Bab XI
ZAKAT
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
A
|
da sebuah cerita yang membuat tercengang, ketika seorang tamu
bertanya, “bagaimana
keadaanmu?”. Sang tuan rumahpun
menjawab, “al-hamdulillah,
jika aku memperoleh rezeki maka aku makan, dan jika tidak, aku bersabar”. Maka si tamu-pun kembali menyambung
dengan berkomentar, “begitulah
anjing-anjing yang ada di kampung kami. Tetapi lain halnya dengan orang-orang
di sana, jika memperoleh rezeki dari Tuhannya dibagikannya kepada yang butuh,
dan bila tidak memperoleh rezeki, mereka bersyukur”.
Zakat adalah pensucian,
maknanya akan jadi berbeda bila diartikan sebagai penyucian atau pencucian.
Pensucian lebih kepada pembersihan bathin, yang tak kelihatan, yaitu
jiwa-nya. Sedangkan penyucian atau pencucian jelas nyata kelihatan dan lebih
menunjuk kepada adanya kekotoran terlebih dahulu, barulah kemudian dibersihkan.
Pembersihannya pun lebih condong kepada materi. Bukanlah harta yang
sesungguhnya dibersihkan atau disucikan dalam berzakat, melainkan jiwa-nya. Ya,
jiwa-lah yang sesungguhnya menerima anugerah harta-benda, bagaimanapun
cara-cara dalam mendapatkannya. Hanya saja yang dikeluarkannya atau dalam
menunaikannya haruslah dengan kelebihan harta atau materi yang dimilikinya
sebagai bentuk kepeduliannya kepada yang lemah dan berkekurangan.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Makna
pensucian lebih kepada bathin, adalah memurnikan secara ikhlas
(bathin) segala niat yang merupakan anugerah yang diberikan Allah,
sebelum dikeluarkan dalam bentuk gerak amal perbuatan yang juga
merupakan anugerah-Nya, dari kekotoran hawa nafsu pengakuan (ego)
sebagai penyebab utama segala bentuk penyesatan dari jalan lurus-Nya. Jadi
suci-nya niat dan amal perbuatan yang sedari awal, jelas ini
adalah tindakan menghindari penyakit. Bukan setelahnya, barulah kemudian
disucikan akibat adanya kekotoran.
Sedangkan makna penyucian atau
pencucian, lebih kepada ada terlebih dahulu kekotoran atau kecacatan
yang melekat pada niat dan amal perbuatan, maka barulah dibersihkan. Dan
ini adalah tindakan mengobati penyakit. Itulah perbedaannya. Disini,
dosa telah ada, maka merasa perlu untuk disucikan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Segala sesuatu, amal perbuatan
baik atau buruk, sekecil atau seringan apapun, memiliki akibat (ganjaran). Dan
itu adalah ketetapan-Nya sebagai yang mutlak dari Yang Maha Adil. Selain
itupun, Dia adalah Maha Bijaksana, maka Dia-pun mengingatkan dengan
petunjuk-petunjuk, kitab, dan nasehat-nasehat, bahkan dengan kesulitan atau
kesempitan, yaitu, berhentilah memperbanyak hutang dosa dan mulailah
dengan sebanyak-banyaknya menabung kebaikan (pahala).
“Tahukah kamu (perbuatan)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan(
memberikan) bantuan.” (QS 107:1-7)
Kebanyakan
kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar
zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya
adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai
cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga
kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut. Disucikan karena ada kekotoran,
ada yang dengan membayar-nya dengan uang (zakat, sedekah dan infak),
fidiyah (memberi makan orang miskin), ataupun puasa.
Bila diri telah melaksanakan
perintah-Nya, dan menjalankan agama dengan ikhlas (QS 98:5), serta tidak pula dikotori oleh perbuatan yang
mendustakan agama (QS 107:1-7), maka tidak ada lagi tindakan membersihkan
(penyucian atau pencucian), melainkan karena diri-nya telah selalu mensucikan
atau menghindari kekotoran dengan cara berlaku lurus, mengingat-Nya yang tiada
putus, mensucikan segala anugerah-Nya, serta pada perbuatan seperti mengayomi anak yatim, mendorong
memberi makan orang miskin, hilangnya pengakuan (ego), dan mudah dalam memberikan bantuan
kepada sesama, serta banyak amal perbuatan baik lainnya yang berupa kebajikan
yang dapat dilakukan secara murni dan ikhlas. Menunaikan zakat-nya tidak
lagi karena terlambat, tetapi karena kepekaan kesadaran-nya telah semakin
tajam terhadap sekitarnya.
“Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan, dan tidak ada seorangpun
memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetepi karena mencari keridhaan Tuhannya yang
Maha Tinggi. Dan niscaya dia akan mendapat kesenangan sejati”. (QS
92:18-21)
Kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya,
serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah
karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya
baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan sampai kepada kematian,
maka beruntunglah mereka yang mensucikan jiwa-nya, dan merugilah mereka yang mengotori jiwa-nya (QS 91:7-10).
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup,
terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali
menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat
pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus
berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci)
jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak agar dapat kembali pulang
kepada yang Maha Tunggal.
“..... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.” (QS 9:34)
Diri-diri
yang masih kuat melekat pengakuan (ego)-nya, yang gemar mengumpulkan
harta-benda, dan yang mengikuti hawa nafsu ego-nya dengan menumpuk harta benda
karena takut akan kekurangan, kelaparan, dan kesulitan pada hidupnya dikemudian
hari. Mereka adalah seperti seorang yang mengalami obesitas (kegemukan),
tubuhnya dipenuhi lemak (cadangan sumber makanan) yang justru membahayakan
hidup-nya, menghalangi kelancaran aliran darah dan sirkulasi pernafasannya,
yang malah merupakan sebagai penyebab banyak penyakit yang siap menggerogoti
tubuh-nya. Sebagai yang akan menyulitkan diri-nya sendiri. Juga tak enak
dipandang oleh pihak lain atau sedikit mengganggu.
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang
berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
Bukan
mereka tak menyadari, akan tetapi pengakuan (ego)-nya telah kuat mendominasi
dan mengalahkan pemahaman akal di hatinya, bahkan petunjuk-petunjuk dari
Tuhannya yang merupakan suatu kebenaran yang mutlak sebagai kebenaran sejati.
Harta bendanya sungguh akan menjadi sumber penyakit yang mengundang
bermacam-macam keburukan. Selain membuat silau pandangan pihak lain, melainkan
pula banyak timbulnya pengaruh buruk pada kejiwaan-nya sendiri dan keluarga.
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan
(kebenaran).” (QS 17:72)
Rasa
takut dan keresahan akan kehilangan jelas pasti meliputi dan menghantui-nya.
Keserakahan atau tamak, kesombongan dan riya pun akan mengiringi. Belum lagi,
salah dalam pengelolaan, menggunakan dan memanfaatkannya kepada jalan yang
sesat dan semakin menyesatkan jiwa-nya. Pola hidup diri dan keluarganya akan
banyak berubah dan semakin terjerumus lebih dalam tanpa disadarinya. Dan hanya
kepada-Nya sesungguhnya arah tujuan tempat-nya kembali.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.
Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun
akan terbalas sebagai ketetapan (sunathullah) dari Tuhannya yang adil
dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa
bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting,
dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin
yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak
menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan,
kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih
dalam suasana pembersihan atau
penyucian jiwa.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang ternyata hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan
bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak
meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang
takut azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun
yang merasa aman”. (QS 70:24-28)
Harta-benda, yang dipandang dan
menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau
amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan
tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya,
niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang
menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah
anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Makna zakat takkan berarti
apa-apa, dan takkan menyentuh hati, bila di dalam bathinnya tiada kepekaan
kesadaran hatinya, bahwa segala sesuatu selalu berhubungan dan memiliki sebab
akibat, sekecil apapun segala sesuatu tersebut. Baik itu amal perbuatannya,
apa-apa yang ditahan hatinya, dan sekalipun baru berupa niat. Karena ketiganya
tersebut pun memancarkan energi, atau telah mengeluarkan energi-nya, dan itulah
yang diketahui oleh-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui.
Kepekaan kesadaran jiwanya
terhadap sekitarnya, dan pengaruh diri-nya terhadap kehidupan sekitarnya pun
sebagai ikut berperan dalam kehidupan bersama yang menciptakan saling berbagi
merasakan rahmat Tuhan bersama dengan sesamanya. Besar kecilnya apa-apa yang
dikeluarkannya sebagai wujud syukurnya adalah sebanding dengan apa-apa
yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Serta apa-apa yang dimilikinya
sebagai anugerah Tuhannya tersebut adalah juga sebagiannya merupakan hak para
fakir-miskin, anak-anak yatim, mereka yang lemah dan dalam kesulitan.
Yang dituju dari zakat ini
adalah kebersihan diri atau jiwa dengan kepekaan kesadaran-nya
untuk selalu berbagi rahmat Tuhannya kepada sesamanya, terutama
memberikan bantuan kepada yang berkekurangan, yang membutuhkan, dan yang lemah
tak berdaya. Menafkahkan sebagian rezeki yang dimiliki sesuai jalan lurus-Nya,
tidak akan mengurangi atau menghilangkan apa-apa yang dimilikinya tersebut.
Tidak ada kerugian pada jalan lurus-Nya tersebut. Ibarat memberikan
uangnya kepada Bank untuk ditabung, uangnya memang tidak dipegangnya
lagi akan tetapi kepemilikannya akan tercatat, dan bila suatu waktu diperlukan
akan kembali kepadanya.
Dan
yang perlu di-garisbawahi zakat, infak dan sedekah, adalah termasuk
dalam menafkahkan sebagian rezeki yang diterima dari Tuhannya.
Pengertian atau makna menafkahkan adalah menginvestasikan, dan
investasi dengan Allah dijamin takkan merugi, bahkan keuntungan yang akan
didapatnya berlipat ganda, sampai 700 kali lipat. Tentu dengan rasa ikhlas
dalam menginvestasikan-nya hanya di jalan-Nya yang lurus. Bank manakah
yang berani memberikan bunga sampai 700 kali lipat nilai investasi?
“Perumpamaan
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Keuntungan berlipat ganda
tersebut barulah dalam bentuk materi, Allah pun memberikan keuntungan lainnya
yang dalam bentuk rasa bathin yang pasti tidak kalah luar biasanya. Maka
diri-diri kita sendirilah yang dapat melukiskan rasa-nya tersebut. Itulah surga
dunia-nya. Bila jalan lurus-Nya ini telah memasyarakat, bayangkanlah. Akan
tercipta kehidupan bersama yang sehat dan murah, itulah wujud berserah diri
(islam) yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Tetapi hal ini akan terasa nyata kebenaran manfaat-nya
oleh mereka yang telah kokoh keimanan-nya.
Tiada
sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Selama jiwa masih
dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan
kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus
surga-nya dalam kehidupan di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha
Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dikurangi atau dilebihkan sedikitpun apa-apa
yang harus diterima sebagai buah dari amal perbuatan sebelumnya dari setiap
diri, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Sebaliknya, bagi yang telah
sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal
perbuatannya, suci dari segala macam pengakuan (ego), dan tetap menjaga
kesadaran (ingat)-nya pada diri yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa,
kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu
aparat Allah atau malaikat dan rasul-Nya, petunjuk melalui kitab-Nya, menyadari
hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai waktu menuai segala amal
perbuatan sebelumnya, serta baik dan buruk sebagai yang harus dapat
diterimanya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada
pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Diri-nya merasa hanya
menjalankankan apa adanya, sesuai dengan perintah dari dalam kalbu-nya yang
paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang
sejati.
“....
Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati.”
(QS 2:112)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar