Bab XXI
PERJALANAN KEHIDUPAN
JIWA
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia
menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS 67:2)
R
|
asanya tidak tepat bila diterjemahkan sebagai menguji, karena tentu Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu, maka tentu telah mengetahui pula siapa-siapa yang lebih baik
amalnya. Sehingga ayat ini akan lebih tepat dimaknai, bahwa melalui kematian
dan kehidupan, Allah sesungguhnya melatih manusia untuk mencapai amal
terbaiknya. Bila belum (bukannya,
tidak) seperti itu, tidaklah mengapa, karena segala sesuatunya akan
mengalami prosesnya sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Sekalipun prosesnya
panjang, berliku, dan berkali-kali sebagai suatu siklus, tidaklah menjadi soal
bagi-Nya, karena tempat (alam) dan program (sunathullah)-nya
semua telah disediakan dan disiapkan oleh-Nya.
Ya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan merupakan alam tempat penggodokan
kekotoran yang melekat agar terlepas dari jiwa manusia, sehingga mencapai
kemurnian atau kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Jadi,
kematian bukanlah perjalanan langsung untuk kembali pulang, melainkan
salah satu proses penyucian jiwa. Karena yang dapat kembali pulang kepada-Nya
hanyalah jiwa-jiwa yang telah suci. Ketika diciptakan dalam keadaan
suci, maka saat kembali pun harus dalam keadaan suci. Apakah mungkin jiwa yang
masih melekat padanya kekotoran, dapat kembali masuk kepada Dia Yang Maha
Tunggal dan Maha Suci?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Perjalanan
jiwa diantaranya sebagai yang mengalami kehidupan dan kematiannya, yang
merupakan sarana pemurnian dan pembersihan jiwa-nya agar dapat
kembali pulang kepada Allah, adalah seperti pula proses-proses segala sesuatu
lainnya di alam ini. Seperti proses tidur dan bangun, proses terjadinya hujan,
proses terurai-bergabungnya unsur-unsur pada senyawa kimia, dan masih banyak
lagi yang lainnya. Yang kesemua proses-proses tersebut merupakan siklus
atau kejadian yang berulang-ulang sebagai yang harus dilalui.
Apakah lebih jauhnya, makna ini
dikaitkan dengan reinkarnasi-nya agama Hindu dan Budha, adalah tak
menjadi soal. Apakah bila adanya perbedaan menjadi sebuah kesalahan, dan
bila adanya persamaan pun juga merupakan kesalahan? Apakah hal yang
penting, menjadi berbeda dengan lainnya? Masalahnya bukan pada perbedaan
atau persamaan, melainkan adalah kebenaran yang haqq. Mendapatkan
makna atau pemahaman yang benar adalah hal utama. Mari kita simak ayat di bawah
ini,
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Bila
kehidupan dimaknai hanya di alam dunia
(saat ini) saja, dan setelah mati maka tak ada lagi kehidupan, tentu
juga adalah pemahaman yang salah. Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam
kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti
ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu
kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam
akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di
alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam
tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan
alam dunia, kehidupan alam kubur
(barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian dari hari-hari
agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang
menguasai hari-hari agama.” (QS 1:4)
Yaitu
hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak
hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan
hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat
tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai
penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat
diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Kehidupan di alam-alam tersebut
pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini
pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula.
Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat
melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang
dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan-kehidupan
tersebut.
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Maka jelas
sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang
berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit
dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman dari ayat tersebut
diatas maka akan melebar, pernah salah seorang sahabat nabi Allah Muhammad SAW
bertanya, “dimanakah neraka ya rasul Allah, bila surga telah
memenuhi langit dan bumi?”
Maka dijawab rasul dengan bijak dan balik bertanya, ”berada
dimanakah malam bila siang telah datang?”
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
Pemahaman sebelumnya tentang
kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang
pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian
dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Ayat ini menggambarkan kejadian
hari akhir (kiamat qubra), yaitu peluruhan semesta alam beserta isinya,
yang digulung menjadi padat dan mengecil, seperti menggulung lembaran kertas.
Begitulah Allah menerangkan kejadian akhir alam semesta beserta isinya, yang
prosesnya seperti memulai penciptaan
pertama alam semesta yang juga beserta isinya. Dan kejadian-kejadian
tersebut pun merupakan proses siklus hidup-mati alam semesta, karena
Allah dengan tegas mengatakan sebagai yang akan mengulanginya kembali,
bahwa hal tersebut merupakan janji yang pasti akan ditepati-Nya.
Kemudian simak pula ayat di bawah ini yang menerangkan pula masa-masa awal
penciptaan bumi dan langit.
“....
bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Setelah kejadian kiamat qubra
(QS 21:104), dan berpadunya kembali langit dan bumi. Mulai kembalilah proses
siklus penciptaan kembali langit dan bumi, yang memisahkan keduanya dari
keterpaduan sebelumnya (QS 21:30). Pada saat inilah sebagai yang disebut, bahwa
segala sesuatu dibangkitkan dan dikumpulkan di padang masyhar (dalam
bahasa ilmiah, singularitas), untuk
menjalani perhitungan hisab yang menentukan kehidupan selanjutnya, yaitu di
bumi yang baru dan langit yang baru.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Itu adalah
merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya
adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali
(QS 2:28), juga mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi
(QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya
mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya sebagai
siklus harian ketika di dunia.
Bila hari
akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan
di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya tinggal menunggu
hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari
alam kubur secara bersama-sama.
Akan tetapi,
jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan
akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya
adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari
akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah
mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah
termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya). Bahkan bila lebih dalam
lagi memahaminya, adalah akhir dari setiap gerak perbuatan, dan kemudian menunggu
hasil dari perbuatannya sebagai balasan,
yang baik buruknya adalah bergantung dari sejak awal gerak perbuatannya
tersebut. Perbuatan baik, tentu akan mendapatkan hasil yang baik pula baginya
di kemudian hari. Begitupun sebaliknya dengan perbuatan buruk akan mendapatkan
hasil yang buruk pula bagi pelakunya.
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas
seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala
periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur
dan bangun?
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan
kamu
kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan
dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari
semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian
serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan,
mati dan dibangkitkan hingga hari
pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya
langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau,
maka setelah datangnya musim hujan menjadi tumbuh menghijau kembali.
“Dan
sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya
setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di
kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu
(baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian
(akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir.
Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh
kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki
akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya,
akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari
amal perbuatan sebagai sebab hingga terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Pekerjaannya
dan perdagangannya pun adalah amanah yang harus dipertanggung
jawabkannya. Bila pekerjaannya buruk dan malah merugikan perusahaannya bukan
tidak mungkin turun jabatan atau malah dipecat sebagai hari pembalasan-nya.
Dan bila dalam perdagangannya hanya demi menguntungkan dirinya sendiri tetapi
merugikan pembeli, bukan tidak mungkin para pembeli dan langganannya kabur
bahkan meninggalkan kebangkrutan sebagai hari pembalasan-nya.
Begitu banyak kategori hari
akhir untuk dimaknai, seperti akhir dari hari ini adalah pas jam 24.00
malam nanti. Lewat dari dari itu sudah besok atau lusa namanya, dimana keduanya
adalah sebagai hari kemudian disebut namanya.
Pada masa-masa sekolah, hari
akhir-nya adalah saat bel tanda pulang berbunyi. Besok-besok kembali
sekolah lagi sebagai hari kemudian-nya. Saat bagi rapor pun adalah hari
akhir masa-masa tingkat kelasnya sekarang, masa liburan pun adalah masa
penantian menunggu untuk kembali ke kehidupan kelasnya yang telah meningkat.
Begitulah bertingkat-tingkat dan semakin berkualitas.
Masing-masing tingkatan
memiliki nilainya sendiri-sendiri. Semakin tinggi nilainya dan berbekas bagi
jiwanya, maka semakin sedih dan berat dia menghadapi hari akhir-nya.
Begitu pulalah pada kematian, begitu banyak kenangan yang indah yang
memberatkan jiwanya untuk mau berpisah. Padahal jelas kualitas hari kemudian-nya
akan jauh lebih baik, kecuali bagi mereka yang semasa hidupnya hanya dipenuhi
oleh perbuatan buruk.
Jika di kehidupan dunia,
menghadapi masa-masa akhir, seperti kenaikan kelas, lulus sekolah, atau bila
diterima kerja, bahkan naik jabatan, hati terasa dag dig dug, bisa timbul rasa senang atau rasa takut, yang jelas
pula merupakan kegelisahan akan masa-masa yang akan dihadapinya sebagai hari
kemudian-nya.
Bagi mereka yang telah mantap
dan siap untuk menghadapinya, tentu kegelisahannya takkan membuat rasa takut
yang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi bagi mereka yang
tak siap dan mantap hatinya, tentulah kegelisahannya dapat saja malah membuat
dirinya menemui kesulitan-kesulitannya kelak.
Hari kemudian setelah kematian
pun sebenarnya seperti itu, karena amal perbuatan, atau bagi yang menyadari
bahwa amal perbuatan di dunia adalah merupakan tugas kerasulan yang juga
merupakan fitrah-nya sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sebagai tugas
besar, maka pertanggungan jawabnya pun adalah hal yang besar. Ingatlah,
hidup dan mati adalah seperti tidur dan bangun tetapi dengan skala waktu
yang panjang.
Maka menjadi penting dan sangat
utama seseorang menghadapi kematiannya dalam keadaan islam. Memaknainya
pun jangan hanya “dalam keadaan beragama islam”, melainkan islam
yang dimaknai sebagai dalam keadaan berserah diri secara ikhlas hanya
kepada Allah semata.
Kebanyakan
orang menjadi salah kaprah dan berlebihan dalam menilai makna islam jika
dikaitkan sebagai agama, akan menjadi berkembang kemana-mana dan membuat kabur
atau hilangnya makna asal yang sesungguhnya amatlah penting. Renungkanlah kembali
makna islam (berserah diri secara ikhlas) yang sesungguhnya hanyalah
salah satu jalan dari jalan-jalan terang-Nya, sebagai salah satu aturan
hidup dalam menuju-Nya.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama qayyimaah (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Makna-makna yang salah kaprah
dan berlebihan yang dikembangkan kemana-mana yang mengaburkan makna asalnya
dapat menyebabkan pula mengaburnya bahkan hilangnya kesadaran diri, hingga
malah menyesatkan jiwa kita sendiri. Saat seperti itulah malaikat berubah menjadi
iblis pembangkang yang membisikkan fanatisme berlebihan dalam segala tindakan
amal perbuatan. Inilah yang menyimpangkan makna seperti timbulnya rasa paling
benar sendiri, paling tahu sendiri, paling suci sendiri. Yang kesemuanya adalah
rasa superioritas sebagai perwujudan sifat iblis, sehingga menganggap
selain kelompoknya yang tidak sealiran dengannya adalah salah, sesat, kafir,
dan musyrik.
Justru
amal perbuatan seperti tersebut adalah yang menghilangkan keberserah dirian (islam)
kita yang seharusnya selalu terjaga. Bayangkanlah, bahkan penyesatan iblis
telah menyeret diri-diri kita kepada amal perbuatan yang merusak dan saling
menumpahkan darah dengan mengatas namakan agama. Sehingga, sesungguhnya, kita sendiri
pulalah sebagai yang membuat baik atau buruk-nya agama kita, kita
pulalah yang menjaga kesucian atau tercemarnya agama kita.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Iblis telah begitu banyak
menyesatkan diri-diri kemanusiaan kepada keburukan dan kehinaannya, seakan tak
puas-puasnya dengan cara-cara yang keji pula dalam tujuannya, bahkan dengan
cara seperti diterangkan ayat di atas. Ya, kejahatan yang terasa indah bagi pandangan.
Dengan cara inilah dia menggelincirkan mereka yang semula dalam kebaikan kepada
kehinaan yang amat buruk.
Iblispun bermain dengan
mengatas namakan seni dan kecantikan, mengatas namakan hukum dan hak asasi,
mengatas namakan harga diri dan kehormatan, mengatas namakan ideologi dan
nasionalisme, mengatas namakan budaya dan tradisi, mengatas namakan
keluarga-suku-etnis, bahkan dengan mengatas namakan agama dan tuhan.
Kebenaran dijungkir balikkan
dengan keinginan dan kebutuhan, kemudian dibumbui dengan bujuk rayu dan godaan
hingga dikemas dengan kenyataan semu yang terlihat dan terkesan indah oleh
pandangan mata dan hati. Dan inipun seolah tak asing lagi hadir di hadapan mata
kita hampir di setiap harinya.
Segala sesuatu adalah dari
Allah yang merupakan rahmat-Nya, dan setiba di dunia (alam) maka kemudian
menjadi berpasangan (sunathullah), layaknya rahmat cahaya matahari-Nya yang
sampai ke bumi maka akan juga terdapat bayangannya sebagai sisi gelap
yang tak terkena cahayanya, layaknya seperti rahmat hujan yang diturunkan-Nya
ke bumi maka akan menjadi bencana banjir bagi mereka yang tak dapat menjaga
kelestarian lingkungannya, serta layaknya rahmat rezeki makanan dan minuman
yang diberikan-Nya kepada kita maka harus ke belakang untuk buang air setelah menikmatinya.
Yang semua rahmat tersebut dipandang setiap diri kemanusiaan dengan nilai baik
atau buruk-nya. Semuanya, segala sesuatu yang merupakan rahmat anugerah
dari-Nya, maka adalah yang memiliki pasangan-nya pula.
Karena itulah, rahmat-rahmat
tersebut agar dapat disyukuri sebagai yang pasti akan kembali kepada-Nya, dan
itulah bentuk kesadaran tunggal dengan berserah diri (islam)
secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, baik ketika aktivitas amal
perbuatan selama di kehidupannya maupun saat detik-detik menghadapi ajalnya.
Itulah mengapa menjadi betapa pentingnya islam dimaknai sebagai keadaan
berserah diri hanya kepada Allah, apalagi
saat menghadapi ajal. Agar yang kembali pulang kepada Allah
adalah kemurnian yang tunggal pula
Sebab karena itulah maka kepada
orang yang sedang menghadapi ajal (kematian)-nya, dibimbing dengan kalimat
tauhid atau syahadat sebagai pengingatnya kembali akan tugas besar sebagai
fitrah-nya, asy-hadu an-laa illaha
illaallaah wa asy-hadu anna muhammadan rasulullaah. Ya, tentu dengan
makna yang harus tepat dimengerti atau dipahami, sesungguhnya diri ini bersaksi bahwa tiada tuhan (tujuan dari segala
tujuan kembali) adalah selain hanya
kepada Allah, dan diri ini bersaksi bahwa wujud yang terpuji ini yang merupakan perwujudan Allah Yang Maha Terpuji adalah
yang telah menyelesaikan tugasnya di dunia sebagai utusan (rasul) Allah.
Begitulah keberserah dirian saat ajal datang menjemput, yaitu yang murni
menyadari kehidupan dunianya adalah tugas
memikul amanat.
Yang
sesungguhnya diri-diri manusia adalah juga merupakan utusan Allah yang
menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada sesama sebagai makhluk-Nya di semesta
alam sebagai fitrah kehidupannya.
“Allah
memilih para utusan (rasul-rasul) dari malaikat dan manusia, ........” (QS 22:75)
Segala sesuatu makhluk Allah
adalah utusan-Nya, apalagi pada diri-diri kemanusiaan sebagai wujud yang dalam bentuk
sesempurna-sempurnanya (QS 95:4). Segala sesuatu telah Allah jadikan
kemudahan bagi manusia. Dan segala sesuatu itu adalah membawa manfaat bagi
manusia, dari mulai taburan bintang di langit yang sebagai petunjuk
penentuan arah, matahari dan bulan sebagai petunjuk waktu penanggalan,
dan padahal masih banyak lagi petunjuk-Nya yang bermanfaat dari matahari
dan bintang-bintang di langit. Segala macam tumbuhan dan hewan selain berguna
sebagai makanan, juga menjadi petunjuk bagi keilmuan bahkan tekhnologi.
Pergerakan angin dan awan yang dapat di monitor menjadi ilmu metreologi dan
geofisika. Mineral-mineral di dalam perut bumi sebagai ilmu geologi.
Seluruhnya, di alam ini adalah merupakan segala sesuatu yang saling berbagi
rahmat dan petunjuk Allah.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
Begitupun diri-diri kita, juga merupakan utusan Allah dalam
menyampaikan kebenaran-Nya, bisa kepada umat bagi yang memiliki kekuatan besar,
sampai hanya kepada keluarga, atau cuma kepada anak-anaknya. Atau bahkan paling
tidak, hanya kepada dirinya sendiri. Ingatlah, dirinya sesungguhnya, terdiri
dari milyaran sel, adalah wujud akbar di dalam kesen-diri-annya bila tak
menyadari keberadaan wujud-wujud lain di dalam jasadnya. Ada yang bekerja
bagi kelangsungan hidup kita, ada yang menyampaikan petunjuk, ada
yang sebagai penjaga, kesemuanya adalah merupakan kebaikan.
Dan perlu disadari juga, kesemuanya pun memiliki pasangannya sebagai keburukan
bila jiwanya lebih cenderung kepada kesesatan yang menjauh dari cahaya
Tuhannya, yang semula bekerja bagi kelangsungan hidupnya menjadi pembangkang
yang malah merusak organ-organ kehidupannya, yang semula menyampaikan
petunjuk menjadi pembangkang yang malah membisik dan menggoda agar
tersesat jalan, serta yang semula menjaga menjadi pembangkang yang malah
menjerumuskan kepada kecelakaan dan kehinaan. Begitulah memaknai iblis yang
membangkang perintah Tuhannya untuk tunduk bersujud kepada kemanusiaan yang
ternyata lebih tertuju kepada sifat pembangkangan jiwa kemanusiaan itu sendiri.
Hal ini
menjadi terasa asing kedengarannya adalah karena selama ini kita memaknainya
tidaklah demikian, sehingga pemahamannya pun menjadi berbeda. Kita memaknainya
hanya Muhammad bin Abdullah sajalah rasul Allah, sedang kita tak pernah
menyadari sesungguhnya fitrah diri kita ini juga sebenarnya adalah
utusan Allah, sebagai muhammad-muhammad, wakil-Nya di bumi. Dan saat itu
disadari dan dinyatakan adalah sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia
sebagai utusan-Nya telah selesai, dan telah siap pula untuk
mempertanggung jawabkannya.
Sebagai nabi, ya beliau, putra
pasangan Abdullah dan Fathimah yang pertama kali mendapat gelar muhammad,
adalah nabi terakhir (khataman nabiyyin), akan tetapi rasul-rasul Allah,
yang juga sebagai penerus risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW, tidak akan
berhenti setelah wafatnya beliau, melainkan terus berlanjut pada diri-diri
kemanusiaan yang juga sebagai pewaris pula gelar ke-muhammad-an.
“....
Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Mereka yang
telah menemukan atau memahami realitas sejati, tentu telah kokoh keimanannya,
takkan lagi ada rasa takut dan rasa sedih pada dirinya. Tuhan takkan pernah
meninggalkannya, karena dengan kesadarannya ia tak pernah merasa lepas dari
rahmat-Nya. Tuhannya selalu hadir di setiap kemana pun arah penglihatannya, di
setiap suara pendengarannya, di setiap gerak langkah dan ucapnya, di setiap
pemikiran dan bathinnya. Serta takkan mungkin pula ia dapat meningggalkan atau
menjauhi Tuhannya, karena di setiap keinginan dan kehendak-nya adalah merupakan
keinginan dan kehendak Dia Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu, yang
tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Dan begitu pulalah sesungguhnya yang
terjadi pada seluruh diri kemanusiaan. Sehingga takkan lagi dapat hinggap
kepadanya segala jenis rasa takut dan
segala jenis rasa sedih.
Mengapa jiwa takut menghadapi
kematian? Naluri kemanusiannya tak dapat ditipu, bahwa jiwanya belum siap untuk
mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, tak siap mempertanggung jawabkan
gelar ke-muhammadan-nya.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)
Manusia, dengan jiwanya yang
tenang dan terkendali (nafs
al muthma’inah) serta telah menyadari fitrah dirinya yang
merupakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn) yang saling menebarkan
kebajikan kepada sesama. Tiada takut akan siksa neraka dan tak tertarik
akan nikmat-nya surga. Jiwa-nya hanya tertuju kepada Dia Yang Maha
Tunggal.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah
Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30:30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar