Assalaamu ‘alaykum wr wb, ......
Seringkali umat di luar muslim bertanya kepada
saya tentang perlunya bershalawat, alasan mereka, kok kita umatnya yg malah
mendoakan nabi-nya ?? Sehingga, bukan hanya mereka, bahkan kita yg telah sering
bershalawat pun memahaminya masih dalam keterbatasan, sehingga belum maksimal.....
terutama dalam rasa ke-berserah diri (islam)-an kita. Dan sungguh inilah
celah-celah dimana keterbatasan kita dalam memahami
islam itu sendiri. Sebenarnya, inti dari memahami perlunya bershalawat adalah
setelah kita memahami makna syahadat terlebih dahulu....... Maka, izinkanlah
saya berbagi. Semoga kita semakin didekatkan kepada kebenaran-NYA..... amiin
yaa rabbal ‘aalamiiyn.
MUHAMMAD,
NAMA & ISTILAH, SERTA MAKNA RASUL PADA DIRI KEMANUSIAAN DI DALAM SYAHADAT
“Dan sesungguhnya Al
Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh
Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi
peringatan.” (QS 26:192-194)
Sayangnya, kemanusiaan
lebih menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan
kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar
sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati
dalam kesabaran. Hal tersebutlah yang semakin menjauhkan dirinya dari menyadari
fitrah-nya yang juga merupakan menjadi tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini.
Jika Allah saja menaruh keyakinan (sebagai Al Mu’min) yang amat tinggi kepada
penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan dari seluruh
penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat
meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan
kehati-hatiannya, menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah
kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. Namun,
memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, kemanusiaan hendaknya
tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga tidak menjadikannya
sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan tetapi, menyadari
fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang
utama.
“Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan
amat bodoh.” (QS 33:72)
Sekedar mengingatkan, ulasan ini hanya mengenai kerasulan, dan sekilas saja
tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika sebelumnya, pada uraian
keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa sifat kemalaikatan yang
meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat kerasulan pada manusia
sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu disadari dan dipercayai
(diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan. Sehingga semakin mengukuhkan
kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai hanya kepada rasul-rasul yang
telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah tiada lagi rasul-rasul penerus,
padahal setiap hari kita sering mendengar para penyampai kebaikan di sekitar
kita yang selalu mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah.
Itu akibat kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan
tidak menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang
mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.
Mereka yang terkemuka dan
banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan kesungguhannya
sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila dengan kenabian-nya
mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya, juga lebih terfokus
memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja perbedaan
ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi sudah pasti
seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya yang memiliki fitrah
sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama, sebagai yang
rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sehingga jangan sampai
terkecoh oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang
dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki,
terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
“Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seseorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul
Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui esgala sesuatu.”
(QS 33:40)
Berakhirnya kenabian pada
diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan
pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan
selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling
menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti
setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku
lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling
mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas
tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi
mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau,
bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri kemanusiaan
sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.
Kerasulan, sesungguhnya
telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang bermanusiawi sebagai
wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang Maha Terpuji, yaitu setiap diri
yang telah beriman dan mengkokohkan kembali keimanannya, sehingga menyadari dan
bersaksi dengan menjaga amal perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan
yang diamanatkan oleh Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu
anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan
menjalankan amanat Allah tersebut.
Kata muhammad pada bunyi
syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin Abdullah” saja,
nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat Allah sebagai Yang
Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri kemanusiaan. Memang
benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar ke-muhammad-an tersebut
dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau,
Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.
“.... yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....” (QS 61:6)
Gelar kenabian memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan. Kita dapat
membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang mendapat azab
dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya) umatnya yang masih
dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).
Kemudian kisah tiga orang
rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri yang mendapat tugas
mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga orang rasul tersebut
tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak diceritakan lagi bagaimana
kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya kisah seorang rajul yang
membantu ketiga orang rasul tersebut yang kemudian dikisahkan sebagai
kelanjutannya.
Bila telah memahami
kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan, maka
makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala
konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai yang menyadari
fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.
Sehingga makna yang dapat
dipahami, sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri kemanusiaan
sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. Kemanusiaan yang menjadi
wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Begitulah sebagai fitrah bagi
setiap diri kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala
sifat-Nya di muka bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan
saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Kita tentu mengagumi
seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sebagai yang
memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan seperti itulah
yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Dan Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat
mencapai akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia
berikan seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan
bagi umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai
perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar diri kemanusiaan
mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji dengan berakhlak
sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan
sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan demikian,
kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri
yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu
bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu
menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan
sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.
Dengan tidak mengurangi
nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun yang
sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan
dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada
mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau
dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya
berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan.
Tentulah syahadat bukan
sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada
sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak
pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisahnya.
Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat atau persaksian itu, yang
adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai
Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa dirinya yang adalah perwujudan
dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasulullaah atau utusan Allah yang
saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta
alam, seperti yang telah diteladankan nabi kita Muhammad SAW.
Bila disadur atau
diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, “aku bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah, dan wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha
Terpuji) ini adalah utusan Allah”, maka segala tanggung jawab serta segala
macam konsekuensi dari fitrah dan tugas yang diembannya akan menjadi beban
amanat bagi diri pengucapnya. Dan bila makna ini telah meresap disadari,
melekat dalam setiap shalat diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan
menemukan sejatinya diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.
Itulah makna kerasulan
pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya diharapkan
dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban, serta saling
berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah dapat diterima
secara lapang (legowo) oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu
menyadari tugas kerasulan yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang
wajib diimani, akan menjadi ruh dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai
manusia yang terpuji perwujudan dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian
tertuju.
Disunting dari : Bab III - MEYAKINI PARA
RASUL
http://sandozsantosa.blogspot.com/2013/05/bab-iii-meyakini-para-rasul.html
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus