Bab VIII
SYAHADAT
Asyhaadu’allaa ilaaha
illaallahu, wa
asyhadu anna muhammadur-rasulallahu.
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
(QS 7:172)
S
|
emoga ulasan-ulasan pada dua bab sebelumnya, keimanan dan agama, secara
keseluruhan telah cukup menambah sedikit pemahaman kepada mengenal Allah
selangkah lebih mendekat lagi dari sebelumnya, dan membawa keinginan jiwa untuk
lebih mengkokohkan keimanan-nya kembali. Dan dengan begitu, maka makna syahadat
yang sering diucapkan dalam shalat, yang kalimatnya diawali dengan persaksian
bahwa tiada tuhan selain Dia, menjadi lebih bermakna dan tidak sekedar
ucapan sambil lalu. Yang pula, insya Allah, dapat mengarahkan jiwa untuk
memimpin kepada amal perbuatan lurus, ingat, dan suci
secara tulus ikhlas berserah diri hanya kepada-Nya.
Menyaksikan Dia sebagai Tuhan
Yang Tunggal tidak hanya sekedar ucapan tanpa kenyataan, akan tetapi dapat
nyata terasa segala nikmat dari setiap rahmat Dia Yang Maha Pemurah. Yaitu Dia
yang telah menganugerahkan segala-galanya, bahkan wujud-Nya sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya.
Dan juga dapat nyata terlihat wujud-Nya dalam setiap segala sesuatu sebagai
ciptaan-Nya yang sesungguhnya adalah perwujudan Dia, Allahu Akbar.
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap
disanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:115)
Kemudian
kepada kalimat persaksian selanjutnya. Dengan tidak mengurangi nama besar
beliau, nabi Muhammad rasulullah SAW, dan tidaklah siapapun yang sanggup
mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki
Allah, dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada
mengembalikan arti dan makna asalnya. Kata ‘muhammad’
pada bunyi syahadat adalah bukanlah bermaksud menunjuk nama “Muhammad bin Abdullah”, nabi dan rasul junjungan
kita, melainkan adalah menunjuk kepada salah satu sifat atau nama
Allah sebagai Yang
Maha Terpuji yang dianugerahkan kepada manusia.
Memang
benar, kemanusiaan yang pertama mendapat gelar tersebut dari Allah adalah Ahmad
bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian
nama Muhammad, yang sesungguhnya adalah sebuah gelar tersebut, jadi lebih melekat kepada beliau dibanding
nama asal-nya, yaitu Ahmad. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau
dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya
berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan, sebagai usaha memahami
makna-makna yang masih tersembunyi untuk menambah kokohnya keimanan kepada
kebenaran sejati (al
haqq).
Bila telah memahami hal ini,
maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala
konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yang insya Allah, setelah memahami
maknanya, maka akan lebih meresap kedalam jiwa pengucapnya, sehingga jauh lebih
mengenal kepada diri-nya sendiri sebagai perwujudan Tuhannya, dan lebih pula
mengenal kepada fitrah dan tugas-nya sebagai khalifah dan wakil-Nya
yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi semesta
alam. Rahmatan
lil ‘aalamiyn. Itulah amanat yang ditanggung oleh kemanusiaan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan
dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
Begitulah
sesungguhnya kemanusiaan telah bersaksi dan berjanji sebelum di kehidupan
sebelumnya, yaitu dengan berani memikul amanat tersebut. Dan dengan mengucapkan
kembali persaksian (perjanjian) tersebut berupa syahadat sebagai
penegasan kembali bahwa kemanusiaan kita tidaklah akan lalai terhadap amanat
tersebut. Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan jauh lebih terasa di
dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah
memahami bahwa Tuhannya selalu bersama dalam setiap amal perbuatannya. Maka
dirinya akan selalu menjaga amal perbuatannya pada nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran yang merupakan sifat-sifat terpuji.
Tentu dalam
mengucapkan syahadat bukanlah hanya sekedar mengucapkan pernyataan perjanjian
atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok mulia, yang
wujud beliau seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihat dan tahu
rupa beliau, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisah beliau. Syahadat
atau persaksian itu adalah suatu ikrar persaksian yang tentunya mengikat setiap
diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui dirinya
yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasul-rasul
Allah atau utusan-utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya
kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah
ditauladankan nabi dan rasul Allah junjungan kita Muhammad SAW.
“.... dan
siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan
syahadat
(persaksian) dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu
kerjakan.” (QS 2:140)
Bila disadur atau diterjemahkan
kedalam bahasa kita, maka bunyi maknanya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah,
dan muhammad (wujud yang terpuji
sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji, ini ) adalah utusan Allah”.
Maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensinya akan menjadi beban
bagi diri pengucapnya. Sedang bagi mereka yang tak dapat menangkap makna ini,
tentulah tak akan menyadari beban tugas tersebut, dan pengaruh pada
kehidupannya pun tak membawa ketugasannya sebagai wakil Tuhan di muka
bumi yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi
salah seorang yang memberi peringatan.” (QS
26:192-194)
Dan bila makna ini telah
meresap disadari, melekat dalam setiap shalat, diucapkan pada setiap
tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri sebagai fitrah
asal-nya, dan kepada siapa sesungguhnya diri ini bergantung. Serta kepada
siapa dia menujukan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan, sebagai
wujud keberserah dirian-nya. Dan kepada setiap diri kemanusiaan diharapkan
menyadari, bahwa segala firman Allah di dalam kitabnya tidaklah hanya
ditujukan kepada Muhammad bin Abdulah sebagai rasul, melainkan pula, justru
kepada setiap diri kemanusiaan yang membacanya. Dan beliau sebagai manusia
pertama yang diberi gelar muhammad oleh Allah, dan dijadikan-Nya sebagai
teladan dan contoh bagi setiap diri kemanusian baik pada masa-nya maupun pada
masa-masa kemudian setelah-nya.
“Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Agungkanlah
Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah
segala yang keji, dan
janganlah engkau memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu,
bersabarlah.” (QS 74:1-7)
Pada
penggalan ayat inilah, sesungguhnya makna kerasulan setiap insan kemanusiaan,
yaitu pada perintah-Nya, ...... Bangunlah, lalu berilah
peringatan ! ..... kemudian
selanjutnya, ..... dan bersihkanlah pakaian-mu, dan
tinggalkanlah segala yang keji ...... maknanya adalah mensucikan atau membersihkan apa
yang ada pada dirinya (sebagai anugerah Tuhannya) layaknya pakaian, sehingga
pantas dan sesuai antara ucap, tekad, dan lampah-nya sebagai pembawa
atau penyampai petunjuk dan peringatan.
Sekalipun amal perbuatan
nyatanya bersentuhan kepada orang-orang lain, diri-diri lain, atau makhluk
lainnya, tetapi diri-nya telah menyadari dan mengenal sepenuhnya,
wujud dari perwujudan siapa diri mereka sesungguhnya. Maka, dengan
begitu, akan terjagalah segala amal perbuatan-nya pada kelurusan,
selalu sadar (ingat), dan suci dari pengakuan
(ego) yang menyesatkan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang
benar (Diynul
Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Menyadari
kembali bahwa diri-nya sebagai wujud
terpuji yang merupakan perwujudan dari Yang Maha Terpuji, dan pelaksana
tugas kerasulan sebagai penyampai kebenaran dan rahmat dari Tuhan-nya, juga
sebagai yang telah diberi kitab (ahli kitab). Mengucapkan pernyataan syahadat ini
dalam setiap shalat-nya, kemudian menyatakan (mewujudkan)-nya dengan
melaksanakan tugas-nya dalam setiap amal perbuatannya dengan rasa ikhlas.
Dan tugasnya hanyalah
menyampaikan, hasilnya merupakan kehendak dan izin-Nya. Murnikan
(sucikan)-lah tugasnya tersebut dari pengakuan (ego) yang dapat
mengotori amal perbuatan. Jauhkan dari keinginan dan ambisi yang berlebihan
dari yang ditugaskan, karena iblis akan ikut masuk bersama penyesatannya yang
menjerumuskan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
”......... aku pasti akan jadikan
(kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya.” (QS 7:39)
Padahal iblis tidak memiliki
kekuasaan atas diri setiap insan kemanusiaan yang ikhlas dalam setiap
gerak amal perbuatan, dia hanya merangsang angan-angan keinginan. Dikuatkannya
keinginan jiwa melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah
dan menarik hati diri yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan
itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat
terwujud kepada jiwa-jiwa yang berpaling dari jalan Allah, yaitu yang
didominasi oleh pengakuan (ego). Karena itu setiap diri kemanusiaan diharapkan
dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam
setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru
dapat menjerumuskannya kepada kehinaan diri-nya.
Sedikit mengulas kembali, bahwa
penciptaan segala sesuatu dimulai dari cahaya-Nya (nur Allah), kemudian darinya
diciptakanlah para aparat-Nya atau para malaikat (nur Cahya). Pada cahaya
selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang
bersifat panas inilah malaikat pembangkang (QS 2:34) menjadi ada, dan
disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari
cahaya sedangkan iblis dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu
banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah
menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar untuk
mendapatkan api, dan bukan benda yang terbakar
itulah api-nya, bukan pula terangnya, tetapi nyala-nya. Jelas kita dapat membedakan
antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat dengannya, juga cahaya yang
menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya
membutuhkan benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui keberadaannya.
Semua benda ada terlihat karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada
pada benda.
Keduanya pun dapat bertempat pada diri
kemanusiaan, sebagai media benda tersebut, agar fungsinya lebih berarti.
Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang
satunya memberi petunjuk dengan terangnya, sedangkan yang satunya lagi
menghasut dengan membakar. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat
bagi setiap diri insan kemanusiaan untuk mencapai tingkat kesempurnannya.
Bila dicermati dan dipahami secara
mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya
sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir atau berpengaruh,
dan semakin kuat mencengkeram jiwa selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada
malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada
cahaya-Nya, maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi
jiwanya. Diri yang secara tak sadar terus menjauh dari cahaya Tuhannya, maka
justru dia semakin mendekatkan diri-nya kepada kesesatan bujuk rayu iblis
(kegelapan).
Pada dasarnya diri insan kemanusiaan
amat menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak
mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang.
Tetapi sayang, jiwa-nya tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat
menerapkannya kedalam memahami akan
tempat kemana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.
Jangan
biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara
menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya
dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama
dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad yang
salah, padahal ternyata malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan
terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi
umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah
mereka atau menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang
ternyata merupakan Tuhan kita sendiri juga. Dan merusak rumah ibadah mereka,
yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sesungguhnya, bila demikian, maka
perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi
kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS 98:4)
Sekali lagi,
pengakuan (ego) sebagai biang kerok rusaknya hubungan antar kemanusiaan.
Semakin dibuka pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran, bukannya semakin membuka
akal dan kesadarannya, tetapi malah semakin kuat kepada kepentingan ego-nya.
Ya, Al Qur’an sendiri selalu mengisahkan para nabi dan rasul Allah datang kepada
kaumnya, sebagai pembaharu yang membawa pesan dan peringatan dengan bukti-bukti
yang nyata pun selalu ditentang oleh mereka yang telah lama mapan dan merasa
akan terganggu kemapanannya.
“dia
menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan
kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Dengan
selalu menyadari (ingat) syahadat (persaksian) serta dengan kemurnian
(keikhlasan) dalam melaksanakan tugas kerasulan melalui amal
perbuatan-nya, setiap diri, maka terhindarlah diri-nya dari penyesatan yang
diupayakan iblis. Tentu, karena dengan melakukan tugasnya, selain menyampaikan
segala petunjuk Tuhannya kepada sesama, diapun akan menjaga diri-nya dari
penjerumusan iblis.
Iblis menyesatkan setiap diri
kemanusiaan melalui apa-apa yang dicintainya, anak dan istri, harta benda,
kekuasaan, dan lain sebagainya. Bahkan kepada yang mengatas namakan agama dan
tuhan, tidak akan segan iblis berupaya menipu diri-diri kemanusiaan agar
terjerumus pada kesesatan dan kehinaan, seperti dia telah menghinakan Adam
pertama kali.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Hamba-hamba
yang ikhlas dalam amal perbuatannya dengan berserah diri kepada-Nya
adalah wujud kemuliaan Tuhan, karena pada diri mereka-lah iblis menyerah,
tak dapat menyesatkan, dan menjadi tunduk seperti wujud asalnya yang
merupakan aparat atau malaikat Allah.
Itulah sesungguhnya yang
dimaksud dengan, menyatakan kemuliaan Tuhan sehingga menjadi nyata
kemuliaan-Nya, yaitu dengan mewujudkan Yang Maha Terpuji kepada diri
kemanusiaan-nya yang telah berserah diri secara ikhlas dalam setiap amal
perbuatan-nya. Itu pulalah sesungguhnya mengembalikan kepada fitrah diri
kemanusiaan-nya seperti persaksian di dalam syahadat-nya.
“....... maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(dari malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui, bahwa rasul-rasul itu sungguh
telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedangkan (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada
pada mereka, dan
Dia menghitung segala sesuatu satu per satu”. (QS 72:27-28)
Dengan memahami makna syahadat yang mengembalikan kepada fitrah
kemanusiaan-nya ini yang juga menyadari diri-nya pun sebagai rasul Allah, dan
ternyata masih perlu diawasi dalam menjalankan tugasnya oleh aparat-Nya
(malaikat), maka tentu ini akan membuat diri-nya berusaha menjaga dan
mensucikan niat serta amal perbuatan-nya yang berguna sebagai peredam
gejolak pengakuan (ego) yang amat mendominasi diri (jiwa) setiap insan
kemanusiaan, selain karena diawasi dan dicatat segala amal
perbuatannya, juga agar tidak terjerumus pada kesesatan, dan akan membawa jiwa
kepada ketenangan dan ketentraman, serta akan membuka pintu-pintu pemahaman
lainnya sebagai rahmat petunjuk dari-Nya sebagai karunia yang berguna bagi
hidup dan kehidupan yang menuju pada keselamatan, yaitu tidak ada rasa takut pada diri-nya dan
tidak pula bersedih hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar