Bab XIX
MATERI sebagai PENYUSUN
JASAD
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
(QS 31:20)
J
|
ika dalam
setiap partikel penyusun materi, masing-masingnya membawa energi bawaan,
maka tentunya energi dari sebuah unsur, atau molekul, ataupun senyawa kimia
lainnya yang jauh lebih rumit, seperti pada benda-benda, tentu akan membawa
pula energi bawaan yang semakin terkumpul besarnya sesuai persenyawaan
unsur-unsurnya tersebut. Dan adalah manusia, sebagai susunan materi dengan persenyawaan
kimia terumit yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan sel, maka tentunya
membawa energi bawaan yang amat dahsyat. Bayangkan berapa banyak energi
dari apa-apa yang dimakan dan diminumnya yang telah diserap seorang manusia
semenjak lahirnya hingga dewasa? Telah berapa huruf yang keluar dari setiap
pikir dan ucapnya? Telah berapa kilometer gerak langkah kakinya?
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Energi
bawaan tersebut adalah energi yang berasal saat
penciptaan semesta alam, dan terus terbarukan sebagai yang berkembang
karena berinterkasi terus menerus. Seperti telah diulas sebelumnya pada bab
keimanan kepada para malaikat, bahwa pada awal penciptaan, segala sesuatu Allah
ciptakan dari pancaran cahaya-Nya. Cahaya-Nya itulah sebagai energi bawaan
yang merupakan para aparat Allah, sebagai struktur penyusun segala
sesuatu ciptaan-Nya, penyampai dan pembawa pesan serta kehendak-Nya. Cahaya-Nya
yang terpancar terus menerus itulah yang membuat seluruh aparat-Nya tersebut hidup
dan menghidupkan terus berlanjut silih berganti sampai kepada waktu yang
telah ditetapkan-Nya.
Energi-energi atau yang
merupakan juga para aparat-Nya tersebut mengalami perubahan wujud-nya,
dan tugasnya tergantikan oleh energi baru yang terpancar terus menerus tanpa
pernah berhenti melalui cahaya-Nya. Namun energi bawaan tersebut tetap
melekat sekalipun wujud-nya telah berubah menjadi wujud yang lain. Menjadi
makhluk ciptaan-Nya yang lain sebagai rahmat Tuhannya kepada semesta alam.
“Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah Barat (-nya), yang
minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 24:35)
Karena
itulah Dia sebagai Yang Maha Meliputi segala sesuatu, Yang Maha Halus dan
Lembut, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha
Melihat. Sebab seluruh aparat-Nya tersebar kepada segala sesuatu
tersebut di seluruh pelosok langit dan bumi, sedangkan Dia tidak bergantung
kepada seluruh aparat-Nya tersebut, malah mereka-lah yang amat bergantung
kepada-Nya dalam segala hal.
Jasad, yang juga merupakan
kumpulan materi, dari waktu ke waktu mengalami perubahan sampai pada
kematiannya, terurai kembali sebagai unsur-unsur bebas. Dari semenjak di dalam
kandungan, lahir, mengalami masa-masa balita, remaja, dewasa, dan hingga masa
tuanya, sekalipun dengan identitas yang sama, pun mengalami
perubahan-perubahan. Hanya saja sebutannya yang berbeda-beda, masa-masa di
dalam kandungan disebut dengan masa perkembangan janin, masa balita
disebut dengan masa pertumbuhan, masa remaja disebut masa peralihan,
selanjutnya masa pendewasaan, dan di masa-masa akhir disebut dengan masa
senja. Bentuk lahirnya berubah berdasarkan waktu, menjadi tumbuh besar,
berubah gemuk atau kurus, kulitnya semakin gelap atau semakin terang, semakin
mengendur kekencangannya (keriput), dan rambut yang beruban (memutih). Yang
kesemuanya adalah bermakna perubahan wujud. Maka, begitupula dengan jiwanya,
sekalipun karakternya sebagai pribadi tidak berubah, akan tetapi kematangannya
tentu mengalami perubahan menuju kepada perbaikan (penyempurnaan) dari
sebelumnya.
“Dan demi
jiwa dan Yang menyempurnakannya.” (QS 91:7)
Dalam kenyataannya, bukti bahwa setiap materi mengandung energi bawaan,
yang sederhana, seperti air yang dipanaskan. Selain membutuhkan energi untuk
mengurai unsur-unsur penyusunnya, juga menghasilkan energi, seperti untuk
menggerakkan turbin yang dapat berguna bagi kehidupan. Dan sungguh, pada
kelanjutannya mempengaruhi materi di sekitarnya untuk berinteraksi lebih jauh
lagi.
Juga akan semakin dibutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk
mengurai unsur-unsur tersebut menjadi yang lebih kecil lagi, sehingga wujud
materinya berubah atau menghilang dan menyisakan yang tinggal hanya energi yang
dihasilkannnya. Seperti pada proses fisi dan fusi nuklir, maka energi yang
dihasilkannya pun amat jauh lebih besar. Dahsyat.
Seperti itulah proses di permukaan matahari kita. Dimana tidak pernah
terbentuk unsur-unsur yang jauh lebih berat dari Hidrogen dan Helium saja,
karena selalu dilebur seperti memasak air di panci besar yang tertutup rapat
dan api yang terus menyala dengan konstan, sehingga uapnya tidak ada yang
keluar dan hilang, melainkan akan jatuh kembali dan dimasak kembali terus
berulang-ulang. Bayangkan, itu hanya dipermukaannya, tentu di dalam inti
matahari lebih dahsyat lagi. Sedangkan suhu dipermukaannya saja diperkirakan
6000 ⁰ Celcius.
Dan yang terlepas dari proses di permukaan matahari hanyalah pancaran
cahayanya, yang ternyata sedemikian besar manfaat kegunaannya bagi kebutuhan
energi di bumi, sehingga memperkaya bumi. Proses ini adalah sunathullah sebagai
hukum semesta, sebagaimana pada proses awal penciptaan alam semesta yang diawali
oleh pancaran cahaya-Nya. Nur Allah.
Cahaya ada
yang tak terlihat bentuk atau wujudnya, tetapi ada pula beberapa cahaya yang
memiliki warna dan ada pula yang tak memiliki warna alias gelap, kesemuanya
dikarenakan panjang gelombang (gerak partikel)-nya yang mempengaruhinya.
Disebabkan mata lahir kita yang hanya memiliki keterbatasan dalam menerima
panjang gelombang tertentu untuk dapat melihat, dan warna cahaya pun
dipengaruhi oleh panjang gelombangnya.
Energi yang
bersumber dari energi cahaya tersebut tidaklah hilang karena berubah menjadi
materi, melainkan tetap ada sekalipun ‘dia’ telah memiliki wujud baru akibat
interaksi dengan sesamanya dalam membentuk koloni. Wujudnya dapat terlihat
karena telah berkelompok sehingga semakin membesar. Mata telanjang kita takkan
dapat melihat atom sebuah unsur, akan tetapi setelah atom-atom tersebut berkelompok
membentuk senyawa barulah dapat terlihat.
Itupun tidak
pada semua senyawa, pada senyawa dalam bentuk gas tentu kita tak dapat
melihatnya, kecuali hanya mungkin baunya yang tercium untuk dapat diketahui
keberadaannya (seperti pada gas amoniak). Dalam keseharian, kita mengetahui
bahwa air hujan yang turun dari langit merupakan uap-uap air yang tak terlihat
kemudian berkumpul dan saling berinteraksi membentuk koloni awan mendung
setelah berkondensasi dan menimbulkan berat hingga akhirnya jatuh kembali ke bumi
sebagai wujud air hujan.
Energi merupakan bathin-nya,
dan setelah berkoloni kemudian terwujudlah bentuk lahir-nya. Itulah
materi, dimana setiap materi memiliki energi sebagai yang tak terlihat. Yang
perlu digaris bawahi adalah, bahwa materi dapat berubah wujud atau bentuknya
dengan membawa energi bawaan-nya bila ada kodrat dan iradat
yang menentukannya. Dengan kodrat dan iradat itulah bumi dan
langit terbentuk dan kemudian dipisahkan, kemudian di langit yang terlihat
sebagai ruang kosong dibentuk bintang-bintang yang jumlahnya milyaran, serta di
bumi yang sebelumnya mati atau tandus dan kering kemudian
dihamparkan-Nya dengan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai awal mula kehidupan.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya ........” (QS 21:30)
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun
terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat
dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS 41:11-12)
Pada
orang-orang yang percaya ada kekuatan
halus yang dipercaya sebagai ruh atau roh yang tak terlihat (dinamisme)
yang menempati beberapa atau setiap benda (materi). Pemahaman ini benar tetapi
tidak tepat bila tak dimasukkan pula unsur kodrat-iradat yang melekat dan
menentukannya, karena kekuatan halus itulah yang merupakan sumber
keberadaan (mewujudnya) benda atau materi. Bukan telah ada bendanya dahulu baru
kemudian masuk kekuatan halus tersebut. Akan tetapi pada banyak kasus, ada pula
energi-energi yang terpancing masuk kedalam suatu benda oleh energi yang memang
telah ada pada benda tersebut sebelumnya.
Ini bukanlah
hal yang luar biasa, layaknya ilmu yang masuk sebagai pengetahuan kepada diri
kita. Inipun dapat terjadi, tentunya, tidak lepas karena kekuatan energi yang
mempengaruhi benda atau materi tersebut yang telah ditetapkan kodrat dan
iradat-nya.
Energi-energi
yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap
masih memerlukan cahaya sebagai asupan makanan untuk keberlangsungan gerak
hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Seperti
yang telah dijelaskan, bahwa energi tidaklah musnah melainkan hanya mengalami
perubahan wujud sebagai sifat bawaan. Seperti berubah menjadi energi
panas, menjadi energi listrik, menjadi energi bunyi, dan lain-nya yang karena
disebabkan interaksinya dengan energi lainnya, dan inilah yang disebut sebagai gerak
hidup-nya.
Sebenarnya,
begitupun kepada materi sebagai wujud jasad yang membungkus energi, yang
dibilang mati atau terurai, ternyata tidaklah musnah, melainkan mengalami gerak
hidup-nya dengan berubah wujud. Seperti wujud air yang dipanaskan hingga
menguap, materinya terurai berubah wujud menjadi wujud uap (gas), dan akan
kembali kepada wujudnya semula bila suhu yang mempengaruhinya kembali normal
seperti suhu asal saat berwujud cair. Dan perubahan-perubahan wujudnya selalu
memiliki atau membutuhkan waktu.
Maka sumber
energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah, sehingga materi (wujud) segala
sesuatu adalah perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan
kepada yang ghaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan
halus (ghaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba
materi ini. Ya, kekuatan halus (ghaib) yang merupakan aparat Allah yang
menjalankan apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Pada bab sebelumnya tentang keimanan kepada para malaikat,
telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran
cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah
diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah
diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan
segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang
telah diuraikan di atas.
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai ‘sayap’,
masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada
ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 35:1)
Energi-energi
tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat
dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap
penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini.
Kekuatan ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada
penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’
yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan.
Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang
bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya
tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat
kekuatan dibanding yang lainnya.
Dan dalam teori relativitas-nya Albert Einstein disebutkan, bahwa
kecepatan cahaya adalah 300 ribu kilometer per detik. Hal ini mewakili
kecepatan tersebut sebagai kekuatan gerak atau kerja malaikat yang teramat
cepat, bahkan sebelum mata kita sempat berkedip. Bagaimana tidak? Bayangkanlah,
bagaimana cepatnya antara gerak-gerak tubuh kita pada saat kita baru menginginkannya,
atau yang lebih terasa pada gerak reflek kita terhadap sesuatu yang datang
mendadak dan terasa membahayakan diri kita.
“Demi
(malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan
(malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para malaikat
dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam
sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)
Dengan demikian, sesungguhnya energi
yang mendasari pembentukan setiap materi (benda) tersebut adalah sebagai yang
disebut ruh atau para aparat (malaikat) Allah dengan menyandang kodrat
dan iradat-Nya. Termasuk pula pada jasad atau tubuh kita yang terdiri
dari milyaran sel yang berbeda-beda dalam setiap jaringannya dan memiliki
fungsi dan kerja masing-masingnya yang bukan diri kita-lah sebagai yang
mengatur dan memerintahkannya, melainkan adalah karena Dia yang telah
menetapkan dalam suatu qudrat dan iradat-Nya.
“Dan kepunyaan-Nya lah segala yang di langit dan di
bumi. Dan
malikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh
untuk mengabdi kepada-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS 21:19)
Begitulah sesungguhnya keberadaan
malaikat-Nya, sebagai aparat-aparat Allah yang bertugas menjaga dan membantu
kehidupan kemanusiaan. Juga sebagai
makna malaikat yang bersujud kepada kemanusiaan (QS 2:34), bukan
malaikat yang menjadi pembangkang yang tak mau bersujud dan menjadi
disebut iblis, akibat kehendak kemanusiaan sendiri yang lebih
mengutamakan pengakuan (ego)-nya, dan tidak lagi berserah diri (islam)
kepada Tuhannya.
Dan mereka, para aparat Allah ini adalah merupakan energi-enrgi
yang tersebar memenuhi alam raya ini, baik yang kelihatan sebagai materi atau
benda, maupun yang tak kelihatan seperti unsur-unsur gas atau yang lainnya.
Mereka juga sebagai unsur-unsur dasar pembentuk segala sesuatu di semesta alam
raya ini, sebab mereka membawa energi bawaan yang disebut qudrat dan iradat (kuasa
dan kehendak) Allah SWT. Dengan demikian telah menjadi masuk akal-lah
firman-Nya, “..... apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka
Allah hanya cukup berkata kepadanya, kun fa ya kun ( jadilah, lalu jadilah dia).” (QS 3:45-47).
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”(QS 41:53)
Jasad & Ruh
“...... Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat)
tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Dari ayat
inilah timbul pemahaman yang kuat, bahwa kemanusiaan dengan jasad, ruh, dan
jiwa-nya memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan segala sesuatu (materi)
lainnya sebagai makhluk ciptaan, bahkan termasuk dengan para malaikat yang
merupakan aparat Allah yang selalu dekat dan selalu bertasbih memuji-Nya.
Renungkanlah ayat diatas tersebut secara dalam dan seksama, semoga Allah
memberikan hidayah atau petunjuk-Nya agar kita mendapatkan hikmah yang haqq.
Segala sesuatu (materi) dalam
bentuk lahir atau nyata, termasuk materi yang menyusun jasad manusia, memiliki
ruh atau kekuatan (energi) halus yang tidak kasat mata sebagai bentuk
bathinnya. Pada jasad manusia yang multisel tentu dari ujung kaki sampai
ubun-ubunnya memiliki ruh-ruhnya pula. Karena diseluruh tubuh jasad, bukan hanya manusia, yang terdiri dari
sel-sel tersebut adalah tumbuh dan berkembang, juga mati dan tergantikan,
sehingga bermakna hidup. Dan hidup adalah bukti yang menunjukkan keberadaannya
ruh. Ruh inilah yang dimaksud dengan ruh ciptaan Allah. Lain halnya dengan Ruh-Ku seperti bunyi firman ayat di atas. Hal
ini menunjukkan kedekatan Allah terhadap manusia dibanding makhluk atau
benda-benda materi lainnya.
“..... Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS 2:3)
Hal inipun
menegaskan bahwa manusia adalah wakil (waliiy) atau perwujudan-Nya di alam yang
sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Sebagai penebar rahmat Allah kepada sesamanya
(makhluk Allah). Penegasan lainnya adalah gelar Khalifah pada kemanusiaan,
sebagai pemimpin alam ciptaan-Nya ini. Dan perlunya membedakan ruh yang
mendasari setiap materi termasuk pada jasad dengan Ruh-Ku (Ruh Allah) seperti maksud ayat di atas. Karena ada
beberapa kata ruh yang disebut di dalam Al Qur’an dengan makna yang
jelas-jelas berbeda, seperti ruh al quds yang menunjuk kepada malaikat
(jibril), ruh Kami (kata Kami biasanya dimaknai bahwa Allah melibatkan
beberapa makhluk-Nya), dan ruh-Nya.
Bila kita
ingat tentang dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah yang merupakan dosa besar
yang tak terampuni. Tetapi mengapa di dalam ayat tersebut (QS 38:71-72) justru
Dia malah memerintahkan kepada para malaikat untuk tunduk dan bersujud kepada
manusia. Sedangkan kepada mereka (para malaikat) yang menolak tunduk dan
bersujud kepada selain Allah malah disebut iblis dan dikutuk? (QS 2:30
dan 15:35).
Kepada
jasad sebagai materi, dan ruh sebagai yang bathin, tidak
diberi kebebasan seperti kebebasan yang diberikan kepada jiwa. Pada setiap
materi segala sesuatu yang didalamnya (tak terlihat) mengandung energi
bawaan, atau lebih akrab dengan sebutan ruh ini, hanya bekerja
berdasarkan kodrat dan iradat dari yang telah ditetapkan oleh-Nya, karena itu
mereka dapat bertumbuh, bergerak, ataupun berubah wujudnya sekalipun materi itu
banyak disebut sebagai benda mati. Ruh ini pula yang mewakili
sifat-sifat kemalaikatan yang secara sukarela penuh dengan kesucian, ketaatan
dan tunduk patuh, keikhlasan berserah diri, kasih sayang, serta akal sehat.
“Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Nikmat Allah adalah segala sesuatu apa yang berada di langit dan
apa yang berada di bumi, dan segala sesuatu yang merupakan nikmat dari
rahmat-Nya adalah pula memiliki lahir dan bathin-nya. Jadi sebagai rahmat yang
dapat dinikmati lahir dan bathin-nya pula oleh kemanusiaan. Begitulah Allah mengungkapkan
rahmat-Nya, yaitu segala sesuatu di semesta alam ini sebagai yang selain
memiliki wujud lahir, sesungguhnya juga memiliki wujud bathinnya yang adalah
ruh atau energi bawaan sebagai yang membawa kodrat dan iradat-Nya untuk sampai
kepada kemanusiaan sebagai nikmat dari-Nya.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin
sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga
apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah
yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Semakin
kompleks persenyawaan kimia suatu materi maupun makhluk, tentu pula semakin
tinggi kualitas ruh di dalamnya. Hal ini dapat dilihat atau diamati baik kepada
materi-materi yang disebut benda mati maupun terhadap makhluk hidup selain
manusia, apakah itu bakteri yang hanya bersel tunggal maupun yang agak lebih
tinggi seperti tumbuh-tumbuhan, ataupun yang lebih tinggi seperti hewan-hewan.
Yang pasti mereka ini tidak mendapatkan tiupan Ruh-Ku oleh Allah.
Sebenarnya pada jasadnya,
manusia pun mengalami perubahan di setiap masanya. Yang jelas kelihatan
perubahan-perubahannya adalah dari masa bayi ke masa balita, ke masa remaja,
dewasa, kemudian perubahan di masa tuanya. Yang tidak kelihatan secara signifikan
mengalami perubahan hanya identitas pribadinya, yaitu jiwa-nya.
“...... Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS 17:70)
Sehingga
yang membedakan manusia dengan selainnya sebagai makhluk-Nya juga adalah karena
jasadnya atau materi penyusun tubuhnya yang bila telah disempurnakan
kejadiannya maka Ruh-Ku (Ruh Allah) akan bersemayam di dalamnya. Oleh karena itulah Allah
memerintahkan kepada para malaikat seluruhnya untuk tunduk dan bersujud
kepada manusia. Kita telah membahas bagaimana tunduk dan bersujudnya
kemalaikatan, bahkan iblis sebagai yang disebut pembangkang atau musuh yang
nyata bagi manusia pada bab keimanan terrhadap malaikat.
Jasad atau
tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel, yang bermula dari satu sel yang
membawa genre (sifat lahir, wujud atau bentuk rupa) ayah-ibunya. Di dalam rahim
perut ibunya, perkembangan dan pertumbuhannya, sel tersebut membelah diri
menjadi dua sel, dan keduanya kembali membelah diri menjadi empat sel. Begitu
seterusnya, setiap sel hasil pembelahan selalu kembali membelah dirinya hingga
menjadi bermilyar-milyar.
Tidak hanya
membelah saja sel-sel tersebut, di dalam perkembangannya, melainkan pula tumbuh
berkembang menjadi sel-sel yang berbeda bentuk dan fungsinya masing-masing
sesuai kodrat-iradat yang telah ditetapkan kepadanya. Menjadi jaringan yang
membentuk organ-organ hingga anggota tubuh. Sungguh kejadian yang teramat rumit
dan kompleks.
Bayangkanlah, bahkan dalam
setiap harinya, proses-proses setiap segala sesuatu yang sedang berlangsung di
bumi ini, berapa ribu atau juta ibu yang sedang mengandung, yang didalam
perutnya sedang terjadi milyaran proses kejadian pembentukan (penyempurnaan)
bayi manusia. Belum lagi pada hewan-hewan, tumbuhan, hingga kepada
bentuk-bentuk makhluk yang lebih sederhana strukturnya. Pada pergerakan angin
dan awan, serta lain-lainnya. Belum lagi pada keseimbangan semesta yang
terdapat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam milyaran
galaksi. Subbahanallah,
betapa sibuknya Allah dari waktu ke waktu mengatur sekaligus memelihara semesta
alam ini (QS 2:255).
“Semua yang ada di langit dan di
bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan.” (QS 55:29)
Jangankan
untuk dapat menentukan jumlah materi yang mengisi semesta alam ini, untuk
menentukan nilai ukuran besarnya alam ini pun tak pernah ada yang sanggup. Dan
tak akan sanggup. Bahkan nilai ukuran materi terkecil pun tak sanggup, dan
takkan pernah sanggup. Hanya mampu mengatakan “ke-tak-ber-hingga-an” (~), hampir-hampir
penulisannya pun membuat rancu dan membingungkan yang membaca. Ya,
ke-tak-ber-hingga-an besarnya alam ini, atau,
ke-tak-ber-hingga-an kecilnya sebuah partikel sub atomik penyusun
materi.
Itulah
kerumitan yang kita sadari dari membayangkan bentuk lahir yang hanya
terlihat oleh mata, tetapi perlu disadari bahwa Allah mencipta segala sesuatu
selalu dengan pasangannya. Yaitu juga bentuk bathin yang mengiringi
segala sesuatu yang belum kita sadari karena tak terlihat. Bentuk bathin yang
berupa energi (kekuatan)-nya inilah yang menjadikan segala sesuatu adalah
mudah bagi Allah. Kun fa yaakun.
Adalah energi bawaan yang membawa aparat-aparat (malaikat) Allah dalam
menjalankan perintah dari segala kehendak yang telah menjadi ketetapan-Nya.
Di dalam perkembangan dan
pertumbuhannya, kemanusiaan dengan setelah kesempurnaan wujud kejadiannya, dan
selain diliputi oleh sifat ke-Maha Kuasaan Allah, kemanusiaan diliputi pula
sifat ke-Maha Adilan-Nya, maka Dia-pun memberikan kebebasan kepada diri
kemanusiaan (dengan jasad dan ruhnya) berupa jalan kebaikan dan keburukan
sebagai yang hendak dipilih jiwanya. Disinilah mulai berperannya jiwa sebagai
yang bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tentu menunjukkan pula di saat
inilah keberadaan jiwa mulai ada dan terasa pada kemanusiaan.
“..... maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Seiring dengan pertumbuhan
kedewasaanya, jiwa kemanusiaan pun semakin berkembang kepada rasa tanggung
jawab dari setiap pilihannya. Kesulitan, kekurangan, kesedihan, dan yang
sejenis lainnya adalah suatu kondisi penempaan jiwanya, yang kelak,
dapat menjadikannya sebagai termasuk dalam manusia-manusia unggul.
Ya, dengan rahmat keburukan (sebenarnya adalah kebaikan, kelak
sebagai yang akan disadarinya), diri-diri kemanusiaan sesungguhnya sedang
mengalami penyucian atau pemurnian jiwa-nya menuju kepada kesempurnaan. Itulah fitrah
kemanusiaan-nya.
Jasad, Ruh & Jiwa
“Kemudia Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali
bersyukur” (QS 32:9)
Dan cahaya yang merupakan
energi adalah asal dari setiap materi, ternyata terus terbawa sekalipun cahaya
tersebut telah berwujud sebagai materi, bahkan sebagai materi yang bersenyawa
jauh lebih rumit, sehingga menentukan karakteristik-karakteristiknya. Dan pada
manusia, yaitu materi dengan bentuk senyawa sempurna yang jauh teramat
kompleks, maka sebagai penyusun jasadnya pun berlaku. Energi bawaan yang
berkarakter inilah sebagai yang disebut pribadi atau jiwa (aku). Yang sebelum
lahir ke dunia jiwa ini telah mengadakan persaksian dengan Tuhannya akan kodrat
dan iradat yang ditetapkan kepadanya.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Energi yang berkehendak dan berkeinginan, yaitu yang setelah sempurna
keadaannya, bentuk atau wujud kejadiannya di alam, maka memiliki kebutuhan. Dan
saat itulah timbul kehendak serta keinginannnya sebagai aku (ego) yang
sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan angan-angan. Bila sebelumnya, kehendak
dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang
murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini
setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang
dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini
dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat
(merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung
jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.
Pada ayat 9 surah as Sajdah (32) tersebut diatas, maksud Allah dengan
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya,
adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada
jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan
penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan
rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran
yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah
yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat
kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang
menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan
ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan
lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat
mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri
atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada
yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi
(materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi
kehidupan sejati. Tiada pernah
memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa
jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu
bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam
kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain
sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan
memerintahkannya.
Juga tidak hendak memahami
kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan
permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan
pemahaman.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil
berkata), ya Tuhan
kami, tidaklah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)
Kelak setiap
diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan
mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati,
sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan
ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri
kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa
nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Bahkan mereka, diri-diri yang
menuhankan agamanya, yang karena lebih mengutamakan ego kelompok atau
golongannya dengan berlebihan rela melakukan kerusakan malah sampai kepada
saling menumpahkan darah. Bahkan mengatas namakan agama-nya, padahal mereka
telah menerima kitab, dan sebagai
ahli kitab. Manusia manakah yang tidak menerima kitab? Bahkan di dalam
dadanya pun telah ditanamkan kitab-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
“......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
sebagai umat yang satu, tetapi
mereka selalu berselisih pendapat.” (QS 11:118)
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Jelas dan terang sekali keempat
ayat ini menerangkan Bahwa Dia-lah yang memberikan aturan dan jalan yang terang
kepada tiap-tiap umat diantara manusia, dan dengan perbedaan-perbedaan Allah
hendak menguji diri-diri kemanusiaan agar berlomba dalam berbuat KEBAJIKAN,
bukan kerusakan apalagi saling menumpahkan darah. Tidak cukupkah ini
menjelaskan?!
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang
Sabi’in§, siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan
berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka
dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Berhati-hati
dan selalu waspadalah terhadap siasat iblis akan tujuan utamanya untuk
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan hingga hari kiamat (QS 15:35-36). Demikianlah seperti yang digambarkan
firman-Nya di dalam ayat-ayat Al Qur’an
berikut ini pula.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para
malaikat) berkata, mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (QS 2:30)
Di setiap firman-Nya di dalam Al Qur’an, Allah tidak pernah
menyebutkan bahwa Dia meniupkan Ruh-Nya kepada selain manusia. Dan bila lebih
seksama merenungkan dan memahaminya secara mendalam, sesungguhnya Dia
menghendaki manusia agar menjadi wakil-Nya sebagai yang mewujudkan
sifat-sifatNya di bumi. Tidak hanya sekedar sebagai utusan yang membawa
pesan-pesan dari-Nya, tidak pula hanya sekedar sebagai khalifah (pemimpin)
melainkan juga amanah, sebagai perwujudan Dia ar Raahmanur-Rahiiym (Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang), yaitu sebagai khalifah yang saling
menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk-Nya.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Satu hal utama yang harus menjadi
kewaspadaan pada setiap diri kemanusiaan, yaitu terhadap iblis dengan
sifat pembangkangannya terhadap perintah Tuhannya dan sifat takabur (sombong)
yang ternyata amat membuat Allah murka, sehingga sebagai yang terkutuk hingga
hari kiamat (QS 15:35) dengan neraka sebagai ganjarannya, hingga abadilah
kutukan-Nya. Maka hikmahnya adalah, bila diri kemanusiaan melakukan dua sifat
tersebut, sesungguhnya dia telah menciptakan iblis di dalam dirinya
sendiri untuk menjerumuskan kepada kesesatan yang semakin dalam yang amat
membuat Allah murka. Simak kembali bunyi ayatnya, ..... ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah.............. Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, .......
Yang diperintah sujud adalah malaikat,
dan mereka yang tunduk patuh pun bersujud. Sementara mereka (para malaikat)
yang tidak tunduk patuh atau membangkang karena takabur dan sombong, maka disebutlah
sebagai iblis. Dengan demikian, iblis tercipta dari malaikat, yang
sesungguhnya memiliki sifat yang taat dan tunduk patuh pada dasarnya, menjadi
pembangkang dan takabur karena sesungguhnya pula sifat-sifat itu dipengaruhi jiwa
kemanusiaan yang selalu memiliki keinginan dan kebutuhan. Pembangkangan dan
ketakaburannya tertuju kepada diri kemanusiaan, bukan kepada Allah. Jelas
sekali, sebelum diciptakannya Adam mereka senantiasa bertasbih dan memuji serta
mensucikan nama Allah. Dan tak ada kekuatan lain selain kekuatan kehendak Dia,
termasuk kekuatan untuk membangkang dari perintah-Nya. Bagaimana mungkin
aparat-Nya menjadi pembangkang kepada Tuhannya yang Maha Kuasa? Kecuali jiwa
kemanusiaan yang memang telah dianugerahi sifat-sifat Dia, sehingga merasa
memiliki pula kehendak atau keinginan dan kebutuhannya sendiri yang amat
dipengaruhi oleh pengakuan (ego) serta
hawa nafsu-nya. Lihat kembali juga
pada bab keimanan kepada para malaikat sebelumnya.
Sehingga
mereka, diri-diri yang menurutkan hawa nafsu (ego)-nya, maka sesungguhnya,
dirinya sendirilah yang telah menciptakan atau menjadikan malaikat yang
sebelumnya tunduk patuh untuk membantu sebagai aparat-aparatnya, kini menjadi iblis
pembangkang yang justru menjadi musuh
yang menjerumuskan dan merugikan dirinya sendiri.
Sel-sel di
dalam tubuh menjadi tidak bersahabat lagi terhadap satu sama lainya. Mereka
membangkang, kerjanya menyimpang dari yang ditetapkan, membuat kerusakan hingga
terjadi kegagalan sistem (mal function) pada organ tubuh, sehingga,
sesungguhnya, dia sendirilah yang telah menetapkan kodrat-iradat bagi dirinya
di hari kemudian sebagai yang merugikan.
Dalam sebuah
hadits-nya Nabi memperingatkan, bahwa “ada
segumpal daging di dalam tubuh yang apabila rusak maka rusak pula seluruh
tubuhnya, segumpal daging itu ialah hati.” Tentunya hal ini membuktikan betapa
keterkaitan yang amat mempengaruhi antara yang bathin dapat menentukan
kepada yang lahir. Bagaimana hati seseorang yang kotor, yang selalu
menuruti hawa nafsunya, dapat merusak tubuh atau jasadnya. Yaitu penyakit hati
yang dapat menyebabkan penyakit di jasad atau tubuh seseorang. Yang telah
banyak terbukti, tentunya kita sering mendengar tentang penyakit darah tinggi.
Pada skala yang berat, pengaruh pikiran penderita amat berat menekan suasana
hati-nya, maka penyakitnya akan lebih meningkat lagi menjadi stroke yang
menyebabkan kelumpuhan pada beberapa organ tubuhnya, bahkan hingga pada
kematian.
Pikiran kotor yang
berada dalam hatinya ini adalah merupakan kebalikan atau lawan dari berserah
diri (islam) dengan murni atau ikhlas dan rasa syukur nikmat atas setiap
rahmat yang sesungguhnya telah diterima baik yang disadari maupun yang tak
disadarinya. Pikiran-pikiran kotor inilah yang menghalangi mata-hatinya
dalam memandang kebenaran dan kebaikan yang berada dibalik segala sesuatu yang
dilihat mata-lahirnya, yang didengar telinganya, bau yang dicium hidungnya,
rasa yang dikecap lidah dan rabaannya, dan lain sebagainya yang pada akhirnya
dapat menyesatkan dan menjauhkan diri atau jiwanya dari kebenaran yang haqq.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya.” (QS 15:39)
“....... kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS 7:16-17)
“...... pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan
sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari
surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Begitulah
seharusnya memaknai islam (berserah diri), bukan malah sebagai komunitas atau
kelompok agama yang dengan eksklusivitasnya merasa berbeda sehingga tidak lagi
menjadi rahmat bagi semesta alam, dan bahkan malah merusak dan menumpahkan
darah. Memahaminya secara positif adalah
bahwa islam (berserah diri secara ikhlas) merupakan salah satu cara atau jalan
di dalam jalan lurus menuju Tuhan untuk saling berbagi dan menebarkan
rahmat-Nya.
Umat yang dikehendaki Allah
adalah komunitas manusia yang menetapkan keberserah dirian (islam)-nya secara
ikhlas, berlaku lurus dan selalu mensucikan amal perbuatan berupa kebajikan,
serta selalu ingat dan menyadari akan kuasa lindungan dan pemeliharaan Tuhan
Rabb semesta alam.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku
lurus, shalat
(mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang
benar (Diynul
Qayyimaah)”. (QS 98:5)
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik
anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Bahkan Allah membenci orang yang shalat
tetapi amal perbuatan-nya tak mencerminkan shalat-nya. Seolah-olah orang
tersebut tak memahami untuk apa ia melakukan shalat. Seakan tak mengerti lagi,
bahwa shalat adalah agar diri terhindar dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (mengingkari Allah), apalagi seperti perbuatan merusak dan
saling menumpahkan darah.
Mengapa kalimat “perbuatan merusak
dan saling menumpahkan darah” ini berulang-ulang dipakai ketika kita
mengulas umat dan agama? Ini,
tidak lain, karena seringnya terjadi perselisihan yang melibatkan banyak orang
sehingga kerusakannya pun tentu semakin besar. Dan yang paling mudah tersulut
emosi (ego)-nya adalah, dalam kebanyakan kasus, mengatas namakan agama. Dan
sepanjang sejarah peradaban manusia, banyak kejadian yang dilatari oleh isu-isu
keagamaan yang tercatat sebagai tragedi kemanusiaan. Ingat kembali surah al
Baqarah (2) ayat 35, yaitu ...... Mereka (para malaikat) berkata,
mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, ....... Pada ayat tersebut sepertinya Allah
menghendaki agar diri-diri kemanusiaan waspada terhadap perbuatan tersebut yang
menjadi perhatian dan kekhawatiran para malaikat bahwa manusia tidak akan mampu
menghindarinya. Atau kalimat itu merupakan celaan malaikat terhadap
sifat-sifat kemanusiaan? Renungkanlah dengan hati yang tertuju kepada Allah
semata, dan semoga Dia memberikan hikmahnya kepada diri-diri kita. Amin.
Dalam kejiwaan ini, tahapan
kejiwaan mengalami tingkatan-tingkatan yang dilaluinya dalam kehidupannya yang
panjang. Dan sebagai yang perlu diingat dan menjadi dasar pemahaman, bahwa energi
bawaan sebagai yang disebut jiwa, mengalami penyempurnaan seperti
penyempurnaan yang terjadi pada bentuk-bentuk lahirnya, yang berasal dari
partikel kemudian membentuk unsur, kemudian lagi berinteraksi membentuk
senyawa, dan terus menyempurnakan diri-nya sendiri (berdasarkan sunathullah) kepada wujud-wujud yang
lebih kompleks lagi persenyawaan kimianya.
Seperti yang telah diketahui secara umum, tak ada salahnya bila diulas
sekilas sebagai tambahan untuk memahami yang akan diurai selanjutnya.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Dimulai dari tahapannya ketika masih
merupakan materi atau yang disebut benda-benda mati lainnya, sebagai yang
disebut al nafs al ammarah, adalah jiwa yang bekerja
berdasarkan kodrat dan iradat yang telah ditetapkan kepadanya (seperti di awal
bab ini telah diuraikan pula).
Kemudian tahapan kejiwaan berikutnya, al nafs al law-wamah, jiwa yang interaksinya telah dapat merespon lebih variatif
lagi terhadap lingkungannya. Jiwa ini bekerja pada tumbuhan dan hewan.
Berikutnya adalah al nafs al mulham-mah, yaitu jiwa yang dapat merespon lebih jauh lagi dari segala
sesuatu disekelingnya, yang pada awalnya sebagai petunjuk. Kemudian
menimbang-nimbang reaksi yang akan dilakukannya berdasarkan petunjuk tersebut
akan nilai-nilai, baik buruk, untung rugi, dan lain sebagainya.
Kemudian yang terakhir sebagai yang
tertinggi, al nafs al muthmain-nah, adalah merupakan jiwa yang
telah dapat mengendalikan segala sesuatunya demi nilai-nilai luhur.
Keempat tahapan kejiwaan diatas adalah ada yang telah, sedang, dan
akan dilalui setiap kemanusiaan. Dua tahapan yang pertama tentu telah dilalui,
dan yang ketiga kebanyakan umumnya kemanusiaan sedang menjalaninya sebagai
proses menuju tahapan yang terakhir agar dapat kembali pulang kepada
Allah SWT secara sempurna. Dan tahapan-tahapan ini sangat berhubungan dengan
ulasan pada bab berikutnya tentang yang mempengaruhi jiwa kemanusiaan.
§ Umat-umat yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau
sebelum nabi Muhammad SAW, orang-orang yang menyembah bintang atau yang
menyembah dewa-dewa.
(Al
Quran & Terjemah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf
asy-Syarif Medinah Munawwarah – Kerajaan
Saudi Arabia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar