Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan
masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
|
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi
orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya
sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya
dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini
adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya
memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat
yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai
atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik
dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang
memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan
ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian
dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya
kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan
gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya)
tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan
kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya
sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya
tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari
setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah
menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa.
Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan
kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang
perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh
hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu
kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan
penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan
lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru
sia-sia pada akhirnya.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala
sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut,
sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang
tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam,
makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan
menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS
51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala
sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang
berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan.
Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga,
segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama
lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan,
simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan
sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang
tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh
Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna,
menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan
ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang
dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati
yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat
dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi
terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat
makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya
Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya
tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai
hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang
sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya
sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah,
kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan
bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat
kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun
keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula
akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang
hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Kita telah dapat menerima lapar setelah
kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’
setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus
diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan
lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk
membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas
terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun
sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah
sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai
rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya
mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas
menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah
rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari.
Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah
Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya
yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah
membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan
tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang
membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun
kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa
bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan
untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal
perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan
dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air
(mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon
disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya
itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan
tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan,
tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah
salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran
dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk
dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah
kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan
kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang
secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda
dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian
(islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya
meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada
orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang
alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai
sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila
tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai
makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi
oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan
kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan
sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah
manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi
terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan.
Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa
terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum
bekerja mengendarainya.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana,
kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan,
kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang
lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya.
Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak
ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena
dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun
karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia
sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang
melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan
cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai
kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai.
Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya
belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka,
adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah
diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya
dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang
mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang
kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi,
serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian
datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam
pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah
bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja,
apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak
pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan
bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak
bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya
telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian
kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha
menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah
kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa
yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan
kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk
bekalnya di hari kemudian.
masyaaallah !!
BalasHapus