Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara
mereka, dan kami
berserah diri kepada-Nya.”
(QS
2:136)
S
|
egala puja dan
puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya
tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di
semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta
yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan
ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki
memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang
lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah
tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau
makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi
diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada
siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya
sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada
Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan
melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar
dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya,
maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi
mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan,
bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah,
saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila
hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu
apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya.
Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak
sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar
permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya,
bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs
(jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau
bahkan dekat dengan Tuhannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan
sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan Adam,
yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya telah
diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini sedikit
diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada bujuk
rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk
mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan
kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan
kanan mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya
‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya
Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi
menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang
tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan
sebagai aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada setiap
diri kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang
iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang
tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan,
sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat
bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim
bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif
bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa
nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan
pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’
yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat
yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju
kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar
dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan
memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata.
Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang
adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya
apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi
menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya
sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali
kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata
ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya,
seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga
kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang
kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi
petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak
pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun
kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang
diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab
Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya,
padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang
berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha
Esa (Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat,
tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang
digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan
tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada,
dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap
kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu
memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti
tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu
seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan
mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama
kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan
kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
”......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka
bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu?” (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati
diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai
yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri
kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya,
umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah
yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian
menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri,
bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri
kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa
sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan
agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan
laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar. Dan
dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang
lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata karena
menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan
setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di
dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau
kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi
dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan
yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga
terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah
kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang
ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia
Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama
tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung
jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan
kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai
kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada
dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya
hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya.
Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi
segala macam bentuk makhluk ciptaan,
maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta
kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga dieksplorasi
dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama sebagai
rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan
tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam
sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang
mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah
terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai
sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman
laut.
Banyak negara maju, terutama
negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya
fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab
yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang
perginya saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan
data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak
tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang
bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara
blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain
yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah
habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta
memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang
tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah
semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih
memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya
sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga
negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif
dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini
dieksplorasi serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung
jawab, maka akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya
pun sebanding dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan
yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari
kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena
itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang
pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab
ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang
menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai
negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat
dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih
mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan
sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”.
(QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada
masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka
mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa
kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan
mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu,
kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi
perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan
bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk
habis isi perut bumi kita.
Maka
bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan,
sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di
muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot
disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat
hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana
dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan
dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di
kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat
direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan
petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun
neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita
kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang
ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk
disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa
nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada
bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai
petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai
rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri
kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di
dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri
ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk
dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa
yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui
kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi
sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu
yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang
dikiranya bekerja dengan sendirinya,
yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen,
usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang
menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis
di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu
sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang
bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut
pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan,
apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang
tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha
mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah
yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal
perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri.
Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa
tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat,
gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan
gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri
hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara
menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal
kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat
dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang
mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya.
Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak
ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh
kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada”
pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu
bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap
kemanusiaan (kitab yang terjaga).
Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan
lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang
berbeda satu sama lainnya.
Sifat
bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri.
Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya
tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau
stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang
tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila
pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat
ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis,
ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak
pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap
diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja
setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian
sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi
bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak
disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah,
melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan
catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang
memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata,
catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya
yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta
keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang
menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata
merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi
catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia menurunkan al Kitab
kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan
Injil,
sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.” (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah
didustakan,
mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.” (QS 3:184)
Ada
pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang
pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab
Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an,
Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia
yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan
yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).” (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian
beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan
kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para
nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran
bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada
seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk
bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya
dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini
dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al
Qur’an membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh
Allah pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang
harus percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji
lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain
merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab
sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju
keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib
hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada
masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan
kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan
kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran
atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan
dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena
sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah
adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda
waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau
agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang
pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah,
seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya
saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri
kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di
bawah ini.
“......... Seandaianya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir,
diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap
uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena
ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang
sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa
lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan
datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
Petunjuk
keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan
pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang
telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali
untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500
tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu,
berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan,
perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa
diantara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus.” (QS 81:27-28)
Belum lagi
hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman.
Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas
mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya
adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya
dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al
Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala
sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan
keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya
penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz,
dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai
penjelasannya.
A.
Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang
disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS,
sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab
suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.
Taurat
Jauh
kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran
hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah
dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak
kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah
kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah
Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat
itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena
mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi,
setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk
pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya
bani Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur,
kemudian berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap
sebagai bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun
kemudian, bani Isra’il yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai
kepada masa nabi Musa As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan
perintah dari Tuhan agar mengeluarkan bani Isra’il dari penderitaan di
bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama kepadanya.
Kemudian
akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di
luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi
Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran
kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak
tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama
yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah
sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini
disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus
dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka
adalah umat (bangsa) yang terpilih
dan Palestina sebagai tanah yang
dijanjikan kepada mereka.
Begitulah
akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan
mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang
merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga
terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian
3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya
memakai Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber lainnya
yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada kaumnya
untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat atau
mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling belakangan
datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan mengurai dan
mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula
kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari
nabi Sulaiman dan kisah Ayub pun masuk
kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa.
Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga,
sehingga kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi
Isa, mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula?
Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan
keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama
(The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain
Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya
karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud
sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di
tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran
bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat
petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian
Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan
tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib
ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang
menolaknya. Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama atau
yang umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.
Bagian Pertama, Taurat sebagai
sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir
Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah
(Pengecualian).
b.
Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi
:
·
Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I
dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·
Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’,
Sifir Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir
Nahum, Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.
Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·
Kitab-Kitab Besar,
Sifir
al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi
Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·
Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari
Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·
Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir
Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya
yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya
ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya.
Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci
sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.
Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian,
adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus
kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian
dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan
lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir.
Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan
hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa
Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta
sebagian lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa
Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di
luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan
olehnya dan dapat memasuki serta
menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya, sebagai
“tanah yang dijanjikan”
Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab
inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada
Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan
sebagai bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.
3.
Injil
Kitab
Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al
Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta
memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada
masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani,
tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan
Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan
ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat
atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh
umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4
Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu
dalam kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat
Nasrani (Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir
al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi
I dan Sifir Makkabi II.
Kita tak akan menilai kebenaran
dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan
pada ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya
setelah kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab
berikutnya. Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di
bawah ini sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah
diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu.
Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.
Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga
puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang
keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan
yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk
tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial
kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai
penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang
ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang
diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan
dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap
amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan
meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz
pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah,
dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian
besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini,
penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan,
disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il)
sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A. Al Fatihah
Ada
beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.
Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka
dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini
juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di
setiap raka’atnya.
Di dalam
Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai
pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan
dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan
Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari
di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan
dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan
ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu
berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan
orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.
Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari
kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu
luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di
daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi
tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan,
sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur
keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur
yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha
Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan,
memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan
isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga
Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw
mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan
kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus
(Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup
baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan
orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku
zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.
Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat
pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan
penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah menyebut nama Tuhan, yakni Allah
sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya
sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam
beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas
panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau
amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan
tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali
kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam),.....” (QS 6:125)
Tidak
hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan
tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima kebenaran
dari Tuhannya.
4.
Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab
Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi
dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus
menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona
waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya
telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada
daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang
juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali
kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga
bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus
lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini
menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang
kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan
Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya,
kelak.
“Tidaklah suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri
kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi
dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat
(karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya
di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya,
sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan
yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter
diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat
surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung
di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri
kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki
sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan
mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi
pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan pertolongan
Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang menguasai semesta
alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam ini, segala sesuatu
berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya dalam bentuk kebaikan
dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk kepada kebaikan (nikmat-Nya)
agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum
lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan
ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya
di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan
seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada
masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.
Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi
hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang
dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat
dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang
berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun
masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam
surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan
agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan,
serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan
dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas
dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga
akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab
yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan,
yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari
kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan
kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan
kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal
(calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati
yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.
Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat
yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam
setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena
sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi
keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering
digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat
ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral
sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar
umat muslim.
7.
Kitabum-munir
Adalah
Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran
sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya
agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya
kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di
sekelilingnya.
“......
lalu diantara
mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang
dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya
melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui
petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini.
Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak
ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
Maka
hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh
ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang
sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah
milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah
milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak,
segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah
pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti
akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah
dari yang ditanam sebelumnya.
B. Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna
perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena
Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha
Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum)
dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian
dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta
alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di
tujukan.
·
Ta’awudz
Ta’awudz
ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam
surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah.
Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat
al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap
mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam
memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan
yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan
hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk
dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah
Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita diingatkan untuk selalu berlindung dahulu
kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang
lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung
dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali
kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi
dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab
itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita
adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu
penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita,
pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi
oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan
pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk
dihindari.
· Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang
Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia
yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum
melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala
sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya
ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa,
serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan
menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai
wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena
kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan
untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam
kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran
itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa
ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa
syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari
sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya),
sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai
perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
· Alhamdulillaahi
rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada
Dia, yaitu Allah Tuhan
Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan
kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang
sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala
sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena
ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi
karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus
oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat
menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula
fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh
penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah
kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C. 30
Juz
sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30
(tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh
sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih
luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya.
Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan
kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara
keseluruhannya juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah
Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang
Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1. Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang
diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan,
cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg
sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat
antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya
yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan
diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al
amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya,
seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan
ialah al Qur’an yang mulia, yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).” (QS 7:16-17)
Diturunkan
dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya
sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan
ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai
firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga
kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya
hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya
namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka
buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah,
jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak
akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka
yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi
orang-orang kafir.” (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa,
dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal
turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi
Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan
kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak
pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan
pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana
(Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).” (QS 3:3-4)
2.
Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al
Qur’an yang penuh hikmah.” (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang
dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat
membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di
akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan
pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum,
petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian
tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai
suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal
perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk
kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya
dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak
berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya.
Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian,
setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar
keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di
alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum
bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang
terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata
(qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah
apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas
berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai
kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas
sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan
penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis
untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang
masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka
petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata
menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada
yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau
yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.” (QS 6:59)
3.
Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan
perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak
kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang
selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang
terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan
jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara
berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak,
melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah
hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada
pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia
Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan,
sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena
menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah
ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan
kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi
tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi
resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah.
Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan
adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah
menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah
yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk
bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan
malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang
lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan.
Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan
pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk
ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat,
atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila
mengalami kerugian.
4.
Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah
yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup,
maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa
perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak
pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah
dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan
mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah
kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum
dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan
berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis. Seperti
yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.
Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah
benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang
membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang
dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan
sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam
kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.” (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh
yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya,
yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha,
dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian,
merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan
kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada
masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan
kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya
memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak
parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan
kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
Kitab-kitab
tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri
kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh
diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah
kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut
diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda
satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti
berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian
yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah
kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Dan
tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada
perbedaan-perbedaan tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah),
Tuhan semuanya. Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling
menghina dan menghujat hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya
merupakan perbuatan perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan
kemanusiaan terjerumus pada kesesatan.
6.
Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada
hamba-Nya
dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan
akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan
memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan
bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk
yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha
Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan
yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang
akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun
kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut,
maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali
kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih
dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya,
bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah
yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah
perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena
mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya
pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”.
(QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar,
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha
Mengetahui, Maha
Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu
diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan, dan ada
pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan
kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada
mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab
bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah.
Adalah mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari
Tuhannya, yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai
perwujudan keimanan-nya yang keluar membentuk pola kehidupannya yang
terpuji. Begitulah sebutan ahli kitab,
yang bermakna sebagai yang pantas menyandang sebutan ahli, yaitu
sebagai pewaris haqq yang seharusnya mengelola dengan baik dan sempurna dari
segala yang diberikan atau yang dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab
sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat)
kepada Musa,
maka janganlah
engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Isra’il.” (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang
berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa
pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan
kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa
agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan
kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani
dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima
kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun
disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai
kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang
dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan
saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat
tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang
mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak
kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau
dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui
segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar
Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya
dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang
sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah,
hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata
bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan
kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib
dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda,
rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang
merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta
rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita
terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan
setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa
membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya.
Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata
dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme.
Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain
dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka.
Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita
sendiri.
“.........
Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang
lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain)
beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan
merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri.
Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa
atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu
yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila
Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama
agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan”
wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk
pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah
kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama
agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai
bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail
yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel
berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti
Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan
mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya
yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling
menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama
meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya untuk
menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah sampaikah
iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana dengan yang
pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang yang
mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan
yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani,
yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat
lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran
tetaplah satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang
kita sadari, adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi
tetap merasa dan menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang
benar, sementara yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa
seperti itulah yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya
tersesatnya iblis dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk
sujud (tunduk) kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an
sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan
keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah
menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan
akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas
daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya
tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah
dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam
menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut
adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun
itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.
Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar