Bab XIV
LURUS (HUNAFA)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama qayyimah, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”,
(QS 30:30)
K
|
embali kepada jalan yang lurus (sirathal mustaqiim)
adalah upaya perbaikan setelah menyadari telah tersesat jalan, agar
tidak semakin jauh tersesat. Memposisikan kembali diri (jiwa) ini pada jalan
asal yang lurus, yaitu agama. Jalan yang membawa setiap insan
kemanusiaan kepada kebenaran, kebaikan, serta keselamatan. Itulah nikmat
sejati dari Tuhan, dan bukan jalan mereka yang sesat serta berbuat
kerusakan.
Bukan agama-agama lain yang
salah dan sesat, tapi justru diri-diri (nafs) kemanusiaannya sendiri yang telah
disesatkan iblis, akibat pengakuan (ego) yang merasa paling benar dan
suci sendiri. Tidak menyadari, bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah keturunan Adam,
yang disempurnakan Tuhan dengan anugerah-anugerah sebagai manusia pertama,
rasul pertama, khalifah pertama, serta ilmu. Bahkan malaikat-pun
diperintahkan-Nya sujud (tunduk) kepadanya. Akan tetapi juga bukan berarti dia
dapat terhindar dari kelalaian yang menyesatkannya melalui pengakuan
(ego) akibat anugerah-anugerah tersebut.
Dengan
agama-lah maka mengembalikan insan kemanusiaan untuk selalu meluruskan
jalan kehidupannya yang mudah sekali terjerumus pada kesesatan yang merugikan
dirinya sendiri. Sedangkan agama adalah jalan atau aturan yang telah tetap
dari Tuhan yang Maha Memelihara seluruh makhluk, diturunkan dari Tuhan sebagai
petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi kehidupan, untuk
meluruskan kembali bagi mereka yang telah keluar jalur kebenaran dan
keselamatan. Semua agama memberi petunjuk kepada kebenaran dan keselamatan yang
sejati dari Tuhannya.
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan
kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada
di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang
berpegang teguh kepada (agama) Allah maka ia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS 3:101)
Tiada yang paling benar.
Yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Benar, sedangkan hanya Dia-lah
yang menurunkan agama-agama melalui kitab-kitab suci (yang telah kita bahas
pada uraian keimanan) yang wajib diimani atau diyakini setiap insan
kemanusiaan. Hak kemanusiaan adalah hanya menerima kehidupan dan
menjalankan apa yang diperintahkan serta menghindari apa yang dilarang
Tuhannya. Sedangkan hak menghukum (sesat atau tidaknya) adalah hak
Allah, sebagai Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Janganlah tergoda
pada keindahan anugerah-anugerah dari Allah, karena disitu pulalah iblis
mengutus setan untuk menjerumuskan kepada kesesatan.
Ingatlah
segala sesuatu yang datang berupa rahmat atau anugerah dari Allah, begitu
sampai di alam, sampai pada diri-diri kemanusiaan, maka akan dipandang dan
dinilainya dalam dua hal. Yaitu kebaikan dan keburukan.
Jangankan agama yang diturunkan-Nya yang masih memerlukan penafsiran
mendalam, pada cahaya matahari saja maka kita sebagai manusia di bumi, akan
menilainya sebagai terang dan gelap. Terang karena tinggal di daerah yang
terkena cahaya matahari, dan bagi yang tinggal di belahan bumi yang lain, dengan
saat dan waktu yang sama, yang diterimanya adalah kegelapan.
“Dan Dia menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan
yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan
bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari
segala apa yang lamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung
nikmat
Allah, tidaklah kamu dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangatlah zhalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah).” (QS 14:33-34)
Begitu juga hujan
sebagai rahmat yang diturunkan-Nya dari langit, diterima sebagai nikmat rahmat
dari Tuhannya karena kebutuhannya, tetapi bagi mereka yang tak membutuhkannya
dapat dirasakannya sebagai musibah atau bencana. Seperti para penjual es,
misalnya. Atau mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, tentu ketakutannya
akan menyelimuti kedatangan rahmat tersebut.
Tidaklah ada sedikitpun
keburukan segala yang datang sebagai rahmat anugerah Tuhan, harus disadari
sebagai amanah yang masih perlu dikelola dalam nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran. Dan sesungguhnya, segala yang datang dari-Nya adalah merupakan
rahmat kebaikan, akan tetapi kemanusiaan selalu menilainya berdasarkan
keinginan dan kebutuhannya, sehingga akan dinilainya sebagai kebaikan
atau keburukan. Bila tak sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka
akan dinilainya sebagai keburukan, dianggapnya Tuhannya sedang menguji atau
mengazabnya dengan keburukan. Akan tetapi, bila yang diterimanya sesuai dengan
keinginan atau kebutuhannya, maka dianggapnyalah sebagai kebaikan, bahwa Tuhan
memberi karunia dan anugerah kepadanya. Begitulah diri-diri kemanusiaan yang
lebih cenderung memaksakan apa-apa yang dianggapnya benar, bahkan kepada apapun
yang datang kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya, semuanya adalah rahmat
kebaikan dari Tuhannya.
Kita akan merasa pas dan
benar bila apa yang kita pakai atau gunakan terasa nyaman, tenang, serta
tentram. Seperti pada pakaian yang kita pakai. Bayangkanlah, andai kita memaksakan
pakaian tersebut untuk dipakai pula kepada orang lain, sekalipun dengan harapan
orang tersebut dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan ketentraman yang sama
dengan kita. Bila tetap dipaksakan, maka kita telah tiada perduli lagi akan kepantasan
(pas) dan kebenaran (haqq) terhadap dan bagi orang lain.
Menyadari kepantasan
(pas) dan kebenaran (haqq) adalah sebagai hal yang relatif bagi
masing-masing individu yang mutlak dan azasi sebagai hak dasar kemanusiaan.
Bila tanpa memandang lagi norma-norma kepantasan dan kebenaran, maka akan
terjadi ketidak seimbangan atau pun kerusakan bila hal ini sebagai yang tetap
dipaksakan. Relativitas yang hendak diseragamkan adalah hanya akan menyebabkan
kesia-siaan belaka. Bukan kebaikan yang akan didapatkan, malah kerusakan yang
ada.
Berlaku lurus sebagai
perwujudan akhlak mulia yang keluar dari dalam diri berupa kesucian dan
kebenaran sejati yang telah ditanamkan Tuhannya sebagai anugerah kepadanya
serta keluar sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya, dalam bentuk
rahmat bagi sesama insan kemanusiaannya serta makhluk lain di sekitarnya. Agama
telah lurus, justru hanya kepada setiap insan kemanusiaannya-lah diharapkan kembali
meluruskan amal perbuatannya sesuai jalan lurus yang terdapat serta
terpapar jelas di dalam petunjuk-petunjuk setiap keagamaan, yaitu meluruskan
segala ucap-nya, meluruskan niat (tekad)-nya, juga meluruskan lampah (amal
perbuatan)-nya. Lurus sesuai dengan jalan lurus yang telah ditetapkan
dalam norma-norma agama, masyarakat (adat), hukum negara, bahkan hak azasi
kemanusiaan, agar memperoleh keselamatan hidup baik kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak.
Meluruskan Ucap
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS 61:2-3)
Ucap yang
keluar dari mulut adalah sebagai cerminan apa yang ada di dalam dada.
Menjaganya agar yang keluar tidak dikotori oleh kesesatan yang dapat merusak
yang mendengarnya. Dengan mensucikan yang berada di dalam dada maka juga akan
mesyucikan pula yang akan keluar dari mulut. Ucap ini melibatkan banyak
para malaikat (lihat kembali pembahasan iman kepada malaikat), yang merupakan energi
suara atau bunyi yang dihasilkan dari energi-energi lainnya. Di dalam tubuh
dari mulai energi makanan yang masuk sebagai konsumsi, kemudian dirubah menjadi
banyak energi, seperti energi panas, energi gerak, energi listrik statis (dalam
berpikir), energi suara atau bunyi dan lain sebagainya. Energi-energi tersebut
tidaklah akan musnah, melainkan hanya berubah bentuk.
Ucap sebagai kata-kata, ucap sebagai
pembicaraan, ucap sebagai berita, ucap sebagai janji, ucap sebagai penghibur,
dan ucap sebagai perintah. Ucap-ucap tersebutlah yang perlu diluruskan karena
bersinggungan langsung dengan sesama insan kemanusiaan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Ungkapan seperti, lidah setajam pedang dan mulut-mu
adalah harimau-mu, merujuk kepada betapa berbahayanya ucap yang tak
terjaga.
Ungkapan
bahwa fitnah adalah perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Yang
sebenarnya adalah pembunuhan terhadap karakter diri seseorang, melalui
ucap yang tak terjaga, tanpa dasar, dan tak dapat dipertanggung jawabkan. Ini
adalah perbuatan yang amat tercela, pengecut, dan hina. Dunia politik tidak
akan pernah terlepas dari perbuatan ini. Kejam tanpa rasa belas kasih. Tiada kawan
sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Ungkapan tersebut adalah kemunafikan
sejati. Tetapi mengapa banyak diri yang tak menghindarinya, bahkan berani
berkecimpung di dalamnya dengan tetap mengatas namakan kepentingan rakyat
banyak.
Ucap diobral
seperti semakin tak ada harganya. Kepentingan yang utama, janji tinggal
bagaimana nanti saja. Seakan tiada lagi rasa malu bila tak dapat menepatinya,
demi sebuah keinginan ataupun ambisi. Seperti jabatan atau kekuasaan sementara.
Seolah-olah, kelak, jabatan atau kekuasaan tersebut tiada akan diminta
pertanggung jawabannya. Ini karena penyesatan iblis yang membuat jabatan atau
kekuasaan tersebut sebagai yang elite, prestise, dan bergengsi
tinggi. Tidak lagi merupakan amanah. Jabatan seperti lambang kemuliaan
tertinggi, yang dikejar-kejar seperti layaknya bisa dibeli. Padahal,
jabatan yang dibeli kelak akan menjerumuskan diri-nya. Tidak
dipahaminya, bahwa jabatannya tersebut adalah anugerah yang juga harus
dipertanggung jawabkan.
Kemudian
seperti iklan produk konsumtif, banyak hal yang dilebih-lebihkan agar produknya
laku. Bahkan menggunakan ustad dan da’i-da’i kondang sebagai bintang iklannya,
tidak lagi memikirkan efek negatif bagi kehidupan sosial umat yang semakin
konsumtif, dan belum lagi buat produk yang dari segi kesehatan amat meragukan.
Kedua hal tersebut, baik ambisi kepada jabatan dan ambisi kepada keuntungan dari
produk iklan, tidak lagi memandang baik-buruknya pesan yang disampaikan sebagai
kebohongan kepada publik. Bahkan hal ini lebih dilegalkan lagi dengan
berdirinya lembaga pendidikan ataupun kursus-kursus yang berhubungan dengan
komunikasi massa yang tidak lagi mengedapankan aspek kebenaran dan kejujuran
sebagai norma yang harus dijunjung tinggi, melainkan target yang
dikejar.
Itulah yang sekarang dikejar
banyak diri kemanusiaan, berani dengan mengeluarkan biaya berapapun, tanpa
berpikir resikonya kelak di kemudian hari. Tanpa menyadari, bahwa amanah
besar tentu memiliki resiko konsekuensi yang besar pula sebagai pertanggung
jawabannya.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba (tamak) kepada
kehidupan
(di dunia), bahkan lebih (loba atau
tamak lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar
diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:96)
Bagaimana
tidak rusak negri ini, bahkan untuk menjadi pegawai negri saja, yang dengan
gaji standar, ada pula yang harus menyuap. Dari posisi puncak hingga
birokrasi di tingkat bawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya
adalah rasa materialistis ikut pula meninggi. Sehingga segala sesuatu akan
dinilai pada materi, bukan lagi kepada rasa tanggung jawab dan pengabdian,
jangankan sebagai abdi Tuhan, sebagai abdi negara, abdi rakyat, ataupun abdi
umat saja sulit. Sungguh kehidupan yang sangat tidak sehat, berpenyakit dan
meluas ke segala aspek, dan semakin kronis lama-kelamaan.
Sungguh
memprihatinkan akibat dari ucapan-ucapan yang diobral para munafik politik dan
saudagar munafik di negri ini. Apalagi bila ada saudagar yang amat berambisi
pada kekuasaan politik kenegaraan. Ucap munafik yang awal akan disusul
kemunafikan berikutnya untuk menutupi kemunafikan sebelumnya. Begitu
terus-menerus, semakin memperparah keadaan.
Pengakuan
(ego) pula kembali yang membuat rusaknya kehidupan tersebut. Karena ucap-Nya
diakui sebagai milik-nya. Siapa yang sesungguhnya memberikan anugerah kepadanya
untuk dapat berucap atau berkata-kata? Siapa yang sesungguhnya
menganugerahkannya tenggorokan dengan pita suara, lidah, dan mulut? Bahkan
tenaga untuk berucap? Bila ini disadari, masih beranikah menyalahgunakan
ucapnya dari amanah yang telah dianugerahkan kepadanya?
Kembalilah
kepada jalan lurus yang telah diamanatkan yang sesungguhnya akan diminta
pertanggung jawabannya, kelak. Sekecil dan sesepele apapun ucapnya memiliki buah
yang akan dituai kelak dikemudian hari sebagai pertanggung jawabannya.
Atau, yang jauh lebih penting untuk di sadari, adalah seberapa besar akibat dan
dampak baik maupun buruknya segala apa yang diucap bagi kebanyakan
orang lain.
Ucap yang diaku
sebagai ucap-nya, yang diaku karena daya kekuatan-nya, yang diaku
karena pengetahuan atau ilmu-nya, maka kelak diri-nya sendirilah yang akan
mempertanggung jawabkan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, diri-nya, bukanlah
yang memiliki atau menguasai alat atau organ pengucap. Jangankan memiliki atau
menguasainya, mengetahui keberadaan dan fungsi-fungsi organnya tersebut pun
tidak. Juga bukan diri-nya yang memiliki pengetahuan atau ilmu sehingga dia
dapat bereaksi dengan pengucapannya. Ilmu dan pengetahuannya pun hanyalah
karena kemurahan Tuhannya memberikan petunjuk kepadanya.
Keinginan
mengucap pun adalah karena kehendak Tuhannya. Bagaimana rasanya memiliki
keinginan mengucap, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya? Dimana
ada kekuasaan yang menahan geraknya untuk dapat berucap. Yaitu, ketika
Tuhannya menahan emosi amarahnya saat sedang berpuasa, misalnya. Atau juga,
karena yang dihadapinya adalah seorang anak kecil yang belum mengerti.
Begitulah sesungguhnya Tuhannya menguasainya. Sesungguhnya Dia-lah yang
meliputi segala sesuatu dengan kuasa, kemurahan, perlindungan dan
pemeliharaan-Nya.
Bila tidak dimulai dari
masing-masing individu untuk berusaha meluruskan kembali kepada
agamanya, tentunya kehidupan bernegaranya akan semakin sakit, yang juga pasti
akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai keluhan-keluhan yang menyulitkan.
Kita pula yang ikut menentukan keterpurukan kehidupan anak cucu kita kelak,
bila tak segera meluruskan kembali kehidupan diri masing-masing kita.
Meluruskan Niat (Tekad)
“...... Dan jika kamu melahirkan apa yang ada
di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu.....” (QS
2:284)
Begitupula kepada niat atau
tekad, tidak terlepas sebagai amanah yang dianugerahkan Tuhan untuk dipakai
dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, juga sebagai yang akan dipertanggung
jawabkannya kelak dikemudian hari. Niat sebagai yang akan keluar dari dirinya
berupa amal perbuatan, sesungguhnyapun adalah akibat dari apa yang datang
kepadanya, sehingga amat bergantung kepada kesadaran rasa yang ada padanya.
Yaitu penilaian baik atau buruknya terhadap apa yang datang kepadanya, maka
respon keluarnya pun akan menentukan kebaikan atau keburukan amal perbuatannya.
Meluruskannya adalah dengan membersihkan dari segala hawa keinginan yang
selain hanya dan kepada Allah semata.
Terkadang niat atau tekad awal,
telah baik dan benar, akan tetapi dalam perjalanannya masuklah godaan setan
sebagai yang diutus iblis, membuat kesesatan menjadi dipandang indah memukau,
sehingga merubah kelurusan niat awal dan menjerumuskannya kepada
perbuatan sesat. Sebelum terlambat terjerumus, maka segerakan meluruskannya
kembali agar tiada sesal dikemudian hari. Ini akan berhubungan erat sekali
dengan pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian wayuqimusshalat dan wayutuzzakata.
Yang sebenarnya dapat menghindarkan diri dari terjerumus kepada kesesatan
akibat bujuk rayu iblis yang intensitasnya amatlah sering, disetiap saat dan kesempatan
tanpa pernah merasa lelah.
Niat
yang berasal dan bersumber dari dalam hati, amat dipengaruhi oleh tingkat
kebersihan hati itu sendiri. Bila di dalam hatinya terdapat kekotoran hawa
nafsu, maka jelas niatnya akan membawa pula kekotoran hawa nafsu tersebut
kedalam amal perbuatannya. Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang dapat
mengotori hati kepada niat yang tidak lagi keluar dalam kemurnian atau
keikhlasan amal perbuatan. Pada saat itulah telah ditetapkan surga dan
nerakanya kelak sebagai yang akan dituainya di hari kemudiannya.
“.... Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat
mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (QS 13:19-21)
Menjaga niat agar tetap dalam
keadaan lurus dengan berlindung kepada Tuhan (ta’awudz), dan mengingat Dia yang
tiada putusnya, serta mensucikan setiap keinginan yang selalu bersih dari bujuk
rayu setan yang selalu menngoda. Pada umumnya, niat awal adalah baik dan benar,
akan tetapi diperjalanannya sering melenceng dari arah semula. Bahkan
bujuk rayu iblis selalu masuk dari pintu-pintu pengakuan (ego), sebagai
unsur yang paling lemah atau rentan dari sifat kemanusiaan.
Tidaklah
jarang pada ibadah pun setan masuk menggoda, seperti dalam ibadah mengerjakan
shalat, niat yang telah terucap adalah lillahi ta’alaa, dan mengakui
dengan ikhlas bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, serta matinya adalah karena
dan untuk Allah pemilik semesta alam, juga mengakui yang pertama berserah diri.
Akan tetapi, masih di dalam shalatnya, terbayang-bayang pekerjaan yang masih
menumpuk untuk segera diselesaikan, atau hal-hal dunia lainnya yang sungguh
membuat niat dan keikhlasannya menjadi tidak mempunyai arti sama sekali. Belum
lagi, amal perbuatan setelah shalat, yang menyimpang jauh dari makna
shalat-nya. Shalat terus dilakukan, maksiat pun jalan terus.
“Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS
107:1-7)
Shalat yang tak terjaga kelurusannya,
yaitu dari niatnya, kemudian kepada mengeluarkannya dalam bentuk amal
perbuatannya yang menjadi tidak lurus lagi, berbuat riya (pengakuan) dan
enggan memberi bantuan kepada sesama. Celakanya lagi, hal tersebut oleh Allah
disebut sebagai perbuatan mendustakan agama. Jelas itupun
mendustakan Tuhannya. Inilah kemunafikan yang nyata, tetapi tak disadari banyak
insan kemanusiaan dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan syirik,
menyekutukan Tuhan.
“..........sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena)
Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada
sekutu bagiNya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama berserah diri (islam).”
(QS 6:162-163)
Kemunafikan
yang tak disadari ini, apakah dikarenakan tidak memahami makna shalat
dan tidak pula memahami makna ayat tersebut di atas? Dan jika demikian
adanya, maka jelaslah bahwa pengakuan (ego) masih melekat pada hatinya,
sehingga mudah sekali melupakan janjinya kepada Tuhannya dalam setiap
shalatnya. Pengakuan (ego) yang melekat kuat di hatinya inilah yang menutupi
kesadaran (ingat)-nya pada janji-janji kepada Tuhannya sebagai orang yang
pertama-tama berserah diri (islam) secara ikhlas dalam setiap shalat,
ibadah, hidup dan matinya.
Itulah lurus yang
dikehendaki-Nya, yaitu lurus dalam ucapnya ketika di dalam shalat
sebagai niat-nya, dan lurus pula yang dikeluarkan dalam amal
perbuatannya. Sungguh tak pantaslah kita bersikap munafik kepada Allah
Yang Maha Mengetahui, bahkan mengetahui segala isi di dalam hati seluruh
makhluk-Nya. Tiadalah yang dapat luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya yang
meliputi segala sesuatu sekalipun tersembunyi di dalam kedalaman hati yang
paling dalam.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan
diminta pertanggung jawaban.” (QS 17:36)
Bila
demikian adanya, maka keimanannya perlu diperkokoh kembali. Bagaimana mungkin
melakukan shalat tetapi tak memahami maknanya, tak memahami untuk
apa melakukannya, juga tak memahami kepada siapa sesungguhnya
pengabdiannya ditujukan.
Tidak hanya pada shalat,
melainkan juga ibadah-ibadah, kehidupan dan kematian-nya pun sebagai yang akan
dipertanggung jawabkannya, karena itu, seperti penjelasan ayat di atas, bahwa
segala sesuatu harus dipahami dulu maknanya, baru mengerjakannya, sehingga akan
lebih berserah diri (islam) secara ikhlas kepada Dia yang menghendaki
diri-diri kemanusiaan menyadari fitrah-nya. Yaitu, sebagai perwujudan
Tuhan di muka bumi, yang saling menyebarkan rahmat Tuhannya kepada
sesama, rahmatan lil’aalamiiyn.
Meluruskan Amal Perbuatan (Lampah)
Bila pada
ucap dan niat telah berada pada kelurusan, yaitu kebaikan dan kebenaran, maka
tinggal membuktikan kepada amal perbuatannya. Dapat pulakah lurus
seperti pada ucap dan niatnya yang merupakan lebih seperti janji yang perlu
dibuktikan kenyataannya?
Perbuatan
yang lurus adalah perbuatan yang menjadi rahmat bagi sesama. Dan menyadari
bukan pula diri kita yang sebagai pemilik rahmat, melainkan Allah-lah
sesungguhnya sebagai pemilik rahmat yang menganugerahkannya kepada diri kita,
dan kemudian merupakan kewajiban
menyebarkan kembali ke sesama sebagai wujud rasa syukur atas nikmat
anugerah-Nya.
Amal perbuatan yang didasari selalu
ingat kepada Allah dan kesucian atau kemurnian (ikhlas) pasti akan
membuat amal perbuatannya tetap berada pada jalan lurus, yaitu sesuai
agama sebagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Maka keselamatan akan selalu
mengiringi setiap langkah dalam amal perbuatannya. Allah akan mengingat mereka
yang ingat dan ikhlas kepada-Nya, sehingga amal perbuatannya akan selalu
terjaga dan terlindungi dari bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan kepada
amal perbuatan sesat, dikarenakan Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan Pemelihara.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Upaya
penyesatan yang dilakukan iblis dengan bujuk rayunya, tidak akan berpengaruh
kepada mereka yang ikhlas dalam amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah
karena mereka selalu mengingat dan diingati Allah. Orang-orang
yang telah ikhlas (mukhlisiin) adalah orang-orang yang telah diimunisasi,
dan telah kebal dari pengaruh penyesatan iblis, maka tiada penyakit
di hatinya.
Padahal
iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri kemanusiaan (terutama yang ikhlas),
dia hanya merangsang angan-angan keinginan diri atau jiwa. Dikuatkannya
keinginan tersebut melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan
indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi
harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun
dapat terwujud kepada jiwa-jiwa kemanusiaan yang berpaling dari jalan Allah
yang lurus. Karena itu diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan
dalam setiap amal perbuatannya, agar
tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada
kehinaan dirinya.
Bila kita mengalami bencana
atau musibah yang telah menyusahkan diri atau jiwa kita, maka berkacalah
terhadap amal perbuatan yang telah lalu. Bila telah menemukan
kesalahan-kesalahan tersebut, bersyukurlah. Yang pertama, karena telah
diberi ingatan untuk menyadari kesalahan sehingga mendapatkan pelajaran untuk
tak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Yang kedua, kita telah
diberi kesempatan menebus kesalahan tersebut sebagai hisabnya, yaitu dengan
mengalami musibah ini. Yang ketiga, adalah karena kita masih diberi kesempatan
untuk mencapai insan yang sempurna.
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali
(dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya?” (QS 75: 2-3)
Kesalahan
dalam amal perbuatan buruk merupakan penyesatan iblis, dalam banyak kasus,
bukan tidak mungkin bila kita tersesat maka akan membuat kita semakin tersesat
lebih jauh lagi, bila tak segera menyadarinya. Karena itu bersyukurlah bagi
mereka yang telah dapat menyadari kesalahannya, agar tak semakin salah.
Kesalahan yang semakin bertumpuk sungguh amat berat hisab-nya.
Betapa nikmatnya hidup di dalam
kehidupan lurus yang tak tertuntut keinginan dan kebutuhan yang berlebihan dari
yang semestinya diterima. Ketahuilah, kelebihan yang dipaksakan di satu
sisi akan menjadi yang mengurangi pada sisi lainnya, sebagai keseimbangan
yang telah ditetapkan (sunathullah)-Nya.
Lihat dan perhatikanlah, diri yang menjaga amal perbuatannya tetap
dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya,
tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga
lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya,
menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan
kembali kepada dirinya sendiri. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal
disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan
disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Orang-orang seperti
inilah yang menolak kejahatan dengan menggunakan kebaikan, maka
iklim kehidupan pun menjadi sejuk, serta membawa ketenangan, kedamaian, dan
ketentraman kehidupan bersama.
“Dan, orang-orang yang sabar dalam
mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan
shalat,
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi
atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir”.
(QS 13:22)
Orang seperti
ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya dan menciptakan
situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam
disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa
disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda atau makhluk lainnya adalah
makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Sebagai rahmatan lil’aalamiiyn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar