Bab XVIII
HIKMAH
D
|
ari sudut pandang penciptaan semesta alam, yang begitu panjang memakan
waktu (milyaran tahun, menurut ilmu pengetahuan terakhir), hingga pada
penciptaan kemanusiaan yang struktur tubuh atau jasad-nya sangatlah kompleks
dan terdiri dari milyaran bahkan trilyunan sel pembangunnya, maka semakin
jauhlah kemanusiaan ini terhadap sumber asalnya. Bagaimana mungkin dapat
membayangkan untuk ingat akan kembali pulang kepada asalnya yang begitu
jauh dan panjang memakan waktu.
Seperti yang telah diulas pada Bagian Pertama Bab II Meyakini Para
Malaikat, yang mengulas awal penciptaan dari pancaran energi cahaya-Nya. Dan
kelak akan diulas pula tentang penciptaan diri kemanusiaan yang teramat
kompleks susunan senyawa unsurnya pada jasad, ruh dan jiwanya, serta dengan
misteri akal dan kesadaran yang juga terus berkembang melakukan perjalanan
transformasi menuju kesempurnaan, yang panjang dan berliku dengan segala macam
problematikanya tersebut, membuat dirinya semakin jauh dan melupakan dari dan
kemana sesungguhnya dirinya akan menuju. Maka menjadi penting dengan menggugah
kesadarannya untuk ingat kembali akan
asal-usulnya sebagai yang akan mengalami kembali pulang kepada sumber
asalnya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya mewujudkan dirinya di
alam hingga sebagai kemanusiaan dengan segala anugerah rahmat dari-Nya.
Bukanlah hal yang mudah untuk
memahami secara sekaligus apa-apa yang telah kita ulas, karena itu bersabarlah
dalam mengharap karunia petunjuk dari Allah, sambil tidak lupa membersihkan dan
mencegah hati kita dari kotoran-kotoran yang dapat melekat yang dapat
menghalangi masuknya cahaya petunjuk-Nya. Tidaklah mungkin kita menerima
petunjuk, apalagi memahami hikmah dari petunjuk tersebut, bila hati dan
jiwa kita masih sibuk dengan menginginkan dunia yang berlebihan. Ya,
perhatiannya tentu akan hanya mengarah kepada kebutuhan dunianya saja, dan jadi
melalaikan perhatiannya kepada akhirat.
Segala sesuatu dicerna hanya sesuai dengan apa yang dilihat mata
lahirnya saja, menjadi materailis belaka, tanpa menyadari dan memahami
yang berada dibaliknya, yaitu bathin-nya. Inilah yang membuat hati tidak
peka lagi kepada naluri ilahiah (naluri ketuhanan) sebagai fitrah dari
Tuhannya. Ya, fitrah yang tidak disadarinya lagi sebagai perwujudan Tuhannya,
dan sebagai yang mewakili sifat-sifat Tuhan di bumi yang membawa dan saling
menyampaikan rahmat Tuhannya kepada seluruh makhluk di semesta alam.
Pasangan segala sesuatu yang
selalu dinilai diri kemanusiaan sebagai kebaikan dan keburukan,
sesungguhnya adalah rahmat yang tunggal, yaitu hanya kebaikan.
Akan tetapi, diri menilainya selalu pada baik atau buruk-nya. Ini dikarenakan
keterbatasan dirinya yang selalu dibatasi dan terhalang, atau tertutupi
oleh hawa nafsu atau pengakuan (ego)-nya. Ibarat cahaya yang menerangi,
kemudian terhalang atau tertutupi sehingga tak dapat terus masuk dan
menyentuhnya, maka bagian yang gelaplah yang diterimanya, seperti itulah
keburukan sebagai sisi gelapnya. Seperti pulalah hati yang tak tersentuh cahaya
petunjuk dari Tuhannya.
Keburukan yang diterima adalah
seperti bungkus yang menyelimuti kebaikan, yang sesungguhnya adalah
rahmat Tuhan. Rahmat tersebut baru terbuka dan diketahui atau dipahami setelah
bungkusnya terbuka, tidak menghalangi lagi. Usaha membuka bungkus inilah
yang dimaksud dengan mengenal hikmah, yaitu mengenal hakikat segala
sesuatu. Itu pula kesadaran yang sempurna yang dicapai akal dan jiwa dengan
melalui kebersihan hati, menghilangkan atau melunturkan sedikit demi sedikit
kekotoran hati yang menghalangi dan mentupi masuknya cahaya petunjuk Tuhannya
yang membawa kebenaran sejati (Haqq).
Kekotoran di hati yang melekat menutupi dan menghalangi masuknya cahaya
Allah sebagai asupan makanan bagi energi-energi atau aparat-Nya,
yaitu para malaikat, yang tugasnya bekerja menjaga dan membawa petunjuk
Tuhannya di dalam hati setiap diri kemanusiaan. Karena terhalang masuknya
asupan tersebut, maka terganggu pulalah sistem kerja para aparat Allah, dan berubahlah
para malaikat yang semula tunduk menjaga dan membantu kemanusiaan menjadi
pembangkang yang disebut iblis. Selanjutnya adalah ketersesatan yang semakin
dalam yang akan dialami diri-diri tersebut, bila tak segera beralih mengambil
jalan kembali kepada Tuhannya.
Menyadari betapa pentingnya hal di atas adalah langkah awal meneguhkan
keimanan. Kemudian, membersihkan hatinya dari hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya adalah dengan banyak mengingat Allah di setiap waktu (termasuk di
dalamnya adalah shalat), berpuasa yang melatih pengekangan hawa nafsu, banyak
melakukan kebajikan, serta bertobat terhadap kesalahan-kesalahan yang telah
lalu.
Mencegah kotornya hati adalah dengan menghindari kemaksiatan atau amal
perbuatan buruk, seperti iri dan dengki, munafik, kejam, merusak, taklid,
syirik, dan lain-lainnya yang selain dapat merugikan orang lain juga merugikan
dirinya sendiri.
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemelihara, tidakkah itu cukup
menjamin kehidupan kemanusiaan yang sesungguhnya hanya menerima? Kesibukan
adalah adalah tugas kemanusiaan dalam beramal perbuatan sebagai hamba Tuhan,
akan tetapi keikhlasan-nya menjadi tidak ada bila kebutuhannya lebih
mendominasi kesibukan (amal perbuatan)-nya.
Mengembalikan pemahaman kepada Dia Yang Maha Haqq, yang memiliki
kebenaran sejati, dengan menyerahkan hati dan kesadaran kita hanya kepada-Nya.
Mengkokohkan kembali keimanan yang tidak sekedar sebuah keyakinan, melainkan
berusaha mendapatkan kebenaran dari apa-apa yang sebelumnya hanya diyakininya
saja. Yaitu keyakinan (keimanan) yang telah nyata kebenarannya dan dapat
diterima hati dan akalnya, sehingga tidak lagi hanya mempercayai yang ghaib.
Ya, segala yang ghaib itu, kelak akan menjadi nyata. Karena itu gapailah, masih
jauh lebih banyak lagi dan tak terbatas hikmah di kehidupan ini yang tersebar
merata di setiap bagian alam ini.
Sebagai diri yang telah berusaha secara murni atau ikhlas beriman, dan
beragama, serta berserah diri secara total, tentu didasari oleh keyakinan yang
tidak sekedar hanya yakin belaka, melainkan keyakinan yang dapat dilihat,
dirasa, dan diraba. Sehingga tidaklah lagi seperti sebelumnya, masih sebagai
yang gaib, tetapi kini telah nyata keberadaan Dia yang mengadakan
atau mewujudkan segala sesuatu. Dengan demikian menjadi kenyataan pula,
bahwa setiap dirinyalah yang sesungguhnya gaib atau tidak nyata (tidak ada).
Seperti seorang yang sedang bermimpi dalam tidurnya, dia dapat merasakan
keberadaan jasadnya tetapi tak dapat berbuat apa-apa, hanya mengikuti saja alur
mimpinya. Keberadaan diri-nya dapat menjadi ada karena diwujudkan oleh-Nya,
sekalipun wujud tersebut adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji.
Wujud jasad adalah wadah kosong milik atau ciptaan-Nya, yang diisi
oleh Ruh-Nya, sedangkan diri atau jiwa-nya adalah merupakan identitas
pribadi-nya sebagai yang dikaruniai hidup. Maka menjadi sah hidup dan
kehidupan-nya bila diri atau jiwa-nya dapat menerima, yaitu menerima
segala sesuatu, baik disadari ataupun tidak disadari, dari mulai menerima jasad
sebagai wujud-nya, kemudian menerima hidup dari-Nya, menerima daya
(kekuatan) dari-Nya, menerima segala
anugerah rahmat kebaikan dan keburukan dari-Nya, bahkan menerima kematian pun
adalah dari-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi adalah atas kehendak-nya,
melainkan dirinya hanya menerima setiap kehendak-Nya. Apakah itu suatu
kebaikan ataupun keburukan bagi dirinya.
Di dalam rukun iman yang terakhir, yaitu iman kepada kadar baik dan
buruk, memahaminya adalah bahwa segala sesuatu yang diterima diri atau jiwa,
apakah itu sebagai anugerah kebaikan maupun keburukan, sesungguhnya yang Allah
anugerahkan adalah kebaikan dan benar kebenarannya.
Oleh sebab Dia adalah ar raahman Yang Maha Pemurah, tiada
sesuatupun yang datang dari-Nya adalah keburukan dan kesalahan, yang
dianugerahkan adalah tunggal dan dianugerahkan oleh Yang Maha Tunggal,
hanya kepada mereka yang merasa berkeinginanlah maka menjadi ada pula
keburukan dan kesalahan, sehingga memandang segala sesuatu dari nilai baik dan
buruknya. Padahal yang diberikan-Nya adalah hanya rahmat, yakni kebaikan.
Sedangkan bagi mereka yang telah lepas dari segala keinginan maka diri
atau jiwa-nya dapat menerima. Yaitu mereka yang tidak dipengaruhi
oleh keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya menyesatkan, sehingga segala
sesuatu tidak lagi dipandang dari sisi baik dan buruknya, sebab telah memahami
hikmah segala sesuatu. Ya, segala sesuatu yang datangnya dari Allah adalah
hanya kebaikan atau rahmat-Nya. Kesesatan hatinya-lah yang membuat dalam
memahami rahmat Tuhannya yang datang, sebagai yang menjadi azab
atau keburukan bagi diri-nya. Janganlah diri kita menjadi lebih
terjerumus karena salah memahami Tuhannya, sesungguhnya adalah sebagai yang
hanyalah pemberi rahmat kepada makhluk-Nya, sebab Dia Maha Pemurah lagi
Penyayang. Dan rahmat-Nya adlah kebaikan, bukan azab atau keburukan.
Mereka yang telah yakin terhadap keimanannya kepada kadar baik dan
buruk adalah mereka yang telah dapat
menerima keburukan seperti menerima datangnya malam setelah siang. Mereka yang
seperti ini adalah mereka yang menyadari betapa mereka telah banyak menerima
anugerah kebaikan dibanding menerima anugerah keburukannya. Mereka adalah yang
telah menyadari, karena di alam, maka segala sesuatu menjadi
berpasang-pasangan. Sehingga orang lain yang memandangnya sebagai orang yang
sabar dalam menerima keburukan. Dirinya pun lebih mengerti makna setiap
merasakan nikmatnya dalam kesulitan, seperti nikmatnya lapar, nikmatnya tidak
punya uang, nikmatnya sakit, bahkan hingga nikmatnya kematian. Maka tiada lagi
rasa takut dan gelisah hati.
Kemudian, kepada mereka yang
telah merubah haluannya untuk kembali kepada agama-nya, yaitu yang lurus
dalam setiap niat, ucap, dan perbuatan. Kemudian yang didasari ingat
kepada-Nya dalam setiap janji, diri, dan segala apa yang dianugerahkan
(diwariskan)-Nya sebagai fitrah kemanusiaan-nya. Serta selalu mensucikan
segala daya (kekuatan), keinginan atau rencana (pemikiran), dan juga hasil
karyanya sebagai yang dianugerahkan Allah kepada diri-nya.
“Manusia itu adalah umat
yang satu,
Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan
diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah
(mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki diantara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
(QS 2:213)
Kitab yang
membawa kebenaran sebagai keterangan-keterangan yang nyata telah ada, bahkan
tertanam di dalam dada setiap
diri kemanusiaan, maka adalah karena pengaruh hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-lah sebagai penyebab banyaknya terjadi perselisihan di muka bumi
ini.
Dalam hidup keagamaan-nya pun, tiada lagi mereka hendak mengedepankan perbedaan
sebagai karunia dari Tuhannya, dan dapat menyadari bahwa dirinya adalah bagian
dari kemajemukan atau keragaman sebagai wujud dari perwujudan
Allahu Akbar. Allah Yang Maha Tunggal yang menurunkan ajaran atau agama
tunggal, yang karena di alam, maka menjadi beragam atau akbar. Dalam satu agama
saja, maka terbias menjadi banyak aliran atau banyak sekte. Layaknya
terbiasnya cahaya matahari oleh uap-uap air di udara menjadi cahaya pelangi
yang berwarna-warni. Itulah keragaman di alam sebagai wujud Allahu Akbar.
Salah atau sesatkah agama-agama selain agama-nya? Maka, jawabnya adalah
seperti pertanyaan berikut, salahkah warna merah, kuning, dan biru pada pelangi
bila hijau adalah warna yang engkau sukai? Salahkah pemahaman-pemahaman
yang berbeda yang sesungguhnya adalah Dia pula yang menganugerahkannya kepada
mereka sebagaimana seperti menganugerahkannya kepada diri-mu? Yang salah dan
sesat adalah mereka yang dengan adanya perbedaan maka menjadi berbuat
kerusakan, apalagi sampai menumpahkan
darah.
Di alam, maka cahaya pun memiliki bayangan sebagai bagian yang gelapnya.
Di alam, maka yang satu pun membutuhkan teman-nya yang tak
terhitung sebagai penggenapnya. Di alam, kebaikan pun menjadi butuh
akan keburukan agar diketahui keberadaannya. Juga karena di alam, maka Allah
Yang Maha Tunggal pun mewujud menjadi Allahu Akbar, yaitu seluruh semesta alam
sebagai wujud tunggal-Nya. Karena Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai sumber atau
asal-nya segala sesuatu, dan sebagai tempat kembalinya segala
sesuatu tersebut. Jika demikian, maka mereka yang telah paham dan menyadari hal
ini, maka tidak akan berani menolak keburukan dari Tuhannya sendiri sebagai
yang dihindari karena telah ditetapkan seperti itu, sebagai kemutlakan dari
ketetapan-Nya (sunathullah).
Di dalam kehidupan-nya, mereka akan menjaga kelurusan, ingat
yang tiada putus kepada-Nya, serta mensucikan gerak perbuatan-nya
sebagai hidup yang sehat, baik sehat pada jiwa maupun pada jasad-nya. Kehidupan
mereka akan menjadi murah dan terjangkau, karena segala sesuatunya telah tidak
diaku-nya sebagai milik-nya, melainkan semata hanya milik Allah yang
dianugerahkan kepada-nya sebagai amanat yang kelak tetap akan
dipertanggung jawabkannya. Baik itu adalah keinginan maupun kebutuhan-nya,
yang sungguh itu adalah yang berpotensi dapat menjerumuskan diri atau jiwa-nya
pada kesesatan.
Sesatnya yang diakibatkan oleh keinginan dan kebutuhan, seperti
terjadinya saling sikut, saling todong, bahkan saling bunuh untuk mencapai
keinginan dan kebutuhan-nya. Sehingga menciptakan hidup yang tidak sehat, yaitu
kehidupan yang mahal. Mahal untuk mendapatkan jaminan keamanan, mahal untuk
mendapatkan kemudahan, mahal untuk mendapatkan kesehatan, mahal untuk
mendapatkan makanan dan minuman, mahal untuk mendapatkan pendidikan, bahkan
menjadi mahal untuk mendapatkan keadilan. Begitulah bahayanya bila kesesatan
telah menjadi kesesatan berjama’ah, maka kebenaran (haqq) pun menjadi
tertutup oleh kejahatan atau kebathilan.
Yang sesungguhnya, semua tersebut, seharusnya telah dijamin oleh Negara
melalui pemimpin yang amanah. Pemimpin yang amanah itulah yang
Allah maksud dengan khalifah-Nya. Di alam, pemimpin negara, pemimpin
wilayah, pemimpin lingkungan, pemimpin keluarga, sampai kepada yang hanya
memimpin diri-nya sendiri. Mereka itulah yang sesungguhnya bertanggung jawab
terjaminnya semua yang kini telah menjadi mahal. Maka dengan demikian,
diri-diri kita pulalah yang ternyata telah menyebabkan kemahalan
hidup-nya sendiri. Keadaan seperti itulah yang sebenarnya yang dimaksud firman
Allah pada QS 2:34, bahwa sebenarnya kemanusiaan sendirilah yang menyebabkan
ada dan terciptanya malaikat-malaikat pembangkang yang tak mau sujud
kepadanya, yaitu yang akhirnya disebut sebagi iblis.
Hanya mereka yang telah beriman dan menjaga kelurusan, ingat
yang tiada putus kepada-Nya, serta mensucikan gerak perbuatan-nya
yang sesungguhnya telah ikut menciptakan kehidupan yang sehat, yang
membuat para aparat (malaikat) Tuhannya tetap tunduk patuh pada tugasnya
sebagai yang menjaga dan yang membantu kehidupan kemanusiaan, yaitu menciptakan
kehidupan yang tidak mahal sehingga dapat dinikmati setiap diri-diri
kemanusiaan bahkan sesama makhluk-makhluk Allah lainnya. Sehingga bahkan telah
menciptakan surga mereka sendiri di dalam kehidupan dunianya ini. Itulah mereka
yang menjaga hubungan baik pula dengan para malaikat Tuhan, bukan malah
membuat para aparat Tuhan tersebut berubah menjadi iblis pembangkang
yang malah merugikan dirinya sendiri.
Ya, alam yang bersahabat, tidak pernah kebanjiran, tidak ada wabah
penyakit-penyakit, tidak ada panas terik yang menyengat, karena selalu menjaga
lingkungannya. Betapa nikmatnya hidup di kehidupan yang sehat, sehat
jasmani dan sehat rohani, kemanapun berjalan melangkah, baik siang maupun
malam, tanpa rasa khawatir terhadap hilangnya rasa aman. Nikmatnya mengurus
surat-surat kelengkapan kepada birokrasi yang bersih dari korup dan pungutan liar.
Nikmatnya menjadi pedagang yang tidak dikejar-kejar petugas tramtib
(ketentraman dan ketertiban) dan tidak ditodong oleh preman. Nikmatnya jadi
karyawan ataupun buruh yang tidak dipusingkan oleh harga-harga kebutuhan yang
selalu naik mengejar dan menyusul upah kerja yang didapatnya. Serta
nikmat-nikmat lainnya yang telah menjadi langka karena mahal akibat tidak
sehatnya kehidupan.
Dan mereka yang telah beriman dan beragama, serta ikhlas dalam
berserah diri adalah mereka yang memahami secara mendalam makna-makna
syahadat, shalat, puasa, zakat, dan pergi melaksanakan hajji sebagai satu
kesatuan pembentukan jiwa-jiwa untuk mencapai ketakwaan. Yaitu jiwa-jiwa
yang memahami keberadaan diri-nya sebagai perwujudan-Nya, yang memahami
fitrah-nya yang selain sebagai penerima juga sebagai penyampai rahmat
Tuhan-nya, yang memahami keragaman dan perbedaan sebagai rahmat, dan yang
memahami hidup-nya adalah dipenuhi pengorbanan demi kepentingan yang jauh lebih
besar. Inilah jiwa-jiwa yang selain sebagai penerima juga sebagai penyampai
rahmat Tuhan-nya untuk ditebarkan kepada sesama makhluk Allah, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Tiada lagi kepentingan akan keinginan dan kebutuhan diri-nya, merekalah
yang mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang-orang lain ketimbang diri-nya
sendiri. Dengan ikhlas dan mengerti atau paham bahwa segala anugerah yang
diterima-nya adalah karunia dari Tuhan yang pasti akan kembali kepada-Nya,
sehingga sebelum diambil-Nya, maka terlebih dahulu dia tebarkan kembali
secara ikhlas kepada sesama-nya sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya.
Yang bukan karena terpaksa ataupun karena diminta, melainkan lebih pada
kepekaan hati-nya untuk bersama-sama merasakan karunia rahmat Tuhan. Karena
yang dilihatnya adalah bahwa diri-nya ada pada mereka, dan mereka ada di dalam
hati-nya.
Mereka inilah orang-orang yang telah bersama Tuhannya, yang telah
mengosongkan hati-nya dari pengakuan (ego), keinginan dan kebutuhan,
serta membiarkan Allah yang memenuhi hati-nya. Diri-nya adalah wujud dari
perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya.
Dengan demikian segala ucap-nya adalah ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya
adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak perbuatan-nya adalah gerak-Nya. Disadari
sepenuhnya, bahwa hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia
hidup kehidupan dari Dia Yang Maha Hidup.
Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan
shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat
bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat. Bukan pula
karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan terhormat atau kekuasaan,
dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki anak-anak yang menyenangkan hati,
serta dapat memiliki istri yang cantik. Bukanlah pula karena kesadaran-nya,
maka dia telah dapat beriman, telah dapat berserah diri, telah dapat melepaskan
diri dari pengakuan (ego), Juga, bukan pula karena dirinya telah paham makna
syahadat-nya maka menjadi tahu kemana arah tujuan kehidupannya. Kesemuanya
tersebut sesuai dengan makna yang diucapkan-nya dalam setiap memulai shalatnya,
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Mereka-lah yang melihat dengan mata hati-nya, bahwa segala
sesuatu dalam kehidupannya sekarang ini, merupakan bagian kehidupan dari
hidup-Nya Dia Yang Maha Hidup, yakni bagian dari hari-hari agama
(Maliikiyawmid-diiyn) dalam naungan ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan
pemeliharaan-Nya. Baik kehidupan alam
dunia sekarang ini, alam sebelumnya, maupun akhirat sebagai alam-alam
setelah kematiannya. Apakah itu alam kubur sebagai hari-hari penantian
untuk dibangkitkan, alam hisab sebagai hari-hari penghakiman di padang
masyhar, hingga alam surga dan neraka sebagai hari-hari pembalasan.
Jiwanya menerawang kembali berusaha memahami dan merasakan kehidupan
sewaktu dirinya masih berupa sebagai yang belum dapat disebut.
Kesadarannya pun mengatakan bahwa pasti dia akan kembali lagi pada
kehidupan-kehidupan tersebut, mengalami kembali sebagai yang belum dapat disebut. Dari tanah
dan kembali lagi kepada tanah. Dari yang
hina dan kembali kepada kehinaan. Bangkit sebagai yang lahir kembali ke dunia
mengalami lagi hidup dan kehidupan sambil membawa beban masa lalunya, kemudian
mengalami pembalasan sebagai penyucian beban tersebut. Begitu berulang-ulang
dalam suatu siklus sistem ketetapan-Nya (sunathullah), sampai kepada bersih dan
suci untuk dapat kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Suci.
Semesta alam ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari
agama (Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai
penguasanya. Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta
alam ini berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung
dan terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya,
sehingga tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala
sesuatu tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari
segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah
Yang Maha Tunggal.
Matanya melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka
ragaman wujud, keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka
ragaman rasa yang menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut
merupakan perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling
bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan
dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti
gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku
(es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang
satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya
sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Penglihatannya menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi
cahaya Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap,
tiada lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit
atau mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada
lagi takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan
lainnya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat karena
kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala sesuatu
tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang Maha
Tunggal.
Dia-lah yang
zhahir dan yang bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya
pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam, dan Dia bathin karena keterbatasan
makhluk memahami apalagi mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun
tak terlepas dan menjadi terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak
dengan memisahkan antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang
bathin. Padahal, kedua sifat Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan
bagi pemahaman makhluk. Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap
pemahamannya tersebut, sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling
menuduh sesat.
Dan mereka yang memahami kebersatuan
makhluk dengan Tuhannya, dipelopori oleh Mansyur al Hallaj, yang terkenal
dengan ucapannya Anna al Haqq, dengan pemikirannya tentang satu
kesatuan wujud antara makhluk dengan Tuhannya (konsep hullul).
Kemudian pada masa-masa selanjutnya didukung oleh Ibn Arabi dengan wahdatul
wujud, dengan makna yang sama, cuma lebih sedikit berhati-hati. Pada
masa-masa selanjutnya, Syekh Siti Jenar di tanah Jawa dengan konsep manunggaling
kawula gusti-nya. Pemikiran-pemikiran mereka menimbulkan pertentangan yang
tajam bagi mereka yang berpaham sebaliknya, bahkan sampai menimbulkan
pertumpahan darah dengan dihukum matinya mereka, kecuali Ibn Arabi.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran
bila menjadi semakin tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga
menumpahkan darah. Mereka lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang
mempertimbangkannya dengan akal dan hati yang lapang, sehingga lebih
memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu diulang-ulang pada
bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah rahmat yang tunggal,
yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia Yang Maha Tunggal
termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai Yang Maha
Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai bersama
pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang
Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya merasa masih
dalam keterbatasan.
Dia-lah Yang Maha Halus dan Lembut yang
sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga menjadi tak
nyata tapi dapat terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus
dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan.
Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam
memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang
satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci
lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk dalam
memahami-Nya.
Sekalipun itu merupakan wujud keikhlasan berserah diri
(islam)-nya, namun bukanlah karena diri-nya, melainkan hanya karena kemurahan
Tuhannya, Ar
Raahman, yang mengkaruniakan petunjuk serta hikmah kepada-nya. Hanya
karena kehendak Tuhannya, hanya karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena
ketetapan Tuhannya. Maka tiadalah diri-nya yang sesungguhnya berperan
sedikitpun dari segala pemahamannya, dari kesanggupannya, dari kesadarannya,
dari melepaskan jeratan hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya,
kecuali hanya merasakan nikmat dari segala kemurahan-Nya. Nikmat yang
didapat dari petunjuk dan hikmah-Nya sebagai karunia yang besar
yang dianugerahkan kepadanya.
Dengan demikian, mereka tidak
lagi tergoda menginginkan nikmatnya surga dan menghindari kejamnya neraka.
Mereka pun tidak lagi tergoda pada keinginan dan kebutuhan
dunianya. Serta mereka pun tidak lagi tergoda oleh pasangan segala
sesuatu yang ternyata malah hanya mengaburkan dari makna tunggal-Nya Yang Sejati
(Haqq). Kesemuanya tersebut disadari hanyalah sebagai yang akan menggodanya
dalam perjalanannya untuk dapat kembali pulang kepada Yang
Maha Tunggal. Yang mereka sadari dengan keikhlasannya, hanyalah atas
kekuatan dan kehendak-Nya lah maka menjadi penting mewujudkan sifat-sifat Allah
di alam ini sebagai rahmat bagi sesama di semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn sebagai
perwujudan Dia Yang Maha Terpuji.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran.”
(QS 2:269)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar