyukur
“Segala puja dan puji (hanya) milik
(atau bagi) Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah
lagi Maha Kasih Sayang.”
(QS 1:2-3)
PUJA-PUJIAN ADALAH UNGKAPAN RASA SYUKUR
Mereka yang telah peka mata
hati bathin-nya, karena telah bersih dari kekotoran yang menyelimuti
hatinya, maka tentu segala puja dan pujian atas kekagumannya terhadap segala
sesuatu sebagai yang pasti akan kembali dan berakhir kepada
Tuhannya, sebagai yang mencipta, menguasai dan memelihara segala sesuatu yang
berada dan tersebar sampai diseluruh penjuru langit dan bumi. Tidak ada segala
sesuatu, sekecil atau sebesar apapun yang luput dari rahmat-Nya. Begitulah wujud
rasa syukur dari setiap puja-puji atas kekaguman terhadap nikmat yang sesungguhnya
hanyalah Allah pemberinya sebagaai Yang Maha Pemurah, pemberi sejati.
Melalui seluruh aparat-Nya, maka Dia sebarkan rahmat-Nya kepada seluruh
makhluk.
Seluruh
aparat-Nya pun merupakan makhluk-Nya, adalah ciptaan-Nya. Maka bersahabatlah
dengan seluruh makhluk-Nya karena sesungguhnya Allah menebarkan rahmat-Nya
dengan melalui seluruh makhluk yang dijadikan-Nya sebagai pembawa atau
penyampai (aparat) segala bentuk rahmat-Nya yang luas dan tak terhitung
banyaknya. Sehingga bila dirinya yang menjadi tujuan pujian, maka segera
jiwanya mengembalikan pujian tersebut kepada Allah sebagai satu-satunya yang
berhak menerimanya. Maka dirinya akan terlepas dari kesesatan akibat
kesombongan, rasa riya, takabur, dan pengakuan (ego)-nya.
“Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Begitupun bagi yang memberikan
pujian, janganlah menjadi tersesat karena tak menyadari siapa sesungguhnya pemberi
rahmat yang sampai kepadanya, sehinga jiwa-nya menjadi hanya berketergantungan
kepada makhluk yang dipujinya tersebut. Perhatiannya menjadi hanya tertuju
kepada dia, dan menafikan (menyingkirkan) selain-nya. Sehingga, secara tak
sadar, telah menutup pintu-pintu
rahmat Allah yang lainnya, yang sesungguhnya masih banyak lagi untuk
diterimanya.
Ingatlah segala sesuatu
memiliki pasangan-nya, sebagai yang akan datang menyusulnya kemudian. Berpasang-pasangan
adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan
Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu
luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Kita telah dapat menerima lapar
setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang
air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang
harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula
ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang
untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi
pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan
yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang
dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun
sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan
berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti
menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Begitulah
pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian.
Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran
sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah
berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari
Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik
dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan
seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula,
maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima
hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang
telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan
kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya
kebaikan.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kita,
sebagai diri-diri kemanusiaan, telah diberi dan telah pula menerima dari-Nya
indera-indera seperti pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat
berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya
dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di
langit. Yang dengan pendengaran,
penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya
dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling
menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
Penguasa Semesta (Seluruh) Alam
“Yang menguasai
hari-hari agama.”
(QS
1:4)
Pada umumnya, kebanyakan orang menafsirkan
‘yawmid-diyn’,
adalah hanya sebagai hari pembalasan setelah hancurnya semesta alam ini
(kiamat). Sehingga maknanya hanya terbatas pada hari atau alam itu saja, yaitu
hari-hari di alam surga atau neraka-nya saja. Jika di kembalikan kepada terjemahannya
sebagai hari-hari agama, maka maknanya menjadi luas tidak hanya pada hari
pembalasan saja.
Bila yang ditujunya adalah
penekanan akan adanya pembalasan pun, maka di alam dunia sekarang, masih dalam
kehidupan ini, balasan dari setiap amal perbuatannya pun dapat kita rasakan.
Tidak usah menunggu lama hingga kiamat terjadi, yang kita tak tau kapan
terjadinya. Dengan demikian, bila pemahaman ini telah dipahami dan disadari,
maka tiada ada lagi keberanian meremehkan amal perbuatan buruk, akibat hawa nafsunya
yang membisikkan kepada jiwanya, “bagaimana nanti saja balasan terhadap
kita, yang penting sekarang, adalah menikmati kenikmatan yang ada di depan mata
dulu.”
Dalam
kehidupannya, segala sesuatu makhluk-Nya, memiliki atau mengalami suasana
yang berganti-ganti dan berulang-ulang (siklus) sebagai alam tempat rasa
yang dominan mempengaruhi jiwa-nya. Seperti suasana-suasana di sekolah, di
kantor, di rumah, di jalan, dan di tempat-tempat mana saja dalam kehidupannya
berlangsung. Maka, sesungguhnya, suasana di alam-alam tersebut tidaklah
lepas dari kuasa aturan hidup (agama)-Nya. Suasana di alam-alam
tersebut sebagai suasana hari-hari (dalam naungan) agama Allah.
Dan Dia-lah Penguasanya.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Dan dalam skala kehidupan jangka panjangnya, jiwa
mengalami siklus-nya pula pada suasana-suasana lainnya sebagai yang masih ghaib.
Yaitu setelah kematiannya, mengalami suasana alam kubur sebagai alam
penantiannya sebelum dibangkitan. Alam inipun termasuk di dalam hari-hari
dalam naungan agama Allah, tidak lepas dari kuasa, aturan dan pemeliharaan
Tuhannya. Suasana penantian ini pun merupakan sebagi yang memiliki kehidupan
pula. Layaknya kehidupan ketika masih di dunia yang merupakan kehidupan yang menanti
kematiannya, maka di alam kubur pun adalah kehidupan yang menanti
kebangkitan-nya kembali. Tentu pula ada dengan amal-amal perbuatan pula yang
tetap dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)- Nya, selain tetap pula membawa
beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang malah akan
memberatkan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai untuk surga dan neraka-nya.
Setelah
itu, masih dalam skala kehidupan jangka panjangnya, mengalami dibangkikan untuk
mengalami pula kehidupannya kembali dengan suasana alam yang baru tetapi tetap
berada dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)-Nya. Juga tetap membawa
beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang memberatkan
atau meringankan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai sebagai surga dan
neraka-nya pula.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Bila
kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna
kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia
yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya. Sehingga
tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah
kematian, bahwa telah terputus-nya
segala amalan.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS 3:169)
Sebagaimana kita diajarkan
untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan
muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata
secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada
kehidupan di hari kemudian. Renungkanlah firman-Nya pada ayat berikut
ini.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada
mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan
pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah
kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Kejahatan
pada hari itu, maka makna ayat tersebut adalah, bahwa di surga pun ternyata
masih ada kejahatan yang mengganggu jiwa-jiwa kemanusiaan penghuninya. Oleh
sebab itulah hari-hari tersebut, di alam surga itu, tetap berada dalam naungan
agama Allah, termasuk sebagai di dalam hari-hari agama. Tetaplah
penghuninya masih membutuhkan perlindungan kuasa-Nya terhadap kejahatan
atau keburukan yang dapat saja datang menghampirinya.
Bila telah
memahami surga dan neraka adalah rasa bathin di dalam suasana-suasana
alam-nya hari kemudian atau hari-hari agama, maka tidak
diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Dihancurkannya
terlebih dahulu semesta alam ini, temasuk langit dan bumi, kemudian diganti
dengan yang baru, maka barulah mengalami surga dan neraka sebagai pembalasannya.
Cukup di semesta alam ini saja.
Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di
alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat
amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah
mengalaminya, dan tidak hanya sekali dua kali saja.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga
sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat adalah berada di alam ini pula, yang kekal
selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula
sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya,
akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga
ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi
kehidupan dunia maupun sekaligus tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan
sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya.
Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu
hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke
depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Hati yang diselimuti kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya
adalah bagaikan fatamorgana yang timbul membiaskan penglihatan aslinya, maka
bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali
pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia
yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari
kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam
nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat
sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan
surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil
lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Begitulah keadilan Tuhan Yang
Maha Bijasana. Janganlah kita menyangka mereka yang menikmati kemegahan dunia,
hidup bergelimang kemewahan di kehidupan sekarang ini, selalu merasakan nikmat
saja dan tak pernah sekalipun mengalami kesedihan, kesempitan, kesulitan,
maupun kepayahan dalam sakitnya. Tentu mereka pun pernah mengalaminya, dan
itulah bagian dari pembalasan atau nerakanya sebagai selingan kehidupan
surganya, yang harus dialaminya, sebagai balasan yang sekarang dituai akibat
amal perbuatan buruk di kehidupan sebelumnya.
Begitu pula sebaiknya, mereka
yang hidup dalam kekurangan dan kesempitan, pasti mereka pernah mengalami
sesekali kenikmatan, kelapangan, kemudahan, kebahagiaan, ataupun nikmat yang
yang tak pernah disangka-sangkanya. Dan itulah surganya sebagai selingan dari
kehidupan nerakanya yang merupakan balasan yang sekarang dituai dari amal
perbuatan baik di kehidupan sebelumnya. Seperti itulah makna ayat di atas.
Dia-lah
penguasa semesta (seluruh) alam, termasuk alam dunia sekarang sebelum
kematian, setelah kematian adalah alam kubur menanti kebangkitan,
kemudian setelah kebangkitan adalah alam pembalasan. Dibangkitkannya pun
di alam dunia ini pula, yaitu sebagai mengalami siklus hidup-mati dan
dibangkitkan, seperti siklus tidur-bangun hanya saja dalam skala yang panjang
waktunya.
Sumber & Tujuan Segala Sesuatu
“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya
kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.”
(QS
1:5)
Bila
menafsirkan menyembah hanyalah pada saat-saat melaksanakan ritual
dalam shalat, yaitu ruku’ dan sujud,
maka maknanya menjadi sempit, tidak akan mampu mencapai kepada tujuan
shalat itu sendiri sebagai yang mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga
menghasilkan manusia-manusia berakhlak mulia dan terpuji.
Maka akan lebih tepat, bila menafsirkannya sebagai beribadah.
Dengan begitu, maknanya menjadi lebih meluas kepada amal perbuatan. Karena
beribadah, tidak hanya melaksanakan shalat sebagai bagian dari mengingat
(menjaga kesadaran) kepada Tuhannya, melainkan pula mewujudkan ingat-nya
tersebut kepada bentuk-bentuk amal perbuatan yang mencerminkan shalat atau ingat-nya,
yaitu kebajikan.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan
agama?
Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong
memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan
(memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Setelah
ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya
semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain,
sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan
rahmat kepada sesama makhluk Tuhannya.
Shalat sebagai pengingat
dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji,
Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji,
yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk
Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan
terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah
tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau
zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah
shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dan dengan selalu mengingat Allah, akan
menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi
kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya.
Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang
mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan
kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari
kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah
diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam
mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Orientasi
shalat, ibadah, bahkan hidup dan matinya hanya kepada Tuhannya, adalah
mengarahkan kesadaran jiwa untuk menyadari kembali, bahwa Dia-lah sesungguhnya
segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju.
Maka segala sesuatu
tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego),
agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala
sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali
menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan.
Logikanya, jika telah dikembalikan kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada
perlu lagi ada pertanggung jawabannya. Jadi, selama diri merasa memiliki
setiap yang dianugerahkan kepadanya, maka tetap memiliki pula tanggung
jawabnya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Amal perbuatan yang tak
merefleksikan shalat-nya malah sebagai yang dibenci Allah. Karena,
amal perbuatan tersebut justru yang meruntuhkan agama Allah, sebagai yang
mengingkari kebenaran petunjuk jalan lurus-Nya. Jelas, dengan shalat
yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi malah
diingkari dengan melakukan amal
perbuatan sebaliknya, yaitu perbuatan yang dimurkai-Nya. Maka celakalah mereka
yang seperti itu.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan
secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang
menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya.
Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk.
Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah
perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan
amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih
sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya
tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas,
yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong,
perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
Shalat seharusnya sebagai yang
menjaga kesadarannya bahwa Tuhannya selalu bersama dalam gerak amal
perbuatannya di setiap waktu, tanpa pernah dirinya lepas dari kuasa pengawasan
dan kuasa pemeliharaan-Nya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dia-lah
sebagai pendahulu segala sesuatu, yang mendahului segala sesuatu
keberadaan. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah sebagai
keberadaan yang baru. Dia-lah awalu
wa akhiru, yang mengawali dan yang mengakhiri, akan tetapi
Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan
segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah
pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan segala sesuatu yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia
sendiri tidak berawal dan tidak berakhir. Segala sesuatu,
termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari
segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin
yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak
berakhir, karena Di-lah yang mengakhiri segala sesuatu selain diri-Nya.
Dengan begitu pula maka Dia
adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda
dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu
atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang
Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang
Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai
Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada
pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati.
Eksistensi Tunggal sebagai sumber dan tujuan segala sesuatu.
“... Dan
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara
keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS 5:18)
“... Dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
“........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Rasa takut
dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang
timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan
mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan
turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat
serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat
menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan
kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin
seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa
takut?
Tidak
pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala
bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah kecewa
karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas
dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas
keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba
keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita
adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan
Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan
setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa
anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima
(sebagai hari kemudian).
Artinya,
segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan,
adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah
kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya
ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini
dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan kebaikan atau keburukan
amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri (islam)
kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya
berserah diri (islam) ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara
kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang
menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini
(dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan
dunia.” (QS 53:24-25)
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri.
Jangankan
memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya,
melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada
kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang,
kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula
dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai
pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai
pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel
yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga,
mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya.
Itu seluruhnya adalah anugerah
yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung
jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila
seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu
rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa
menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan
keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran.
Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Kebanyakan
diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa-nya, sehingga mau berbuat
untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit
keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau
malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya.
Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa yang
diterima-nya pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang
bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa.
Ketiadaan diri sebenarnya
adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud)
hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan
dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung
jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima.
Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela
maupun terpaksa.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Bila dirinya lebih memaksakan
kehendak atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Hilangnya pengakuan (ego) adalah usaha mencapai kesabaran dan bersyukur
dalam menerima apapun yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, secara tak
langsung, dirinya telah berusaha melenyapkan aku-nya, dan lebih
menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya
adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46)
Amal perbuatan yang merefleksikan shalat-nya, tentu akan membuat
jiwanya lebih matang, termasuk juga mencapai kesadaran betapa pentingnya
bersabar dan bersyukur di dalam kehidupannya. Kehidupan yang sesungguhnya
dibawah naungan kuasa dan pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih
Sayang.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Begitulah sebagai yang berserah
diri (islam), yaitu yang mengorientasikan segalanya hanya kepada Allah, karena Dia-lah
sumber sekaligus tujuan segala sesuatu. Dari-Nya lah segala sesuatu berasal,
dan kepada-Nya lah segala sesuatu tersebut kembali pulang.
Petunjuk
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus.”
(QS
1:6)
Ar Raahmanur-rahiiym,
Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya.
Segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, sesungguhnya berada dalam
naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan dengan kuasa-Nya, Dia tundukkan segala
sesuatu seluruhnya yang berada di langit dan di bumi bagi kepentingan
kemanusiaan. Dan sempurna-Nya adalah tanpa mengurangi rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka selain kemanusiaan.
“Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Begitulah konsep dan sistem-Nya bagi keseluruhan makhluk-Nya, sebagai yang
saling berbagi dan saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmatan lil
‘aalamiiyn. Tanpa terkecuali, semuanya pun sebagai aparat Allah. Yaitu
sebagai pembawa dan penyampai rahmat-Nya.
Dan seluruh makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan, sesungguhnya sedang
menuju kesempurnaannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya dengan
kemurnian dan kesucian. Maka bila telah tiba batas waktunya tersebut, untuk
kembali pulang, maka seluruhnya dengan sukarela atau terpaksa tetap bergerak
menuju kepada-Nya.
Bila masih ada yang melekat padanya kekotoran atau kesesatan, sebagai
yang tidak murni dan tidak suci, terpaksa mengalami peleburan untuk
pembersihannya. Seperti melebur logam emas untuk memisahkannya dari kekotoran
yang melekat. Atau seperti orang yang hendak membersihkan tatto di kulit
tubuhnya dengan menggunakan soda api atau seterika panas. Rasanya, mungkin,
seperti orang yang masih ingin hidup seribu tahun lagi, namun apa daya malaikat
maut telah di depan mata.
Rahmat dan karunia telah selalu
dan selalu diberikan-Nya, juga waktu dan kesempatan diberikan selalu beriringan
dengan anugerah-anugerah-Nya, tetapi mengapa masih pula membawa kotoran yang
melekat kuat pada jiwanya. Perjanjiannya adalah, ketika berangkat dalam
keadaan suci dan murni, maka kembali pulang-nya pun harus pula dengan
keadaan suci dan murni. Begitulah hukum-Nya.
“..... Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil.....”
(QS
13:17)
Allah yaitu Tuhan semesta alam,
yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya,
baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab
suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang
menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah
diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang
lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah
tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau
makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi
diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada
siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun
matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada
Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan
melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar
dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya,
maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi
mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan,
bukannya petunjuk.
Kemanusiaan adalah sebagai
wakil-Nya, dan merupakan perwujudan
Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna
iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun
cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya
harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang
membanjiri bumi dengan melihara-nya sebagai teman sejawat yang
selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya,
keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari gelapnya
kebodohan menuju kepada cahaya pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak
melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita
yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat,
“.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir.” (QS 13:22)
Segala macam petunjuk yang datang
adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya
apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi
menjadi lebih bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Bila menjadikannya
sebagai keburukan dan kesalahan, maka kelak, akan kembali
kepada dirinya sebagai yang dituai.
Renungkanlah, semoga Allah
membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga
dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita.
Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar
terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada
pernah akan rela membiarkan kemanusiaan menuju atau bahkan dekat dengan
Tuhannya, bila diri kemanusiaan itu sendiri tidak memiliki keikhlasan kepada
Tuhannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.
(QS
15:39)
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka”. (QS 38:82-83)
Menyadari
kuasa Allah kepada para aparat-Nya, malaikat dan rasul yang ternyata adalah
meliputi diri setiap kemanusiaan ini pula, yang sesungguhnya untuk disadari
dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs
pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada
bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai
petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai
rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri
kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di
dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri
ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk
dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa
yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui
kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi
sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim, Dia-lah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Kasih Sayang.
“.........melainkan
Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
Sebagai contoh, segala sesuatu
yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang
dikiranya bekerja dengan sendirinya,
yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen,
usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang
menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis
di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu
sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya.
Dan bagi orang-orang yang
bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut
pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan,
apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang
tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha
mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah
yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal
perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri.
Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa
tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
“.....dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.....” (QS 8:17)
Gerak langkah, gerak melihat,
gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan
gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri
hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara
menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal
kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat
dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang
mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya.
Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya.
Bila kita melangkah lebih jauh
kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang
telah ditanamkan” pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan
kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga). Atau pada jaringan permukaan kulit di jari
tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri
setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat
bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri.
Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya
tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau
stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang
tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola
hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak
atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada
dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah
mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat
Kami. Dan segala
sesuatu telah
Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
Tubuh atau jasad setiap diri
kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap
saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian
sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi
bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak
disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah,
melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan
catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang
memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata,
catatan-catatan tersebut merupakan catatan amal diri kemanusiaannya yang
pula akan harus dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya, kelak.
Catatan-catatan itulah yang akan menentukan arah gerak kehidupan-kehidupan
selanjutnya.
Semesta alam beserta
keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang
menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata
merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi
catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Bila sebelumnya, kehendak dan
keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni
atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa
melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan
terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua
pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan
atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari
kemudian-nya, kelak.
“Kemudia
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur” (QS 32:9)
Dia
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya,
adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada
jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan
penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan
rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran
yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah
yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat
kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang
menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan
ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan
lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat
mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri atau jiwa yang hanya
terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja,
atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka,
maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan sejati. Tiada pernah memahami mengapa
dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu
berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang
sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung
atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang
bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya. Juga tidak
memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi,
penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan
untuk mendapatkan pemahaman.
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS
3:190-191)
Kelak setiap
diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan
mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati,
sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan
ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri
kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa
nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Segala sesuatu yang tersebar di semesta alam ini, termasuk
diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya selain sebagai yang menerima rahmat
petunjuk-Nya, adalah pula merupakan sebagai pembawa dan penyampai rahmat
petunjuk-Nya. Mereka yang membawa dan menyampaikan itulah yang disebut rasul.
Dan Allah memilihnya dari malaikat dan manusia.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ......” (QS 22:75)
Lalu cobalah akal dan kesadaran
kita untuk melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan alam sekitar, mencoba
memahami satu per satu apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasa
dengan hati yang jernih tanpa membawa kesibukan perhatian lainnya. Apakah
sesungguhnya yang dikehendaki Allah maka semua ini ada untuk memudahkan
kehidupan kita? Tentu Dia tak sekedar mencipta serta memelihara demi
kemanusiaan. Pastilah ada tujuan utama-Nya maka Dia melakukan semua ini dan
nanti.
“.....Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan......” (QS
30:8)
“Sucikanlah
nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan
kadar dan
memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah yang
meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan
rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa
awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam
buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Kita berusaha memahami
kehendak-Nya dan mengenal-Nya, agar jiwa kita bisa selalu tetap berada dalam
jalan lurus-Nya, dan justru menjadi tak tersesat dalam rahmat nikmat dari
setiap anugerah-Nya yang luas dan tak terhitung.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya
kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Tidak hanya
pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan
bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan
tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan
pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri
secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya
kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ,
demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan
akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada
kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah
berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari
tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai
kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan
Allah.” (QS 38:26)
Bukanlah hal
yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha
hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam
kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah
dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam,
ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala
sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan
miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada
dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi
hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan
kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan
sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari
kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang,
menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan
ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama
keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada
kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
Hati yang
tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa
dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh
kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak
jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan
(kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs
al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan
larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal
perbuatan, maka sang iblis pun
menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat
yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri
kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai
kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di
alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk.
Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs
kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang
sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan
cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan
(agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan
sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan
sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan
terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para
rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya.
Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan
kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala
sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya
diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling
menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya
untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan
membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan
yang selain merugikan orang lain dan tidak pula merugikan dirinya sendiri.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah
Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami
bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Itulah
fitrah kemanusiaan yang dikehendaki Allah, dan merupakan ketetapan-Nya
yang takkan berubah. Kemanusian sebagai khalifah adalah merupakan perwujudan
Dia Ar Raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) di muka bumi,
sebagai wakilnya di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada
sesama makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Nikmat & Siksa (Azab)
“(yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.”
(QS
1:7)
Mengapa
Allah memakai kata nikmat, dan bukanlah surga? Padahal yang Allah
maksudkan adalah orang-orang terdahulu, yang telah lama tiada. Jika jawabannya,
karena bila memakai kata surga, masih menunggu kiamat qubra dahulu. Bila
pemahamannya seperti itu, surga dan neraka adalah menunggu kiamat qubra,
itu jelas pemahaman yang salah. Allah menegaskan seperti firman-Nya di bawah
ini.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain)....” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Jelas sekali
firman-Nya ini menerangkan keberadaan surga dan neraka yang kekal
selama masih adanya langit dan bumi, bukan setelah kiamat dan tidak
adanya lagi langit dan bumi. Dan berarti pula, ayat ini menegaskan bahwa surga
dan neraka pun berada di alam dunia ini pula. Di kehidupan ini. Sekarang inilah
kita pun sedang berada di dalam surga sekaligus neraka-nya.
Nikmat dan
siksa adalah alam rasa, begitu pula surga dan neraka adalah alam
rasa, bukan alam tempat. Jika kehidupan ini adalah balasan dari kehidupan
sebelumnya, mengapa diri kita tak ingat pernah mengalami kehidupan sebelumnya?
Hal
tersebut disebabkan oleh sunathullah(-Nya), bahwa masa-masa di dalam kandungan
dan masa-masa balita adalah masa pembentukan memori (ingatan) pada
jaringaan sel-sel otak, begitupun masa-masa tua-nya hingga kematiannya adalah
masa-masa peluruhan atau kehancuran memori (ingatan)-nya.
“Allah
menciptakan kamu, kemudian
mewafatkan kamu, dan
diantara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa.” (QS 16:70)
Ingatan
(memori) sebagai yang tersimpan dan berada di jasad (sel-sel otak), maka saat
jiwa berpisah dengan jasad maka terpisah pula dengan memori ingatannya. Dan
ketika dibangkitkan, sebagai bayi kembali dengan jasad yang baru, dan dengan
membawa garis takdir baik dan buruk-nya sebagai neraka dan surga-nya.
Begitulah kita pun diwajibkan beriman
kepada takdir baik dan takdir buruk. Diajarkan-Nya kita untuk dapat berserah
diri (islam) dengan ikhlas menerima takdir tersebut yang merupakan
surga dan neraka kita sebagai akibat perbuatan kita di kehidupan sebelumnya,
dan tidak lagi membuat beban-beban baru bagi kehidupan kemudian.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang
berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus
tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau siklus proses
terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi,
atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya
lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai murni, suci dan bersih .
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai
kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal
dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad
dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih,
sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus
kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa
kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci
dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga
menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus
mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran
yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal
yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu
untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal
perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah
merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati
pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”
(QS 2:159)
Betapa banyak pemahaman yang menjadi
berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat
saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri
(islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang
seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan
yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan
banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi
timbul rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan.
Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang
hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang
membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan
merasakan nikmatnya surga, sedang tujuan
utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang
kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang keluar rumah
untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa
dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan
pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol
santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat
menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang
sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang
ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan yang
sungguh rentan dengan banyaknya godaan yang hadir silih berganti.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang
timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya
akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup
oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda.
Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula
menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Nikmat dan
siksa sebagai pasangan yang menggoda, yaitu pasangan yang dapat menjerumuskan
mereka yang hanyut oleh keduanya. Lihatlah mereka yang dilalaikan
kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia, serta mereka yang tak sabar
dalam penderitaan dan kesempitan.
Mereka ini
yang keyakinan atau iman-nya telah tergerus oleh ketakutan yang berada dalam
hatinya. Ketakutan berkurangnya atau kehilangan nikmat yang sedang
melenakannya. Atau juga mereka yang ketakutan hidupnya akan selamanya terus
sebagai yang menyiksanya.
Kedua
ketakutan tersebut adalah angan-angan yang menyelimuti dan menutupi hatinya
dalam melihat kebenaran-kebenaran dari cahaya petunjuk Tuhannya, sehingga
jiwanya bisa semakin tersesat oleh angan-angan yang membawanya terus terperosok
semakin dalam. Yang terlena kemewahan dan kemegahan dunia, semakin ingin lebih
menikmati segala hawa nafsunya, maka semakin berkembang pulalah hawa nafsu
lainnya. Dan mereka yang ketakutan hidupnya akan terus menderita, menjadi
semakin tak sabar untuk dapat lepas dari penderitaannya, dan diambillah jalan
singkat untuk merubah hidupnya. Dan mereka berdua pun semakin terlena
dengan kesesatannya yang semakin dalam dan semakin menjeratnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Secara tak sadar mereka telah
menciptakan kehidupan yang tak sehat yang dapat menyebar kepada selain diri
mereka sendiri. Telah terjadi hubungan dua arah, yang mereka kira adalah saling
menguntungkan mereka, semacam simbiosis mutualisme. Dan hal ini akan terus
menyebar bagai wabah penyakit. Seperti pencuri dan penadah, atau juga penyuap
dan yang disuap.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Ketika hal ini telah membudaya,
maka biaya hidup semakin tinggi, semakin lagi memaksa pada kehidupan yang jauh
lebih tak sehat lagi, hingga kronis. Terciptalah krisis multidimensi, di
semua sektor kehidupan dan di semua kalangan profesi, semakin merembet kepada
krisis moral dan keagamaan. Maka para anak-anak, remaja, dan pemuda pun bukan
hanya menjadi korbannya, malah telah ikut-ikutan sebagai pelaku. Ya, telah
menyebar ke seluruh kehidupan.
“..... dan
Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan
itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi keseimbangan
itu.”
(QS
55:7-9)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun sayangnya,
masing-masing merasa dirinyalah yang benar dan baginya yang lain adalah salah. Disebabkan
sudut pandang yang mendasari kebenaran, merekapun yang beraneka ragam. Akan
tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran
tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu di alam ini adalah rahmat-Nya,
dan tak ada rahmat-Nya yang mengandung kesalahan atau kecacatan, juga
keburukan. Karena keinginan dan kebutuhan-lah, maka manusia menilainya menjadi
baik atau buruk. Itulah sebagai keterbatasan makhluk. Bila sesuai
keinginan yang didasari kebutuhannya, maka dianggapnya kebaikan, telah menerima
nikmat-Nya. Sedangkan, bila tak sesuai keinginan yang didasarkan
kebutuhannya, maka dianggapnya sebagai keburukan, sebagai yang sedang menerima cobaan
dari-Nya. Sesungguhnya, kemanusiaan itu hanya hidup menerima. Menerima
segala rahmat-Nya.
Itulah kadar baik dan kadar buruk yang harus
diterimanya, dan bila kesadarannya telah matang, maka hatinya lebih
memahami bahwa Tuhannya tak memberikan kadar buruk kepadanya, hanya kebaikan
dalam setiap pemberian-Nya.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya,
diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja, kita
takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur
tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.
Belum lagi keragaman pemikiran dan keinginan-nya yang tak pernah terpuaskan.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Padahal,
sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan
itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
membuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya
malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau
kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah
bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk
(maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu
merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka
kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan
dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Bila yang
lahir (zhahir) yang menjadi tujuan dan melupakan yang bathin, maka
sesungguhnya dia hanya mendapatkan kulit, tidak isi-nya. Tetapi
jika hanya menginginkan yang bathin, maka dia akan membuang kulit.
Oleh sebab itu, hilangkanlah segala keinginan agar menerima keduanya. Sebab
mereka yang hanya menginginkan yang bathin akan membuang shalat
dan puasa-nya, karena hanya mengambil makna-nya saja.
Padahal
mereka yang telah mencapai pemahaman yang bathin tentu telah menyadari
pula, adalah ketetapan-Nya bahwa kemanusiaan menjadi wakil-Nya di bumi sebagai
yang mewujudkan segala sifat-Nya. Itulah fitrah kemanusiaan-nya
yang tak pernah akan berubah. Semesta alam ini-pun diwujudkan-Nya untuk
menyatakan keberadaan-Nya yang bathin, yang takkan mungkin dipahami oleh
keterbatasan makhluk-Nya bila tak ada wujud-wujud sebagai perwujudan (perwakilan
wujud)-Nya.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik itu
anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan,
kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan
segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima
dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya
lah yang tidak ada (ghaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya
adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan
nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh
Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi
serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Mereka yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam), tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan
dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk
dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri
itu, yang telah memiliki kesabaran dan kelapangan dada untuk mencapai keberserahan
diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa, apapun alasan penolakan terhadap
ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal
tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja,
belum tercapai. Karena sartu per satu tahapan-tahapan (maqam) harus
dilalui oleh jiwa dalam perjalanannya, seperti terbukanya selaput
hijab-hijab yang menyelimuti kesadaran mata hatinya. Bahkan diri-diri yang
merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang
haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani
menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri), apalagi bila
mengatakan belum ber-iman. Jadi, hanya pada tingkatan keikhlasannya-lah
yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar