G
|
airah islam yang pada awalnya
menumbuhkan rasa fanatisme agama yang sempit, pada akhirnya kemudian meluas
yang justru membuka dada pada kesadaran wawasan akan keaneka ragaman ciptaan Tuhan,
yang jangankan dapat kita pahami hakekatnya satu per satu, menghitung jumlahnya
sajapun takkan pernah ada yang sanggup. Jadi mengapa mempermasalahkan
perbedaan, bila Tuhan saja menciptakan anjing dan babi sebagai hewan yang
justru untuk diharamkan bagi sebagian kita dengan sebagian yang lain??
Jika dahulu, sejak masa kecilku, aku begitu terobsesi
untuk mengetahui segala hal, maka sekarang, pada masa-masa ini, yaitu masa-masa
transformasi kejiwaanku ini, aku begitu ingin mengetahui apa yang dikehendaki serta maksud tujuan
Tuhanku maka aku terlahir dan menjadi ada di alam ini? Jika sama dengan yang
lainnya, mengapa harus aku? Tentu tidak hanya sekedar terlahir, hidup, dan
kemudian mati. Pasti ada yang tak kuketahui dari apa yang Dia inginkan agar aku
berbuat dalam hidup.
Mengetahui atau menyadari diri ini adalah bagian kecil,
yang mungkin setitiknya pun tidak, dari sistem agung semesta alam raya yang tak
terkira luasnya ini, tak juga membawaku kepada memahami kehendak serta maksud
dan tujuan Tuhan terhadapku. Seandainya dapat kuketahui melalui pengamatan terhadap
apa-apa yang tersebar di alam, apakah mungkin dapat mendekati pemahaman
tersebut? Sedangkan setiap sesuatu diciptakan berbeda, dan saling memiliki
karakteristik yang berbeda, maka tentu memiliki tujuan-tujuan yang berbeda
terhadap satu sama lainnya. Sekalipun dalam satu konsep kehidupan makro dalam
sistem semesta alam raya. Dan sekali lagi, belum dapat menjawab pertanyaan jiwa
bathinku.
Begitu banyaknya, yang kelihatan, makhluk-makhluk, yaitu
diri-diri kemanusiaan, yang bertebaran dan menapaki hidup kehidupan nyata di
alam nyata. Sementara aku, dengan wujud nyataku, bergentayangan di alam nyata,
tetapi hidup dan mengalami kehidupan seperti di dalam bathin, tidak nyata. Apa
yang mereka rasakan tentangku, tidak sama persis seperti yang kurasakan.
Terkadang aku merasakan yang lain dan berbeda, bahkan sudut pandangku pun tidak
seperti umumnya kebanyakan orang. Sehingga aku merasakan keterasingan jiwaku di
dalam keramaian dan hiruk pikuknya dunia. Akan tetapi hal ini tak pernah
kuungkapkan, agar mereka tak menganggapku gila. Dalam kenyataan aku
beradaptasi, tetapi di dalam bathin kumiliki opiniku sendiri.
Ketertarikanku kepada alam turut mewarnai dan membentuk
khasanah pola pikir terhadap adanya saling keterkaitan satu sama lain diantara
segala sesuatunya, sehingga mengarahkan segala pemikiran kepada suatu satu
wujud tunggal, yaitu yang tak lain dan tak bukan adalah Dialah Allah Yang Maha
Tunggal. Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Alam banyak memberiku pemahaman tentang keberadaan dan
kekuasaan-Nya. Kadangkala alam menjadi cermin yang membuatku malu karena
menjadi jelas dan nyata terlihat begitu banyaknya kesalahanku di masa yang
lampau. Alam pula yang menyuruh-ku untuk mencari Wujud Tunggal sumber
dari segala sesuatu baik yang kuketahui, yang belum kuketahui, dan yang sama
sekali tak kuketahui atau tak terpikirkan.
Pernah disadarkannya
pemahamanku oleh beberapa ekor bebek yang sedang riang, sambil berenang dan
kadang menyelam di empang tuan pemiliknya. Riuh rendah suaranya mengusik
perhatianku yang saat itu sedang merenung di siang hari yang panas dan terik.
Hal tersebut membawa kepada pertanyaan, telah cukupkah nikmat yang mereka
terima dalam hidup ini dengan riang gembira dan makanan yang selalu ada, tempat
bermain yang menyenangkan, dan terkadang sesekali, berombongan mereka diajak
berkeliling kampung oleh pemiliknya?
Memang
secara lahiriah itu adalah hal yang biasa, tapi setelah timbul perenungan
kembali ketika disuguhkan telur bebek sebagai pelengkap sajian. Mereka telah
menerima nikmat rizki dari pemiliknya seperti yang dipaparkan di atas, kini
telurnya, cikal bakal keturunannya diambil oleh pemilik dirinya tanpa merasa
sedih dan kehilangan atau bahkan timbul kegaduhan karena rasa tidak senang.
Mereka menjalaninya dengan pasrah, atau mungkin lebih tepatnya adalah berserah
diri kepada pemilik dan pemeliharanya.
Perenungan
itu mengingatkan kembali akan kisah Nabi Ibrahim As ketika mendapatkan perintah
memberikan anaknya sebagai kurban kepada Allah dengan jalan penyembelihan.
Renungkanlah kisahnya, seorang yang telah memasuki masa tuanya dan belum
dikaruniakan keturunan, kemudian setelah harapannya dikabulkan oleh
“pemilik”-nya, dan di saat-saat hatinya sedang berbahagia dengan kehadiran
seorang anak, tiba-tiba datang perintah agar memberikan “pengorbanan” berupa
anak satu-satunya yang baru saja dimilikinya itu. Keyakinan seperti apakah itu?
Setinggi apakah rasa keberserah diriannya terhadap yang sejatinya memiliki,
menguasai, serta memelihara-nya?
Ternyata,
sungguh sudah pasti Allah mengganti atau membalas pengorbanannya tersebut
sebesar maupun sekecil apapun itu. Itulah sejatinya ber-qurban.
Sungguh ini merupakan pelajaran berharga bagi siapapun yang hendak sejatinya
berqurban.
Tentu
tidaklah mungkin kita akan mengalami hal seperti kisah tersebut, akan tetapi
sungguh banyak dan sering kita temui di sekitar kita, yaitu mereka yang
membutuhkan bantuan, sedangkan kita pun merasa pas-pasan, pas hanya tinggal
untuk kita sendiri. Tinggal satu-satunya, lantas bagaimana untuk kita nantinya?
Justru yang
tinggal satu-satunya yang kita miliki itulah yang membuatnya menjadi bernilai
tinggi lagi mulia, kemudian ikhlaskanlah perbuatan itu hanya karena dan untuk
Allah semata. Seperti kisah Ibrahim diatas yang difirmankan Allah sebagai
pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Itulah sejatinya ber-qurban. Kapan lagi
kita dapat berqurban yang sebenar-benarnya berqurban? Kuingat, inti dari ibadah
Haji adalah (dan) ditutup dengan ber-qurban. Sedangkan Rukun Islam
(berserah diri) pun ditutup dengan ibadah Haji. Maka syarat sah-nya muslim
(orang-orang yang telah berserah diri) adalah ikhlas, yaitu amal
perbuatan yang murni hanya karena dan untuk Allah semata.
Sering pula
kulihat dan kualami pada masa-masa sekolah dulu, saat di bus kota yang
berdesakan oleh penumpang, dan ada yang mengalah memberikan tempat duduknya
kepada orang tua atau ibu hamil sebagai bentuk kepedulian bagi yang lemah. Dan
menurutku, itupun sebagai salah satu bentuk pengorbanan. Jadi tegantung
masing-masing diri mendapatkan kesadarannya di saat momen-momen yang dibutuhkan
pengorbanannya sebagai bentuk kepeduliannya terhadap permintaan Tuhannya.
Sekalipun adalah hal sepele, tetapi apa yang akan dikorbankannya adalah yang
tinggal satu-satunya dia miliki, maka nilai pengorbanannya akan menjadi
bernilai tinggi dan mulia.
Apalah arti
berqurban 100 ekor sapi atau unta bagi seorang Raja atau Emir-emir Arab atau
Pengusaha Minyak atau Konglomerat dan para CEO? Apalah artinya berqurban di
kala kita sedang berkelebihan, atau bahkan sebaliknya, menyisihkan seperak demi
seperak setiap harinya untuk ditabung agar dapat membeli kambing atau domba untuk
nantinya saat hari raya Qurban (Idhul Adha), namun, sementara di sekeliling
kita ada yang telah menjerit menahan lapar, ada yang tidak mampu berobat karena
sakit, ada yang anaknya yang belum bayar sekolah, dan lain-lainnya yang telah sangat
terdesak akan kebutuhannya. Ironis!!
Maka
disitulah kita yang berkelebihan ada, di bumi ini, sebagai pelengkap dan perwujudan
DIA Yang Maha Pemurah, Ar Rahman dan Ar Rahiiym. Di situ pulalah fitrah kemanusiaan kita terpanggil untuk
mewujudkan rasa berserah diri (islam) yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Dan bukan
sebagai yang merusak serta saling menumpahkan darah (QS 2:30). Juga bukan
sebagai yang riya (pamer dan sombong) serta enggan memberi bantuan (QS 107:1-7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar