Bab XXII
ALAM SURGA & NERAKA
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya)
di dalam neraka, di
dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)....... Dan
adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya)
di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.”
(QS
11:106-108)
A
|
llah menciptakan Alam
Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala
makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka.
Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati. Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah
pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah
makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal,
bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi,
benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang
memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang
atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan
milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad
raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup
sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak
Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia
Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
Pilihan & Godaan
Surga dan neraka hanyalah alam, tempat
persinggahan rasa yang membawa balasan dari amal perbuatan di kehidupan
sebelumnya. Hidup dan kehidupan adalah suatu yang diberi berikut
pilihan-pilihan yang dibebaskan kepada kita hendak menggunakannya yang pada
kenyataannya menyesuaikan kapasitas diri, tentunya.
Seperti sebagai sebuah contoh, bila
tujuan hendak ke Bali dari Jakarta, maka ada beberapa pilihan yang dapat
digunakannya. Yaitu, jalan darat, jalan laut, dan jalan udara, yang kesemuanya,
sekarang tarifnya tidaklah berbeda jauh. Tapi renungkanlah.
Dari segi waktu tempuh perjalanan,
tentu jalan laut lebih memakan waktu dibanding jalan darat, dan jalan darat pun
lebih memakan waktu dari jalan udara. Kemudian dari segi biaya lain yang akan
dapat dikeluarkan selain tiket kendaraan atau alat transportasi yang digunakan,
seperti makan dan minum selama di perjalanan, maka waktu perjalanan yang
panjang akan mengeluarkan biaya tambahan, tentu juga sebagai efek samping dari
pilihan transportasi yang hendak kita pilih.
Di dalam perjalanannya pun, terdapat
pilihan-pilihan yang menggoda hati dan menimbulkan hasrat yang justru dapat
menunda atau bahkan menyimpangkan dari arah tujuannya semula, bahkan lebih
lagi, dapat menggagalkan sampai kepada tujuan utamanya. Bila pada pilihan
transportasi laut atau transportasi darat yang lebih ada kemungkinan transit
di kota-kota yang telah ditentukan, dan pada saat itulah timbul godaan-godaan
yang dimaksud. Entah karena adanya sanak famili di kota tersebut, atau karena
terbujuk promosi wisata kota tersebut, atau hal-hal lainnya sehingga menunda
atau bahkan malah dapat menggagalkan perjalanan selanjutnya sebagai tujuan
utamanya.
Dengan demikian, bagi mereka, yaitu
diri-diri yang telah memahami dan menyadari tujuan hidup dan
kehidupannya, maka tak tergoda lagi akan kenikmatan surga, apalagi terhadap
godaan yang dapat menyebabkan dirinya singgah dan merasakan neraka. Dan
ternyata, pilihan pun sesungguhnya tak ada, sebab tujuan hanyalah satu
atau tunggal, yaitu kembali pulang kepada-Nya. Segala sesuatu berasal dari
Allah, dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Inna
lillaahi wa inna ilayhi raji’un. Allah,
kepada Dia-lah tujuan utama segala sesuatu, termasuk diri-diri kita.
Jadi, surga dan neraka ternyata hanyalah pilihan dan godaan,
hanyalah berada pada rasa yang sesungguhnya fana, sehingga adalah
angan-angan semu. Yang ada hanyalah keberadaan Dia Yang Maha Tunggal. Dia-lah
hakikat segala sesuatu, sebagai tujuan dari segala tujuan. Bila yang ada
hanya-lah keberadaan Dia, maka keberadaan selain Dia, termasuk dengan diri-diri
kita adalah semu (tidak ada). Apalagi rasa yang menyentuh pada
setiap diri kemanusiaan, tentunya lebih semu lagi, karena semu
yang berada di dalam yang semu.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Jalan hidup ini sesungguhnya adalah
tunggal, yaitu dari Dia Yang Maha Tunggal. Di dunia (alam), maka manusia dengan
keterbatasan melihatnya menjadi berbayang, seakan-seakan ada pilihan. Padahal
tidak demikian, angan-angan dari keinginan dan kebutuhannyalah yang
menjadikannya banyak, dan sebagai yang baginya merasa memiliki pilihan. Segala
sesuatu berasal atau bersumber dari Allah dan pasti akan kembali pulang
kepada-Nya. Asal dan tujuan Yang Tunggal. Bila dalam prosesnya berulang-ulang,
maka ini adalah yang disebut siklus yang harus dijalaninya untuk dapat
kembali pulang dalam keadaan murni, suci dan bersih kepada-Nya Yang Maha Suci.
Perhatikan dan renungkanlah hidup dan kehidupan ini, telah berapa
kali kita tidur dan bangun yang sama selama ini? Telah berapa kali kita
makan dan minum yang sama selama ini? Telah berapa kali kita pergi dan
pulang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita melewati jalan yang
sama selama ini? Telah berapa kali kita bertemu dengan orang-orang yang
sama selama ini? Telah berapa kali kita mengalami senang dan susah yang
sama selama ini? Semua aspek kehidupan kita adalah siklus. Dan ternyata
alam pun seperti itu, siang dan malam, bulan dan matahari, hujan dan kemarau,
awan dan angin, gunung-gunung yang marah, begitu pula pada tumbuhan dan
hewan, bahkan pada hidup dan mati.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Sesungguhnya pula, bila kesadaran jiwa-nya telah memahami hal
tersebut, maka tak ada lagi yang disebut pilihan dan godaan, maka
tak ada lagi baik dan buruk, maka tak ada lagi susah dan
senang, maka tak ada lagi surga dan neraka, karena asal
dan tujuan yang telah jelas, dan jalannya pun lurus dan lebar lagi
terang–benderang dibanjiri cahaya Tuhan yang penuh akan petunjuk dan kebenaran.
Rasa Bathin
Tidak jarang firman-firman Allah di
dalam ayat-ayatNya memberitakan kehidupan surga yang berupa
nikmat-nikmat lahiriah, bahkan kebanyakannya. Yaitu penggambaran seperti berupa
taman-taman sejuk yang tak terkena terik matahari, kebun-kebun dengan
buah-buahan yang tak pernah habis, sungai-sungai dari susu dan anggur atau
khamar yang nikmat rasanya, bahkan bidadari-bidadari yang menemani lagi muda
dan cantik jelita. Sebagai nikmat-nikmat keduniaan.
Bila di kehidupan dunia, hal-hal tersebut sebagai yang perlu
diwaspadai atau malah dihindari, bahkan kepada istri dan anak sebagai musuh yang
dapat menjerumuskan (QS
9:24 dan 64:14), dan dikehidupan akhirat seakan-akan malah diberikan,
atau seakan tak berlaku lagi hukum-hukum seperti ketika di dunia, seolah-olah
sebagai kebebasan. Tetapi jangan terburu-buru dalam menafsirkannya, ada pula
ayat yang memberitakan di surga Adn juga ada kejahatan yang dapat mengganggu
dan menjerumuskan penghuninya. Simaklah ayat-ayat di bawah ini, tentang
malaikat yang mendoakan untuk orang-orang yang beriman agar dihindarkan dari
kejahatan.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Begitupula sebaliknya dengan
penggambaran neraka, yang diberitakan di dalam ayat-ayatNya, berupa
azab-azab lahiriah yang selalu berhubungan dengan rasa sakit jasad penghuninya
yang tak berkesudahan.
Perhatikan dan renungkan pula, tentang ‘ramalan’ Allah terhadap segeranya kemenangan imperium
Romawi (sebagai wakil agama samawi atau
nasrani yang ahli kitab pula) setelah baru dikalahkan oleh imperium Persia
(penyembah api atau berhala sebagai wakil agama musyrik), dalam wahyu-Nya
kepada Nabi Muhammad SAW di masa-masa awal kenabiannya, dikarenakan pada
masa-masa awal kenabiannya, kaum muslimin mendapatkan cercaan dan hinaan dari
kaum musyrikin Mekkah. Konon, malah Abu Bakar, sahabat nabi, dianjurkan nabi
untuk ikut bertaruh sebanyak seratus unta, untuk membuktikan keyakinan
kebenaran wahyu Allah tersebut (QS 30:2-7).
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Dan barangsiapa yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Akhirat dalam ayat tersebut tidaklah dimaksudkan Allah sebagai alam
setelah kematian saja, atau bahkan setelah kiamat (setelah hancurnya langit dan
bumi), melainkan juga sebagai hari kemudian yang bermakna masih di
kehidupan dunia, bisa dengan hari-hari esok, lusa, bulan depan, tahun depan,
atau masa-masa yang akan datang. Sekalipun banyak pula ayat-ayat yang
menerangkan kehidupan akhirat setelah kematian, setelah hari kiamat, atau
bahkan setelah kebangkitan. Maka jelas, di kehidupan dunia ini pun ada akhirat-nya
sebagai yang bathin, atau belum diketahui (ghaib).
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya
merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut
pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi,
justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal.
Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya
pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang
pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang
membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda
satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Suatu hari, diri ini pernah tercengang
ketika disuruh menyembelih seekor ayam untuk dibuat masakan soto ayam
sebagai menu makan malam. Dia minta setelah dipotong agar dipisah bagian per
bagiannya dari ayam tersebut, maka setelah selesai sesuai dengan permintaannya,
diantarlah kepadanya. Masing-masing bagian ditempatkan diatas piring-piring,
ada piring yang berisi irisan daging, tulang-tulang, kepala, usus-usus, hati,
dan ampela. Bahkan bulunya pun ditunjukkan di dalam plastik kresek untuk
dibuang. Kemudian, sambil bercanda dia berkata, “loh, ayam-nya kemana....??”
Maka, segala sesuatu adalah bathin, fana, atau tidak ada.
Hanya Dia yang wujud, dan segala sesuatu wujud selain Dia adalah karena perwujudan-Nya,
yaitu karena kehendak-Nya.
Alamnya Hari Pembalasan
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Seperti yang telah di ketahui dan
diulas sebelumnya di awal, hari pembalasan tidak hanya masa-masa setelah
kematian dan dibangkitkan saja, melainkan juga masa-masa masih di kehidupan
dunia pun ada pula hari pembalasannya sebagai akibat dari gerak amal
perbuatan. Jangan tertipu oleh hawa nafsu sehingga menyangka tidak adanya
pembalasan selama masih hidup di dunia, yang merupakan akibat dari
perbuatannya. Sadarilah, tidak hanya diri kita sendiri saja yang memiliki hawa
nafsu, yang lain pun memilikinya. Maka apabila sampai kita terperosok dengan
mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, jelas dia pun akan balik bereaksi yang menuntut kerugiannya.
Tidak hanya kepada manusia, bahkan kepada hewan, tumbuhan, ataupun alam ini,
mereka pun dapat balik bereaksi buruk terhadap perilaku kita.
Sebenarnya, diri-diri kita kebanyakan,
telah terjebak memaknai hari kemudian, hari yang setelah
kematian (hari akhir), yang didalamnya termasuk dengan hari penantian
di alam kubur, hari kebangkitan di padang mashar, dan hari pembalasan
di surga atau neraka, lebih tertuju kepada alam-alam lain, yaitu alam-alam
tersendiri selain alam semesta yang ada sekarang ini, sebagai alam-alam yang
terpisah dari alam kita sekarang ini. Padahal makna sesungguhnya, hari kemudian
adalah masa-masa di kemudian hari yang jiwa-jiwa kita melalui kehidupan
selanjutnya tanpa pernah terpisah dengan alam yang kita tempati ini. Hanya
waktu atau masanya yang berbeda, yaitu waktu atau masa kemudian.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Jika umumnya orang mengatakan, bahwa
setelah kematian maka jiwa tersebut telah memasuki alam yang berbeda sebagai
alam yang lain dari alam ini, tetapi mengapa pula ada rasa takut pada diri
mereka bila sempat bersinggungan dengan makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang
mereka anggap telah berada di alam lain tersebut?
Sekali lagi, betapa
banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan
dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan
kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi
tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan,
menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka
timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa
pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan.
Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang
hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang
membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan
merasakan nikmatnya surga, sedang tujuan
utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang
kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang
keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan
sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya
diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak
mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam
yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal
lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya,
yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan
kehidupan.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang
timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya
akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup
oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda.
Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula
menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam
sedikit merasakan neraka-nya pula dari keburukan seberat zarrah akibat
kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk dan mendapat
balasan neraka-nya, mendapat harapan pula merasakan sedikit kenikmatan
surga-nya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha
Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Kehidupan
berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat
dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa
bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita
mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya,
disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108),
bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan
di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan
hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau
waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada
kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila
ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam
ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya
sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti
menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.” (QS 21:104)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar