Bab XXV
ANTARA
PEMAHAMAN & ANGAN
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
ufuk dan
pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS
41:53)
D
|
ia-lah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Dia zhahir (nyata)
melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam,
dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami apalagi
mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun tak terlepas dan menjadi
terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak dengan memisahkan
antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang bathin. Padahal, kedua sifat
Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan bagi pemahaman makhluk.
Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap pemahamannya tersebut,
sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling menuduh sesat.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran bila menjadi semakin
tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga menumpahkan darah. Mereka
lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang mempertimbangkannya dengan akal dan hati
yang lapang dan lebih memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu
diulang-ulang pada bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah
rahmat yang tunggal, yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia
Yang Maha Tunggal termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai
Yang Maha Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai
bersama pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir
dan Yang Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya
merasa masih dalam keterbatasan. Sadarilah, keterbatasan adalah
sifat makhluk, maka dekatilah kebenaran yang sejati (haqq), yaitu Dia Yang Maha
Benar (Al Haqq).
“.... Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang (cacat). Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS 67:3)
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun (kembali
kepadamu) dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Dia-lah Dzat Yang Maha Halus dan Lembut,
yang sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga
menjadi tak nyata terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus
dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan.
Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam
memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang
satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci
lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk
dalam memahami-Nya.
Penglihatannya
menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi cahaya
Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap, tiada
lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit atau
mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada lagi
takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan yang
dapat menyesatkannya. Keburukan yang datang tidak lagi menyusahkannya, dan
dipandang sebagai hikmah yang membawa kebaikan kepadanya kelak. Begitupun
kebaikan yang datang dan disyukurinya, berhati-hati dirinya agar tak terlena
serta mengelolanya sebagai amanat yang kelak sebagai akan dipertanggung
jawabkannya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat
karena kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala
sesuatu tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang
Maha Tunggal.
Semesta alam
ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari agama
(Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai penguasanya.
Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta alam ini
berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung dan tak
terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya, sehingga
tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala sesuatu
tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari
segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah
Yang Maha Tunggal.
Matanya
melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka ragaman wujud,
keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka ragaman rasa yang
menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut merupakan
perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling
bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan
dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti
gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku
(es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang
satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya
sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Karena di alam, maka diri
kemanusiaan, dengan keterbatasannya, tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena
tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan
sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin
yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui, kecuali bila
telah diberi pengetahuan atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi
segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar,
Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia
menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenalinya,
bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha
Tunggal (Allaahu ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus
menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau
wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal
dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah
diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
tempat keberadaan-Nya.
Dia
takkan pernah dapat didekati, bahkan takkan dapat dikenali, tanpa terlebih
dahulu membersihkan atau mensucikan hati dari segala macam kekotoran yang
melekatinya. Kekotoran-kekotoran yang membuat kesadaran jiwa tak merasakan
keberadaan-Nya yang sungguh amat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya
sendiri.
“Pada kitab yang
terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali
hamba-hamba yang disucikan.” (QS 56:78-79)
Jika pada ayat-ayat
(tanda-tanda) kekuasaan-Nya saja, kita tak dapat menyentuh atau memahami-nya
bila tak mensucikan diri terlebih dahulu, maka apalagi kepada usaha
mendekati-Nya. Kekotoran
tersebutlah yang menjadi hijab-hijab keterbatasan jiwa kemanusiaan dalam
menerima dan kemudian memahami petunjuk Tuhannya yang amat luas tak berhingga.
Ibarat mata yang melihat keluar jendela kaca yang dipenuhi kotoran, sehingga
pandangannya menjadi buram dan tak jelas, atau sempit terhadap apapun sejatinya
yang berada di luar jendela. Maka hatinya pun menyimpulkan yang bukan
kebenaran, yaitu kesalahan, itulah
ketersesatan.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.....” (QS 6:125)
Mereka yang lapang dada-nya, tentu jiwanya lebih terbuka dan
berserah diri (islam), yang akan pula menjadikan-nya lebih sabar serta
lebih dapat mensyukuri apapun yang diterima dari Tuhannya. Maka ketahuilah,
dengan begitu, sungguh jiwanya telah berada dekat denagn Tuhannya, seperti
tanpa ada hijab yang membatasinya.
“Hai orang-orang
yang beriman, mintalah
pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46)
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Di dalam sejarahnya,
kemanusiaan mendekati Tuhannya dengan beragam cara. Kebanyakan dengan melakukan
ritual upacara-upacara tertentu yang melibatkan banyak orang, atau memperbanyak
shalat sunah tambahan, juga melatih diri melawan hawa nafsu dengan berpuasa
tidak makan dan minum, dan ada pula yang mengasingkan diri dan mencari
keheningan berusaha menyatu dengan alam.
Rasul Allah, nabi kita
Muhammad SAW pun, sebelum kenabiannya, selalu menyempatkan dirinya bertahanuts
(mendekatkan diri kepada Tuhan) di gua Hira sampai beliau mendapatkan wahyu
pertamanya. Begitu pula nabi-nabi lainnya, seperti Ibrahim, Musa, Zakaria, dan
Isa. Juga mereka, yaitu pribadi-pribadi yang hendak mensucikan jiwanya, banyak
yang mengambil jalan seperti para nabi untuk mendapatkan pencerahan
demi menentramkan hatinya yang galau.
Keresahan hatinya
bukanlah disebabkan oleh keinginan dari kebutuhan akan kemegahan dan kenikmatan
kehidupan dunia, dan bukanlah pula karena hendak menurutkan ambisi sesaat pada
kehidupan sekarangnya. Melainkan disebabkan pandangan mata hatinya yang jauh
menelusuri kehidupan panjang jiwanya, menembus batas-batas keterbatasan
manusia pada umumnya.
Dada mereka yang lapang,
selapang luasnya semesta alam ini, menyebabkan jiwanya merasa kesepian dalam
hiruk pikuknya kehidupan dunia. Seakan membutuhkan teman baru yang mengerti,
memahami dan dapat menjawab segala keresahan yang memenuhi hatinya. Mereka
seperti hidup di dua alam.
Alam pertama-nya, sekalipun nyata di kelopak
matanya yang selalu meminta dan menuntut lebih tanpa pernah terpuaskan,
sehingga dianggapnya-lah malah sebagai alam yang maya. Alam penuh godaan
yang dapat menipu dan menyesatkan. Sekalipun banyak kenikmatan yang telah
dirasakannya, tetapi tak pernah memuaskan keresahan sesungguhnya yang
berkecamuk di dalam bathinnya.
Sedangkan alam kedua-nya adalah, yang sekalipun tak
nyata oleh kelopak matanya, namun mata hati, akal dan kesadaran jiwa-nya
percaya dan yakin, bahkan amat menaruh harapan sebagai yang suatu saat, kelak,
akan dapat memuaskan dan menjawab segala apa yang memenuhi di dalam dadanya.
Jiwanya amat meyakini kekuatan tersembunyi yang berada di dalam segala
sesuatu yang ada dan terlihat oleh kelopak matanya, sebagai kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan di balik kehidupan. Kehidupan tak terlihat,
halus lembut tak terasa, kecuali oleh jiwa yang terkendali, dalam sistem kuasa
tunggal dari Yang Maha Tunggal. Kehidupan alam kepatuhan, yaitu alam
kehidupan jiwa-jiwa yang telah berserah diri (islam).
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Alam bathin
ini pun tak kalah menghanyutkan dari alam nyata kita, hanya saja
perbedaan menghanyutkan-nya adalah lebih membawa jiwa kepada ketenangan dan
ketentraman. hidup lebih terasa enjoy dan damai, tidak lagi tergesa-gesa. Inti
yang menjadi spiritnya adalah keikhlasan berserah diri (islam) kepada
Yang Maha Memelihara segala sesuatu.
Apapun yang
datang kepadanya sebagai yang dinilai orang baik atau buruk, baginya adalah
nikmat rahmat dari Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Diterima
segala sesuatunya seperti menerima malam setelah siang, yang merupakan kebaikan
bagi dirinya pula. Hatinya pun semakin luas dan lapang, seakan-akan tujuh
langit beserta gugusan-gugusan bintangnya, juga matahari, bulan dan bumi
seluruhnya pun termuat di dalamnya, dan setiap saat selalu saja ada yang masuk
sebagai penghuni barunya yang datang dari Tuhannya.
Bathinnya
semakin kepada kesadaran merajut kembali tali-tali yang sempat putus
sebelumnya, sebagai persiapan demi kehidupan yang akan datang kemudian,
sehingga bila telah tiba waktunya, maka tak ada lagi pekerjaannya yang masih sebagai beban yang kelak merepotkannya.
Dia hanya ingin, kelak, di kehidupan selanjutnya sebagai yang mengalami segala
yang baru, tanpa membawa luka lama yang akan menyengsarakannya.
Perjalanan Malam (Isra’ dan Mi'raj)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS 17:1)
Mencari suatu
malam yang Allah berkehendak memperjalankan hamba-Nya di dalam
malam-malam yang selalu dilaluinya dalam hening dan senyap. Setiap malam
dilaluinya dengan melakukan perjalanan malam menuju Tuhannya. Dan di setiap
malam itu pula, langkah demi langkah, sekalipun berjalan perlahan, sesungguhnya
hatinya sedang mengalami pembersihannya. Dan setiap malam, selalu dijadikan
sebagai isra’ dan mi’raj-nya.
Ya, dalam perjalanan-nya
tersebut, jiwanya dibawa dan diperlihatkan kembali masa-masa kelamnya yang
dipenuhi kekotoran dunia yang membebaninya. Tak terasa air mata menetes jatuh
membasahi, tidak kering di pipi, malah terus mengalir jatuh kebawah. Baju dan
sarungnya pun terasa basah, hidung tersumbat sesenggukkan di kesepian malam
yang hening.
Jiwa-nya
kini membawa akal dan kesadaran-nya demi mensucikan kembali hidup dan
kehidupannya. Ketiganya sebagai yang saling mengingatkan kepada kebenaran dan
saling menasehati kepada kesabaran. Akal tidak lagi berfungsi untuk mengakali,
dan kesadaran-nya pun tidak lagi untuk merasakan hanya nikmat dunia saja,
melainkan keduanya sebagai yang ikut bersama jiwa-nya mengembara jauh
menembus alam-alam yang sebelumnya tak pernah dialami dan dirasakannya, menemui
keragaman kebenaran yang kelak membawanya kepada kebenaran tunggal dari Yang
Maha Tunggal.
Pencapaian
tahap hati yang telah peka terhadap segala hal, tidak pula mudah melakukan
kecerobohan yang merugikan siapapun, termasuk kepada dirinya. Telah terang dan
jelas semua jalan, bahkan yang menyesatkan pun menjadi terang akan
penyesatannya. Jika sebelumnya itu dianggapnya sebagai tantangan yang
hendak ditaklukannya, kini jiwanya tak merasa lagi tertantang. Jiwa yang lebih
lembut dan melembutkan, melunakkan segala keinginan dan kebutuhan hawa dunianya
yang keras menggebu.
Persoalan
hidup di dunia adalah, kemanusiaan yang cenderung terpesona kepada keindahan
bentuk atau wujud, sehingga menafikan hakikat yang berada di dalamnya yang tak
kelihatan. Sifat dasarnya, keterbatasan, dimana kesadaran inderawi-lah yang
terlebih dahulu berperan melihat kemudian menyimpulkan segala sesuatu
berdasarkan rupa, bukan makna. Itulah yang sebenaranya dapat saja
menyesatkannya. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dicari para pencari
dan para pejalan telah ada di dalam diri-nya.
Fitrah-nya
telah tetap, karena kemanusiaan dicipta berdasarkan fitrah-Nya tersebut, dan
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Dan kemanusiaan pun diberikan anugerah
sifat-sifat Allah, sekalipun terpenjara oleh sifat utama keterbatasan-nya
sebagai makhluk, tetapi jelas telah dianugerahkan oleh-Nya. Maka, hanya dirinya
sendirilah yang dapat meningkatkan kadar dari setiap sifat tersebut menuju
kesempurnanan hakikat-nya sebagai makhluk Tuhan.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Dengan isra’ dan mi’raj-nya, maka
di setiap malamnya terbukalah satu persatu pintu kesempurnan hakikat,
dimana di dalamnya amat terang dibanjiri cahaya petunjuk Tuhannya menerangkan
apa yang hendak diketahuinya. Begitu pula pada malam-malam berikutnya, yang
membuatnya tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa dekat dengan Tuhannya.
Jasad yang
bersimpuh duduk di atas sajadah, sendiri tanpa suara, senyap tanpa lampu.
Mencapai keheningan yang tembus dan menetap di dalam dada, tanpa membawa beban
kesibukan hari-harinya. Kesibukan hanya pada hatinya yang melantunkan
puja-pujian kepada Tuhannya, sebagai salam pembuka menyapa Sang Khaliq junjungannya
yang tak pernah mengantuk maupun tidur, selalu menemani siapapun yang
berusaha mendekati-Nya.
Maknanya,
Dia menemani dengan kebenaran petunjuk-Nya yang bukan merupakan kata-kata
dengan suara, melainkan langsung di tanamkan-Nya ke dalam dada sebagai
pemahaman yang membuka lembaran-lembaran kitab yang nyata (kitab
mubiiyn) di dalam dada setiap kemanusiaan. Dan tidaklah menyentuhnya
kecuali orang-orang yang telah mensucikan hati dari pengakuan (ego) atau
hawa nafsu-nya.
Tundukkan segala keinginan dan kebutuhan sebagai yang tunduk patuh pada
jiwanya. Jangan biarkan para aparat-Nya berubah menjadi pembangkang karena
keinginan akan segala kebutuhan yang disebabkan kuatnya bisikan bujuk rayu pengakuan
(ego) dan hawa nafsu-nya. Betapapun kuatnya energi atau kekuatan di dalam
materi jasadnya, yang juga membawa qudrat-iradat dari Tuhannya,
takkan dibiarkannya tanpa terkendali oleh jiwanya yang telah berada dalam
naungan perlindungan rahmat petunjuk dan pemeliharaan Tuhannya.
Bathin telah bersih dari segala bentuk pertentangan, perbedaaan,
bahkan keragaman. Segala sesuatu, seluruhnya adalah adalah rahmat tunggal dari
Tuhannya, yaitu nikmat. Hanya nikmat yang ada bagi makhluk. Begitulah rasa
yang dialami ketika ditemani-Nya dalam setiap perjalanan malam-nya yang
hanya mengandung rasa tunggal, yaitu nikmat. Kebenaran dan
kesalahan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, kecukupan dan
kekurangan, serta kelapangan dan kesempitan sebagai yang telah dilaluinya,
kesemuanya melebur kepada satu pemahaman di dalam bathinnya sebagai rasa nikmat
yang tak terlukiskan.
Kehdupan nyata adalah medan perjuangan amal perbuatan,
pertempuran antara yang haqq dan yang bathil. Yaitu memendam segala yang bathil
dengan kebenaran. Seperti sabda nabi Muhammad SAW setelah perang Badar, kita baru saja kembali dari jihad
kecil menuju jihad
akbar. Jihad akbar, yaitu perang
melawan hawa nafsu diri
sendiiri.
Petunjuk Tuhan telah nyata dan
jelas, dan agama telah disempurnakan, sehingga menjadi terang, mana kebenaran
dan mana kebathilan. Maka jiwa setiap diri-lah yang membawa dan menuntunnya
kepada kebenaran, serta mencegahnya hanyut dan tersesat dalam kebathilan.
Jiwa-jiwa yang selalu dalam naungan jalan lurus petunjuk-Nya, dan mampu
menundukkan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya, dengan demikian, sesungguhnya,
telah menciptakan kehidupan yang sehat, damai tentram dan bersahaja bukan hanya
kepada dirinya sendiri, melainkan kepada sekitarnya sebagai pula yang ikut
merasakan.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan
kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Manusia yang
akal dan kesadarannya telah mampu menguasai dan menundukkan nafs-nya
adalah dia yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat
(aparat) Allah. Itulah fitrah kemanusiaan sebagaimana firman-Nya di
dalam ayat tersebut di atas. Yaitu, sebagai wakil-Nya yang juga
merupakan perwujudan sifat-sifat Tuhan di muka bumi, sebagai yang saling
menebarkan rahmat Tuhannya, rahmat bagi semesta alam.
Akan tetapi, mereka yang akal
dan kesadarannya dikuasai oleh nafs-nya, maka dialah yang menduduki tingkat
serendah-rendahnya makhluk, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.
“atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS 25:44)
Amal perbuatan merupakan
refleksi atau perwujudan dari spirit (ruh) shalat-nya, itulah makna
menjaga fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai khalifah di muka bumi, yaitu
wakil Allah dalam mewujudkan seluruh sifat-Nya bagi semesta alam, rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Tidak sadarkah jiwa sebagai yang telah menerima anugerah
kemuliaan seluruh sifat-sifat Allah? Janganlah seperti binatang ternak
atau yang lebih sesat lagi dari itu, sehingga tak dapat mendengar atau memahami.
Ruh-nya Shalat & Dzikr
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”
(QS
6:162-163)
Ikhlas berserah diri
(islam) adalah perwujudan dari keyakinan (iman)-nya, yaitu ikhlas-nya
amal perbuatan yang didasari oleh kekuatan (ruh) iman-nya kepada Tuhan
yang berhak di-ibadahi, seperti yang selalu diucapkan di dalam shalat-nya. Dan
bukan sebagai orang yang celaka karena shalat-nya, akibat tak memahami makna
shalat-nya, yaitu sebagai yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
“......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS
107:1-7)
“......... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan
mungkar.
Dan
sesungguhnya mengingat (dzikir) Allah adalah lebih besar (keutamaannnya).
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Selalu ingat
(dzikir) Allah adalah lebih besar keutamaannya, yaitu dengan menjaga
kesadaran dalam setiap amal perbuatan dengan tujuan kepada Allah, dan
kekuatan untuk berbuatnya juga adalah karena kekuatan yang dianugerakan-Nya.
Begitulah mewujudkan berserah diri (islam) dengan ikhlas hanya
kepada-Nya.
Kita telah
membahas energi (kekuatan) pada pada bahasan di kitab-kitab sebelumnya,
bahwa energi-energi sesungguhnya adalah para aparat Allah, yang tidak
mengalami kematian atau musnah melainkan berubah bentuk atau wujud-nya. Maka,
begitu pula amal perbuatan yang merupakan energi, yang juga sebagai
menimbulkan aksi dan reaksi. Dan ikhlas-nya amal perbuatan
baik adalah menciptakan aksi dan reaksi positif, yaitu para
malaikat Allah sebagai yang tunduk patuh, menjaga, membawa petunjuk dan
membantu bagi kemudahan kehidupan pelakunya.
Maka sadarilah pula, amal
perbuatan buruk sebagai energi yang menciptakan aksi dan reaksi
negatif, yaitu para malaikat pembangkang yang tak mau tunduk patuh.
Inilah makna wujud malaikat pembangkang yang disebut Allah sebagai iblis,
sebagai yang malah menjerumuskan kepada kesesatan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Meskipun di
dalam setiap shalat dan dzikir-nya yang berusaha mendekat dan bersama Tuhannya,
sekalipun tak dapat melihat Dzat-Nya dengan mata lahirnya, namun keberadaan-Nya
sungguh terasa oleh mata bathin dan kesadarannya. Apalagi setelah akalnya pun
memahami wujud-wujud tak nampak yang memiliki kekuatan (energi) seperti
ulasan amal perbuatan di atas, dimana amal perbuatan pun memiliki kekuatan
tersembunyi yang amat berpengaruh kepada pelakunya.
Tak ada penglihatan yang
sanggup dapat melihat wujud Dzat-Nya, karena sesungguhnya Dia-lah yang
memberikan penglihatan. Yang diberi adalah mutlak dalam keterbatasan, tidak
seperti yang memberi, apalagi Yang Maha Pemberi maka Dia-lah Yang Maha Luas tak
terbatas. Bagaimana mungkin Yang Maha Luas dapat dilihat oleh yang serba
terbatas?
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.” (QS 6:103)
Shalat dan
dzikir adalah juga merupakan mengaktifkan kerja mesin ruh-ruh di dalam
tubuh jasad-nya sebagai yang tunduk patuh dalam sistem kerja yang telah
ditetapkan Tuhannya bagi kemudahan jalannya kehidupan kemanusiaan. Terciptanya
kedamaian dan ketentraman pada jiwanya dalam naungan Sang Pemelihara,
sesungguhnya adalah yang dapat menghindarkan jasad dari penyakit-penyakit yang
merupakan adalah perwujudan iblis pembangkang yang tak mau tunduk patuh
pada qudrat dan iradat-Nya sebagai malaikat atau aparat Allah bagi kemudahan
kehidupan manusia.
Begitulah kekuatan
(ruh) dalam shalat dan dzikir untuk mengingat atau menjaga kesadaran tetap pada
Tuhannya, dengan begitu terjaga pula amal perbuatan dari kekejian dan
kemungkaran. Yang ternyata pula, memiliki pengaruh kekuatan balik yang
sangat besar dan menentukan bagi proses perjalanan kehidupan jangka panjang
kejiwaan kemanusiaan di banyak alam lain yang akan dilaluinya.
Tetapi,
sungguh perlu pula disadari oleh kesadaran akal yang tidak tercemari oleh
ketidak-adilan dalam berpikir dan mencerna dalam memahami kebaikan dan keburukan
sebagai pasangan yang dikehendaki Allah pula keberadaanya. Walaupun sebenarnya
yang Allah ciptakan dan berikan adalah rahmat tunggal, yaitu kebaikan. Namun
karena keterbatasan kemanusiaan dalam melihat dan memahami segala sesuatu
selalu dinilai sebagai dua hal yang
berpasangan, yaitu kebaikan dan keburukan-nya.
Allah membiarkan
hal tersebut, karena di balik kejahatan ada kebaikan, begitupun sebaliknya.
Keduanya adalah kebaikan tunggal yang tak terpisahkan serta tak dapat
dihilangkan keberadaan salah-satunya, dan segala sesuatu adalah rahmat-Nya.
Bagaimana bisa mengetahui dan memahami kebaikan, bila tak ada lagi keburukan
sebagai pembandingnya?
Pahamilah,
segala sesuatu adalah ciptaan dari kehendak-Nya, termasuk keburukan dan
kejahatan. Maka mungkinkah kita menolak salah satunya (keburukan atau
kejahatan) dan hanya mau menerima yang satunya lagi (kebaikan)? Ilmu dan
kebijaksanaan-Nya pun turun sebagai petunjuk kepada orang-orang pilihannya,
yang dengan ilmu dan kebijasanaan tersebut, maka teranglah perbedaan yang baik
dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta antara yang haqq dan yang yang
bathil.
Begitupun keyakinan
(iman) menjadi ada, karena adanya kekafiran mereka yang tersesat.
Percayalah, tak akan ada kesempurnaan sebagai yang indah, bila tak ada
warna-warna sebagai keragaman yang berbeda dalam kehidupan. Tak ada kenikmatan,
bila semua kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi. Begitulah keyakinan (iman),
sebenarnya amat dibutuhkan mereka yang yang masih tertutup hati-nya
tidak mau dan dapat melihat atau menerima kebenaran dari Tuhannya, inilah yang
disebut dalam kejahilan (kebodohan). Dan mereka yang semakin memaksakan
tetap menutup hatinya setelah melihat dengan nyata kebenaran dari Tuhannya
itulah, sebagai yang disebut dalam kekufuran.
Seperti
itulah mata lahir memandang, akan tetapi bila mata hati yang telah diberi ilmu
dan kebijaksanaan-Nya memandang, maka tak ada pilihan yang membingungkannya,
yang ada hanyalah satu, yaitu jalan-Nya. Itulah Kebenaran (Haqq). Tidak ada baik atau buruk
yang terpisah di situ, karena takkan ada kebaikan tanpa keburukan. Sama halnya,
dengan takkan mungkin adanya keburukan tanpa kebaikan. Sebegitu relatif-nya
batas keduanya, juga sebagai yang saling berketerkaitan dalam sebab-akibat.
Dan hanya dapat dipahami melalui hikmah kebijaksanaan yang ada di dalam
dada mereka yang telah diberi petunjuk-Nya.
Di dalam dzikr
(ingat atau sadar) ada termasuk di dalamnya fikr (olah pikir), dabr
(melebur bersama alam) dan syukr (bersyukur). Kesemuanya adalah yang
bekerja di dalam hati, dan berguna membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang
melekat, sehingga tak terhalang lagi bagi hati melihat hakikat segala sesuatu.
Saat itulah Allah menolongnya dengan petunjuk yang menerangi dalam memandang
segala hal.
Apa yang sebelumnya adalah
keimanan yang harus diyakinya, kini tiada keterpaksaan, hatinya telah melihat
apa-apa yang dibentangkan sebagai kebenaran yang nyata, tidak lagi sekedar
sebagai yang dipercaya. Kini akal dan kesadarannya benar-benar telah dapat
membawa jiwa-nya ikhlas berserah diri (islam) kepada Dia Yang Maha Hidup
(Al Hayyu) dan Maha Menghidupkan segala sesuatu. Tidaklah segala kejadian
terwujud dan terjadi, kecuali karena telah dikehendaki oleh-Nya.
Ruh-nya Puasa, Zakat & Sedekah
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
Inti makna dari ayat di atas
adalah pengorbanan. Itulah jihad akbar, seperti yang dimaksud
oleh nabi Muhammad rasulullah SAW. Kepekaan hati-nya lah yang menentukan kapan
saatnya berkorban (ber-qurban), yaitu saat Allah meminta-nya.
Dan Dia akan memberitahukan
kepada hati yang peka, yaitu hati yang telah ridha dan ikhlas berserah diri
(islam) kepada-Nya. Jika Dia telah meminta, maka menjadi wajib-lah
hukumnya bagi orang itu untuk melaksanakannya. Tak ada kewajiban bagi mereka
yang tidak peka hatinya, namun kebaikan-Nya takkan datang sebagai balasan bagi
mereka. Dan mereka termasuk orang-orang yang merugi.
Adalah
pengorbanan, sebagai kebajikan yang besar dan sempurna bagi Allah, adalah saat
Dia meminta apa-apa yang sangat dicintainya. Seperti Ibrahim AS ketika diminta
mengorbankan anak satu-satunya yang baru saja diterima dari Allah sebagai
anugerah yang telah ditunggu-tunggunya sejak lama hingga masa tuanya. Lihatlah
dan renungkanlah, bagaimana kepekaan hatinya dalam ikhlas berserah diri
(islam), ketika menerima mimpi tersebut sebagai kewajiban kepada
Tuhannya.
“.... sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS 37:102-105)
Dan apa-apa yang diusahakan
kemanusiaan mencari dan untuk didapatkan dengan jerih payah sebagai tujuan
dalam hidupnya, ternyata adalah sesuatu yang justru harus dikorbankannya.
Sebagai yang tidak melebihi kecintaan-nya terhadap Tuhannya. Sedang
Tuhannya Yang Maha Kaya tak membutuhkan semua itu dari makhluk-Nya, yang justru
membutuhkan adalah sesamanya, yang sama-sama berjuang seperti dirinya untuk
mendapatkan semua itu. Pada saat itulah hati yang peka menggerakkan jiwanya
untuk bertindak atas nama Tuhannya mau berbagi rahmat-Nya yang telah
dikaruniakan kepadanya.
Tetapi diantara mereka ada yang beruntung dan ada
kebanyakan yang tidak beruntung. Maka Tuhannya lebih terasa ada pada
mereka, yang sedang berdo’a mengharapkan rahmat-Nya turun untuk menghilangkan kesempitan
dan kesulitan yang sedang mendera mereka. Sungguh pada hati yang peka yang
dapat melihat penderitaan mereka, dan tergerak mewujudkan rahmat Tuhannya
datang kepada mereka, sebagai pengembalian yang baik kepada-Nya.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Begitu pula, Tuhannya
menghendaki agar makhluk-Nya dapat saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama,
yaitu sebagai wakil-Nya di muka bumi. Maka dengan melalui jalan zakat, infaq
dan sedekah adalah selain dapat mensucikan jiwa, juga sebagai penolongnya kelak
di kemudian hari.
Karena,
harta sesungguhnya adalah energi atau kekuatan yang tersimpan
dalam bentuk benda, dan segala sesuatu yang dinafkahkan di jalan Allah adalah
tidak musnah, dan tak terbuang dengan percuma, ataupun sebagai yang akan habis
tak bersisa. Melainkan berubah bentuk menjadi energi-energi lain yang
suatu saat akan kembali kepada pemilik asalnya, sebagai rizki balasan dari
Tuhannya.
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Bagaimana reaksi mereka yang
merasa terbantukan atau tertolong tentu telah biasa kita dengar? Tentu, mereka
mengucapkan do’a agar Tuhannya memberikan balasan rizki yang berlipat ganda
kepada yang telah membantunya. Jangan sepelekan sebuah do’a, dia adalah ruh-ruh
yang terus bergerak yang kelak akan mewujud sebagai yang nyata. Itulah energi
kekuatan atau ruh dari apa-apa yang dinafkahkan secara ikhlas di jalan Allah.
Apa-apa yang ditanam kemudian disertai doa yang tulus kepada Tuhannya.
Begitu pun sebaliknya, harta
benda yang didapat dan dinafkahkan pada jalan kesesatan, maka ruh yang
menyertainya adalah ruh atau kekuatan iblis yang pasti
menyesatkan. Dan sebagai yang kekal terus bergerak di alam dengan segala
akibatnya, dan merupakan jejak-jejak sebagai catatan amal perbuatan
pelakunya. Begitulah ketetapan Dia sebagai Yang Maha Mengetahui segala sesuatu,
sekecil apapun itu, karena segala sesuatu memiliki energi (ruh)-nya.
Sengaja mengosongkan perut-nya,
berpuasa, adalah salah satu cara mengasah kepekaan hatinya dalam melihat
tanda-tanda kekuasaan Tuhannya. Juga dapat melemahkan hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya agar tunduk patuh, dan tidak terus menerus sebagai yang menghasut
jiwanya kepada kesesatan. Amal perbuatan yang terus bergerak dari hari ke hari
tak pernah lepas dari hasutan pengakuan (ego) dan hawa nafsun-nya, maka dengan
banyak berpuasa-lah sebagai yang melindungi jiwa dari hasutan-hasutannya yang
tak pernah berhenti hendak menjerumuskan.
Jasad ini adalah harta tak
ternilai yang dianugerahkan Allah kepada kemanusiaan, akan tetapi menuruti kehendak
jasad pun adalah dapat menyesatkan jiwa-nya. Kecintaan terhadap jasad janganlah
melebihi kecintaan kepada Tuhannya. Tak akan ada habisnya jasad ini meminta
untuk dipenuhi segala keinginannya. Telah berapa ratus karung beras habis dan
masuk ke dalam perutnya selama ini?
Betapa banyak penyakit yang
diakibatkan menuruti keinginan perut, dan ketika mengadukan kepada
dokter atau tabib, diberikanlah pantangan-pantangan makanan yang tak
boleh dilanggarnya. Maka menjadi haram-lah nikmat-nikmat Allah tersebut
kepadanya. Jika kepada dokter atau tabib dia mau tunduk, maka sesatlah dia
sebagai musyrik bila masih pula tak menyadari kebenaran Tuhannya. Kepada dokter
atau tabib itu, dia mengeluarkan uang untuk mendapatkan pantangan-pantangan.
Tetapi Allah-lah yang memberikan segala rizki, bahkan yang tak pernah
dimintanya sekalipun, malah tak diyakininya segala kebenaran perintah dan
larangan-Nya, yang justru adalah menghendaki agar dirinya selalu dalam
keselamatan.
Menuruti keinginan perut
adalah termasuk yang menuruti keinginan hawa nafsu atau pengakuan
(ego), yang sebenarnya juga menyebabkan para aparat (malaikat)-Nya yang
semula patuh dan tunduk kepada tugas-tugas membantu kemudahan kehidupan
kemanusiaan, berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang justru
merugikan kehidupan kemanusiaannya sendiri. Maka penyakit yang datang
kepadanya adalah karena ulahnya sendiri yang menuruti hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Begitulah
terjadinya kerusakan pada apa-apa yang telah ditetapkan Tuhannya akibat
menuruti hawa nafsu ataupun pengakuan (ego)-nya. Semakin dalam
penyesatannya, bukan tak mungkin dapat merugikan orang lain pula, maka
akibatnya, jiwa pun semakin besar pula menanggung balasannya kelak.
Sebenarnya,
segala hawa nafsu itu adalah satu, namun ketika muncul, menjadi beragam dan
berkembang. Seperti saat berpuasa dan sambil menunggu berbuka, maka timbullah
ingin tersedianya makanan yang digoreng, yang berkuah, ada minuman dingin, juga
buah-buahan. Semakin banyaklah yang ada di benaknya untuk persiapan berbukanya.
Namun perlu disadari, itulah hawa nafsu yang satu, yaitu lapar.
Seperti itulah hawa nafsu dan pengakuan
(ego) menyesatkan setiap diri kemanusiaan. Cepat sekali, tak terasa
mengalir di dalam aliran darah, menggerakkan alam pikirnya, bahkan merangsang
getaran-getaran saraf kenikmatan, seolah semuanya telah tersaji dan terlihat
menggiurkan lengkap dengan bentuk dan warna yang menarik, yang semakin membuat
perutnya semakin keroncongan, ingin segera merasakannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
Begitu mudahnya menganggap sesat
orang lain, sama mudahnya menganggap suci orang yang lain, dan begitu
pula sesungguhnya, betapa mudahnya diri kita tersesat oleh pemahaman
kita sendiri akibat hati yang buta.
Ruh-nya Cinta
Pada mulanya ada perasaan yang
timbul antara kebingungan dan kekaguman, tentang kepuasan yang mereka dapatkan,
yaitu para pencari ataupun para pecinta. Begitulah sebutan kepada mereka yang
selalu tak pernah lepas dari mendekatkan diri pada Tuhannya.
Kehidupan yang dijalaninya terasa damai,
tentram dan tak pernah sekalipun terlihat bersinggungan dengan masalah yang,
sekali saja, pernah merepotkannya. Juga, tak pernah terdengar keluahan keluar
dari bibirnya. Bahkan mereka tidak susah payah bekerja untuk mencari nafkah
sampai mengeluarkan keringat, seperti pada umumnya kebanyakan orang.
Sepertinya, mereka telah merasa cukup dengan apa yang sekarang ada padanya.
Rahasia apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik
kehidupannya tersebut? Sungguh tak menarik minat perhatian, seandainya saja
banyak pula orang-orang sepertinya. Tetapi ini, mereka yang seperti ini, adalah
satu diantara seribu orang.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Renungkanlah, Dia dengan
firman-Nya tersebut diatas, seperti seorang bapak yang sangat menyayangi
anaknya dengan mengatakan; jangan bermain api, kalau tidak menurut akan
dijewer. Sungguh Dia pun amat menyayangi makhluk-makhluknya, cuma, hanya
karena keterbatasan pada diri kemanusiaan dalam memahami, maka timbullah kesan
Allah adalah pembalas, pencemburu dan pendendam dengan azab-Nya.
Padahal, justru karena rasa kasih-Nya yang teramat dalam kepada kemanusiaan,
maka firman-Nya tersebut sebagai pengingat akan bahayanya mencintai yang
berlebihan terhadap segala sesuatu, kecuali dengan tulus ikhlas hanya berharap
kepada-Nya.
Jika kedekatan rasa dengan
selain Tuhan, adalah penghianatan, maka bagaimana kita bisa mencintai
pasangan kita, orangtua, anak, saudara, atau bahkan sesama? Maka, cintailah
segala sesuatu secara ikhlas dengan atas nama-Nya sebagai anugerah
dari-Nya, dan jangan berlebihan dalam mencintai. Karena segala sesuatu, selain-Nya,
adalah bersifat sementara dan tidak kekal, akan hilang dan akan pergi
meninggalkannya. Ikhlas-nya adalah tanpa mengharap balasan, layaknya seperti
mengharap upah. Maka, cukuplah berserah diri (islam) kepada-Nya, karena
segala kebaikan yang ditanam tentu akan berbuah kebaikan pula.
Cinta-lah yang membuat segala
sesuatu yang lemah menjadi kuat, dan dengan gagah berani mempertahankan
keberadaan atau eksistensinya, bahkan menjadi sebab lahirnya
keberadaan-keberadaan baru yang lebih sempurna sebagai penerus kehidupan. Dan
bersama cinta, maka segala sesuatu menjadi kelihatan dan terasa indah
mengagumkan. Sebab cinta adalah ruh-nya keyakinan (iman). Tapi
ketahuilah juga, cinta pun memiliki ruh-nya, yaitu ikhlas. Lihatlah para
pahlawan, para martir, serta para syuhada dan para nabi yang telah pergi
menghilang tetapi jejaknya tertinggal abadi, tak pernah terhapus oleh
masa dan lupa.
Dan lihatlah pula, mereka, para
pecinta ketika bekerja dan menghasilkan karya yang sempurna dan
mengagumkan. Maka bagaimana keadaan mereka si putus asa?
Dan berhati-hatilah juga
terhadap cinta palsu, karena tidak jarang pula yang tergelincir oleh
hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya sendiri, yang datang memakai topeng
cinta kemudian membisikkan kesesatan yang dibungkus kemuliaan dan keindahan.
Dia menawarkan jalan singkat yang bengkok dengan merayu dan merangsang
hati kepada angan palsu. Bila saja keikhlasan yang sedari awal mengikutinya,
ditinggalkan, maka menjadi tergelincirlah ia kepada kesesatan. Inilah antara
pemahaman dan angan yang dibatasi hijab yang teramat tipis, sehingga mudah
sekali tergelincir menembus masuk ke sisi yang sesat, bila tak lagi
bersama ruh keikhlasan-nya.
Ruh keikhlasan
tersebut-lah sebagai energi-energi atau para aparat (malaikat)-Nya yang tunduk
patuh, sebenarnya yang membantunya tetap dalam jalan lurus-Nya yang
membawa-nya sampai kepada tujuannya dengan selamat. Bila keikhlasan
ditinggalkannya, dan lebih mengharap balasan atau upah, maka ruh-nya
ini, akan berubah pula fungsinya menjadi malaikat pembangkang (iblis)
yang semakin menghasut kepada hasrat-hasrat yang menjerumuskan ke dalam
kesesatan yang jauh lebih dalam.
Dengan begitu, Allah tak
melarang mencintai apapun yang ada dan telah dikaruniakan sebagai rahmat
dari-Nya, namun, asalkan tidak berlebihan dalam mencintainya. Segala sesuatu
yang berlebihan akan menyebabkan ketidak seimbangan dari yang
telah diciptakan-Nya, yaitu ketetapan-Nya atau sunathullah. Dan akan merusak
tatanan universal-Nya pada segala sesuatu makhluk Allah, bukan hanya dirinya
sendiri yang akan mengalami kerugian.
Itulah fungsi akal dan
kesadaran, sebagai yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan. Karena apa
yang dilihat nyata, belumlah tentu nyata sebagai realitanya, seperti
fatamorgana. Tetapi yang nyata sebagai realita, sudah pasti ada di dalam
yang bathin. Sebab, yang bathin itulah isi (intisari) dari yang terlihat
nyata. Inilah yang disebut hakikat.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
Sehingga, siapapun yang
meremehkan dan meninggalkan akal kesadaran-nya, sesungguhnya mereka
melepaskan ikatan-ikatan pengaruh malaikat Jibril dari dirinya, bila seperti itu,
maka bersiaplah tersesat karena kebodohan. Karena Jibril-lah sesungguhnya
sebagai energi atau kekuatan yang membawa petunjuk dari Tuhannya bagi kemudahan
kehidupan kemanusiaan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Ruh-nya Khayal (Imajinasi)
Di dalam perkembangannya pula, akal dan kesadaran ini memiliki kekuatan
kreasi imajinasi pikiran, sehingga keyakinan (iman)-nya dapat menjadi indah
atau sebagai yang malah dapat menakutkannya. Seperti imajinasi tentang surga
dan neraka sebagai gambaran-gambaran visual di dalam benaknya, tetapi
itu masih dalam tahap pertengahan perjalanannya. Dan karena imajinasi sebagai
yang terus berkembang, dan hidup dengan ruh-nya pula, maka akan banyak
pula petunjuk-petunjuk yang hadir, yang mengarahkan jiwanya lebih mendekati
kepada kebenaran sejati. Sehingga yang sebelumnya hanya sekedar
keyakinan belaka, kini telah dekat mencapai pintu hakikat kebenaran.
Imajinasi, atau alam khayal,
dapat timbul karena adanya usaha memahami keyakinan (iman) menggunakan akal
pikiran dan kesadaran-nya. Sehingga, sebenarnya jiwa-nya telah memancarkan
(mengeluarkan) energi-nya. Dan sungguh, tak ada energi yang musnah atau
sia-sia, melainkan berubah bentuk wujud atau hingga akhirnya sebagai yang
memiliki jasad materinya, tetapi tetap memiliki ruh sebagai energi
bawaan asalnya. Kelak, energi-energi tersebutlah sebagai ruh-ruh
yang mewujudkan secara nyata dalam bentuk materi, persis seperti gambaran
imajinasinya semula sewaktu masih dalam alam khayalnya.
Adakah sesuatu yang terwujud
tanpa kehendak? Dan sungguh kehendak amat dipengaruhi oleh akal pikir
dan kesadaran, serta imajinasinya. Bila bukan dirinya yang mewujudkan, bisa
saja energi ruh yang telah terpancar tersebut akhirnya hinggap kepada mereka
yang dapat mewujudkannya secara nyata atau fisikal, setelah ada transfer
energi atau transfer kekuatan pengetahuan dan pemahaman-nya. Ada pula yang
memakai istilah, seperti mencuri ide atau mencuri pikiran.
Bagaimana mungkin seseorang
bingung dengan lalat dan unta, bagaimana ia dijadikan? sementara
semesta alam pun telah ada di dalam dadanya. Maka barangsiapa yang pandangannya
terbatas dan berhenti kepada hanya mengagumi keindahan jasad atau bentuk,
sesunguhnya akal dan kesadaran-nya telah mati. Dan hatinya telah beku, tak
dapat jauh masuk kepada yang bathin, dimana hakikat tersembunyi bersama
rahasia segala sesuatu. Justru pada hakikat tersebutlah jiwa telah berada di halaman
arsy-Nya.
Diri kemanusian yang penuh
cinta, sungguh hatinya kaya akan imajinasi yang menakjubkan. Bathinnya pun kuat
bersama keyakinan (iman)-nya bersama keikhlasan akal dan kesadaran-nya. Setiap
pikirannya telah memiliki gambaran sebagai petunjuk yang menjelaskan dari
Tuhannya. Dia memahami seperti seorang arsitek memahami dari
gambar-gambar rancangannya.
Begitulah pentingnya fungsi
akal dan kesadaran, dimana Allah menyempurnakan kemanusiaan dengan-nya, sebagai
fitrah atas segala kehendak-Nya. Dan khayal atau imajinasi adalah bunga-bunga
dengan aneka warna yang indah di dalam akal kesadarannya. Bila tanpanya, kering
dan membosankan, serta takkan ada tercipta keindahan yang sempurna dari makhluk
ciptaan-Nya.
Akal dan kesadaran adalah bagai
sepasang sepatu yang mengantarkan setiap jiwa menuju sampai ke pintu-Nya,
maka kemudian setelah menanggalkannya, baru dapat masuk menemui-Nya. Malaikat
Jibril (ruhul qudus) tak dapat terus masuk mengantar nabi Muhammad SAW saat mi’raj
di Sidratul Muntaha, “cukup sampai di sini,
aku tak dapat masuk lagi, teruslah masuk menemui-Nya.”
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas ,.....” (QS 53:5-6)
Kekuatan akal dan kesadaran tak sanggup (tak berguna) lagi,
karena yang bisa menemui-Nya hanyalah keberserahan
diri yang tunggal murni tanpa membawa embel-embel apapun untuk
menghadap Allah Yang Maha Tunggal. Dia, Sang Realitas Sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar