Bab XVI
MENSUCIKAN
(Wayutuzzakata)
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya, Dan Dia lebih mengetahui (keaadaan)-mu ketika
Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui
tentang orang-orang yang bertakwa.
(QS
53:32)
S
|
uci mengandung makna terhindar dari segala bentuk
kekotoran. Dan sesungguhnya, rasa-lah yang menjadi penentunya, dilihat
mata, didengar telinga, dicium baunya oleh hidung, dikecap oleh mulut, dan lain
sebagainya oleh indera kemanusiaan-nya, sebagai yang harus disadari
bahwa bukan dirinyalah sebagai pemiliknya. Rasa-lah yang menentukan suci
tidaknya, kotor atau bersih, serta kelayakan bagi diri (jiwa)-nya.
Sesuatu yang memaksa, dipaksakan dan terpaksa maka akan mempengaruhi rasa yang
meresahkan bagi jiwanya sebagai dosa, dan menyiksa jasad-nya sendiri sebagai
penyakit yang menggerogoti hidup-nya.
Kata ‘zakat’ disini, bukan
hanya bermakna kepada mensucikan harta-benda saja, melainkan seluruh
anugerah yang telah diberikan Allah kepada insan kemanusiaan dari kenajisan
atau kekotoran, yang sesungguhnya adalah akibat pengakuan (ego)
dari diri atau jiwa-nya. Kembali menyadari, bahwa diri kemanusiaan hanyalah
menerima segala sesuatunya yang merupakan rahmat kebaikan dan kebenaran dari
Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada nilai-nilai keburukan dan kesalahan di
setiap rahmat-Nya. Akan tetapi, karena di alam dan setelah diterima diri-diri,
maka tak terlepas dari kontaminasi pengakuan (ego)-nya yang menjadikan
terselipnya nilai-nilai keburukan dan kesalahan. Hal inilah yang menjadi perlu
disucikan agar dapat kembali kepada yang memberi, Allah Yang Maha Suci sebagai
tempat kembali tujuan akhir.
Kebanyakan kita telah salah
memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan
zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan,
salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’
mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah
tersebut.
Disucikan
karena ada kekotoran, dan mensucikannya, ada yang membayar-nya dengan uang,
zakat, fidiyah (memberi makan orang miskin), infak dan sedekah, ataupun puasa.
Perhatikanlah ayat berikut ini, kemudian renungkanlah secara perlahan dan
mendalam, sambil mengingat-ngingat kejadian yang pernah terjadi baik pada diri
maupun yang pernah terjadi di sekitar kita.
“Tahukah kamu (perbuatan)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan(
memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Bila telah tidak mendustakan
agama (QS 98:5), yaitu telah berada pada jalan lurus-Nya, ingat
(sadar) kepada-Nya yang tiada putusnya, serta mensucikan semua anugerah
yang diberikan Tuhannya, yaitu yang bila telah dengan ikhlas tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka masihkah perlu
membayar untuk mensucikan-nya? Mensucikan (zakat)-nya hanya bagi mereka
yang telah terlambat atau terlanjur mendustakan agama.
Renungkanlah.
Makna, mencegah adalah jauh lebih baik dari
mengobati sangatlah pas atau sesuai kepada menjalankan agama dengan ikhlas
lebih baik daripada timbulnya penyesalan di hari kemudian, yaitu membayar
(mensucikan dengan zakat) harga yang belum tentu sesuai dengan nilai
kerusakan akibat amal perbuatan yang mendustakan agama. Maka, hal itu tetap
saja sebagai hutang yang kelak akan dihisab (diperhitungkan) pada hari
akhir.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan
shalat (mengingat
Allah
yang tiada putus), dan tunaikan zakat (mensucikan
seluruh
anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Bila yang ditekankan
membayar untuk mensucikan (zakat), maka asumsi yang timbul adalah, tidak
mengapa beramal perbuatan yang mendustakan agama, toh dapat mensucikannya
dengan membayar zakat-nya. Sedangkan asumsi kebanyakan orang adalah membayar
zakat hanya untuk mensucikan harta-benda yang mungkin saja didapatnya
terkontaminasi oleh kekotoran, tidak menyadari dengan cara bagaimana mensucikan
amal perbuatan lainnya yang menyimpang dari agama. Atau berusaha sedapat
mungkin melakukan segala amal perbuatan yang murni atau ikhlas tak dikotori
oleh pengakuan (ego). Mungkin dengan sedekah atau amal-amal sedekah lainnya
dapat mengurangi dosa-nya, padahal ternyata sumber sedekah atau
amal-amal bantuan lainnya tersebut didapat dari perbuatan yang mendustakan
agama. Maha Suci Dia sebagai tempat kembali segala sesuatu. Maka apakah dapat
bersih, bila mencuci pakaian dengan air yang kotor?
Harta-benda,
yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud
dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan
kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula
tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana
yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya.
Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha
Pemurah dan Penyayang. Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan
kehendak-Nya. Apapun bentuknya, apabila masih melekat kekotoran pada
jiwa, maka tetaplah dipertanggung jawabkan sebagai beban pada kehidupan di hari
kemudian-nya kelak, sekalipun telah membayar zakat-nya. Dia-lah Yang
Maha Adil.
“Katakanlah:
Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS 17:100)
Daya
“..... Laa quwwata
illaa billah (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Daya atau
kekuatan yang merupakan energi sebagai sesuatu yang menggerakkan.
Akan tetapi tetap, sesungguhnya, kehendak Dia-lah yang memerintahkan
kepada daya (energi) tersebut untuk menggerakkan segala sesuatu di dalam jasad
diri segala sesuatu ciptaan-Nya, termasuk pula diri kemanusiaan.
Di dalam
ulasan pada bab Iman kepada Para Malaikat, telah diterangkan bahwa
energi-energi tersebut itulah sesunggunya aparat Allah (para
malaikat-Nya). Sedikit kita ulas kembali, bahwa ketetapan-Nya, kehendak-Nya,
serta perintah-Nya adalah sebagai yang disebut Nur Allah.
Aparat-Nya, yaitu para malaikat adalah sebagai Nur Cahya.
Sedangkan setiap diri insan kemanusiaan yang telah bermanusiawi adalah
sebagai yang disebut Nur Muhammad (wujud dari perwujudan Yang Maha
Terpuji).
Limpahan
cahaya yang membanjiri bumi sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupan
seluruh makhluk-Nya, baik siang maupun malam. Energi-energi tersebut tidaklah
musnah atau mati, hanya berubah bentuk, yang pada awalnya energi cahaya,
berubah-ubah seperti menjadi energi panas, energi listrik, energi gerak, energi
bunyi, dan lain sebagainya. Disitulah para malaikat berperan atas ketetapan,
kehendak, dan perintah-Nya. Energi-energi tersebutlah yang menggerakkan
hidup dan kehidupan segala sesuatunya, seperti gerak rotasi dan revolusi bumi
yang menjadikan malam dan siang serta musim-musim, gerak angin, gerak awan,
gerak proses terjadinya hujan. Kemudian kepada gerak kesuburan tanah di
bumi, gerak tumbuhnya tanam-tanaman. Kemudian pula pada gerak proses siklus
rantai makanan pada makhluk-makhluk-Nya. Itulah rahmat dari Dia Yang Maha
Pemurah. “maka nikmat Tuhanmu yang
mana lagikah yang dapat kamu dustakan?”
Bahkan kepada para aparat
(malaikat) yang bertugas di wilayah jasad atau tubuh setiap diri kemanusiaan,
energi-energi (para malaikat) tersebut berperan menggerakkan seluruh gerak
hidup dari milyaran sel, jaringan, serta organ tubuh-nya. Seperti gerak bernafas,
gerak gerak jantung yang berdetak memompa, gerak aliran darah, gerak berpikir,
gerak mencerna makanan, serta gerak-gerak lainnya yang tak disadari dan
bukan pula diri-nya yang memerintahkan, melainkan ternyata Dia-lah yang
memerintahkan. Dan yang diperintah pun bukanlah diri-nya, melainkan para aparat
(malaikat)-Nya sebagai energi penggerak apa-apa yang sebagai bagian atau yang hidup
di dalam jasad-nya. Itulah mengapa diri menjadi tidak menyadari gerak-gerak
tersebut, karena bukan diri-lah yang memerintahkan apalagi berkuasa untuk
menggerakkan. Hanya diri yang masih penuh akan pengakuan (ego)-lah yang merasa
memerintah dan berkuasa.
“Dan
bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan
bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan.”
(QS 53:43-44)
Kemudian pada gerak
pendengaran, gerak penglihatan, gerak pengucapan, gerak berpikir, gerak tangan
dan langkahnya, serta gerak-gerak sadar lainnya adalah merupakan gerak para
malaikat yang diperintah oleh Dia dalam ketetapan, kehendak, dan
perintah-Nya. Daya-daya inilah yang
dapat mewujudkan bentuk-bentuk amal perbuatan selain amal perbuatan kebaikan
bagi diri dan sesama-nya. Yang sesungguhnya,
selain itu merupakan pengabdian kepada Tuhannya, juga merupakan wujud
pengabdian-nya kepada setiap diri kemanusiaan (wujud dari perwujudan
Yang Maha Terpuji). Seperti yang dimaksud oleh ayat di bawah ini,
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis.
Ia menolak dan
menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Mereka (para
malaikat) yang menolak tunduk pada perintah-Nya, disebut iblis.
Renungkanlah, pada diri kemanusiaan, yang jiwanya tak mau tunduk patuh kepada
Tuhannya, maka dia atau diri-nya sendiri-lah yang telah mengubah aparat
(para malaikat) Tuhannya menjadi iblis yang membangkang, dan
menyombongkan diri yang mewujud sebagai bentuk pengakuan (ego) pada diri
kemanusiaan-nya.
Betapa berbahayanya hal ini,
bila para malaikat-Nya pun membangkang dari tugasnya menggerakkan dan
malah mengaktifkan yang “sesat”, menjadi iblis (virus, istilah
ilmiahnya) atau penyakit yang menyebabkan sakit, dan terganggunya hidup dan
kehidupan dirinya sendiri. Juga tak lagi membawa petunjuk Tuhannya, malah
menyesatkan penglihatan hati dan akalnya dari kebenaran.
“..... maka
berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari pembalasan.” (QS 38: 26)
Bentuk pengakuan (ego),
yaitu yang menyombongkan diri adalah sebagai penyebab utama
terjerumusnya diri kemanusiaan, sehingga perlu disucikan dengan meluruskan
dan selalu sadar (ingat) kembali kepada Tuhannya, yang “tiada daya
(kekuatan) selain daya (kekuatan) yang diberikan-Nya”. Menyadari (ingat)
dan mengakui (melepaskan ego-nya) bahwa diri-nya hanyalah menerima daya
(kekuatan) dari-Nya.
Cipta
“Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah
dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS 9:105)
Cipta adalah hasil atau
wujud dari daya (kekuatan) dan kreasi imajinasi pikir (karsa) yang merupakan
anugerah Tuhan kepada setiap diri insan kemanusiaan, dan bermanfaat bagi
sebanyak-banyaknya sesama makhluk Tuhan. Dia-lah Maha Pencipta (Khaliq), insan
kemanusiaan hanya menerima anugerah kekuatan untuk dapat mencipta.
Awalnya adalah kehendak-Nya,
kemudian Dia memerintahkan daya atau kekuatan (energi) untuk menggerakkan
imajinasi pikir dan bersama gerak kreasi yang kreatif, baik keinginan mencipta
suatu yang baru, maupun merekayasa hasil ciptaan yang telah ada. Janganlah pula
lupa, mengingat Dia yang tiada putusnya sebagai kesadaran, menjaga kelurusan,
dan menjaga pula kesucian segala daya dan kreasi imajinasi pikir (karsa) dari
terkontaminasi kekotoran pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan,
yang dapat pula mengotori hasil ciptanya.
Hasil cipta-nya ada yang
berwujud baik bagi kebaikan dan baik bagi keburukan, ini jelas universal
yaitu dapat diterima atau bermanfaat bagi semua. Dan ada pula yang buruk bagi kebaikan
dan buruk bagi keburukan, sedangkan ini merupakan hasil cipta negatif
atau buruk yang dapat diterima atau ‘bermanfaat’ (padahal sesungguhnya
merupakan penyesatan) bagi mereka yang buruk saja, tiada bermanfaat dan tidak
dapat diterima oleh kebaikan, sebagai hasil cipta yang terkontaminasi oleh pengakuan
(ego) yang sesat dan menyesatkan.
Allah sebagai Khaliq (Maha
Pencipta) semesta alam dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah karena
anugerah-Nya, yaitu dengan bantuan para aparat (malaikat) Allah yang bekerja
atas perintah dan kehendak-Nya, maka insan kemanusiaan diberi kekuatan mencipta.
Dan jangan dilupakan, setiap anugerah-Nya yang diberikan kepada diri
kemanusiaan adalah merupakan sebagai titipan (amanah), yang kelak
akan diminta pertanggung jawaban atas pengelolaannya.
Selalu dalam keadaan sadar
(ingat) yang tiada putusnya adalah hal utama yang dapat menjaga kelurusan
dan kesucian setiap amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Bila
amal perbuatan baik menghasilkan pahala kebaikan selama hasil cipta tersebut
dipakai dan dimanfaatkan orang lain, maka bagaimana dengan amal perbuatan buruk
sebagai hasil ciptanya? Tentu segala keburukan akan menunjuk pula kepada
diri-nya, selama amal perbuatan buruk itu dimanfaatkan orang lain. Apalagi bila
banyak yang menggunakannya. Bagaimana mensucikannya? Tentu tidaklah cukup hanya
dengan membayar zakat-nya.
Banyak
penemuan teknologi yang berguna bagi hampir sepanjang sejarah
kemanusiaan, teknologi lampu listrik, mesin cetak, mesin tenun, dan lain
sebagainya yang sangat bermanfaat pada kehidupan sampai sekarang, dan nama baik
mereka pun hidup sepanjang hasil ciptanya tersebut digunakan atau dimanfaatkan
orang. Dan orang-orang suci yang membawa ajaran kebaikan yang dilekatkan
sebagai ajaran agama dari Tuhan, nama mereka pun masih sering disebut-sebut
hingga kini. Apa yang mereka perbuat tentunya mengeluarkan energi, dan energi
kebaikan yang keluar tersebut hidup serta bermanfaat bagi kehidupan
kemanusiaan sampai akhir zaman.
“... Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dai apa yang mereka kumpulkan.” (QS 43:32)
Tentu,
begitupun sebaliknya, amal perbuatan yang merusak atau membuat kerusakan,
seperti Fir’aun dengan menuhankan diri-nya, Qarun sebagai lambang ketamakan
pada harta benda (harta karun), Yahudi dengan pembangkangannya, Hitler dan
Jengis Khan dengan ambisi kebangsaan dan genosida-nya (pemusnahan etnis). Nama
mereka akan terus melekat pada keburukan.
Karsa
Karsa adalah
gerak imajinasi pikir dan gerak kreasi yang menuntut kekreatifan secara
maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal pula. Rasa ‘menuntut’ inilah
yang kelak dapat menjerumuskannya, sehingga sangat perlu disucikan
kembali dengan selalau dalam keadaan sadar (ingat) dan meluruskan
kembali yang melenceng dari jalan agama, maka akan melenyapkan segala macam
pengakuan (ego) yang sebelumnya mengotori alam khayal-nya dalam berkreasi.
Disinilah
peran diri (jiwa) sangat mempengaruhi penilaian selanjutnya kepada penilaian
akhir, sebagai kebaikan atau sebagai keburukan. Karena, disinilah peran diri
(jiwa) yang dapat terjerumus kepada merubah para malaikat-Nya menjadi
iblis pembangkang yang seharusnya mengabdi. Sejak itu pulalah iblis mulai
dengan peran bujuk rayu godaannya semakin menyesatkan jiwa-nya.
Ini adalah
alam khayal yang bathin, dimana segala sesuatu amal perbuatan diniatkan dan
dirancang di dalam pikir-nya, dimana masuk pula rasa-rasa yang dapat
mendominasi mempengaruhi jiwa akan timbulnya keinginan-keinginan sampingan,
seperti untung-rugi, keserakahan atau ketamakan, kepentingan, yang kesemuanya
adalah merupakan pengaruh dari pengakuan (ego)-nya.
Bagi orang-orang yang telah
beriman, maka terjadilah perang di dalam dada-nya antara malaikat dan iblis,
sebagai pembawa kebaikan dan pembawa keburukan. Dan bagi mereka yang telah
beriman dan beragama, serta tak menuruti hawa nafsunya, maka iblis telah kalah
satu langkah.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka.” (QS 38:82-83)
Serta bagi
mereka yang telah murni (ikhlas) dalam keimanan dan agamanya, maka iblis
telah menyerah kalah. Kekuatan mereka adalah pada kemurnian-nya, sebagai
kekuatan yang dahsyat. Kekuatan yang dapat menundukkan dan mengembalikan wujud iblis
kepada wujud semulanya, yaitu wujud malaikat (aparat)-Nya, mengembalikan
tugasnya sebagai yang menjaga, membantu, dan menyampaikan rahmat. Itulah
sesungguhnya makna diri kemanusiaan sebagai yang memuliakan Tuhannya.
Anugerah
kreativitas yang diberikan Tuhannya adalah anugerah yang luar biasa bagi
kehidupan insan kemanusiaan yang bervariasi, tiada pernah monoton dan
membosankan, selalu saja ada inovasi-inovasi
kreatif yang membuat hidup kehidupan ini semakin semarak. Begitulah
kesempurnaan manusia ciptaan Tuhan, yang bukan tidak mungkin pula, dengan
kesempurnaan tersebut, malah menjadikan diri-nya terjerumus pada lupa
daratan dan sombong.
Kehidupan kemanusiaan yang begitu aktif dan
dinamis, bagai berada dalam suatu permainan, dan sungguh membuat terlena
para pelaku di dalamnya. Bahkan amat menggoda untuk tetap dapat merasakan
kehidupan dunia ini selama-lamanya, tak ingin cepat meninggalkannya, serta
takut mati. Lebih seperti anak-anak yang sedang asyik dengan
permainannya, tak mau terganggu sedetikpun.
Telah tak terhitung segala
sesuatu hasil karya yang terwujud dari alam khayal diri-diri
kemanusiaan. Dan seluruhnya, kebanyakan besar sekali manfaatnya yang memberi
kemudahan dalam kehidupan. Begitulah ajaibnya imajinasi jiwa
kemanusiaan, maka Maha Sempurna-lah Dia yang telah mencipta manusia bersama
kehidupannya.
Di dalam alam khayal yang
bathin ini pula, sesungguhnya banyak masuk petunjuk-Nya, yaitu berupa ide-ide
kreatif, ilham yang bersih, dan pembeda antara manfaat dan mudharat. Dan
menegaskan kembali lebih kepada keinginan untuk mempermudah hidup dan kehidupan
menuju keselamatan dan kesejahteraan, yang sesungguhnya juga merupakan rahmat
Tuhan yang direncanakan hendak diberikan kepada sesama makhluk Allah, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Yang
sesungguhnya dari mulai kekuatan diri-nya adalah karena kekuatan-Nya,
imajinasi kreatif-nya adalah karena petunjuk-Nya, dan hasil daya olah
cipta-nya murni hanya dipersembahkan demi kemaslahatan bersama,
yaitu kepada sesama makhluk Tuhan. Lurus, selalu ingat, dan suci, itulah
sesungguhnya sebagai agama yang benar (diynul qayyimah) dari Tuhannya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia, Maha Suci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka.”(QS 3:190-191)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar