Bab XXVI
HIDUP bersama ALLAH
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
S
|
etiap diri kemanusiaan, sebenarnya tidak pernah
lepas dari kuasa dan rahmat Tuhannya, karena Dia Maha Meliputi segala
sesuatu, baik secara lahir maupun bathin-nya. Secara umum
kebanyakan menyadarinya, namun ada beberapa perbedaan pandangan di dalam
memahaminya. Diantaranya ada paham yang menganggap satu kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan, dan ada pula yang menganggap keterpisahan wujud makhluk dengan
Tuhan. Selain dari kedua paham tersebut di atas, sebagian besarnya, adalah tak
perduli dan merasa awam dari pemahaman-pemahaman tentang Tuhannya. Akan tetapi,
mereka pun lebih menyukai keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhannya, karena
merasa takut berlebihan dalam memahami dan tak mau terjebak kedalam kesesatan.
Tidak ada yang salah pada
ketiganya, semua memiliki tahapan proses menuju kesempurnaan mengenal Tuhannya,
betapapun panjang waktunya. Ada tahapan-tahapan yang memang harus dilalui satu
per satu dalam kehidupan ini, termasuk dengan pemahaman, dan tidak dapat
dipaksakan. Disitulah fungsi akal dan kesadaran-nya. Jika Allah menghendaki,
tentu telah dijadikannya kemanusiaan menjadi umat yang satu. Jelas tidak repot
harus mengalami setiap perkembangan hidupnya, bahkan baik buruk-nya pengalaman
dalam perjalanan ruhani (kejiwaan) setiap makhluk-Nya. Dan Dia lebih
mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Perjalanan ruhani setiap
kemanusiaan yang panjang melewati segala macam pengalaman baik dan buruk-nya,
sesunggunhnya adalah yang membuat akal dan kesadaran jiwanya lebih matang
kepada kesempurnannya, yaitu jiwa yang kembali suci murni sesuai fitrah
kemanusiaannya, ikhlas hanya kepada Tuhannya. Itulah perjalanan mencapai tujuan
akhir dalam sejarah panjang kehidupan jiwa. Sekalipun kekotoran jiwa yang
tak kunjung bersih, dan harus beberapa kali malalui siklus proses hidup dan
mati, serta dibangkitkan secara berulang-ulang sebagai yang mengalami surga dan
neraka-nya, itu demi membersihkannya, agar dapat kembali pulang
kepada-Nya.
Karena Adam telah diajari
seluruh nama-nama oleh Allah, maka sesesungguhnya begitupun pada setiap
diri kemanusiaan sebagai yang telah ditanamkan kitab yang nyata (kitab
mubiyn) di dalam dada-nya, yaitu seluruh pemahaman melalui akal dan
kesadarannya. Lebih menghidupkan Jibril-nya, ruh pengetahuan-nya, maka
segala energi atau kekuatan (para malaikat Allah) akan tunduk
patuh sebagai yang bersujud kepadanya.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
“Mereka
menjawab ; Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan
kepada kami,
sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 2:32)
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
“...... pasti aku (iblis) akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Jiwa
kemanusiaan yang hidup bersama Tuhannya, dan memang begitulah sesungguhnya
jiwa-jiwa takkan pernah dapat memisahkan dirinya dari segala kuasa Tuhannya,
yaitu selalu bersama para malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, mengalami hari
kemudian-Nya, dan menerima kadar baik dan buruk-Nya sebagai rahmat
tunggal-Nya. Tetapi, hal ini hanya kepada mereka yang menyadari (ingat)
hal-hal tersebut diataslah yang dapat merasakan keberadaan Allah sebagai
Tuhannya, yang selalu meliputi dirinya dengan segala kuasa rahmat
pemeliharaan-Nya. Tidak sedikitpun diri atau jiwa-nya berkuasa atas apa-apa
yang terjadi atau menimpa diri-nya, sekalipun dalam setiap tarikan nafas-Nya,
maka apalagi hidup dan kehidupannya.
Apakah jiwa
atau diri-nya yang menciptakan hidung, kerongkongan dan paru-parunya hingga
dapat menarik nafas dan mengambil nafas? Bahkan memintanya pun, tidak. Udara
bersih dan oksigennya saja telah berlimpah disediakan-Nya. Dan bagaimana dengan
rizki-rizki lain-Nya?! Sungguh, diri kemanusiaan hanyalah menerima dan
merasakan nikmat-Nya saja. Dan bila mengklasifikasikan setiap nikmat-Nya
kedalam penilaian nikmat kebaikan ataupun nikmat keburukan yang diterimanya,
itupun hanya sekedar persepsi persangkaan keterbatasan akal dan
kesadarannya belaka, yang sesungguhnya masih dalam tahap berkembang menuju
kesempurnaan jiwa kemanusiaannya. Karena jiwanya yang masih terpengaruh oleh
hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya, yang
kelak sebagai yang akan disesalinya sendiri. Tetapi, begitulah perjalanan
kehidupan jiwa kemanusiaan yang menuju kesempurnaan-Nya dengan mengalami banyak
hal dan rintangan sebagai proses pembersihan atau penyucian jiwanya agar dapat
kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal, sumber dan tujuan segala sesuatu
berasal dan bertujuan.
Dan tahap
perjalanan tertinggi jiwa kemanusiaan di dunia adalah bertemu Tuhannya
seperti nabi-nabi. Nabi Muhammad SAW menemui-Nya, dengan mi’raj, maka sang
akal kesadaran (Jibril – ruhul qudus)-nya pun harus ditanggalkan di
ambang pintu Sidratul Muntaha (langit ke-tujuh). Jika tidak, dan
memaksakan ikut masuk bersama jiwa nabi Muhammad SAW, maka akan terbakar
dilebur menjadi satu dengan jiwa beliau yang juga telah suci murni
sebagi yang tunggal dalam keikhlasan kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Tiada
sesuatu pun yang dapat menemui-Nya bila masih membawa-bawa sesuatu sekecil
apapun itu, termasuk keinginan, selain hanya jiwa tunggal yang murni ikhlas.
“Hai
jama’ah jin dan manusia, jika kemu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (QS 55:33)
Bagi mata
lahir, takkan terlihat lapis-lapis langit yang tujuh. Dan bagi akal pengetahuan
tentu dengan susah payah untuk dapat menembusnya satu lapis saja, kecuali
dengan kekuatan-Nya. Akan tetapi, dengan hati yang bersih muni dan ikhlas,
ketujuh lapisan langit tersebut pasti dapat ditembusnya seiring dengan
pensucian jiwa-nya.
“Hai
manusia,
sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Begitulah
nabi Muhammad SAW ketika mi’raj ke
langit ke tujuh (sidrathul muntaha) diantar oleh malaikat Jibril untuk menemui
dan berhadap-hadapan dengan Tuhan-nya.
Terbukanya hijab-hijab selaput
ketujuh lapisan langit adalah hakikat perjalanan kehidupan jiwa itu
sendiri di ke-tujuh alam yang berlapis-lapis tersebut, yang tak terlihat oleh
mata lahir dan terlupakan (dari memori ingatannya akan perjalanan-perjalanan
sebelumnya), dan yang sebenarnya pun berada di alam dunia ini pula. Dialah
Allah penguasa ke-tujuh alam tersebut.
Alhamdulillahi rabbul ‘aalamiiyn - malikiyawmid-diiyn
“Allah Tuhan
seluruh alam – Yang menguasai hari-hari agama.”
(QS
1:2 - 4)
Alam Energi
(Ruh)
Sebenarnya tentang alam ini
telah sempat diulas di Bagian 1 Keimanan Para Malaikat dan di Bagian 4 Lahir
& Bathin, yaitu energi bawaan (yang membawa qudrat
dan iradat-Nya) dari pancaran Cahaya Allah (Nur-Nya) saat penciptaan
awal. Secara umum dikalangan para ulama, energi ini dikenal dengan Nur
Muhammad, yaitu energi dasar penciptaan segala sesuatu. Dalam bahasa
ilmiah, ruang semesta alam ini, pada awal penciptaannya, dipenuhi
partikel-partikel cahaya (dari pancaran cahaya-Nya) sebagai cikal-bakal segala
sesuatu yang mengisi alam semesta, yaitu langit dan bumi dan segala isinya.
Energi tersebutlah yang dimaksud firman-Nya, sebagai makhluk-makhluk atau
jiwa-jiwa yang
merupakan sesuatu yang belum bisa
disebut.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Energi ini
terus berkembang, menjalani kehidupan-nya, dan dengan kecenderungannya
untuk selalu berinteraksi membentuk koloni dengan partikel-partikel energi
lainnya hingga memiliki bentuk wujud atau jasad-nya sebagai materi penyusun
unsur, atau yang lebih sedikit rumit lagi yaitu senyawa (kimia).
Dan pada tahap ini, sekalipun
telah memiliki bungkus atau jasad-nya, masih sebagai yang belum dapat disebut
manusia. Tetapi tetap memiliki ruh-nya (malaikat) sebagai energi
bawaan yang membawa qudrat dan iradat-Nya, yaitu yang membawa
kuasa dan kehendak-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu
yang telah menjadi ketetapan Allah SWT.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di
gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap
buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut
lebah tiu, keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang berpikir.” (QS 16:68-69)
“.... dan
(malaikat) yang mengatur urusan.” (QS 79:5)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari
yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Pada bab awal tentang keimanan
kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang
dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan
sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan
aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai
unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar
setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai ‘sayap’,
masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada
ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 35:1)
Energi-energi
tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat
dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap
penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini.
Kekuatan atau energi ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’
seperti pada penafsiran ayat di atas.
Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan.
Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat
pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda,
ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan dibanding yang lainnya.
Dan
itulah mengapa pada kehidupannya, kemanusiaan pun tetap dipengaruhi oleh para
malaikat Allah, sebagai pembawa qudrat dan iradat-Nya sehingga
tiada sesuatu pun termasuk jiwa yang dapat lepas dari kuasa dan kehendak-Nya
Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Karena kemanusiaan amat bergantung kepada energi
sebagai daya penggerak kehidupannya.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)
Alam Rahim
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh).” (QS 23:12-13)
Alam ini
adalah alam kasih sayang tempat atau pabrik pembentukan dan
penyempurnaan menjadi wujud sempurna (ilmiahnya, reproduksi manusia).
Dimana bahan baku dari intisari unsur-unsur tanah, air, api, udara dan cahaya
dari alam energi sebelumnya yang telah diolah menjadi sperma dan sel
telur kemudian dipertemukan ditempat ini melalui rasa kasih sayang yang berpadu.
Tidakkah mereka, atau sebagai yang belum dapat disebut itu
masing-masing membawa energi bawaan-nya, yaitu qudrat dan iradat-Nya?
Itulah makanya tempat ini disebut rahim.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka)
terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu
seimbang, dalam
bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS 82:6-8)
Dengan ditemukannya mikroskop
elektron, maka pemahaman tentang wujud sperma dengan jumlah selnya yang
mencapai milyaran dan mekanisme pergerakannya menjadi terungkap dan lebih
kompleks lagi sebagai tambahan bagi ilmu kedokteran modern. Maka mani
sebagai air yang terpancar (sperma), tidak hanya sekedar cairan biasa
yang bukan apa-apa, melainkan tingkatan makhluk hidup sebagai cikal
bakal kemanusiaan.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya Dia telah menciptakan
kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS 71:13-14)
Sperma atau mani milik
laki-laki dan sel telur milik wanita yang masing-masing tersimpan di tempatnya,
adalah hasil dari saripati di dalam tanah yang dikonsumsi oleh tumbuhan dan
hewan yang juga dikonsumsi kemanusiaan. Dan tidak hanya itu, kemanusiaan dalam
kehidupannya, juga mengkonsumsi air sebagai minuman, udara untuk pernafasan,
dan terutama juga cahaya matahari bagi keseimbangan menyeluruh kehidupannya.
Dan metabolisme di dalam tubuhnya membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati
tersebut terkumpul dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang
sebagian lagi untuk memproduksi sperma atau sel telur secara terus menerus
tiada pernah berhenti seiring waktu melemahnya semua organ tubuh kemanusiaan
yang semakin menua.
Sperma tersebut tersimpan
sementara di dalam tempat testis yang memproduksi cairan bagi media sel
sperma yang memudahkan pergerakan ketika keluar, kemudian dengan saluran keluar
yang bermuara ke saluran tempat keluarnya air kencing. Ada beberapa kelenjar
tambahan yang bertebaran di sepanjang saluran tersebut, seperti zat pelumas
yang sebagai memperlancar alirannya ketika keluar, dan prostat yang
memberi sifat krim (pengental) dan yang memiliki bau khas pada sperma,
serta kelenjar cooper atau merry yang sebagai cairan pelekat juga
lettre sebagai cairan lendir.
Sel telur tersimpan di dalam
tempat tertentu di dalam rahim, dan setelah dibuahi bergerak turun pada batas
tertentu dan menetap di sana dengan berpegangan dengan selaput lendir dan
lengan otot setelah tersusunnya plasenta. Pada kasus lain, jika sel telur yang
telah dibuahi sperma itu menetap di saluran fallopian dan tidak di uterus
(rahim), maka kehamilan menjadi akan terganggu. Bila telah ada sel telur yang
terbuahi, maka sistem produksi sel telur akan berhenti selama proses kehamilan.
Dan pada sel-sel telur yang tidak dibuahi akan terbuang menjadi darah kotor
dalam menstruasi atau haid
yang rutin setiap bulannya.
Mekanisme pembuahan
(reproduksi) dimulai dari mani atau sperma (milik laki-laki) yang terpancar
yang di dalamnya mengandung milyaran sel sperma, dan bergerak di dalam rahim
mencari dan berusaha menembus sel telur (milik wanita) yang jumlahnya hanya
beberapa saja tidak mencapai lebih dari puluhan. Yang diperlukan untuk
pembuahan sel telur tersebut hanya satu sel sperma saja, sehingga terjadi
persaingan yang amat ketat diantara milyaran sel tersebut. Sehingga hanya sel
sperma yang memiliki tingkat kekuatan dan kecepatan bergerak sajalah yang
berhasil menembus masuk kedalam sel telur untuk sebuah pembuahan.
Dan ditemukannya alat USG dalam
dunia kedokteran semakin lagi memperjelas bagaimana tingkatan perkembangan
(tingkatan kejadian) janin di dalam rahim tahap demi tahap seperti yang
dijelaskan di dalam Al Qur’an, menjadi
yang dapat dipantau langsung di dalam monitor alat tersebut, dan sebelumnya
pengetahuan tersebut adalah merupakan hal yang ghaib.
“Kemudian
air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat (segumpal
darah), lalu
sesuatu yang melekat itu Kami jadikan
segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (yang berbentuk) lain, Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta
Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar .....” (QS 41:53)
Dalam
pengamatannya, maka diketahui pulalah perkembangan sesuatu yang melekat itu, adalah sel telur yang telah dibuahi
sperma sebagai yang tumbuh semakin membesar. Tumbuh pula diantaranya jonjot
(villi) sebagai yang menghisap zat-zat bagi pertumbuhannya dari dinding rahim,
seperti akar-akar tanaman yang masuk kedalam tanah. Sebab itulah Al Qur’an
menyebutkannya sebagai sesuatu yang melekat (dan penasirannya bukanlah segumpal
darah).
Di dalam rahim inilah
sebagai alam tempat tumbuhnya ia yang berawal dari satu sel
sperma dan satu sel telur menjadi multi sel yang semakin terus berkembang
hingga milyaran sel membentuk daging, tulang, dan otot-otot serta danging yang
membungkusnya. Sel-sel tersebut terus berkembang membentuk jaringan-jaringan
sel lainnya yang lebih kompleks dan rumit seperti kepala, badan, kaki dan
tangan. Juga membentuk organ-organ seperti jantung, hati, paru-paru, dan otak
serta sel-sel sarafnya. Kaluar masuknya zat-zat makanan dan kotoran hasil
buangannya melalui ari-ari sebagai tali pipa saluran yang menghubungkan dia
dengan ibunya.
“Kemudia
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur” (QS 32:9)
“..... yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi ,....” (QS 22:5)
“.... dan
bahwasanya Allah membangkitkan semua orang dari dalam kubur.” (QS 22:7)
Maka dengan
penerangan mana lagikah yang dapat menjelaskan manusia tentang kebangkitannya
kelak? Bahwa ia akan mengalami kematian dan dikubur di dalam tanah, jiwa-nya dipegang
Allah, kemudian jasadnya terurai, sebagiannya melebur menjadi sari pati tanah,
dan sebagiannya lagi dimakan cacing dan makhluk-makhluk renik lainnya di dalam
tanah, makhluk-makhluk itupun mati terurai dan menjadi saripati tanah yang
menyuburkan tanaman. Cacing yang hidup diambil sebagai umpan ikan yang dimakan
manusia, dan tanaman menghasilkan buah dan yang sebagai sayur mayur sebagai
konsumsi manusia, dan saripati tanah lainnya dihisap rerumputan yang dikonsumsi
hewan ternak. Dan pada akhirnya semuanya sebagai yang dikonsumsi manusia pula.
Sungguh manusia adalah pemakan segala.
Apa-apa yang
dikonsumsi dan masuk ke tubuh manusia, yang kemudian metabolisme di dalam
tubuhnya, membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul,
dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk
memproduksi sperma pada laki-laki, atau sel telur pada perempuan. Begitulah kebangkitan pada kemanusiaan melalui
ayah dan ibunya.
Alam Dunia
Jiwa pada
alam ini amat dipengaruhi materinya, yaitu keinginan dan kebutuhan lahir
yang kelihatan nyata dan memabukkan, juga amat bergantung pada akal dan
kesadaran sebagai penyelaras atau penyeimbang agar kekuatan hawa
nafsunya tersebut tak menjadikannya malah terperosok kepada kesesatan yang
merugikan dirinya sendiri.
Di alam dunia ini yang serba
materi, Allah membiarkan jiwa kemanusiaan memilih sendiri dengan menggunakan
akal dan kesadarannya diantara 2 jalan, yaitu jalan kefasikkan atau jalan
ketakwaan. Padahal hanya prasangka kemanusiaan saja kedua jalan itu menjadi
ada. Sesungguhnya yang Allah berikan hanya jalan tunggal untuk mencapai
keselamatan, tetapi jiwa di alam dunia ini menilainya sebagai yang berpasangan,
terbias lagi menjadi banyak hal, dan kesemuanya selalu dinilai berdasarkan baik-buruk
dan benar-salah. Segala sesuatu di alam ini, sesungguhnya adalah karena
anugerah rahmat tunggal-Nya, yaitu kebaikan, dan menjadi keburukan
bagi jiwa bila tak sesuai keinginan dan kebutuhannya. Begitulah, kuatnya
keinginan hawa nafsu yang mendorong segala kebutuhannya agar terpenuhi,
menjadikan segala sesuatu menjadi banyak dalam perbedaan dan berpasang-pasangan
sebagai kebaikan dan keburukan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Dengan demikian Allah
mengingatkan jiwa kemanusiaan kembali akan perjanjian atau persaksian-nya atas
segala hal yang dapat melalaikan fitrah-nya, suatu ketetapan
(sunathullah)-Nya, sampai pada hari Kiamat. Dan adalah hawa nafs
(jiwa atau ego)-nya yang dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dari jalan
lurus Tuhannya.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pembangkangan
sebagian para malaikat yang menjadikannya disebut iblis karena menolak sujud
kepada kemanusiaan atas perintah Allah, adalah peran yang harus dimainkannya
sebagai tokoh antagonis yang terkutuk. Seperti pula ketika Musa memahami
peran Khidir yang rela sebagai perusak dan pembunuh (tetapi ada
pula perbuatan kebajikannya) dalam kisahnya di Al Qur’an, hanya saja, Khidir
sebagai yang terpuji dan sebagai contoh kecerdasan akal dan kesadaran bagi
Musa. Renungkanlah. Semua itu karena qudrat dan iradat-Nya yang harus dijalani
dalam kehidupannya sebagai yang memahami kehendak Allah SWT.
Sayangnya,
kebanyakan jiwa tak menyadari bahwa pembangkangan jiwanya sendirilah yang
menyebabkan sebagian para malaikat-Nya berubah menjadi iblis yang tak mau
tunduk patuh (sujud) membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan dan malah makin
menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesesatan.
Seperti yang
telah dibahas dan diulas sebelum-belumnya, rasa berserah diri (islam)
yang secara ikhlas total kepada dan karena Allah semata, lepas dari kebutuhan
dan keinginan hawa nafs (jiwa dan ego)-nya, adalah cara mendekatkan diri untuk
dapat hidup bersama Tuhannya. Begitulah wujud fitrah kemanusiaan sebagai wakil
(khalifah)-Nya di muka bumi yang menjadi rahmat di semesta alam bagi sesama
makhluk-Nya.
Sehinggga, sujud-nya
kemalaikatan (seperti dalam firmannya di dalam QS 2:34) dapat bermakna,
1.
Sebagai perintah atau penugasan
kepada para malaikat untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
2.
Sebagai perintah atau penugasan
kepada kemanusiaan untuk menundukkan segala sesuatu di semesta alam, termasuk
yang ada pada dirinya sendiri, yang ternyata seluruhnya adalah para malaikat
Allah.
3. Sebagai
pengingat kepada kemanusiaan agar menjaga jiwanya selalu dalam keadaan
tunduk patuh atau ikhlas berserah diri
(islam) pada jalan lurus-Nya, sehingga tidak menyebabkan para malaikat-Nya
berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang tak mau tunduk patuh (sujud)
membantu mempermudah kehidupan kemnausiaan yang pada akhirnya malah merugikan
dirinya sendiri.
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Hidup bersama-Nya adalah karena
Dia Yang Maha Pemurah, maka mewujudkan dirinya sebagai yang bersifat murah hati
kepada sesama. Karena Dia Yang Maha Kasih Sayang, maka mewujudkan dirinya
sebagai yang penuh rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah. Karena Dia
Yang Maha Adil lagi Bijaksana, maka mewujudkan dirinya sebagai yang
mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan. Begitulah sehing terwujudlah
sifat-sifat Allah di alam melalui kemanusiaan yang sebagai perwujudan-Nya dan
sesuai dengan ketetapan fitrah-Nya, yaitu wakil (khalifah)-Nya di muka bumi.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Di alam
dunia ini, jiwa kemanusiaan pun selalu disertai peran akal dan kesadaran-nya,
sama seperti selalu disertainya oleh hawa nafs (jiwa atau ego)-nya, namun
disitulah letak penyempurnaan jiwa untuk mencapai kebersihan dan kemurniaannya.
Dan adalah akal dan kesadaran-nya sebagai penyelaras dorongan hawa nafs-nya
yang selalu bergerak jauh lebih cepat mendahului akal dan kesadarannnya.
Akal dan kesadaran adalah
sebagai yang telah ditanamkan di dalam dada setiap kemanusiaan (kitab mubiiyn),
tetapi pemahaman hikmahnya menunggu dibukakan dadanya atau diberikan
petunjuk oleh-Nya. Hal ini baru akan terasa kebenarannya hanya bila akal telah
mengalami jalan buntu, kemudian datanglah petunjuk Allah sebagai ilham atau ide
yang dapat mengeluarkannya dari kebuntuan kesulitannya, seakan-akan Allah telah
memberikan kepadanya mu’jizat.
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
“Allah
menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
Begitulah
kemanusiaan dengan tingkat akal dan kesadarannya sebagai yang bertahap-tahap
mengalami perkembangannnya menuju kesempurnaan yang membawa jiwanya pula pada
kesempurnaan tertinggi, pada akhirnya.
Kita dapat
mengambil hikmah dalam kisah Musa yang mencari ilmu kepada Khidir (QS
18:60-82), yaitu mereka sebagai kemanusiaan yang sama-sama telah diberi akal
dan kesadaran oleh Tuhannya, namun hanya kepada Khidir diberi petunjuk
pengetahuan tentang masa depan, dan diberikan hak atau perintah untuk mengambil
tindakan, sekalipun Musa adalah termasuk salah seorang manusia yang dimuliakan
Allah.
Jika saja
pada umumnya di kehidupan ini, banyak manusia yang diciptakan Allah seperti
Khidir, maka tentu banyak menimbulkan kehebohan di kehidupan masyarakat yang
mengakibatkan pertentangan-pertentangan. Dan begitulah Allah berkehendak
menyempurnakan kehidupan kemanusiaan, sehingga memahami takdir-Nya
adalah sebagai pengganti Khidir demi jalannya penyempurnaan kehidupan
kemanusiaan agar sesuai ketetapan atas kehendak-Nya, sunathullah.
Maka
dengan demikian, Dia izinkan terjadinya kejahatan-kejahatan di muka bumi,
sekalipun tujuan utama-Nya adalah penyempurnaan jiwa-jiwa kemanusiaan, tetapi
melalui jiwa-jiwa tersesatlah Dia membalas kesesatan-kesesatan
sebelumnya. Dan bagi mereka yang menyadari kesalahan akan kejahatannya, tentu
akan mengambil pelajaran sebagai yang tak akan diulanginya lagi (QS
2:269).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Sesunggguhnya
Allah bukanlah sebagai pembalas, tetapi Dia telah menetapkan sistem
(sunathullah)-Nya yang amat sempurna, seperti bunyi firman-Nya pada ayat di
atas.
Akal dan
kesadaran diberikan Allah sebagai anugerah tertinggi bagi kemanusiaan
untuk memahami kebenaran hakikat keimanan atau keyakinan yang terlebih dahulu
datang melalui berita-berita yang disampaikan oleh nabi-nabi Allah dan melalui kitab
suci yang diwahyukan-Nya. Namun tidak sedikit, bahkan para ulama atau
pemuka agama, yang meragukan kemampuan akal. Bahkan disebutnya akal sebagai
yang menipu seperti tertipunya mata oleh fatamorgana. Padahal fatamorgana
tersebut mereka ketahui dan definisikan dengan menggunakan akal mereka.
Keterbatasan
akal adalah tidak mutlak terbatas, dan sebagai yang masih dalam
perkembangannya. Berhentinya perkembangan akal dan kesadaran pada diri
kemanusiaan sebagai yang terbatas adalah pada saat kematiannya. Dan
sesungguhnya, itupun masih berlanjut perkembangannya dimanfaatkan sebagai ilmu
dan pengetahuan menuju kesempurnaan oleh segenap kemanusiaan tanpa pernah
berhenti sebagai yang terbatas.
Sehingga,
seharusnya tidak ada alasan meragukannya, sedangkan mereka dapat meragukannya
pun dengan menggunakan akalnya. Asal saja mereka tak temasuk golongan yang
berputus asa atas rahmat Allah. Bagaimana mungkin mereka dapat menolak akal
dengan menggunakan argumen-argumen yang berdasarkan akalnya. Sungguh naif.
Mereka seperti orang yang sibuk menasehati banyak orang tentang akibat buruk
dan bahayanya perut kenyang, namun dimulutnya masih penuh makanan yang sedang
dikunyahnya.
Menyadari
pentingnya peranan akal, dapat pula menghindari kesesatan yang disebabkan
taqlid buta yang mengatakan, “Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya
dalam memahami nash-nash al Qur’an tentang peristiwa alam, sejarah kemanusiaan,
dan hal-hal ghaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap
perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah Yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.”
Sungguh lucu pernyataan
tersebut. Maka dengan apalagi kah, kemanusiaan berusaha dapat memahami firman
Allah yang memang ditujukan kepada kemanusiaan, bila tidak menggunakan akalnya?
Sudah sepatutnya akal kemanusiaan terbatas, tetapi tetap mengalami
perkembangannya menuju kesempurnaan, untuk mendapatkan kebenaran dari memahami
petunjuk yang terdapat di dalam nash-nash al Qur’an, karena bila akal
kemanusiaan diberikan Allah tanpa keterbatasan, maka tak perlu lagi Allah
menyampaikan firman-Nya dalam bentuk nash-nash al Qur’an sebagai petunjuk bagi
kemanusiaan, disebabkan akalnya telah dapat menjawab segala tantangan kehidupan
tanpa tersesat jalan pada kesesatan yang merugikan dirinya. Dan bila akal
kemanusiaan sebagai yang tidak terbatas, maka dia tidak lagi disebut sebagai
makhluk. Karena dengan ketidak terbatasan akalnya, maka dia tak lagi membutuhkan
Tuhannya.
Itu adalah hal yang tak
mungkin, dan betapa banyaknya firman Allah yang tersebar di dalam Al Qur’an,
yang menerangkan kegunaan akal dalam memahami ayat-ayat (tanda kekuasaan)
Allah, serta ketergantungan kemanusiaan dari petunjuk Allah terhadap pemahaman segala
sesuatu. Sehingga keinginan memahami suatu hal adalah perwujudan
dari kehendak Allah kepada kemanusiaan. Dengan kata lain, yang bermakna, bahwa
Dia jelas menghendaki kemanusiaan lebih menggunakan potensi akal dan
kesadaran-nya secara maksimal agar dapat mewujudkan segala kehendak-Nya sebagai
rahmat bagi semesta alam. Dan adalah ketetapan Allah diberikannya kepada
kemanusiaan untuk cenderung dan berkeinginan mengetahui segala sesuatu hal.
Bagaimana mungkin, mereka yang menolak akal, dapat lengah dari firman-firman
Allah tersebut.
Sehingga, masalahnya bukan pada
keterbatasan yang menunjukkan ketidakmampuan akal dan kesadaran,
melainkan lebih kepada tahapan-tahapan (maqam-maqam) yang harus dilalui
oleh akal untuk mendapatkan kesadaran yang memahami hal demi hal sesuai tingkat
kerumitannya. Dan hanya Allah-lah yang membukakan hijab-hijab yang menyelimuti
lapis demi lapis hakikat segala sesuatu sebagai petunjuk kebenaran (yang haqq)
bagi kemanusiaan.
Kehidupan
di alam dunia ini, sekalipun pada awalnya menekankan jauh lebih kepada yang
bersifat materi, namun hal tersebut disebabkan oleh dorongan keinginan
yang bersifat mencari dan mendapatkan kepuasan bathin. Mari kita simak
ayat-ayat berikut ini,
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
di bumi dan
Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk
mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.....” (QS 6:165)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan disisi
Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS 3:14)
Dan beberapa
penjelasannya mengenai ujian terhadap keinginan-keinginan semu manusia,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan :
kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?” (QS 28:2)
“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, diantaranya ada
orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan
yang baik-baik (nikmat) dan yang buruk-buruk (bencana), agar mereka kembali (kepada
kebenaran).” (QS 7:168)
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS 18:7)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian
kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar ? dan adalah Tuhanmu
Maha Melihat.” (QS 25:20)
“Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan kamu sungguh-sungguh
akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak-yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya
yang demikian itu
termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS 3:186)
“Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS 2:155)
“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti
yang bathil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang haqq dari
Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat pebandingan-perbandingan bagi mereka.” (QS 47:3)
“..... Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
ada di hadapannya, ia-pun berkata : ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku
Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS 27:40)
Begitulah
Allah dengan segala firman-Nya memancing akal dan kesadaran kemanusian,
agar tidak hanya terpaku pada kehidupan lahir (nyata) di alam dunia ini
saja, namun juga hendaknya tergugah memikirkan yang bathin (tak
terlihat). Yaitu, kebajikan dalam setiap amal perbuatan yang bertujuan
hendak mendapatkan keinginan-keinginan kehidupan dunianya. Amal perbuatan
tersebutlah yang amat menentukan kehidupan selanjutnya hingga ke alam-alam
lainnya sebagai perjalanan
panjang kehidupan jiwanya.
Menyadari
dan memahami dengan akal dan kesadaran-nya, bahwa kehidupan hari ini adalah
karena apa yang diusahakan oleh kehidupan kemarin atau sebelumnya. Maka apa yang
diusahakan pada kehidupan hari ini, tentu juga amat menentukan kehidupan esok
hari dan selanjutnya. Menyadari hal tersebut adalah juga menyadari kebenaran
keimanannya, dan dapat membawanya kepada kebenaran-kebenaran lainnya untuk
mencapai tingkat tertinggi hakikat sejati, yaitu kembali pulang kepada Dia Yang
Maha Tunggal.
Mengapa menjadi timbul
keinginan hidup
bersama Allah, bila akal dan kesadaran telah memahami, bahwa
tiada seorang atau segala sesuatu pun yang dapat lepas dari segala kuasa
dan rahmat-Nya? Bahwa sesungguhnya Dia dekat, bahkan lebih dekat dari
pada urat lehernya sendiri. Bahwa Dia meliputi segala sesuatu, termasuk
diri-diri kemanusiaan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Hidup bersama Allah adalah memahami
hal-hal tersebut dan mewujudkan kehendak dan ketetapan-Nya sebagai fitrah
kemanusiaannya, wakil Tuhan di muka bumi, yaitu sebagai khalifah
yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil
‘aalamiiyn).
Alam dunia sungguh penuh dengan lapisan hijab
ketidak tahuan atau kebodohan, sebagai yang terlupakan dari apa-apa yang
diketahui di alam-alam sebelumnya. Lapisan-lapisannya menutupi hati (qalb atau
kalbu) diri-diri kemanusiaan akibat cenderungnya keinginan dan hawa nafs-nya
kepada setiap yang bersifat materi keduniaan.
Keinginan dan hawa nafs yang tak dapat dikendalikan-lah yang
menyedot perhatiaan dan energi-nya sehingga yang selainnya sebagai yang
terlupakan. Sekalipun ibadah yang dilakukannya sebagai hal yang rutin, namun
bila keinginan dan hawa nafs-nya tak terkendali, maka segala ibadahnya tak
memiliki perhatian dan kekhusyu’an-nya, yang seharusnya semata karena dan untuk
Allah. Maka hilanglah keikhlasannya amal perbuatannya, dan bila seperti itu
hilang pula rasa keberserah dirian (islam)-nya kepada Tuhan sebagai
sumber segala perhatian dan tujuan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Alam Penantian
(Barzhak)
Alam ini
adalah alam penantian, dimana jiwa sebagai yang disimpan Allah,
sementara jasad di dalam tanah kubur terurai kembali menjadi unsur-unsur yang
terpisah satu sama lainnya dan tersebar. Namun unsur-unsur tersebut tetap
memiliki ruh-ruhnya, menunggu suatu waktu yang telah ditentukan-Nya dikumpulkan
kembali membentuk jasadnya, kemudian bersama jiwanya sama-sama sebagai yang
dibangkitkan kembali dan terlahir kembali ke alam dunia sebagai bayi melalui
jasad ibunya, untuk mengalami hari-hari pembalasan-nya, surga dan nerakanya. Sebagaimana yang telah diulas
sebelumnya pada alam energi dan alam rahim.
Alam ini
adalah alam bagi perjalanan panjang kehidupan kembali energi (ruh) unsur-unsur
penyusun jasad kemanusiaan yang telah terurai di dalam tanah (kubur). Ada yang
menetap lama pada kedalaman tanah, ada yang terbawa menjadi makanan cacing atau
hewan-hewan berjasad renik lainnya, kemudian naik ke permukaan tanah
berinteraksi dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada pula yang bercampur dengan
resapan air hujan dan menjadi saripati
tanah yang dihisap oleh akar-akar rerumputan atau tanaman bunga maupun
buah-buahan. Kesemuanya tersebut yang pada akhirnya dapat berujung sebagai yang
dikonsumsi manusia, seperti yang telah diulas pada alam rahim sebelumnya, yang
kelak sebagai bahan baku sperma dan sel telur, sehingga kemudian terlahir
(dibangkitkan) kembali sebagai kemanusiaan yang berjasad kembali.
Juga ada
pula yang menetap lama di bebatuan yang kemudian dipecah dengan dipukul-pukul
atau digiling menjadi batu untuk pondasi bangunan atau batu koral. Dan menetap
di bebatuan mineral menjadi batu akik atau permata yang telah dibentuk dengan
jalan mengasahnya, atau di bongkah-bongkah bebatuan emas dan perak yang
kemudian dilebur untuk memisahkan kotoran-kotoran yang tak bergunanya. Seperti itulah
perjalanan energi dari unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan.
Ulasan tersebut di atas, bila
dikaitkan dengan kepercayaan primitif nenek moyang kemanusiaan, yang memiliki
kesamaan dimanapun wilayahnya di muka bumi ini, bukanlah hal yang aneh dan
dianggap sebagai mitos belaka. Mereka telah mengetahui adanya unsur lahir
dan bathin pada setiap benda atau materi, tentang adanya kekuatan
(energi) sebagai yang bathin pada setiap benda yang kelihatan (sebagai
yang lahir). Seperti yang kita ketahui pada benda sederhana saja yang
biasa terlihat dan kita alami sehari-sehari, yaitu air yang kita minum adalah
merupakan energi bagi tubuh kita.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
Dan dengan
demikian, jelas sekali hal tersebut sangat berhubungan dengan pengetahuan atau
pemahaman mereka tentang adanya kekuatan atau energi yang disebut juga dengan
istilah ruh, sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu (seluruh) nama-nama yang
telah diberikan Allah kepada Adam
sebagai bapak dari seluruh kemanusiaan.
Hanya
sayang, jika diperjalanannya, mereka menganggap kekuatan-kekuatan tersebut
sebagai kekuatan yang patut disembah atau diibadahi, seperti beribadah kepada
Tuhannya. Atau, hal tersebut karena persepsi kita yang salah terhadap ritual
penyembahan mereka kepada Tuhannya? Seperti umat lain yang berasumsi kepada
kita yang menyembah kepada Ka’bah. Sekalipun dijelaskan dengan cara apapun,
tetap saja mereka kukuh dengan persangkaannya, dikarenakan yang mereka lihat
seperti itu. Sehingga, menjadi perlu bagi kemanusiaan untuk dapat memahami
segala sesuatu secara benar yang hakiki agar tidak tersesat, atau malah mudah
menganggap sesat umat lain.
Tetapi, sekalipun demikian kita
tak dapat memungkiri adanya kekuatan-kekuatan (energi-energi) yang disebut
sebagai ruh pada setiap unsur materi pada setiap benda atau segala
sesuatu, sebagai qudrat dan iradat (energi bawaan) yang
diberikan Allah kepada setiap segala sesuatu yang diciptakan-Nya di semesta
alam. Masih banyak sekali, tak terhitung, segala sesuatu yang merupakan misteri
di alam raya ini menunggu untuk diketahui dan dipahami oleh kemanusiaan.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
Jika terjadi penyimpangan pada
ajaran-ajaran agama yang diwariskan bapak-bapak mereka (yang berasal dari
Adam), adalah wajar saja dapat terjadi. Karena di masa sekarang ini saja,
setelah 1500 tahun ditinggal nabi Muhammad, ajaran Islam yang telah beliau wariskan
telah terpecah menjadi banyak golongan. Belum lagi seperti yang terjadi pada
agama-agama lainnya yang sesungguhnya berasal dari satu sumber, dan kemudian
terpecah-pecah menjadi beberapa agama. Jika telah memahami hal ini, maka insya Allah,
kita tak akan terjebak kepada yang ikut serta gampang menyalahkan atau
menganggap sesat umat atau golongan lain selain dirinya. Cukuplah kita
mengambilnya sebagai pelajaran, pengetahuan, ataupun petunjuk yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan kita ke depan.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas
seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala
periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur
dan bangun?
“Dan
sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Begitupun pada hidup, mati
dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini,
dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian
serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai
dilahirkan, mati dan dibangkitkan hingga
harus mengalami hari-hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih
adanya langit dan bumi. Seperti rerumputan yang mengering dan mati di
musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan, menjadi hidup serta tumbuh
subur menghijau kembali.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Begitulah kemanusiaan selalu
diingatkan Allah tentang perjalanan jiwa yang panjang dan berulang-ulang,
dari mulai sebagai
yang belum dapat disebut (QS
76:1) sampai kepada dibangkitkan menjadi kemanusiaan kembali dan
mengalami kembali hari-hari pembalasan-nya sebagai kehidupannya di
setiap alam-alamnya yang silih berganti. Begitu berulang-ulang sampai pada
waktu yang telah menjadi ketetapan-Nya (Kiamat Qubra), untuk kembali pulang
kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Alam Pembalasan
Seperti yang
telah diulas sebelumnya pada bagian pertama keimanan terhadap Hari Akhir dan
bagian keempat Lahir & Bathin. Menjadi terpisah-pisah ulasannya dan
tersebar pada bab-bab ulasan lainya, dikarenakan hal ini untuk memudahkan
penyajian agar saling berhubungan dengan ulasan lainnya yang berkaitan dengan
perjalanan jiwa-jiwa kemanusiaan.
Perjalanan
jiwa yang sesungguhnya mengalami kehidupan di alam-alam yang bertahap-tahap
sesuai tingkatannya. Seperti layaknya kehidupan di dunia yang mengalami masa
sebagai bayi, meningkat ke masa balita, kemudian masa kanak-kanak, begitu
seterusnya dengan alam (suasana)-nya masing-masing yang berbeda.
Selama di alam dunia, alam-alam
yang akan dialami jiwa-jiwa kemanusiaan memiliki tabir (hijab)-nya yang membuat
batas sebagai pemisahnya, sehingga tak dapat ditembus oleh mata lahir.
Hanya dengan mata bathin yang telah dibukakan oleh Allah sajalah, yang
melalui petunjuk-Nya maka menjadi terlihat nyata. Sayangnya, selama di alam
dunia, bukanlah hal yang mudah untuk membuka hijab-hijab tersebut, sehingga
mata bathin dapat melihat seluruh alam secara terang dan nyata. Kuatnya materi
menarik perhatian jiwa akibat hawa nafsu (ego)-nya semakin menutupi dan menjadi
tabir-tabir (hijab-hijab) menjadi berlapis-lapis, serta menimbulkan penyakit-penyakit
hati yang amat menyita perhatian jiwa hanya kepada materi dunia sajalah sebagai
yang menghalangi pandangan mata bathin.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
Ayat ini
adalah sebuah peringatan bagi jiwa-jiwa kemanusiaan agar berhati-hati dalam
setiap menginginkan dan memandang segala yang indah. Jangan sampai keindahan
tersebut ternyata hanyalah sebagai pembungkus keburukan yang berada di
dalam atau di balik-nya, yang membuat penyesalan di kemudian hari. Apalagi,
bila hawa nafsu (ego)-nya telah ikut pula mulai ikut bermain, yaitu rasa ketergesa-gesaan
ingin segera meraihnya.
Seperti kita melihat seorang
anak kecil yang merengek-rengek meminta apa yang dinginkannya, padahal kita
mengetahui bahwa dia benar-benar tak memerlukannya atau malah akan membahayakan
dirinya, kelak. Tentu kita akan menilai, betapa bodohnya anak itu. Namun,
karena ketidak tahuannya, karena kebodohannya dan karena hawa nafsunya dia
tetap kuat ingin mendapatkannya. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu)
menjadi tolak ukur bagi orang lain dalam menilai kita. Menahan rasa
keinginan yang kuat (hawa nafsu) juga adalah bentuk kesabaran, agar dapat
memiliki waktu untuk berpikir secara matang dan lebih bertanggung jawab.
Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) pun sebagai yang melatih jiwa
untuk selalu merasa dekat kepada Tuhannya.
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan
(kebenaran).” (QS 17:72)
Dan seperti
yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa segala yang yang kita terima, baik
itu adalah sebagai rahmat anugerah kebaikan maupun keburukan, ternyata adalah amanat
yang perlu dipertanggung jawabkan pada hari-hari kemudian. Bukan hanya kebaikan
yang perlu dikelola secara bertanggung jawab sebagai amanat, namun keburukan
yang diterima-pun perlu dikelola secara baik dan benar agar keburukan tersebut
tak menciptakan keburukan-keburukan baru lainnya sebagai yang akan datang pula,
kelak di kemudian hari di dalam hari pembalasan-nya.
Tabir-tabir
hijab yang menutupi mata hati kemanusiaan dari memandang hakikat segala sesuatu
kehidupan yang berada di semesta (seluruh) alam ini, adalah karena terhanyutnya
hati oleh keinginan hawa nafsu materi yang bersifat keduniaan. Hatinya sibuk
hanya kepada hal-hal kehidupan dunianya saja, dan selalu mengejar untuk dapat
memenuhi kebutuhan dunianya saja, sehingga dapat saja tak menyadari telah
terperosok kepada amal perbuatan yang seharusnya tak dilakukakannya. Bila hal
ini dibiarkan berlarut-larut, maka hati akan semakin keras membatu, menimbulkan
penyakit-penyakit dalam hati atau jiwa-nya dan pada akhirnya merembet kepada
penyakit-penyakit di tubuh atau jasadnya tanpa terasa lagi sebagai balasan.
Begitulah akhirat sebagai alam-alam setelah kehidupan
di alam dunia menjadi terhalang dari pandangan mata bathin kemanusiaan selama
di alam dunia.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Penyebab utama hati yang buta
adalah jiwa yang sibuk dan terhanyut pada kehidupan dunia saja, lupa akan
amanat-nya, yaitu perjanjian dan
kesaksian-nya yang menjadikannya khalifah, serta sebagai wakil-Nya di muka bumi
yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi yang juga merupakan
rahmat-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab : betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu
tidak mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Kehidupan
dunia yang dapat menjadikan jiwanya sibuk serta hanyut, sungguh berakibat
menjadikan dirinya tidak hanya lalai, bahkan lupa kepada kehidupan di hari
kemudian-nya, yaitu alam-alam lain dalam perjalanan panjang kehidupan jiwanya
menuju tujuan utamanya kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Seakan,
merasa tak memikul amanat dari Tuhannya, hanya diri dan keluarganya saja
yang menjadi perhatian utamanya, dan tidak peka lagi terhadap sekitarnya.
Sungguh alam
dunia ini adalah perhiasan yang memukau dan menghanyutkan, juga bagaikan
permainan yang dapat menyita waktu dan perhatian jiwa melupakan tujuan utama
diciptakannya kemanusiaan oleh Tuhannya. Begitulah tabir (hijab) dalam
kehidupan di alam dunia yang menutupi hati dan jiwa hanya terpaku tak menyadari
lagi kehidupan-kehidupan di akhirat, kelak.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap
Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja
yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan durhaka saja, bahkan kamu mendustakan
hari pembalasan.” (QS 82:6-9)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
Sungguh, perjalanan kehidupan adalah
masih panjang, masih melalui banyak alam lagi, kemudian mengalaminya terus
berulang-ulang sebagai usaha pembersihan dari kelalaian yang menyebabkan
kekotoran untuk dimurnikan kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada
Tuhannya Yang Maha Tunggal. Usaha pembersihan atau pensucian jiwa melalui
kehidupan yang berulang-ulang inilah yang terjadi pada setiap diri kemanusiaan
di alam pembalasan. Lahir, hidup, mati, dan dibangkitkan terus
berulang-berulang. Dan hanya yang telah mencapai murni kesuciannya yang dapat
langsung kembali kepada Tuhan Yang Maha Suci dan Yang Maha Tunggal.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Bila
diri-diri kemanusiaan yang mengalami kehidupan sekarang, di dunia, tentu itu
adalah sedang mengalami pembersihan atau pembalasan sebagai pertanggung jawaban
dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya yang masih kotor. Maka, apabila
pada kehidupan ini pun masih berkutat pada kekotoran, maka tentu akan mengalami
terus kembali pembalasannya untuk membersihkannya. Inilah yang disebut perjalanan
panjang jiwa-jiwa kemanusiaan.
Adakah, bila
telah menyadari dan memahami hal ini, kemanusiaan masih berani menolak dan
mengingkarinya dengan kehidupan yang menghanyutkan dan melenakan jiwanya?
Tentu semua
umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu
kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan
setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya
yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang
memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur
dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam
tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan
alam dunia, kehidupan alam kubur
(barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian pula dari hari-hari
agama (yawmid-diyn) Allah. Dimana
Allah sebagai penguasanya.
“Yang
menguasai hari-hari agama.” (QS 1:4)
Yaitu
hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak
hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan
hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat
tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai
penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat
diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Pemahaman sebelumnya, bahwa
surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari
kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup
di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada
keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada
bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang
sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada
kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana
rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus
mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi
orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah
yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya,
bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun
sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan
begitu pula pada kesengsaraannya.
Kehidupan di alam-alam tersebut
pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini
pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula.
Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat
melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang
dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan di
alam-alam tersebut.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Maka jelas sekali ayat ini menegaskan
bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena
hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan
malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman
sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena
disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi.
Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab
keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Itu adalah
merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya
adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali
(QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS
11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat
qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali
dalam hidupnya.
Bila hari
akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan
di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya
bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur
secara bersama-sama.
Akan tetapi,
jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan
akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya
adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari
akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah
mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah
termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas
seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala
periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur
dan bangun?
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan
kamu
kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan
dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari
semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya.
Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung.
Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan dibangkitkan hingga hari pembalasan
(surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan
bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka
setelah datangnya musim hujan, menjadi tumbuh subur menghijau kembali.
“Dan sebagian
dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat
bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya
setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di
kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu
(baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian
(akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir.
Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh
kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki
akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya,
akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari
amal perbuatan sebagai sebab-sebab terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Allah menciptakan Alam Semesta ini, sebagai
tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk alam
akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam ini,
alam yang sekarang kita tempati.
Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah
pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah
makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal,
bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi,
benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang
memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang
atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan
milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad
raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup
sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak
Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah).
Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya
merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut
pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi,
justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal.
Sebagai bukti ke-akbar-an Dia
Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya
pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang
pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang
membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda
satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang mendapatkan balasan kebaikan-nya (di dalam
surga) akan terancam sedikit nerakanya pula dari keburukan seberat
zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang
mendapat keburukan-nya (di dalam neraka), mendapat harapan pula
merasakan sedikit surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya.
Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Di alam
dunia, bukanlah hal yang tidak mungkin jiwa kemanusiaan dapat memandang dan
memahami alam-alam lainnya selain alam dunianya, asalkan dirinya mau dan dapat
mensucikan hatinya dari kekotoran-kekotoran yang menyebabkan tabir-tabir hijab
yang menghalangi pandangan mata bathin-nya. Sungguh kekotoran-kekotoran
tersebut dapat merugikan dirinya, selain menimbulkan penyakit-penyakit hati,
juga mengakibatkan penyakit-penyakit pada jasad tubuh kemanusiaannya, terlebih
menyebabkan kebodohan akal dan kesadaran jiwa dalam memahami kehidupan
panjang-nya yang masih akan dilaluinya pada masa-masa yang akan datang. Yang
lebih utama, dan merupakan tujuan dari segala tujuan, adalah menyadari dan
memahami sebenarnya jiwa kemanusiaan kita menjadi hadir dan datang ke alam
kehidupan dunia ini dari tempat yang paling mulia dan paling tinggi,
yaitu dari Allah SWT. Maka dengan menyadari dan memahami asal keberadaan
tersebut adalah mutlak pula kita memahami dan menyadari tempat kembali-nya. Ilayihi raji’un.
Begitulah cahaya Allah
menerangi dan menjadi nyata serta jelas hakikatnya bagi pandangan mata bathin
yang telah suci bersih kepada alam-alam kemudian yang akan dihadapinya
sebagai perjalanan panjang jiwa-nya. Dan Dia pulalah yang menjelaskan hakikat
bathin dari segala sesuatu yang lahir (nyata) dan yang masih ghaib.
“Allah
menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Kehidupan
berikutnya, di alam pembalasan, sebagai yang mengalami hari-hari
pembalasan, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya,
adalah merupakan suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi
mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita
mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya
saja, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih
ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan
hari kemudian pun yang adalah merupakan ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur
atau waktu, atau sementara sifat dan waktunya, dan hanya Dia-lah yang kekal
serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan
kemudiannya lagi, bila ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui
kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan
terus berlanjut sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti
menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS 21:104)
Alam Malakut
Inilah alam Kepatuhan, alam yang dimana para
penghuni-nya adalah jama’ah yang selalu bertekun dalam bertasbih mensucikan
nama-Nya, yang menjaga diri-diri mereka dari amal perbuatan yang menyesatkan.
Melalui energi-energi yang dikeluarkan mereka, para jama’ah tersebut-lah, Allah
dengan kuasa dan kehendak (qudrat dan
iradat)-Nya menjadikan semesta alam
ini dalam ketetapan-Nya sebagai yang terus terjaga keseimbangannya.
“Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling ‘Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya, dan diberi putusan diantara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan
: Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS 39:75)
Dalam bentuk
bathin, adalah seisi alam ini dari apa-apa yang tidak diketahui kemanusiaan,
mereka sebagai yang selalu tunduk patuh dan bertasbih sambil memuji nama-Nya
tanpa pernah berhenti (QS 17:44, 24:41, 61:1). Mereka itulah aparat Allah, dan
jiwa-jiwa suci yang telah memiliki kedekatan dengan Tuhannya.
Dalam bentuk
lahir, di alam dunia, adalah jiwa-jiwa yang selalu bertasbih mensucikan
nama-Nya pada petang dan pagi hari dalam kesunyian dan kesendiriannya, serta
menjaga diri mereka dari amal perbuatan yang menyesatkan, selalu pada jalan
lurus-Nya, ingat kepada-Nya, serta mensucikan setiap gerak amal perbuatannya.
Hanya kepada
merekalah alam kepatuhan ini dapat dirasakan, sebab alam ini adalah alam bathin
bagi jiwa-jiwa dan segala sesuatu yang telah suci dari selain Dia sebagai
sumber dan tujuan-nya. Sungguh, karena Dia Yang Zhahir (Tampak) di dalam
ketersembunyian-Nya (Yang Bathin), maka Dia menjadi tampak dan terlihat oleh
mata bathin mereka yang hati-nya telah suci dan bersih dari selain-Nya.
Sekali lagi,
pembersihan atau pensucian hati sungguh amat menentukan perjalanan panjang jiwa
untuk mengalami kehidupan di alam ini. Alam ini adalah alam bagi jiwa-jiwa yang
berusaha selalu menjaga kedekatan dirinya dengan Tuhannya, mensucikan jasad dan
jiwa-nya dari segala sesuatu selain Tuhannya. Dimana kebersihan dan kesucian
jasad dan jiwa sebagai satu kesatuan yang menentukan setiap gerak amal
perbuatan, sehingga amat menentukan pula perjalanan hari-hari kemudian-nya
sebagai takdir yang melekat. Seperti
yang telah banyak diulas sebelumnya, sebagai energi bawaan (qudrat dan
iradat) yang terus terbawa dalam
perjalanan jiwa-nya di alam-alam selanjutnya selama masih belum dibersihkan
atau disucikan.
Pada kebangkitan-nyalah seharusnya jiwa
mengambil kesempatan tersebut untuk membersihkan atau mensucikan, tanpa
menambah atau mengotori jiwanya kembali dengan dosa-dosa baru. Sehingga
perjalanannya di alam-alam kemudiannya tentu akan semakin ringan dan mudah
dengan segala nikmat yang dituainya dari amal perbuatan di kehidupan-kehidupan
sebelumnya.
Kehidupan
kita saat ini adalah kebangkitan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya untuk
mengalami balasan demi pembersihan dan pensucian jiwa, maka dengan begitu
janganlah lagi memasukkan kembali kotoran-kotoran yang sedang disucikan. Apalah
gunanya mencuci pakaian dengan menggunakan air yang kotor?!
Yang berada
dalam alam kepatuhan ini, hanya keikhlasan. Tanpa ada keinginan sedikitpun
selain hanya tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kepada-Nya, karena hanya Dia-lah
sumber kekuatan segala perbuatan, termasuk kepatuhan tersebut sendiri. Kekuatan energi yang keluar
dari kalimat-kalimat tersebut pulalah yang sesungguhnya menggerakkan
keberlangsungan kehidupan semesta alam ini tanpa pernah berhenti sampai pada
waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Alam ini
adalah alam keheningan, dimana kesunyian dan kesendirian dalam ketenangan,
ketentraman dan kedamaian. Kedekatan jiwa dengan Tuhannya adalah bagaikan
berada di dalam halaman rumah-Nya, tinggallah di situ sebagai yang
menunggu pintu sampai waktunya dibukakan untuk dapat kembali pulang kepada Dia
Yang Maha Tunggal.
Bagi
jiwa-jiwa yang tenang dan terkendali, adalah jiwa yang ikut bersama ruh-nya
berada di alam ini dikarenakan telah terbiasa di masa-masa sebelumnya selalu
yang bersama dengan ruh-nya sebagai yang tenang dan terkendali. Sebagai yang
ikut bertasbih dan memuji nama-Nya dalam lingkaran jama’ah di sekeliling ‘arasy, alam ketunggalan bersama
Tuhan-nya. Jadi, alam malakut ini
adalah alam yang paling dekat dengan alam tunggal tempat Yang Maha Tunggal,
dimana semua dan segala sesuatu berasal dan kelak, bila telah tiba waktu dan
atas kehendak-Nya, kan kembali pulang kepada-Nya.
Disebut alam malakut, karena ini adalah alamnya
para malaikat Allah yang tunduk patuh atau berserah diri, mereka yang tidak
patuh disebut-Nya iblis (QS 2:34).
Lihatlah alam raya ini, langit
dengan bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung dalam suatu susunan galaksi
yang tak terhitung pula jumlahnya, sistem planeter pada suatu bintang, seperti
sistem tata surya pada matahari kita, yang memliliki beberapa planet termasuk
bumi kita. Keteraturan sistem peredarannya yang kesemuanya demi kelangsungan
kehidupan kemanusiaan di bumi. Dan lihat serta sadari pula, keteraturan dan
kepatuhan sel-sel penyusun dan pembentuk organ-organ di dalam tubuh kita, yang
bukan kitalah sesungguhnya yang mengatur sistem kerja mereka. Dari mulai
perkembang biakannya hingga pekerjaannya yang secara sistematis demi
kelangsungan kehidupan kita.
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai ‘sayap’,
masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada
ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 35:1)
Itulah alam kepatuhan (malakut), yang
sesungguhnya dapat kita sadari. Maka renungkanlah, bila kepada jiwa yang tak
mau tunduk patuh atau berserah diri (islam) pada aturan serta hukum-Nya, tentu
sesungguhnya dia malah sedang mengahancurkan dirinya sendiri. Dalam tindakan
ekstrim, seperti mereka yang putus asa hendak bunuh diri dengan meminum racun.
Atau yang lebih halus dan tak terasa sebagai kesalahan bagi sebagian orang,
mereka yang terjerat narkoba dan minuman keras (alkohol), secara perlahan-lahan
sesungguhnya mereka sedang menghancurkan dirinya sendiri. Tidak hanya jasad,
bahkan jiwanya pun sebagai yang ikut dirusaknya. Atau yang jauh lebih halus
lagi, seperti para perokok, juga mereka yang amat rakus terhadap makan-makanan
tanpa memperhitungkan kesehatan bagi tubuhnya.
Begitulah Allah menyebut
mereka, para malaikat-Nya yang tidak tunduk patuh demi membantu kelangsungan
kehidupan kemanusiaan, yang sesungguhnya Dia menunjuk hal tersebut kepada
jiwa-jiwa kemanusiaan sendirilah yang sebenarnya tidak tunduk patuh atau
berserah diri dari aturan atau hukum-Nya sebagai jalan lurus-Nya.
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Mereka yang
gerak hidupnya mengorientasikan pada rasa keberserah dirian (islam) semata
kepada Allah SWT, serta menyadari fitrah kemanusiaannya yang sebagai perwujudan
Tuhannya di alam, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam, adalah yang
sesungguhnya mewujudkan pernyataan “..... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Ya, pernyataan yang tidak hanya
sekedar diucapkan dalam setiap shalatnya, melainkan juga dinyatakan dan diwujudkan dalam setiap gerak hidupnya, sehingga
mereka bukanlah termasuk orang-orang yang celaka dengan shalatnya, seperti
peringatan dari-Nya melalui ayat di bawah ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Maka sebenarnya, bagi
manusia-manusia yang telah dapat menundukkan jiwanya untuk tunduk patuh atau berserah
diri adalah mereka yang telah berada di alam
malakut ini. Yaitu alam yang penuh cahaya terang benderang dan memberi
pengetahuan atau petunjuk, serta jauh dari gelap yang menyesatkan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Merekalah yang telah dapat mengelola
hawa nafsunya dalam kepatuhan jalan
lurus Tuhannya, segala gerak keinginanya adalah perwujudan gerak kehendak
Tuhannya, segala gerak pikirnya adalah perwujudan ilmu Tuhannya, serta segala
gerak langkah perbuatannya adalah perwujudan kuasa dan kasih sayang Tuhannya.
Sehingga terjagalah dirinya dari bujuk rayu serta pandangan indah yang
ditunjukkan hawa nafsu (iblis)-nya sendiri.
Ya, iblis yang juga merupakan malaikat
pembangkang, yang coba-coba dengan
membisikkan keinginan sesat di dalam dadanya telah ditundukkannya dan kembali
menjadi malaikat yang tunduk patuh seperti semula.
Tentulah kita telah memahami hal tersebut, karena pada bab
sebelumnya kita sempat membahas bagaimana nabi Yusuf mengelola hawa nafsunya dengan
baik dari godaan tuan wanitanya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS 12:53)
Begitulah kita dapat mengambil hikmah
tentang hawa nafsu yang mendorong keinginan-keinginan sesat dan menjerumuskan,
yaitu dari penjelasan al Qur’an Surah al Baqarah ayat 34,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS
2:34)
Pada bab
Keimanan telah dijelaskan bahwa perintah agar sujud (tunduk patuh) tersebut hanyalah
kepada para malaikat, sehingga penafsirannya adalah, malaikat yang tak mau
tunduk patuh kemudian diberi nama atau sebutan iblis.
“..... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, seungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir. Maka mereka mempelajari
dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan istrinya ...... ” (QS 2:102)
Juga bagaimana hawa nafsu mendorong,
serta seakan memaksa kepada keinginan-keinginan sesat dengan bujuk rayu juga
pandangan indah, seperti ditunjukkan dalam ayat berikut,
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 7:27)
Pada bunyi kalimat, “......mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya......”, kita menafsirkannya adalah akibat yang dapat mengeluarkan kita dari
anugerah nikmat Allah kepada kesulitan dan kehinaan diri yang amat memalukan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Begitulah setelah kita menyesali akibat dari kebodohan perbuatan
sendiri dalam melakukan kesalahan atau dosa. Kemanakah iblis saat kita hendak
meminta pertanggungan jawab atas bujuk rayuannya ??
“Dan ketika syaitan menjadikan
mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan : tidak ada seorangpun manusia yang
dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini
adalah pelindungmu. Maka
tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat, syaitan itu balik ke belakang seraya berkata : sesungguhnya saya
berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksanya.” (QS 4:48)
“Dan berakatalah syaitan tatkala
perkara (hisab) telah diselesaikan : sesungguhnya Allah telah menjanjikan
kepadamu janji yang benar, dan akupun
telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan
bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyerumu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab
itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku
sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat
menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku
(dengan Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat
siksaan yang pedih.” (QS 14:22)
Alam ini
adalah alam ruh, alamnya para malaikat yang tunduk patuh. Pada
kemanusian, selain jasad, ada jiwa dan ruh. Jiwa atau nafs (nafsu)
adalah sebagai yang cenderung disesatkan dan didorong kepada keinginan dan
kebutuhan yang berlebihan oleh bayang gelap akibat cahaya yang tak dapat
masuk ke dalam karena terhalang kotoran-kotoran pada hati kita. Layaknya
kaca jendela yang dipenuhi kotoran sehingga cahaya matahari tak dapat masuk ke
dalam rumah kita. Kotoran tersebut adalah penyakit hati, dan bayang gelap
akibat cahaya yg terhalang itulah yang menggantikan cahaya yang seharusnya
masuk untuk menerangi hati, namun berubah malah menggelapkan hati kita, sehingga
menyesatkan jiwa dalam memahami segala sesuatu. Inilah sisi gelap kemanusiaan,
si iblis penggoda dan penghasut yang merupakan malaikat pembangkang.
“...... Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Sementara, ruh adalah sisi terang kemanusiaan, yaitu para malaikat
yang tunduk patuh dan selalu membantu kemanusiaan agar tetap pada jalan
lurus-Nya, yang membawa cahaya petunjuk Tuhannya, menyuruh dan
mendorong kepada kebaikan dan kebenaran. Maka bila jiwa kemanusiaan kita
sebagai yang tunduk patuh, barulah kita dapat ikut merasakan hidup di alam ini.
Namun dari ketujuh alam tersebut, Allah amat menekankan pentingnya
kemanusiaan dapat memperbaiki jauh lebih baik lagi kehidupan alam dunia. Seperti
itulah kemanusiaan dikehendaki-Nya sebagai khalifah
di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak
menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan
nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Bukanlah surga yang
menjadi tujuan, bila manusia dapat memenuhi kehendak-Nya. Dan bukan pula neraka
sebagai balasan, bila mengingkari-Nya. Melainkan kehidupan dunia-lah yang
sesungguhnya perlu diperbaiki, sebab kehidupan akhirat atau kehidupan di hari kemudian tentu akan baik dan
menyenangkan bila kehidupan sebelumnya (dunia) pun telah baik dan benar.
Janganlah seperti anak kecil yang masih mengharapkan hadiah berupa surga, serta diancam dengan neraka bila tak menurut apa perintah
orangtua-nya, padahal sesungguhnya itu adalah demi kebaikan dirinya sendiri.
Seperti itulah orangtua
kita dalam mendidik kita, dan itu adalah kebenaran, sebagaimana kebenaran yang
kita pakai dalam mendidik anak-anak kita yang merupakan generasi penerus. Dan
kita adalah teladan bagi mereka, maka apakah masih berani kita menyia-nyiakan
kehidupan dunia ini dengan amal perbuatan yang malah akan menyulitkan diri kita
sendiri, kelak di hari kemudian?
Dan pada surah al Baqarah
ayat 30 di atas, amat jelas kehendak Allah untuk menjadikan khalifah di bumi
(alam kehidupan dunia), yaitu kepada kemanusiaan. Manusia yang memimpin
terhadap sekitarnya, memimpin keluarganya, atau bahkan hanya memimpin dirinya
sendiri agar tidak menjadi yang merusak
dan menumpahkan darah, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam sekitarnya,
atau walau hanya pada dirinya sendiri. Begitulah makna kemanusiaan sebagai
perwujudan Allah Yang Maha Tunggal di alam untuk saling menebarkan rahmat
Tuhannya kepada sesamanya.
Bayangkanlah kehidupan dunia yang berjalan seperti itu, bantu-membantu,
saling-nasehat menasehati, saling berbagi kelebihan, serta saling mudah dalam
memaafkan, maka tentu dia telah ikut sebagai yang menciptakan surga selain bagi dirinya, juga bagi
sesamanya. Begitu pulalah makna surga
yang kekal selama masih adanya langit dan bumi, seperti yang dijelaskan
dalam surah Hud ayat 108.
Maka, adalah diri-diri kitalah yang sesungguhnya membangun surga ataupun neraka bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi
mereka yang telah memahami hal ini atas izin dan kehendak-Nya, maka bukan surga
sebagai tujuan dan neraka sebagai yang dihindarinya, melainkan kembali pulang kepada DIA Yang Maha
Tunggal dalam keadaan suci, sebagaimana layaknya dia berawal keluar dari-Nya
dalam keadaan suci. Dan kepada DIA-lah sebagai tempat kembali, tujuan dari
segala tujuan sejatinya, yang merupakan alam ke tujuh sebagai Alam Tunggal, DIA
yang menguasai seluruh alam (rabbul ‘aalamiiyn)
dimana segala sesuatu berasal dan akan kembali kepada-Nya. Inna
lilahi wa ‘inna ilayihi raji’un.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar