Bab XX
HATI, AKAL & KESADARAN
bagi JIWA
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil
berkata), ya Tuhan
kami, tidaklah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS 3:190-191)
H
|
ati atau kalbu
(qalb) adalah tempat akal dan kesadaran bekerja dan berperan lebih bernilai
lagi bagi kehidupan yang telah dibangkitkan oleh ruh terhadap jasad. Kedua hal
tersebut, akal dan kesadaran, sungguh amat mempengaruhi jiwa kemanusiaan. Bila
keduanya terganggu maka jiwapun menjadi terganggu pula. Pada tingkat keparahan
yang berat gangguan yang menimpanya, disebut gila, maka hukum manapun
tak berlaku lagi dikenakan kepadanya. Karena jiwanya dianggap tak ada,
sekalipun dia dikatakan hidup, jasadnya masih tumbuh dan berkembang, ruh-nya
pun masih melekat, serta masih butuh makan dan minum juga buang air apalagi
bernafas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya
seperti hewan, tumbuhan, maupun yang dikatakan sebagai benda mati. Yaitu jiwa-nya
yang berakal kesadaran.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Kembali
kepada keberadaan jiwa, kapan jiwa mulai ada keberadaannya dan menyentuh jasad
serta ruh kemanusiaan. Karena begitu dominannya akal dan kesadaran bagi
kejiwaan seorang manusia, bahkan hukum manapun (termasuk hukum Tuhan) tak
berlaku bila akal dan kesadaran dalam gangguan berat, maka tentunya keberadaan
jiwa-pun bergantung dengan keberadaan akal dan kesadaran kemanusiaan. Bagi umat
muslim tentunya masa akil baligh, yaitu masa dimana hukum telah dapat
dikenakan kepadanya.
Dan dalam
kondisi sadar-lah, maka rasa-nya dapat merangsang akal untuk
bereaksi bekerja membuat hatinya menjadi lebih hidup lagi menerangi
jiwa. Begitupun sebaliknya, dimulai dari hati yang resah atau hati yang
memendam kekotoran, maka akal dan kesadaran-nya hanya tertuju pada apa yang ada
di dalam hatinya saja, sedang untuk hal-hal lainnya maka akal dan kesadarannya
menjadi lemah. Karena energi-nya tersedot kepada penggunaan akal &
kesadaran pada hatinya yang kotor, pada saat inilah hawa nafsunya menjadi
semakin kuat bergolak dan bisa tak terkendalikan lagi oleh jiwanya.
Keadaan seperti itu, tak
selamanya berlangsung, dan bila Allah berkehendak, maka Dia-pun berkuasa
menyentuh kesadaran-nya dengan petunjuk (cahaya yang menerangi).
Dan sekali lagi akalnya akan berperan, untuk segera beralih atau terus
melanjutkan kesesatannya. Bagi jiwa yang menjauhi terang cahaya-Nya, maka
diri-nya sendirilah yang sesungguhnya menjauhi cahaya Allah, dan semakin
butalah hatinya di dalam kegelapan yang jauh dari terangnya cahaya Allah.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat
akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).” (QS 7:72)
Kesadaran adalah suatu
kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar
dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga
akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang
sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya
menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang
dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati
adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi
tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai
orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.” (QS 33:41)
“...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya
kepadamu, dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat.” (QS 2:198)
Kesadaran
dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap
diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang
dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk
yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan
sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak
setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam
pemanfaatannya.
Yang paling
terasa dan nyata bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan adalah, produk-produk
tekhnologi modern saat ini yang merupakan hasil eksplorasi kesadaran dan
akal yang pada awalnya dianggap gila dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang
lainnya. Satu contoh saja produk terakhir yang ada sekarang ini, yaitu telepon
selular, maka tak terhitung manfaatnya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan.
Padahal, pada awalnya mungkin ratusan atau ribuan tahun yang lalu, seperti telepati
sebagai cikal bakal produk ini, dianggap sebagai produk takhyul yang tak
mungkin. Bila ternyata telepati berhasil dibuktikan, dianggap menggunakan jin
dan merupakan perbuatan syirik. Belum lagi pada eksplorasi kesadaran dan akal
pada bidang-bidang pengobatan dan kedokteran, yang pada masa-masa awalnya para
juru penyembuh disebut dukun atau tukang sihir. Begitulah diri-diri, yang
karena ketakutan mengalami kesesatan tetapi justru malah terpenjara
oleh ketakutan (kesesatan)-nya sendiri.
Maka
pikirkanlah, apa yang akan terjadi kepada mereka yang meremehkan peran
kesadaran dan akal bagi kehidupannya? Tentu, sama saja dengan menutup pintu
hati-nya dari menerima petunjuk yang dapat memberi kemudahan bagi dirinya
sendiri, kelak. Sehingga dirinya sebagai
yang tak dapat merasakan nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya telah banyak
diterimanya. Ya, nikmat-nikmat yang sesungguhnya Allah berikan adalah nikmat
tunggal, bukan saja tak dirasakan nikmat kebaikannya tersebut, tetapi pula
telah berubah menjadi nikmat keburukan. Karena di alam, diri kemanusiaan menerima
segala sesuatu selalu bersama pasangannya.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu, agar tidak tersesat.
Dan sungguh luas makna tersesat dalam ayat ini. Yang dalam makna
keseluruhannya adalah menjaga kesadaran dengan mengingat Allah, maka akan terhindar dari segala macam
kesalahan atau tersesat, yang justru, sesungguhnya, akan merugikan dirinya kelak.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di
setiap waktu adalah menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala
sesuatu yang di lihat, di dengarnya, di penciumannya, di rasanya, hingga di
pikirnya. Akan tetapi kemanusiaan tidak akan langsung mencapai kesadaran
tersebut, ada beberapa tahapan sedari awalnya yang pasti dilaluinya jenjang per
jenjang.
Kesadaran Jasad (Inderawi)
Kesadaran ini adalah kesadaran yang bekerja pada tahap indera-indera
kemanusiaan telah berfungsi. Dimana indera-indera seperti mata telah dapat
melihat dengan jelas baik rupa dan bentuknya juga warna-warnanya, telinga pun
telah dapat mendengar dengan jelas, hidung dapat mencium bau-bauan, dan lain
sebagainya seperti yang telah diketahui secara umum, sehingga dirinya telah
dapat berintraksi dengan lingkungannya.
Kesadaran ini
telah hadir pada diri kemanusiaan di masa kanak-kanak atau balita, paling tidak
usia dua tahun. Maka akan lucu bila ada orang dewasa yang telah matang secara
intelektual yang tidak mau mempercayai suatu hal, dan merasa harus melihat
dengan mata kepalanya sendiri, atau mendengar langsung dari sumbernya. Maka
orang tersebut masih berada pada tahap kesadaran kanak-kanak. Yang segala
sesuatunya dipandang secara nyata terlihat oleh matanya, terdengar oleh
telinganya, dan teraba oleh kulitnya. Yaitu serba materi, terjebak dengan paham
materialisme sendiri.
Ketahuilah,
paham ini sungguh akan mengkungkung jiwanya dari penjelajahan ke tingkat
pemahaman-pemahaman yang jauh lebih luas dan tinggi dari sebelum-sebelumnya,
sehingga jiwa tidak mendapatkan wawasan yang maksimal.
Seperti
gunung yang terlihat jauh adalah berupa onggokan berwarna biru kusam. Setelah
didekati ternyata warnanya berubah menjadi hijau kusam. Dan semakin didekati
lagi warnya hijau tua. Setelah semakin dekat kita menyadari bahwa warna yang
berubah-ubah itu adalah kumpulan pepohonan yang terlihat rapat berwarna hijau
tua. Setelah sampai di gunung tersebut, kita tidak lagi melihat onggokan yang
berubah-ubah warnanya tersebut, melainkan warna-warni dedaunan dan rerumputan.
Bahkan tidak hanya itu, hawa sejuk yang sebelumnya tidak kita rasakan pun hadir
menerpa indera-indera kita sebagai yang baru. Belum lagi aneka penghuni di
dalam ekosistemnya yang dapat kita ketahui. Itulah salah satu contoh
penjelajahan pemahaman yang menggugah kesadaran manusia menuju ke tingkat yang
lebih tinggi lagi.
Di kali yang lain, masih
terhadap orang seperti ini, yang takkan pernah percaya bila tak melihat dengan
mata kepalanya sendiri, dan dia merasa telah beriman dengan baik dan
benar. Termasuk percaya kepada nabi-nabinya, yang tak pernah dapat lagi
dilihat, didengar, apalagi diraba atau dicium keberadaanya. Bagaimana mungkin,
sedangkan foto atau gambar nabi saja tidak pernah ada. Dalam hal ini dia dapat
mempercayainya. Maka bagaimana pula imannya kepada Tuhan?
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawaban.” (QS 17:36)
Suatu
dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi di dalam kehidupan sehari-hari
dia hanya mau menerima yang realita saja, tetapi di sisi lainnya, yang
menyangkut keagamaannya, dia secara taklid dapat menerima sebagai yang
diyakininya tanpa pengetahuan yang mendasari segala sebab akibat. Sehingga
makna ikhlas dalam keberserah dirian (islam)-nya tidak menjadi hal yang
mendasari setiap amal perbuatannya.
Begitulah Allah menghendaki
setiap diri kemanusiaan menggunakan hati dan akalnya untuk memahami tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang banyak tersebar di alam ini, yang juga dapat bermanfaat bagi
kehidupannya.
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi itu sesudah matinya?
Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, segala
puji bagi Allah. Tetapi kebanyakan mereka tak
memahaminya.” (QS 29:63)
Bila kita mau jujur, justru
yang seperti inilah yang ternyata menghinggapi kebanyakan manusia. Dimana
imannya adalah merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya. Sekali
lagi, kesadaran ini adalah tahap kesadaran kanak-kanak. Layaknya anak-anak yang
ketika ditanya bukti-bukti atas pernyataanya maka mereka akan menjawab, “begitulah
yang dibilang ayah dan ibuku kepadaku.”
Kesadaran Ilmiah (Rasional)
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
‘ilm al yaqqin
Kesadaran setiap diri kemanusiaan seharusnya berkembang, dari yang
semula hanya merupakan kesadaran kanak-kanak naik kepada yang diatasnya, yaitu
kesadaran yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Ya, kesadaran ilmiah yang
berdasarkan tingkat rasionalitas yang ada pada dirinya yang juga
seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.
Sesungguhnya,
orang-orang yang telah mengamalkan ilmunya, baik yang didapat dari bangku
pendidikan atau selainnya, sebagai orang yang telah menggunakan kesadaran
ilmiahnya. Jika belum sampai diamalkan atau dipraktekkan, tetap saja merupakan
kesadaran inderawi. Teori, atau hanya angan-angan belaka. Karena bila ditanya
bukti-bukti pernyataannya, jawaban yang adapun seperti layaknya jawaban
anak-anak, “begitulah yang dibilang guruku kepadaku.” Atau jawaban
seperti ini, “begitulah yang dibilang si fulan kepadaku.”
Seperti di
masa kecil, kita mendapat pengetahuan bahwa bumi-lah sesungguhnya mengelilingi
matahari. Padahal yang dilihat matanya yang bergerak adalah matahari, saat pagi
matahari terbit di Timur dan tenggelam sore harinya di Barat. Akalnya belum
bisa menerima pengetahuan itu, dan hatinya tak puas.
Lama sekali
setelah sampai di masa remajanya, dan hampir-hampir saja terlupakan, hatinya
yang masih tak puas terhadap pengetahuan
tentang gerak revolusi bumi itu, saat ia bepergian ke luar kota bersama
teman-teman dengan menggunakan kereta api, yang dalam lamunan dengan kepala
menyender ke jendela kaca dan melihat pemandangan, tiba-tiba hatinya tersentuh,
akalnya terbuka. Ya betul, apa-apa yang dilihatnya barusan, yang berada di luar
kereta api, pepohonan dan rumah-rumah serta benda lainnya yang sebenarnya tak
bergerak menjadi terlihat bergerak, sedangkan dirinya yang
sebenarnya sedang bergerak bersama kereta api yang ditumpanginya terasa tak
bergerak. Begitupun ketika seseorang di dalam pesawat dalam perjalanannya,
tentu tak merasakan dirinya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, bahkan
jauh melebihi kecepatan kereta api, kecuali bila kesadarannya mengingatkan itu.
Begitulah
Allah memberi petunjuk kepadanya, dan masih banyak cara Allah dalam
memberikan petunjuk-Nya secara misterius, yang tak disangka-sangka
ketika datangnya.
Suatu
kesadaran yang disandarkan kepada ilmu tentunya harus dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Sebenarnya tahapan kesadaran inipun masih dalam taraf
materi atau bentuk lahir. Belumlah menyentuh kepada yang bathinnya. Karena,
ternyata, begitu banyaknya yang tak terlihat dibalik yang kita lihat dengan
mata lahir kita.
Kesadaran
inipun sebenarnya terbantukan oleh hadirnya banyak alat-alat bantu canggih
modern yang canggih, seperti mikroskop elektron-optik, teleskop, satelit,
radar, GPS, radio, televisi, komputer, handphone dan lain-lainnya yang
sungguh-sungguh membuat kemudahan bagi manusia untuk dapat membuka
kesadaran-kesadaran tahap-tahap selanjutnya.
Contohnya, bila kita buka Al
Qur’an Surah al Mu’minuun ayat 14, yang memberitatakan tahap pertumbuhan janin
di dalam rahim sang ibu, maka dengan adanya alat USG kita pun dapat memonitor
secara langsung bagaimana pertumbuhan seperti yang diungkapkan ayat
tersebut. Jadi tidak lagi menjawabnya
seperti anak-anak menjawab, “begitulah yang aku baca di dalam Al
Qur’an.”
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang
berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
Sekalipun kita meyakini Al Qur’an adalah kitab berisi wahyu Tuhan yang berisi
kebenaran, tetapi jauh lebih sempurna kita meyakininya dengan keyakinan yang
nyata yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan keyakinan buta.
Di alam ini begitu banyak tersebar petunjuk kepada pemahaman yang
menggugah kesadaran kita serta dapat menggiring jiwa kita kepada
kesadaran-kesadaran pada tahap-tahap selanjutnya yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Serasa masih banyak lagi yang belum diketahui bagaikan
rahasia-rahasia yang menyelimuti kedalaman lautan, yang dari luar permukaannya
terlihat tenang tetapi banyak misteri
kehidupan di dalamnya.
Contohnya
lagi adalah, bintang-bintang yang bertebaran di langit malam yang menggugah
kesadaran manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu astrologi (dulu ilmu falak)
kemudian berkembang kepada mempelajari musim-musim sehingga berguna pada
perkembangan pemahaman dalam penentuan musim tanam pada pertanian, dan pada
kelautan yang berguna bagi nelayan, bahkan juga kepada pengetahuan navigasi
bagi para penjelajah yang tertarik pada penemuan-penemuan daerah-daerah baru
sebagai daerah jajahan yang hendak dikuasainya.
Dan dunia pun semakin kesini
semakin terasa sempit setelah kesadaran demi kesadaran terkuak satu per
satu. Sekarang ini bahkan, setelah internet telah dapat diakses oleh siapapun,
dalam hitungan detik kita dapat mengetahui keadaan suatu daerah sekalipun nun
jauh di negri atau benua lain. Akan tetapi, semakin diketahui satu per satu,
semakin pula mengundang yang lain berikutnya untuk diketahui dan dikenalnya,
seakan tak pernah habis-habisnya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran.”
(QS 2:269)
Allah memang
kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang
dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas, akan tetapi Dia pun
menyatakan kepada mereka yang mau menggunakan akalnya itulah maka Allah
berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya.
Jadi,
semakin manusia menggunakan akalnya, maka semakin terbukalah
kesadaran-kesadaran yang akan ditemuinya sebagai yang wajib disyukurinya,
kelak. Karena telah memberinya kemudahan-kemudahan bagi yang sebelumnya terasa
menyulitkannya. Yang kelak pada kesadaran tahap tertinggi, dimana hati pun ikut
berperan selain akalnya, maka keimanan bukan lagi sekedar keyakinan, melainkan
sebagai realitas yaitu kenyataan yang terlihat, terdengar, terrasa, tercium,
bahkan terraba. Bahwa keyakinannya bukanlah cerita omong kosong para orangtua
pendahulunya, melainkan perjalanan panjang kesadaran jiwa menuju sebuah
kenyataan yang hakiki.
Sebenarnya,
dari ayat di atas pula, menjadi timbul pemahaman pada diri ini, bahwa adanya
paham Jabariyah dan Qadariyah adalah pasangan paham yang tumbuh di dunia
pemikiran muslim, seperti layaknya pasangan malam dan siang atau yang lainnya,
yang keduanya adalah kebenaran, dan akan menjadi kesalahan bila
salah satunya dihilangkan atau dianggap tiada. Kita takkan mencapai pemahaman
ini, bila sebelumnya tak mencapai pula kesadaran bahwa segala sesuatu Allah
ciptakan saling berpasangan. Bahkan termasuk dengan pemikiran dan pemahaman kita.
Jika
inderanya saja belum mampu mengetahui dan menyadari segala sesuatu yang nyata
wujudnya, maka bagaimana hendak beralih hendak memahami kepada segala yang
bathin dan masih ghaib serta jauh sekali dari akal pemikirannya? Tetapi
keyakinannya terhadap adanya segala sesuatu yang tak tampak dari apa-apa yang
dilihat oleh mata lahirnya, membuat jiwanya terus menerawang berusaha dapat menembus
selaput-selaput yang menyelimuti pandangan mata hatinya.
Pada saat itulah jiwanya
mengalami awal transformasi kesadaran menuju kepada kesadaran yang lebih
tinggi. Yaitu menuju kepada kesadaran ruhani yang halus dan lembut, yang
sesungguhnya hanya dapat ditembus juga oleh hati yang halus dan penuh
kelembutan.
Kesadaran Ruhani
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan
kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
‘ayn al yaqqin
Seperti yang telah kita ketahui
sebelumnya, ruh adalah eksistensi yang tersembunyi dan bersifat halus (ghaib)
tak terlihat, tak terdengar, tak
tercium, bahkan tak terraba. Tetapi bagi hati yang peka maka akan terrasa
keberadaannya. Maka tentunya kesadaran pada tahap ini sungguh adalah kesadaran
yang amat sulit bagi umumnya jiwa kemanusiaan, kecuali mereka yang di dalam
hatinya sebanyak mungkin menghilangkan kekotorannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Apa hubungannya hati yang
bersih dengan hal ini? Tidak usah kepada kesadaran tahap yang tinggi ini,
kepada kesadaran yang terendah saja, yaitu kesadaran jasad (inderawi), akan
menjadi tidak berguna bila hati kita sedang dipenuhi kekotoran, seperti lamunan
misalnya. Terkadang orang di sekitar
berbicara apapun kita takkan mengerti, jangankan untuk paham, mendengar sajapun
tidak. Terkadang guru atau dosen menerangkan sejauh manapun, murid atau
mahasiswanya pun yang sedang dilanda problema di hatinya, menjadi percuma,
karena jangankan akan dimengerti, didengarnya saja pun tidak. Atau bahkan bila
sedang disibukkan lamunan, kita tak menyadari kehadiran seseorang atau apapun.
“Dan banyak
sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang
mereka berpaling daripadanya.” (QS 12:105)
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
“Demikianlah
Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak
(mau) memahami.” (QS 30:59)
Hatinya sedang
sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat
berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak
diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak
dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”.
Menjadi hal yang tak mungkin.
Itulah
sebabnya Allah mengingatkan kita agar ber-ta’awudz,
memohon perlindungan-Nya dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an,
agar terlindung dari bisikan-bisikan yang menyesatkan yang dilakukan oleh
utusan-utusan iblis (setan) untuk
menyimpangkan makna-makna yang dibaca.
Memohon perlindungan-Nya agar
terhindar dari kesalahan, penyimpangan, ataupun kesesatan. Sungguh di dalamnya,
Al Qur’an itu, banyak terkandung petunjuk dan hikmah sebagai kebenaran yang
haqq dari Tuhan Yang Maha Haqq. Jika membaca Al Qur’an yang suci saja
kita dianjurkan untuk berlindung dari penyesatan setan, maka apalagi kepada
hal-hal yang jelas kesuciannya meragukan, akan menjadi wajib bagi kita untuk
terus benrlindung dalam kuasa Tuhan.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS 16:98)
Kesadaran ini adalah tahap kesadaran awal untuk dapat mengenal
Tuhannya. Suatu kesadaran untuk dapat memahami segala apa yang sebelumnya hanya
sekedar diimani atau diyakini, tanpa pernah dapat memuaskan hatinya. Dimana hal
inilah yang menyebabkan hatinya mudah berubah-rubah, sebagaimana dikatakan
banyak orang sebagai yang tak memiliki keteguhan di hatinya. Selalu dalam
kebimbangan, keresahan, kesempitan, bahkan hingga kepada tak dapat mensyukuri
segala rahmat Tuhan yang telah banyak diterimanya selama ini.
Untuk mengasah dan masuk lebih dalam lagi kepada kesadaran ini, maka selalu
ingat dan memohon perlindungan-Nya dari kesesatan pemahaman yang
dibisikkan setan atau iblis kepadanya, sebagai awal mengasah kepekaan
menjadi lebih tajam dari sebelum-belumnya.
Di perjalanannya, menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)
dengan berusaha berserah diri secara ikhlas, menyempatkan diri dengan
mengambil waktu-waktu tertentu di kesunyian dan keheningan malam untuk
melakukan perjalanan malam (isra’) menuju dan mendekati (mi’raj) Tuhannya. Maka tunggulah
dengan kesabaran juga rasa syukur dan ikhlas berserah diri, hingga pada suatu
waktu kelak, yang dengan kehendak-Nya, maka Dia akan memberikan hikmah-Nya
sebagai karunia yang besar. Sempatkanlah.
Kesadaran ruhani ini adalah kesadaran yang mulai menyadari bahwa adanya
eksistensi Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu yang telah
diketahuinya, kemudian mengatur keseimbangannya agar terjaga, hingga kepada
memelihara hidup dan kehidupannya. Dan itu berlangsung terus menerus, tiada
henti dari awal yang tak pernah diketahui siapapun dan berakhirnya pun tanpa
pernah diketahui siapapun. Hanya Dia Yang Maha Sempurna sendirilah yang
mengetahuinya.
Sayangnya
kesadaran ini mulai timbul dan terasa, pada umumnya kemanusiaan, adalah pada
usia produktivitasnya sedang tinggi-tingginya, yaitu pada kisaran usia antara
30-50 tahun. Dimana pada usia-usia tersebut umumnya kemanusiaan disibukkan oleh
urusan dunia-nya, seperti antara karir dan nafkah kebutuhannya, saling berebut
untuk mendahului keibutuhannya membuat kesadaran ini menjadi terabaikan oleh
hatinya yang sibuk.
Kesadarannya
ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi
kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru
disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas,
yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin. Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya
samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana
tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk
pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat
hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran
(bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut
bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap
keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini,
ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat
dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja
belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri
kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha
memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.” (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun
bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan
kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat
mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat
sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan
setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya
hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta
terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun
tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat
mengetahuinya.
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Menyadari
kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan jiwanya kepada rasa berserah diri
(islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya
secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya
hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang
sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut.
Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
Kesadaran Sejati (Realitas Tunggal)
“Hai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
haqq al yaqqin
Kesadaran
ruhaninya telah mengakui eksistensi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
berperan dalam segala hal terhadap segala sesuatu di jagat raya ini. Tetapi,
baginya, keberadaan-Nya tersebut masih tersembunyi.
Ya, matanya memang belum
melihat, telinganya pun belum mendengar,
akan tetapi hatinya-lah yang merasakan kehadiran-Nya. Membuat jiwanya
semakin merasa dahaga menginginkan untuk dapat bertemu demi menyatakan
keyakinannya menuju yakin yang dapat diketahuinya. Tentu mudah untuk
mengetahui keberadaan hujan dari mengalami kehujanan. Akan tetapi
keyakinannya tersebut tentu pembuktiannya tak semudah itu.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia
melihat sebuah bintang dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata, saya tidak
suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia
berkata, inilah
Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam sia berkata, sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah
terbenam, dia berkata, hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS 6:75-79)
Renungkanlah makna bunyi ayat di atas
.... sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi ..... Setelah
beliau (Ibrahim) kebingungan sendiri, akhirnya dia berserah diri kepada
siapapun yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi dari usaha pencariannya
yang tak memuaskan hatinya. Begitulah wujud manusia yang hanif, yang
berusaha meluruskan kembali tujuan utamanya agar tak tersesat.
Perjalanan
jiwa dalam menapaki kesadaran demi kesadaran amatlah panjang dan tak mudah. Hal
ini karena amat pula dipengaruhi oleh kejernihan hati serta penggunaan akal
dari setiap apa yang dilihat, didengar, dicium, diraba, yang kesemuanya agar
dapat dirasakan untuk dapat diolah lagi sebagai informasi yang berguna bagi
pemahaman yang haqq atas segala sesuatu.
Sesungguhnya ini pula sebagai
proses menuju kedewasaan dan kebijakan
yang amat berguna bagi jiwanya. Tentu di perjalanannya pasti bertemu
dengan segala macam yang menjadi rintangan, yang sesungguhnya bila direnungkan,
justru adalah bagian dari proses penyucian yang dapat memurnikan segala tujuan
kepada hanya tujuan tunggal. Tujuan dari
segala tujuan, yaitu Dia Yang Maha Sempurna, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Tunggal.
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
dan laksanakanlah
shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.” (QS 18:14)
Kesadaran
ruhaninya pula yang berjasa membawanya kepada Realitas Tunggal, bahwa segala
apa yang dilihatnya adalah karena telah diberi penglihatan sebagai
anugerah dari-Nya, sekalipun tak pernah ia merasa minta untuk diberi
penglihatan.
Sekarang,
setelah menyadari betapa penting dan bergunanya penglihatan bagi kehidupan,
baru menyadari bahwa ia diberi tanpa meminta. Tentu dulunya, ketika masih di
dalam kandungan ibunya sebagai waktu yang tepat untuk meminta, maka jangankan
meminta penglihatan dengan perangkatnya berupa bola mata serta
syaraf-syarafnya, mengerti fungsinya pun tidak.
Begitupun
kepada pendengaran, penciuman, dan banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya
diberikan Allah sebagai anugerah yang lupa untuk dapat disyukurinya. Bagaimana
dapat mensyukurinya, memahami fungsi pentingnya bagi kehidupannya saja baru
saat ini. Sungguh lalai jiwa ini terhadap kasih dan karunia-Nya. Dan telah
puluhan tahun kelalaian ini berlansung tanpa disadari.
Padahal
masih banyak lagi yang belum kita sadari, dan ternyata telah bekerja membantu
dan mempermudah kita dalam kehidupan ini. Apakah jiwa kita menyadari, siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan jantung untuk berdetak dan memompa
darah keseluruh tubuh agar terpenuhi suplay makanan dan oksigen bagi sel-sel yang
membangun tubuh kita?
Dan siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan paru-paru untuk bekerja demi
pernafasan yang dibutuhkan tubuh kita?
Dan siapa
pula yang sesungguhnya mengatur dan memerintahkan sel-sel untuk membelah
dirinya untuk mengganti sel-sel lain yang telah mati?
Siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan syaraf-syaraf menyalurkan setiap
informasi yang masuk dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa panas atau
dingin, rasa yang menyenangkan atau yang menyedihkan, rasa puas atau kecewa?
Bagaimana
bila Dia Yang Maha Sempurna libur sehari saja dalam pemeliharaan-Nya
terhadap kita seluruh makhluk-Nya?
Tentunya
masih banyak lagi yang belum kita ketahui sesungguhnya, yang telah terjadi dari
semenjak lahirnya kita, bahkan membuat lupa diri dengan menjadikan pengakuan
(ego)-nya lebih kuat. Merasa sombong, berbangga diri, merasa kuasa dan
sekehendak hati, bahkan terhadap tubuh sendiri, karena merasa memiliki, merasa
telah mengetahui banyak hal, maka menyepelekan hal-hal lainnya dan mengutamakan
apa yang menjadi hawa nafsu-nya. Yang padahal sesungguhnya Allah-lah
pemilik, penguasa, dan pemelihara langit dan bumi serta apa-apa yang berada dan
diantara keduanya, termasuk segala sesuatu yang berada di tubuh atau jasad
kita. Semuanya, termasuk dengan ilmu, akal, dan rasa kita adalah karena
kemurahan-Nya.
Bernafas pun
karena kemurahan-Nya. Pernahkah merasakan sakit flu? Dimana saat malam tiba,
mengalami kesulitan tidur yang disebabkan tenggorokan gatal membuat
batuk-batuk, telinga tersumbat dan berdengung yang mengganggu pendengaran, di
sekitar mata terasa bengkak dan berair yang mengganggu penglihatan, hidung
tersumbat terasa susah untuk bernafas. Begitulah tubuh ini menjadi banyak
terganggu hanya karena virus flu yang menyerang kita. Hanya karena satu sebab,
maka efek berantainya amat mempengaruhi banyak yang lainnya, kemudian menjadi
sebab-sebab lainnya yang menyebar sehingga menyulitkan banyak hal dalam
beraktivitas.
Dia Yang
Maha Sempurna sebagai Eksistensi dari segala eksistensi-Nya, Wujud dari segala
wujud yang menjadi perwujudan-Nya, dan Dia-lah Realitas Sejati Yang Maha
Tunggal dari setiap realita yang memenuhi langit dan bumi.
Dia-lah yang memulai segala
sesuatu, dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu tersebut. Sedang Dia
sendiri tak berawal juga tak berakhir (wa awalu wa akhiru).
Dia-lah sumber segala sesuatu, pusat dari segala sesuatu berangkat dan pusat
segala sesuatu kembali pulang (inna lillahi wa inna ilay’ihi raji’un).
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13: 22)
Ada hikmah yang dapat kita ambil dari
penggalan ayat di atas yang mengatakan, .... menolak
kejahatan dengan kebaikan, .... Yaitu dengan memaknainya, bahwa mendahului perbuatan kebaikan
sesungguhnya dapat terhindar dari kejahatan yang akan datang kepada dirinya.
Bagaimana mungkin orang tega melakukan kejahatan kepada orang yang selalu
melakukan kebaikan, sedangkan kebaikan-kebaikannya itulah yang ternyata menjaga
dirinya dari kejahatan karena tertanam di benak orang-orang di
sekitarnya.
Jika menanam kebaikan maka yang tumbuh dan berkembang
adalah kebaikan pula, disamping itu tumbuh pula keburukan sebagai
rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan itu sesungguhnya pula adalah
proses menuju kemurnian atau kebersihan diri. Ibarat menanam padi (sebagai
kebaikan) di sawah, maka yang tumbuh dan berkembang adalah tanaman padi, tetapi
secara bersamaan tumbuh pula rerumputan di sekitarnya yang mengganggu (sebagai
keburukan). Sedangkan bila yang ditanam adalah rerumputan (keburukan), maka
jangan sekali-kali berharap akan tumbuhnya tanaman padi (kebaikan). Suatu hal
yang mustahil. Begitulah sunathullah sebagai ketetapan-Nya, dan tidak
ada yang berubah dari fitrah ketetapan-Nya, kecuali Dia menghendaki lain.
“...... maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Dan kita
akan mengulas lebih jauh dan lebih luas lagi mengenai kebaikan atau kebajikan
ini, disebabkan telah mulai sedikit memahami keberadaan Realitas Sejati sebagai
Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya. Dan tiada keburukan
sedikitpun yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Tetapi, karena di alam, maka manusia
pun menilai segala sesuatu sebagai yang berpasangan, menilainya sebagai baik
atau buruk, senang atau sedih, pahit atau manis, dan lain sebagainya. Padahal
segala sesuatu yang Allah berikan adalah rahmat (kebaikan), maka bagi jiwa yang
di hatinya banyak kekotoran, rahmat yang merupakan kebaikan menjadi hal yang
buruk dirasakan menimpanya. Yang ternyata pula, pada akhirnya, kelak, hal
tersebut berguna bagi dirinya, yaitu karena sedang mengalami pelatihan atau
pembersihan bagi memurnikan jiwanya dari kekotoran.
Bila dapat
merasakan nikmatnya makan makanan yang enak-enak yang menggugah selera hingga
kenyang dan puas, maka nikmatilah pula perut kencang dan mulas hingga ingin ke
belakang untuk buang air. Begitulah di alam.
Bagai cahaya
matahari yang sampai ke bumi yang merupakan rahmat Tuhan yang besar bagi
kehidupan, tetapi ada pula bagian bumi yang tidak terkena cahaya tersebut
sebagai bagian dari wilayah bumi yang gelap, tentu bukanlah berarti sebagai
keburukan dari rahmat-Nya melainkan yang
sedang mengalami malamnya.
Bila dapat
menerima malam yang gelap sebagai kebaikan pula seperti layaknya menerima siang
yang terang, mengapa tak dapat menerima kesedihan seperti layaknya menerima
kebahagiaan? Mengapa tak dapat menerima kesulitan layaknya menerima kemudahan?
Hingga tak dapat menerima kematian layaknya menerima kehidupan?
Tahapan kesadarannya
meningkat lagi kepada menyadari dan bersyukur atas apa-apa yang telah
diterimanya adalah merupakan rahmat dari Tuhannya. Yaitu telah dapat menikmati
keburukan sama seperti ketika menerima kebaikan, menikmati sakit sama
seperti menerima sehat, menikmati kesulitan sama seperti ketika
menerima kemudahan, menikmati kesedihan sama seperti ketika menerima
kebahagiaan, menikmati kekurangan sama seperti ketika menerima kecukupan,
dan lain-lainnya. Baginya semuanya itu adalah sama, tiada dualitas. Merupakan
pasangan dari segala sesuatu, sedangkan segala sesuatu bersumber dan mengarah
kepada Allah sebagai Yang Maha Tunggal. Pada tahap inilah, kesadaran telah
mencapai tahap tertinggi yang hendak menuju tempat terakhir.
Dan pada usaha mencapai
tahap kesadaran ini pula, maka berdzikir (mengingat) Allah sebanyak-banyaknya
di setiap waktu adalah suatu cara paling baik dalam melatih diri untuk
menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang
dilihat, didengar, dipenciumannya, dirasa, hingga dipikirnya. Hingga pada suatu
waktu kelak sampai kepada, Allah-lah yang sesungguhnya ada dilihatnya,
didengarnya, diciumnya, dirasanya, sampai kepada yang ada dipikirnya. Sehingga
pula dirinya pun telah sampai kepada menyadari, bahwa sesungguhnya yang
melihat adalah Allah, sesungguhnya yang mendengar adalah Allah,
sesungguhnya yang mencium bau adalah Allah, sesungguhnya yang
merasa adalah Allah, bahkan sesungguhnya yang berpikir pun adalah Allah.
Dan dimanakah jiwanya? Jiwanya hanya ada di setiap nikmat-Nya.
Manusia itu hanya menerima
segala rahmat dari Allah raahmanur-rahiiym
(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), tidak kurang dan tidak lebih sebagai
yang telah ditetapkan-Nya. Dari mulai nafas, hidup dan rezeki kehidupan, mati,
dan dibangkitkan. Maka apakah yang utama dari hal-hal tersebut? Dapat merasakan
nikmatnya-lah yang utama, oleh sebab itu bersyukurlah yang banyak
pula kepada-Nya.
Itulah ketauhidan murni, telah memahami
Realitas Tunggal sebagai sejatinya realita dari segala realita yang ada di
alam. Sehingga kemanapun menghadap, timur, barat, selatan dan utara, atas dan
bawah maka yang ditemuinya adalah Dia. Sejauh manapun akal berpikir,
maka tiada lepas dari semakin menyadari keagungan Dia Yang Maha Tunggal, yang
sesungguhnya menguasai, mencipta, dan memelihara segala sesuatu. Maka jiwanya
pun akan menjaga hawa nafsunya dari kesesatan yang dapat disesalinya kelak.
Karena telah menyadari dirinya adalah wujud sempurna yang terpuji (muhammad, yang
dimaksud bukan Muhammad bin Abdullah nabi SAW) sebagai perwujudan dari Dia Yang
Maha Sempurna dan Maha Terpuji. Sebagai wujud yang mewakili perwujudan
sifat-sifat Allah di alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar