Bab XV
MENEGAKKAN SHALAT (Wayuqimusshalat)
INGAT yang TIADA PUTUS
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu.”
(QS 18:14)
K
|
ebanyakan kita memahami menegakkan shalat adalah hanya dengan telah
melakukan shalat maka kewajiban beribadahnya telah selesai tertunaikan. Seperti
penjelasan ayat di atas, bahwa shalat adalah untuk mengingat Allah.
Yaitu, menjaga kesadaran jiwa agar selalu dalam lindungan kuasa dan
pemeliharaan Allah (Allaahu Maliikiyawmid-diiyn), Dia yang menguasai
hari-hari agama.
Selalu mengingat bahwa Allah
mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu
setelah shalat. Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami setiap
gerak amal perbuatannya tidaklah lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran,
dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal
perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari shalatnya. Amal perbuatan yang
merefelksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Mengingat Allah yang tiada
putus (li dzikri), dan termasuk pula di dalamnya shalat, adalah untuk selalu
berada pada jalan lurus-Nya, sehingga tiada ada kesempatan bagi iblis
untuk masuk dan membisikkan godaan atau bujuk rayunya yang menyesatkan dan
menjerumuskan.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar
(keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS
29:45)
Bila sempat terputus, mohon
ampunlah dengan mengucap istighfar,
sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali
sebagai yang dhaim atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap alhamdulillah
sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa
mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan ini merupakan energi
yang dikeluarkan sebagai energi positif, sebagai pengembalian kepada kemuliaan
Dia yang memberikan.
“...... Dan ingatlah
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: semoga Tuhanku akan memberiku petunjuk
kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS 18:24)
Segala
sesuatu yang masuk ke tubuh atau jasad sebagai yang diterima atau
dianugerahkan, adalah energi yang merupakan rahmat-Nya. Apakah itu makanan,
minuman, nafas, ilmu dan pengetahuan, serta lain sebagainya, maka ketika yang dikeluarkan adalah juga energi, sekalipun
ampas. Bukankah kotoran yang dikeluarkan pun dapat dijadikan bahan bakar atau
gas, dapat dijadikan pupuk penyubur tanaman, serta makanan bagi makhluk
lainnya. Begitu pula pada nafas yang dikeluarkan, adalah energi (CO2) yang dihisap tanaman bagi
pernafasannya, maka agar selalu dalam kebersihan, selalulah dalam
mengingat-Nya (li dzikri) sebagai pengembalian yang baik dan wujud rasa syukur
atas segala rahmat-Nya baik disadari maupun yang tidak disadari. Karena
sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu, tiada yang lepas dari rahmat,
kehendak, serta pemeliaharaan-Nya.
Makna menegakkan shalat,
tidaklah hanya dengan telah mengerjakan shalat. Sering pula dimaknai dengan
amal perbuatan yang mencerminkan shalatnya. Yaitu amal perbuatan yang selalu
menjaga kesadarannya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sehingga
membuahkan kebajikan bagi sesama makhluk dan alam sekitarnya, rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Maka kesadaran yang selalu terjaga merupakan keadaan atau
kondisi ingat (dzikr).
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Selalu mengingat Dia dengan
menyebut nama tunggal-Nya, yaitu Allah, atau dapat pula nama-nama terbaik
lain-Nya, di lubuk hati yang paling dalam, tanpa suara bahkan tidak terdengar
oleh telinga. Kegiatan ini sama sekali takkan mengganggu aktivitas sehari-hari,
apalagi mengganggu orang lain. Betapa besar manfaat li dzikri ini bagi
jiwa, paling tidak membawa ketenangan dan ketentraman. Inilah bentuk atau wujud
kebersamaan makhluk dengan Tuhannya, manunggal bersatu kepada Yang Maha
Tunggal.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada
Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Shalat
adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki
nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang
dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada
pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa
sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari
segala raja.
Shalat,
dzikir, atau mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai
Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan
munkar (QS al Ma’un ayat 1-7) merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama.
Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai
keutamaan itu. Akan tetapi, akan dikutuk oleh Allah sebagai orang
yang celaka bagi mereka yang selalu shalat namun perbuatannya tidaklah
mencerminkan shalat dan ingat-nya kepada Allah. Yaitu perbuatan yang
mengingkari Allah. Mereka inilah yang dimaksud merusak dan merendahkan
agama Allah.
Mengingat
Dia, adalah juga menyadari apa-apa yang ada, apa-apa yang masuk sebagai yang
diterima, dan apa-apa yang keluar sebagai pengembalian pada diri insan
kemanusiaan, yang kesemuanya merupakan anugerah yang dititipkan sebagai yang
akan dipertanggung jawabkan, kelak.
Selalu mengingat Dia yang tiada
putusnya juga mengandung makna sebagai menjaga kesadaran jiwa terhadap
fitarh-nya yang telah ditetapkan Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi yang
menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak keluar jalur dari jalan lurus
yang dikehendaki-Nya, yaitu, fitrah insan kemanusiaan sebagai perwujudan
Tuhan di muka bumi, yang saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn. Itulah
menjalankan agama yang benar (diynul
qayyimah) dengan ikhlas atau murni.
Janji
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Dengan ayat
ini, Allah hendak mengingatkan kembali kepada diri-diri kemansuiaan, bahwa sebelum kelahirannya di dunia, jiwa-nya
telah ber-syahadat (persaksian) pula sebagai ikatan perjanjian dengan
Tuhannya. Dan jiwa-jiwa kita benrjanji untuk tidak lengah terhadap persaksian
tersebut.
Tentulah
persaksian tersebut adalah berkaitan dengan fitrah kemanusiaan-nya,
yaitu sebagai khalifah yang merupakan perwujudan dari Dia Yang Maha
Pemurah di muka bumi. Menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil
‘aalamiiyn. Karena itulah maka jiwa-jiwa kemanusiaan inilah yang kelak akan
diminta pertanggung jawabannya.
Janji adalah milik Allah,
karena janji adalah berbicara mengenai hari kemudian, yang berada dalam
kuasa-Nya. Tidak dibenarkan, atau tidaklah layak, bahkan tidaklah dapat
dipercaya bila insan kemanusiaan berjanji. Sebutlah nama-Nya, yaitu insya
Allah (dengan izin Allah), untuk membersihkan janji-nya, bahwa
kekuatan untuk memenuhi janji tersebut adalah dengan kekuatan Allah, bukan
kekuatan dirinya sendiri.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah
diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan insan kemanusiaan
yang terikat kepada janjinya, dapat pula tidak menepatinya, dan malah
terperosok karena hawa nafsunya pada kehidupan dunia. Maka sungguh dengan
selalu mengingat Dia yang menguasai hari kemudian, yang dengan
izin-Nya, jadilah janji-nya itu merupakan janji-Nya. Dan Dia-lah yang
menunaikan janji tersebut untuk kita, karena segala sesuatu mudah bagi-Nya jika
Dia menghendaki. Sebab itu jadikanlah keinginan adalah keinginan-Nya, kehendak
adalah kehendak-Nya, kekuatan adalah kekuatan-Nya, ilmu adalah ilmu-Nya, dan
lain sebagainya adalah semuanya milik-Nya dan dalam pemeliharaan-Nya. .
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Demikianlah adanya, segala
sesuatu yang berada di langit dan yang berada di bumi, serta yang berada
diantara keduanya adalah kepunyaan dan atas kehendak serta dalam kuasa-Nya.
Bahkan apa-apa yang berada di dalam tubuh atau jasad, sampai kepada nafas (hawa)
adalah milik-Nya. Yang pada pemahaman sebelumnya kita pisahkan sebagai milik
kita, pengakuan (ego)-lah yang mengaku-ngaku milik kita, sekalipun telah
dianugerahkan kepada diri kita, yang sesungguhnya hanyalah titipan berupa
amanah yang pada saatnya nanti, harus pula dipertanggung jawabkan
pengelolaannya. Tiada kekuatan selain kekuatan Dia yang Maha Agung, bahkan
untuk dapat mengucapkan janji pun adalah kekuatan-Nya. .
“... dan
penuhilah jnaji,
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 2:177)
Insan kemanusiaan yang
berakhlak mulia dan terpuji adalah juga yang menunaikan janjinya, karena diberi
kekuatan dan atas kehendak Allah. Tidak akan mudah memberikan janji, karena
sadar akan konsekuensinya yang tidak ringan. Maka dia pun ingat kepada imannya
terhadap Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari
kemudian-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya, yang kesemuanya berada di dalam
diri-nya untuk menjaganya agar tetap berada di jalan lurus-Nya.
Diri
Mengingat
Allah yang tiada putusnya adalah juga agar menyadari fitrah diri-nya
yang merupakan wadah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah, yang merupakan
rahmat bagi semesta alam. Untuk mengenal diri, maka kenalilah Tuhan. Dan
untuk mengenal Tuhan, maka kenalilah diri. Setelah mengenal keduanya,
maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.
Diri
merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai
kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan,
kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar
maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya
yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah amanah titipan yang pada
saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan
(ego) menjadi dominan berlebihan menguasai jiwa, hingga malah menjerumuskan
diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.
Diri setiap insan kemanusiaan
adalah keturunan dari diri yang satu, keturunan
Adam (berarti, tidak ada). Ya khalifah, ya nabi, ya rasul, ya
juga yang lalai atau berdosa. Maka setiap diri adalah juga keturunan tidak
ada, juga keturunan khalifah, , serta juga keturunan rasul,
juga keturunan nabi, serta pula keturunan yang lalai (berdosa).
Itulah fitrah kemanusiaannya.
A.
Tidak Ada,
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah
dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya.
Bukan pula
dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada
rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan
mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel
tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai
pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel
yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga,
mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah
yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung
jawabannya.
Hanya rasa
yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat,
dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan
(ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat
dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat
menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku
sebagai pemiliknya.
Ketiadaan
diri adalah dengan telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada
(wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu pun adalah milik-Nya, karena itu selalu
luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum
dipertanggung jawabkan kelak.
Mengingat Allah yang tiada
putusnya sebagai penyadar, bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada,
dan hanya Dia yang ada. Maka segala sesuatu yang datang dan keluar
darinya menjadi bersih dari pengakuan (ego)-nya, sehingga selamatlah
kehidupannya baik di dunia dan kelak di akhirat, karena menetapkan dirinya
tetap berada di jalan lurus-Nya.
B. Khalifah,
adalah anugerah berupa
kekuasaan atau kepemimpinan yang diberikan Allah kepada setiap insan
kemanusiaan untuk dikelola secara baik dan benar, dan lurus sesuai yang
dikehendaki-Nya. Kepemimpinan terhadap diri sendiri, keluarga, sekitar, bahkan
terhadap yang jauh lebih luas lagi, wilayah atau daerah, hingga negara. Dan
tetap, adalah dimulai dari kepemimpinan terhadap dirinya sendiri, semakin baik
pengelolaannya maka akan semakin luas pengaruhnya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak
menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan
nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Tetapi, bila
tergoda pengakuan (ego), maka rusak atau cacatlah kepemimpinannya. Menjadi
otoriter, diktator, atau dzalim, bahkan kepada dirinya sendiri karena telah
merusak apa yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Telah banyak ini terjadi
di sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, dari mulai perang berebut wilayah
kekuasaan antar raja-raja, perang etnis kesukuan, perang agama (perang salib),
perang dunia, perang dingin, hingga perang terhadap terorisme.
Kekahlifahan
adalah anugerah yang menggoda setiap diri insan kemanusiaan.
Kemuliaannya amat menggiurkan, akan tetapi kerusakan akibat salah atau sesatnya
pengelolaannya amatlah besar pula. Semakin besar kekhalifahan melibatkan
banyak insan kemanusiaan, maka semakin besar pula kerusakan yang diakibatkannya
karena salah dan sesat pengelolaannya. Sehingga kekhalifahan cenderung
menjerumuskan, akan tetapi tetap dibutuhkan dalam kehidupan, apapun bentuknya
kepemimpinan tersebut. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah terhadap
insan kemanusiaan.
Pada insan
kemanusiaan yang telah beriman dan beragama dengan lurus,
serta dengan masing-masing individunya telah menyadari (ingat) dan
melepaskan segala pengakuan (ego)-nya, maka insya Allah akan tercipta kehidupan
yang sehat di wilayahnya. Karena kekhalifahan yang besar atau luas
dipengaruhi oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil di bawahnya, semakin kecil
kepada individu-individu diri kemanusiaan sebagai elemen penting penyusun
struktur kehidupan.
Semakin baik kualitas akhlak
individu-individunya, maka menentukan kualitas kepemimpinan wilayah atau
negaranya. Dan akan kembali kepada individu-individu sebagai rakyatnya, berupa
kemakmuran ketentraman, keamanan, dan keadilan yang merata. Tidak akan pernah
didapat seorang khalifah dan pemimpin negri yang baik, yaitu yang dapat membawa
kepada keadilan, kemakmuran, keamanan, dan ketentraman yang merata, bila
masing-masing individunya kebanyakan masih dalam kesesatan akhlaknya. Seperti pungguk
merindukan bulan. Antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah ada
harmonisasi kehidupan yang baik, memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu
keimanan dan agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan seperti pula yang
dikehendaki Tuhannya.
C. Rasul,
Adalah tugas
yang diamanatkan kepada setiap insan kemanusiaan yang telah beriman dan
beragama untuk menyampaikan petunjuk dari Tuhannya. Kita telah membahas
tentang kerasulan pada setiap diri kemanusian secara khusus pada bab keimanan,
akan tetapi akan sedikit diulas kembali.
Yang
sesungguhnya setiap diri adalah membawa tugas kerasulan baik disadari maupun
tidak, serta secara sukarela maupun terpaksa, karena memang fitrah-nya
seperti itu sejak Adam As sebagai bapak asalnya kemanusiaan. Adalah kodratnya,
menghendaki kebaikan pada sekitarnya, minimal keluarganya, maka yang keluar
dari ucap-nya (bila disadarinya, adalah ucap-Nya) adalah berupa nasehat-nasehat
kebaikan. Disadari ataupun tidak, “tiada kekuatan selain kekuatan Allah”-lah
yang memberi kekuatan kepadanya untuk menyampaikan segala bentuk nasehat
kebaikan sebagai petunjuk-Nya.
Akan tetapi,
yang dibutuhkan bukan cuma nasehat-nasehat, melainkan juga perlu keteladanannya
sebagai bukti nyata petunjuk tersebut. Sehingga harmonis antara ucap, tekad,
dan pada lampah (perbuatan)-nya, yaitu berbanding lurus apa yang ada
sebagai petunjuk, seperti dalam kitab suci, ucap, dan tekad, dengan lampah (perbuatan) sebagai teladannya.
Bila hal ini
telah dapat dipahami, maka mengingat Dia yang tiada putusnya, adalah
menyadari tugas kerasulan-nya, yang telah diikrarkannya dalam syahadat
(telah bersaksi bahwa dirinya adalah utusan Allah), yang
sesungguhnya pula adalah fitrahnya sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn
(rahmat bagi semesta alam). Allah telah memuliakan setiap diri kemanusiaan
dengan tugas ini, dan sebagai makhluk yang diwujudkan dengan bentuk yang
sesempurna-sempurnanya, sebagai wujud dari perwujudan-Nya Yang Maha Terpuji.
Maka dengan karunia yang mana
lagi, sehingga diri-nya dapat bersyukur dan hendak mewujudkan apa-apa yang
telah menjadi kehendak-Nya? Yaitu sebagai perwujudan Dia di alam, yang saling
menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk. Itulah sesungguhnya fitrah
diri-nya.
D.
Nabi,
Setiap insan
kemanusiaan adalah keturunan nabi Adam, tetapi tidak semua keturunan-nya
dianugerahi kenabian. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendaki Allah
saja. Kenabian adalah amanat yang besar dan sangat mulia, hanya mereka saja
yang menerima wahyu dari Allah untuk disebarkan kepada kaum atau
umatnya, sebagai tugasnya.
Padahal,
setiap insan kemanusiaan, dapat pula memiliki umat atau kaum yang mungkin saja
dibentuknya, minimal adalah pada keluarga dan keturunannya. Akan tetapi, karena
wahyu adalah kehendak Allah kepada siapa Dia hendak memberi wahyu, maka tidak
semua orang menerima wahyu, dan hanya orang-orang pilihan-Nya saja. Dan Muhammad
bin Abdullah adalah manusia terakhir yang menerima anugerah kenabian. Lain
halnya pada kerasulan, yang dianugerahkan kepada seluruh keturunan Adam atau
setiap insan kemanusiaan, hanya kadar mewujudnya-lah, yaitu
kadar ketuhanan pada dirinya yang
membedakan insan kerasulan dengan insan kemanusiaan yang lainnya. Kadar
ketuhanannya dinilai dari diri-diri yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di dunia
bagi kehidupan bersama dengan sesama makhluk Tuhan di bumi.
Didalam
kisah-kisah para nabi, pada al Qur’an, betapa sulit dan merupakan tantangan
ketika para nabi tersebut mengumumkan kenabiannya. Ditentang, dicemooh,
dianggap gila, dianggap penyihir, dianggap pembohong, dianiaya, bahkan hingga
bukan hanya ancaman saja, pembunuhan pun pernah terjadi. Itu dilakukan oleh
para pembesar negri dan pemuka agama. Padahal dia (para nabi) tak pernah
mengharapkan bahkan meminta upah atau imbalan. Akan tetapi bila hal-hal
berbahaya tersebut telah terlewati dan umat pengikutnya telah semakin banyak,
maka perbaikan menyeluruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan pun pasti akan
terjadi.
Dan kenabian mereka sungguh
dapat dijadikan teladan bagi hidup kerasulan setiap diri kemanusiaan,
sebagai contoh terbaik akhlak manusia yang lurus pada jalan-Nya karena
selalu dalam keadaan ingat (sadar) dan selalu pula mensucikan-nya
sebagai yang akan dikembalikan lagi kepada sesunguhnya yang memiliki, yaitu Dia
(Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
E.
Berdosa,
Dan setiap insan kemanusiaan
pun tak lepas dari kelalaian dan kesalahan sebagai dosa, bagai malam dan siang
yang selalu mengiringi. Karena di alam, maka kebaikan pun selalu dibayangi
keburukan. Tetapi Dia yang Maha Bijaksana pun memberikan penawarnya, sebagai
pelurus kembali, penyadar (pengingat) kembali, dan pembersih (pensuci)-an
kembali segala kesalahan dan kelalaian (dosa) yang telah menjerumuskan insan
kemanusiaan. Yaitu kunci tobat seperti yang diwariskan kepada Adam,
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha penerima
tobat, Maha Penyayang.” (QS 2:37)
“Keduanya berkata, ya Yuhan kami, kami telah mendzlimi
diri kami sendiri. Jika
Engkau tidak mengampuni
kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS 7:23)
Hidup dan
kehidupan kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima
segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Pada rasa-lah dosa itu berpengaruh pada diri-nya. Bila jasad-nya sakit, rasa
pada diri-nya lah yang terkena, bukan jasad-nya yang merasakan. Diri yang merasakan
ketidak nyamanan, bukan jasad, apalagi ruh-Nya.
Dengan
kebangkitan pula, setiap diri, mendapat kesempatan mensucikan kembali
jiwa-nya melalui neraka-nya, serta diharapkan-Nya sambil beramal perbuatan yang
tidak menambah lagi kekotoran pada jiwa-nya. Bila masih saja lagi ada kekotoran
yang melekat, sedang kematian telah merenggut-nya kembali, maka tentu akan
dibangkitkan kembali untuk mengalami pensucian kembali. Begitulah berulang kali
mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan sampai kepada kesucian untuk dapat
kembali kepada-Nya Yang Maha Suci, ilayhi raji’un.
Ahli
Ahli, adalah
bermakna sebagai pewaris yang menerima anugerah dari Allah, dan yang
juga akan dipertanggung jawabkannya, kelak. Dan mengingat Dia yang tiada
putusnya adalah juga menyadari sebagai penerima anugerah yang merupakan amanah yang kelak itu
pun harus dipertanggung jawabkan pengelolaannya, bukan sebagai pemilik
anugerah tersebut.
Anugerah yang diwariskan-Nya
adalah wujud-Nya, ruh-Nya, kitab-Nya,
alam ciptaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya yang tak
terhitung (akbar) dan mewujud di bumi dalam perwujudan diri setiap insan
kemanusiaan yang ber-ketuhanan. Itulah kurnia yang dianugerahkan oleh
Dia yang Maha Pemurah, adakah yang lebih pemurah dari Dia? Bahkan kita
pun tidak sepemurah itu terhadap diri sendiri. Jauh lebih buruk malah
mendzalimi, menyakiti, merusak, dan menjerumuskan diri kita sendiri.
Anugerah-anugerah tersebut pun merupakan fitrah kemanusiaan yang telah
ditetapkan-Nya sebagai yang mempermudah tugas-nya di bumi sebagai wakil Tuhan,
yaitu perwujudan sifat-sifat Dia di muka bumi.
Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
A. Wujud,
Yang merupakan perwujudan-Nya,
sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan.
Sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya atau wujud yang paling sempurna (fii
ahsaani takwiim), dan sebagai wujud yang Maha Terpuji yaitu muhammad
(lihat syahadat dalam ulasan bab iman kepada para rasul), juga apakah ada yang paling
sempurna selain Dia? Itulah nyatanya wujud Allahu Akbar pada diri kemanusiaan,
yaitu akbar, tak terhitung wujud kemanusiaan yang berketuhanan.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan
dalam bentuk
yang sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Renungkanlah, ketika shalat,
berniat mengerjakan shalat adalah ikhlas
karena lillahi ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah
mengerjakan, dan diri sebagai yang diperintah. Selanjutnya, pada takbiratul
ihraam, mengucap Allahu Akbar, sebagai tanda (aba-aba) setiap
memulai gerakan agar diikuti makmum. Hal ini menunjukkan, dirinya dan
makmum yang banyak adalah wujud Allahu Akbar. Sekalipun dalam melaksanakan
shalatnya hanya seorang diri, makmumnya adalah rakyat-nya, yaitu
milyaran sel beserta para malaikat-nya (telah diulas bab iman kepada para
malaikat). Jadi perlu ditegaskan perbedaan antara Allahu Akbar sebagai
perwujudan Allah di alam, yaitu diri-diri kemanusian yang banyak (akbar) tak
terhitung, dengan Allahu Ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang
memerintah segala sesuatu yang berada di alam dari tempat tunggal-Nya
(arsy), yaitu Allahu arsyis tawaa. Uraian ini sangat berhubungan erat
dengan bab keimanan, karena ini begitu penting dipahami setiap diri yang
sebagai pewaris wujud Tuhannya agar dapat menjaga dari penodaan
terhadap-Nya akibat kesesatan pengakuan (ego).
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu
mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......” (QS 4:43)
Renungkanlah lagi, pada bunyi
ayat di atas, yang melarang shalat, saat diri dalam keadaan mabuk, dikarenakan tidak
memahami atau tidak mengerti apa-apa yang diucapkannya di dalam
shalatnya. Kemudian simak pula bunyi ayat ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong
memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Allah
mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah
diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih
saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang
Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk
kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang
sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi dirinya sendiri. Jika demikian,
maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai
pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.
Tidak lain
inipun disebabkan dominannya rasa pengakuan (ego), sehingga tidak dapat menyadari
(ingat) wujud ketuhanannya sebagai wujud Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan
sebaliknya, bila dirinya menyadari (ingat), maka janganlah membelokkan yang
seharusnya lurus, jangan pula melupakan yang seharusnya
di-ingat, serta jangan juga mengotori yang seharusnya suci.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) yang dapat menyesatkan dari jalan
lurus-Nya, melupakan Tuhannya, bahkan menodai kesucian-Nya.
Wujud yang difitrahkan untuk
menjadi perwujudan-Nya di alam, yang membawa sifat-sifat Tuhan dalam setiap
gerak hidupnya. Yaitu sebagai wujud yang terpuji (muhammad) yang merupakan
perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad).
B. Ruh,
Yang merupakan ruh-Nya (bukan
ruh milik diri-nya), juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap
diri insan kemanusiaan. Dengan ruh-Nya inilah, maka kemanusiaan menerima hidup-Nya
sebagai anugerah kehidupan, dan yang memerintahkan gerak segala sesuatu
yang ada pada dirinya dan yang mempengaruhi dari luar diri-nya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Dia-lah ar
Raahman yang sesungguhnya memerintahkan ruh-Nya atau para aparat
(malaikat)-Nya, yaitu ruhul kudus sebagai pembawa atau penyampai
perintah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh para aparat lainnya, seperti
kepada aparat yang sebagai pelaksana gerak dari mulai tarikan dan keluarnya
nafas, gerak ucapnya, gerak dengarnya, gerak lihatnya, gerak pikirnya, gerak
tangan dan langkahnya, sampai kepada gerak-gerak yang tidak disadari atau
diketahuinya di dalam tubuhnya. Dia-lah yang sesungguhnya memerintahkan
para aparat (malaikat) untuk bergerak bekerja sesuai kehendak-Nya (telah diurai
di bab iman kepada para malaikat).
Ruh-Nya
tersebutlah yang sesungguhnya menghidupkan, sehingga jasad dan jiwa-nya
dapat menerima segala anugerah yang dikaruniakan kepada-nya. Jasad
merupakan wadah yang menerima, sebagai media jiwa yang memiliki wujud, dan
merupakan satu kesatuan wujud dari milyaran wujud yang tak terhitung, serta
memiliki kehidupan sendiri-sendiri dalam satu sistem, dan bukan atas perintah
diri-nya sebagai penguasa mereka, melainkan perintah Dia (ruh-Nya) Yang
Maha Memerintah. Tidak ada sedikitpun kekuasaan-nya atas mereka (jasad-nya)
tersebut. Itulah mengapa bila sakit di jasad-nya, diri-nya tak kuasa, bahkan dokter
terpercaya pun tak kuasa bila tak dikehendaki-Nya. Diri-nya hanya cuma bisa merasakan.
Jadi,
dimanakah diri kemanusiaan-nya? Itulah mengapa diri atau jiwa disebut
sebagai yang tidak ada. Diri-nya ada pada rasa, yaitu rasa nikmat-Nya.
Bukan rasa nikmat yang sesaat, yang kemudian disesalinya. Melainkan
merupakan nikmat sejati. Bayangkan, satu saja gerak tersebut dicabut
Tuhannya. Misalkan gerak melihat yang dicabut oleh-Nya, sehingga tak dapat
melihat. Tentu itu merupakan musibah atau bencana besar bagi dirinya. Tidak
usah sampai kepada dicabut, dikurangi saja kekuatannya, yaitu menjadi buram.
Tentu itu saja telah merepotkan dirinya, harus membeli kacamata untuk
memperbaiki pandangannya. Maka sungguh, agar setiap diri kemanusiaan dapat mensyukuri
nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Tuhannya.
Apabila
telah menyadari dan memahami segala sesuatu , termasuk yang berada di dalam
jasadnya, adalah berada dalam kuasa dan dalam pemeliharaan Dia Yang Maha
Pemurah. Sehingga, yang berucap adalah Dia, yang mendengar adalah Dia, yang
melihat adalah Dia, yang berpikir adalah Dia, yang menulis adalah Dia, yang
melangkah adalah Dia, dan segala sesuatu adalah gerak Dia. Sebab itu,
luruskanlah, ingatilah, dan sucikanlah gerak-gerak tersebut sebagai milik-Nya
dari ego pengakuan.
Diri atau
jiwa inilah yang seharusnya menyatu (manunggal) dengan ruh-Nya, sebagai diri
atau jiwa yang tenang dan terkendali (nafs al mutma’inah). Yaitu, yang ikut
mengucap, ikut mendengar, ikut melihat, ikut berpikir, serta ikut pada setiap gerak-gerak
lain-Nya. Dan hanya nikmat-Nya yang sesungguhnya dirasakan jiwa-nya.
Dia-lah,
Allahu arsyis tawaa yang bersemayam di arsy, yaitu di lubuk hati yang
paling dalam. Dan pada setiap diri kemanusiaan yang telah secara murni atau
ikhlas beriman dan beragama, ruh-Nya kuat dan dominan terhadap setiap gerak
yang membawa jiwa kepada keselamatan, kemudahan, ketenangan dan ketentraman.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memurnikan (ikhlas), maka
segala perintah-Nya akan mudah dibelokkan iblis. Bila jiwa lebih cenderung pada
kesesatan, yaitu pada mereka yang menjadikan iblis sebagai tuhannya, yang
justru malah menjerumuskan jiwa kepada bencana, kesulitan, dan keresahan.
Meluruskan, mengingat, dan
mensucikan diri atau jiwa agar dapat bersatu (manunggal) dengan ruh-Nya di
dalam tempat tunggal-Nya, menjadikan jiwa yang tenang terkendali dan
keluar berupa rahmat bagi sesamanya di alam.
C. Sifat,
Yang adalah
pula merupakan sifat-Nya, yaitu dari sifat wujud, sampai dengan sifat mutakalimaan,
juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan
kemanusiaan. Semua sifat-Nya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran
tersebut sebagai yang melekat bersama
ruh-Nya, karena di alam (bukan di tempat tunggal, arsy-Nya), maka dapat
terkontaminasi penyesatan iblis melalui pengakuan (ego) setiap diri (jiwa)
kemanusiaan, maka muncullah pasangan dari setiap sifat tersebut sebagai yang
memliki pula nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Akibat pengakuan
(ego)-nya tersebut, maka rasa butuh akan kehidupan dunia yang berlebihan,
membuat iman-nya semakin terkikis oleh ketakutan-nya sendiri, yaitu
ketakutan tidak tercukupi. Timbullah ketamakan, keserakahan, kecurangan, yang
kesemuanya bersumber dari ego-nya, yang malah menjerumuskan jiwanya
kepada rasa resah. Semakin didapatkannya, semakin resah pula jiwa pada rasa
takut akan kehilangan-nya. Tiada akan pernah merasa cukup jiwa-nya puas, dan
dapat tenang dalam kehidupannya. Itulah jiwa yang didominasi oleh pengakuan
(ego)-nya yang berada di dalam nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Sedangkan
pada jiwa yang dekat dan mendekati ruh-Nya, berusaha bersama (manunggal), maka
akan berusaha meluruskan, mengingat, dan mensucikan semua sifat tersebut
dari pengakuan (ego)-nya, serta mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang
saling menebarkan rahmat Tuhan bagi sesamanya.
Dengan demikian, maka
kehendak-Nya, yaitu agar setiap diri kemanusiaan mewujudkan sifat-sifat Allah
pada amal perbuatan-nya. Pada jiwa-jiwa seperti inilah, maka telah manunggal
bersama ruh-Nya yang memayungi-nya sehingga penuh dalam kedamaian dan
ketentraman, tidak ada rasa takut maupun tersentuh oleh rasa sedih, apalagi
resah dan gelisah.
D. Kitab,
Yang merupakan kitab
petunjuk-Nya, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri
insan kemanusiaan, maka disebutlah sebagai ahli kitab.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
......”. (QS 4:171)
Setiap insan
kemanusiaan adalah ahli kitab (lihat kembali bab iman kepada kitab),
yang telah diberikan kitab sebagai petunjuk kepada jalan lurus-Nya, dan dapat
mengingat-Nya, serta mensucikan-Nya. Dengan makna, bahwa amal perbuatannya yang
selalu lurus atau tidak sesat, amal perbuatannya yang selalu didasari
karena ingat kepada Dia, serta mensucikan setiap amal
perbuatannya dari pengakuan (ego) dan penyesatan iblis. Yang kesemuanya
tersebut ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan dan keselamatan bagi
hidup dan kehidupan dirinya sendiri, yaitu nikmat.
Kitab
sebagai petunjuk yang menerangkan segala sesuatu, yang telah diwariskan
oleh Tuhannya sebagai panduan jiwanya dalam hidup dan kehidupannya yang selalu
dibayang-bayangi penyesatan iblis. Yang karena di alam, maka kebaikan
pun dibayangi keburukan. Bahkan cahaya pun dibayangi bayangan
hitam-nya. Segala sesuatu bersama pasangan-nya. Lain halnya di tempat
tunggal-Nya, arsy Allah, maka segala sesuatu adalah tunggal, tidak
memiliki pasangan, karena telah manunggal bersama Yang Maha Tunggal.
Di dalam
kitab inilah, yang disebut pula sebagai kitab pembeda, yang membedakan pasangan-nya,
yaitu yang membedakan antara yang haqq dengan yang bathil, yang baik dengan
yang buruk, yang benar dan yang salah, yang beriman dan yang kufur, dan lain
sebagainya. Sehingga menjadi jelas, terang, dan nyata
kemana arah jalan lurus yang ditunjuki Tuhannya.
Serta kitab
yang terbentang di alam, yang merupakan petunjuk-Nya pula, kemudian ditambah
lagi dengan kitab yang merupakan kumpulan firman yang di wahyukan-Nya, keduanya
pun memiliki kesesuaian sebagai yang saling membenarkan, dan dibenarkan kembali
oleh kitab-Nya pula yang telah ditanamkan di dalam dada setiap diri
kemanusiaan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan.
Maka dengan petunjuk apa lagi
diri-nya dapat selalu ingat kepada-Nya, dan berlaku lurus dalam beragama, serta
suci dalam setiap amal perbuatannya?
E.
Alam Ciptaan,
Yang merupakan ciptaan-Nya,
yaitu langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya, adalah juga sebagai
yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan untuk
dikelola secara baik, serta bertanggung jawab menjaga keseimbangan-nya,
agar tidak kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana alam atau
azab.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan
perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS 30:41)
Adalah pengakuan
(ego) adalah juga sebagai penyebab kerusakan alam, yang padahal sungguh akan
kembali kepada diri-nya sebagai bencana atau musibah. Pada hal-hal perbuatan
yang sepele, seperti malas membuang sampah pada tempatnya, semakin
menjadikannya terbiasa tidak menjaga kebersihan, sehingga penyakit tentu akan
mudah hinggap kepadanya. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadikan gaya
hidup, bila sampai meluas akan membudaya.
Lihatlah
sungai-sungai yang ada di kota Jakarta, sampai kepada pemerintah daerahnya pun
tidak perduli memperbaiki keadaan ini, karena telah terbiasa kepada kemalasan
dan ketidak disiplinan. Bukan hanya di darat dan di laut saja yang
telah rusak, bahkan udara-nya pun telah tidak layak bagi kehidupan sehat.
Maka mereka sendirilah yang akan merasakan akibat perbuatannya.
Dalam hal-hal sepele saja
akibatnya sungguh memprihatinkan, apalagi pada hal pengelolaan seperti, limbah
maupun polusi industri, kayu hutan, pertambangan, dan lain sebagainya yang
melibatkan alam sebagai objek yang dieksplor-nya.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Menjaga
keseimbangan alam adalah hal mutlak yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahkan
anak kecil pun telah banyak ditanamkan nilai-nilai pentingnya kelestarian alam,
akan tetapi ada hal-hal yang tak dapat dihindari, seperti pertumbuhan populasi
penduduk yang mau tak mau harus membuka lahan baru dan mengorbankan lahan-lahan
hijau.
Juga
pertumbuhan penduduk tersebut, telah ikut pula mengarahkan pertumbuhan ekonomi
dan industri yang pada akhirnya memiliki dampak pada lingkungan yang menjadi
korbannya lagi. Apalagi bila hal-hal tersebut tak didukung pula oleh aturan
atau sistem pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab, maka dampaknya akan
jauh lebih parah.
Kita hidup
di alam ini, dan hendak nyaman dan tentram serta damai tinggal di sini. Alam
ini adalah rumah kita, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak bila tinggal
dan tidur di dalam rumah yang telah rusak. Karena itu menjadi tanggung jawab
kita semua memperbaiki kerusakan-kerusakannya agar menjadi layak sebagai tempat
tinggal, kemudian merawatnya sebagai yang disebut dengan menjaga
keseimbangannya, agar mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam
kehidupannya.
Di dalam
jiwa yang sehat, maka akan keluar amal perbuatan yang menyehatkan
kehidupan yang juga merupakan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana
mungkin jiwa yang sehat mau mengotori atau merusak alam sebagai tempat
hidupnya, seperti hendak mengotori atau merusak rumahnya sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidur-nya?
Jiwa yang sehat adalah jiwa
yang menjaga amal perbuatannya tetap pada jalan lurus, tetap dalam keadaan
ingat (sadar), dan tetap dalam keadan suci. Yaitu juga, tidak dalam keadaan mabuk
kehidupan dunia yang menyesatkan dan menjerumuskan diri-nya sendiri, akibat pengakuan
(ego)-nya yang tidak memperdulikan sekitarnya, sebagai sesama makhluk Allah.
Dan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai bencana atau musibah
akibat kelalaian atau kesesatannya sendiri.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Bukan akal tak berpikir dan
bukan pula mata tak melihat, akan tetapi pandangan indah yang dibuat
iblis yang menutupi mata dan hati-nya dari melihat dan berpikir yang
baik, malah memperbesar pengakuan (ego) yang menyesatkan diri-nya dari
menuju kepada keselamatan hidup dan kehidupannya. Dengan kembali mengokohkan
keimanan (seperti yang telah diurai), maka akan mengahargai pula kehidupan
makhluk-makhluk lain selain dirinya sebagai saling berbagi rahmat-Nya kepada
sesama ciptaan-Nya, rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS 2:152)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar