Bab XIII
MEREKA yang IKHLAS
(Mukhlis)
“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda
(kekuasaan)-Nya dan menurunkan rezeki untukmu dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).
Maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama-Nya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai-(nya).”
(QS
40:13-14)
C
|
ukuplah bagi setiap diri insan kemanusiaan mencapai tahap ini, yaitu
tingkat keikhlasan berserah diri (islam) dalam setiap niat dan
amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang
didasari oleh kokohnya keimanan. Biarkanlah tahap-tahap selanjutnya berjalan
berdasarkan kehendak Dia Yang Maha Pemurah menganugerahkan kepada diri-nya.
karena mereka yang ikhlas telah lepas dari segala macam bentuk keinginan,
sekalipun keinginan tersebut mulia kebaikannya. Sehingga, telah lepasnya
segala bentuk keinginan dari jiwa adalah kemuliaan itu sendiri.
Ada
kejaran-kejaran lainnya yang sungguh menggiurkan bagi para pencari,
seperti tahap tarikhat, hakikat, ma’rifat, dan hikmah, namun kehendak Dia
pulalah yang menentukan segalanya. Akan tetapi, sama sekali, kita tidak akan
menyentuh kejaran tahap berikutnya tersebut, mungkin di waktu-waktu yang lain,
insya Allah, barulah kita akan dapat mengulasnya. Sekali lagi, menjaga
kokohnya keimanan dan keikhlasan berserah diri adalah hal yang amat mutlak,
yang bila hal tersebut sampai terjadi kelalaian, maka pengakuan
(ego)-lah yang akan meruntuhkannya.
Jangankan harapan menerima anugerah mencapai tahap-tahap kejaran
selanjutnya tersebut di atas, jiwa-nya akan kerepotan sendiri dan disibukkan
oleh kebutuhan ego-nya tersebut. Itulah makanya banyak ulama yang
menyarankan memulai langkah tahapan kejaran dari kekokohan syariat,
sehingga tidak akan tersesat. Tetapi, apalagi yang dibutuhkan jiwa-jiwa yang
telah ikhlas, selain telah lenyapnya segala bentuk keinginan? Sesungguhnya,
tahapan kejaran tersebut, akan datang dengan sendirinya atas kehendak Allah
sebagai petunjuk, bila jiwa ini memang telah siap menerimanya. Dan hanya Dia
yang mengetahui jiwa-jiwa yang telah siap, serta hanya dengan kehendak Dia pula
kepada siapa hendak diberikan.
“..... Laa
Quwwata illaa BILLAH (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Kembali
kepada makna, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala
kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang
luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena
diberikan oleh-Nya. Maka kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya akan menjaga
keinginan tersebut tetap sebagai kehendak-Nya. Dan yang lebih mulia
adalah terhindar dari segala bentuk keinginan yang ternyata beresiko
menjerumuskan kepada kesesatan. Pada setiap keinginan tersebutlah
sesungguhnya iblis ikut menumpang sambil membawa bujuk rayu penyesatan
yang dikemas agar terkesan indah pada pandangan.
Apakah tidak
menjadikan orang-orang yang apatis bila telah tidak memiliki keinginan?
Pertanyaan seperti ini pasti akan timbul dan menyebabkan kekhawatiran, seolah
telah ikut pula menggerus kembali kokohnya keimanan yang telah dibangun.
Hal ini menjadi perlu diluruskan karena keinginan yang dapat menyesatkan, lebih
jauhnya, adalah keinginan yang didasari atau dipengaruhi oleh kebutuhan. Belum
lagi keinginan, yang dalam perjalanannya, dipengaruhi oleh angan-angan menggoda
dan menggiurkan yang diperlihatkan iblis sebagai pemandangan yang indah.
Agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlanjut, maka akan
dibuka kembali makna-makna yang sebelumnya telah terurai dan dibahas
sebelum-belumnya, namun mungkin masih belum lengkap menuntaskan sehingga
ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah ada bahasan
baru. Hal tersebut merupakan kewajaran yang lumrah dan juga ada pada
ketetapan-Nya (sunathullah), yaitu betapa luasnya ilmu Allah, tak terkira dan
terhitung. Membuka yang satu, maka akan ada kebutuhan untuk membuka yang
lainnya, begitu seterusnya tanpa pernah tiada lagi yang tak bisa lagi dibuka
atau telah terpenuhi. Sebab Dia-lah Allahu Akbar.
Sebagai dasar
pijakan pertama adalah, bahwa keinginan bukanlah niat. Jangan
diidentikkan keduanya sebagai yang satu makna. Niat yang mengawali segala amal
perbuatan, dan masih bathin berada di dalam kalbu, sehingga membuat umumnya
niat adalah selalu suci atau bersih, yang dapat mengotorinya justru keinginan
yang hadir kemudian, menambahkan. Karena itu pula ada ungkapan, kembalilah
ke niat awal.
Sedangkan
keinginan, yang hadir kemudian, selalu dipengaruhi pikiran-pikiran yang
tersimpan di dalam memorinya, dan kekotorannya adalah karena kebutuhan-kebutuhan
yang secara tiba-tiba ikut pula hadir. Memori pikiran yang mempengaruhi dapat
berupa ketakutan, keserakahan, ingin dipuji, dan lain-lainnya sebagai yang
pernah terekam di dalam otak-nya.
Dan keinginan ini dapat hadir pula sebelum niat telah
menjadi amal perbuatan yang diwujudkan. Tetapi, yang jelas, setelah adanya
niat. Itulah mengapa keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan
kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Jadi, bukanlah dilarang,
melainkan diarahkan agar tetap terjaga dan terkendali. Inilah yang dimaksud
dengan nafs al
mutma’innah, sebagai jiwa yang tenang terkendali, bukan yang justru
dikendalikan oleh keinginan.
Dasar pijakan kedua adalah, keinginan
merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan perlu diingat kembali,
bahwa setiap anugerah-Nya bukanlah hibah kepemilikan, dan tetap akan
diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sehingga keinginan harus terjaga
kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya,
serta membawa kepada amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya.
Sebagai rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
Dasar pijakan ketiga adalah, tanpa keinginan
bukan berarti tidak dapat mewujudkan niat. Seringkali, justru jiwa yang telah
memiliki niat malah dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang dapat membelokkan
niat awalnya. Padahal yang utama adalah niat-nya yang sebagai penentu
mewujudnya amal perbuatan, serta penentu baik atau buruk hari kemudian-nya.
Bila telah terkontaminasi kekotoran keinginan yang menyesatkan, maka
amal perbuatannya pun akan ikut terkotori, pada akhirnya, di hari
kemudian-nya, dia akan membawa beban-beban pembersihan akibat kekotoran
tersebut.
Bila kita
kembalikan kepada kitab, firman Tuhan, yang menyatakan haramnya khamar
(sebagai yang memabukkan), dikarenakan lebih banyak mudharat daripada
manfaatnya, maka demikian pula dengan keinginan. Dapat pula memabukkan
dan menyesatkan, bahkan bahkan akibat dampaknya pun adalah dapat merugikan
orang lain, selain dirinya sendiri sebagai pelakunya.
Banyak
sekali contoh-contoh dimana niat mulia pada awalnya, dapat dibelokkan
atau disesatkan oleh keinginan-keinginan, seperti pada halnya para politikus
yang pada niat awal-nya mulia dengan mengatas namakan rakyat, akan tetapi
setelah dalam perjalanannya dapat dibelokkan oleh keinginan-keinginan yang
datang kemudian akibat kebutuhan atau terlena oleh empuknya kursi jabatannya.
Seperti para pedagang yang tergiur keuntungan kemudian menimbun saat mengetahui
akan terjadi kenaikan harga. Karyawan atau pegawai negri yang terpaksa korupsi
akibat dibelokkan keinginan dari kebutuhan-kebutuhan yang datang kemudian, yang
membiaskan dari niat awal yang mulia, yaitu bekerja demi keluarga.
Kembalikan keinginan
sebagai yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai
kehendak-Nya. Karena sesungguhnya, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya.
Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia.
Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya
adalah karena diberikan oleh-Nya. Demikianlah wujud keikhlasan dalam berserah
diri (islam).
“........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Itulah
bahayanya keinginan yang tiada terkendali. Dan pada umumnya, keinginan
tersebut ditimbulkan oleh ketakutan. Sedangkan rasa takut dapat timbul
karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena
ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami
kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan
turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat
serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat
menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan
kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin
seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?
Tidak pula bersedih hati, bagi
mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya,
mereka-mereka yang bersedih hati adalah karena tidak tercapai keinginan-nya.
Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka
dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut.
Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan
lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita
adalah Allahu
raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang.
Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan setiap
diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah
yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima (sebagai hari
kemudian). Artinya, segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu
kebaikan atau keburukan, adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya)
jerih payah kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada
saat ini. Tentunya ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum
diterima (dituai) saat ini dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan
kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya
berserah diri kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya
berserah diri ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan
keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju
keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia)
maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
Sekedar
untuk mengingatkan agar menggugah syaraf-syaraf kesadaran kita. Maka
bayangkanlah, bila amal perbuatan kebaikan yang tidak disertai rasa
ikhlas, seperti sekolah untuk menuntut ilmu, menjadi guru untuk mendidik,
bekerja untuk keluarga, menjadi penegak hukum untuk keadilan, menjadi pemimpin
untuk mereka yang dipimpin. Tentulah hasilnya bisa ditebak dengan mudah, maka
akan terjadi hidup kehidupan yang tidak murah dan tidak sehat, bahkan saling
menularkan seperti halnya wabah penyakit. Sesungguhnya itu sebagai yang
kembali lagi kepada masing-masing diri-nya sebagai hasil yang dituai, dan biaya
hidup kehidupan yang mahal dan berpenyakit tersebut, ternyata,
mereka sendirilah yang menciptakannya.
Bayangkanlah
betapa telah menjadi mahalnya kehidupan sekarang ini, seperti di terminal, di
stasiun, atau di pasar sebagai fasilitas umum, untuk buang air kecil saja harus
bayar. Parkir kendaraan pun begitu, sekalipun hendak berbelanja yang jelas
mengeluarkan biaya. Untuk berdagang di emperan pasar saja, terkena bayaran
retribusi, belum lagi pungutan lainnya seperti preman. Bahkan untuk pengurusan
izin-izin dan surat-surat yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan,
selalu ada pungutan-pungutan tambahan. Tentunya hal ini akan menular,
karena biasa ditodong, maka sekarang gantian, diri-nya pun akan menodong, karena tuntutan kebutuhan biaya hidupnya yang
telah tinggi akibat sering ditodong.
Maka hal ini
akan menular terus, seperti harga-harga pun akan terus cenderung menaik
akibat terus meningginya pula biaya-biaya penodongan tersebut. Dan ternyata,
itu kembali lagi kepada masing-masingnya menjadi seperti proses siklus penodongan,
hanya saja biayanya terus meninggi. Sebenarnya bukan masalah tinggi biayanya,
akan tetapi nilai kebaikan dan kebenaran sebagai moralitas hidup kehidupannya
yang menjadi rusak. Keikhlasan berbuat telah sirna tergantikan tuntutan
kebutuhan. Sportivitas kehidupan hilang dan hanya meninggalkan saling
sikut-sana sikut-sini. Bapak dibohongi anaknya, suami dibohongi istrinya, bos
dibohongi kacungnya, pembeli dibohongi penjual, pencari keadilan dibohongi
penegak keadilan, begitupun sebaliknya. Semua saling membohongi demi
memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginannya. Itulah bukti telah sakit-nya
kehidupan saat ini.
Begitu
reformasi bergulir, dan segala permasalahan dibuka seluas-luas dan
sebebas-bebasnya oleh media, yang terkadang pula tak jarang berlebihan dalam
penyajiannya, dari mulai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pungli, pemerasan,
premanisme, bahkan sampai kepada bahayanya narkoba, maka seperti bom waktu
yang baru saja meletus. Banyak pengamat dadakan yang bermunculan yang
angkat bicara tidak hanya di televisi, akan tetapi juga, malah sampai
warung-warung kopi di setiap sudut jalan, hingga sebagai pembuka obrolan antar
tetangga.
Tidak hanya
itu, para da’i dan ulama pun, di setiap ceramahnya, juga tidak lupa untuk
mengangkat hal ini, seolah-olah ini adalah hal yang baru yang sebelumnya tak
pernah ada, dan seolah juga ini tak berhubungan dengan pembentukan moral umat
di waktu-waktu yang lalu. Ya, semua komponen dan semua profesi bertanggung
jawab, bahkan seluruh masyarakat warga negara adalah pelaku sekaligus korban.
Karena massif dan kompleks-nya kerusakan yang telah terjadi di
negri ini, bahkan korbannya pun kepada anak keturunan yang belum lahir ke dunia
inipun kelak akan merasakannya.
Sekarang,
begitu hukum hendak ditegakkan, kerusakan hendak diperbaiki, dan permasalahan
bangsa hendak diselesaikan, yang ada malah kebingungan, terjadilah saling
tuding satu sama lain. Sistem yang ada menjadi kambing hitam, dan
undang-undang pun terasa perlu direvisi, hingga timbul wacana hukuman mati
untuk dikenakan kepada para perusak yang telah mengacak-ngacak negri ini.
Hukuman mati
bukanlah hal yang tabu bila harus digunakan pada kondisi negara seperti
ini, yang sedang dalam keadaan darurat begini. Tapi jika para penentu kebijakan
negri ini dapat arif dan bijaksana hendak menyelesaikan dan dapat melihat
permasalahan sesungguhnya secara murni dan jernih, dan tidak sebagai yang malah
ikut terjebak dalam kubangan kesalahan kolektif di negri ini, yang
sesungguhnya justru hendak menyelamatkan jiwa-jiwa warga negaranya dari kebangkrutan
moral yang telah menyebabkan parahnya keadaan ini, maka hendaklah dimulai
dari pembenahan moral bangsa. Yaitu moral masing-masing diri.
Dan
dimulailah dari diri sendiri, hingga kemudian dapat menjadi teladan bagi
keluarga, kemudian bagi lingkungan sekitar sampai hingga jauh ke yang lebih
luas lagi. Barulah para penentu kebijakan, yang juga sebagai pemimpin menjadi
layak sebagai pemimpin yang membawa teladan, kemudian mengajak seluruh komponen
secara massal untuk membenahi moral bagi seluruh warganya.
Bila ada
anggapan, bahwa hal ini tentu telah dilakukan para da’i dan ulama yang telah
berperilaku sempurna dan mulia sebagai teladan dan sebagai penyampai ajaran
lurus. Apakah benar begitu? Buktinya keadaan malah bertambah parah setelah
reformasi?
Ya, tidak
hanya da’i dan ulama yang bertanggung jawab atas keadaan ini, melainkan setiap
diri bangsa. Apapun profesinya. Bahkan termasuk dengan insan pers yang membuka
seluas-luasnya yang membuat seluruh masyarakat sadar bahwa dirinya pun kini
sedang berada di dalam kubangan.
Sayangnya, mereka kebanyakan tak menyadari bahwa diri-dirinya pun ternyata
sebagai yang berperan ikut membangun kubangan tersebut, di dalam kesalahan
kolektif yang merusak negrinya sendiri.
Maka, bila
sebelumnya, mereka saling
todong sebagai sebab, kini yang mereka hadapi adalah saling tuding
yang sebagai salah satu akibat selain akibat lainnya, yaitu mengalami mahalnya
kehidupan sehari-harinya. Disinilah, di alam dunia ini, kita mengalami hari
kemudian yang termasuk di dalamnya pula sebagai hari pembalasan dari
setiap amal perbuatan kita sebelumnya. Sadarilah, apakah bayi-bayi yang
sekarang berada dalam kandungan tidak ikut merasakan kesulitan? Ingatlah,
banyak kasus balita yang kekurangan gizi di beberapa daerah. Maka bila kita
hendak menyadari dan memperbaiki, maka segeralah kembali dengan memperbaiki
moral kita masing-masing, karena sesungguhnya apa yang kita perbuat jelas
sekali berdampak kepada banyak lainnya, sekecil apapun itu. Sekalipun sebagai
yang ditodong, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pelayanan yang cepat
dari birokrasi. Anak keturunan kitapun akan merasakan akibatnya.
Dan begitu
pula bila amal perbuatan tersebut di atas telah disertai keikhlasan-nya, namun
diperjalanannya dapat masuk pula keinginan-keinginan yang dapat mengotori dan
melunturkan keikhlasan-nya. Tentu akibatnya adalah seperti yang terurai di
atas. Maka adalah kewajiban setiap diri kitalah untuk memulai kembali
mengkokohkan keimanan, kembali kepada jalan lurus (agama), serta memurnikan
(keikhlasan) berserah diri dalam setiap gerak amal perbuatan sebagai usaha
memperbaiki keadaan kehidupan yang bila kita selami, baik di sekitar kita,
maupun sampai kepada wilayah yang jauh lebih luas, telah sangat memprihatinkan.
Bukan
(hanya) karena kemiskinan atau kekurangan gizi, bukan karena sulitnya lapangan
pekerjaan, bukan karena tingginya angka kriminalitas, bukan karena maraknya
premanisme yang bahkan dengan mengatas namakan agama, serta bukan karena
korupsi yang merajalela di setiap lini kehidupan. Juga bukan pula (hanya)
karena banyaknya bencana yang menimpa sebagai balasan atau azab, akan tetapi
hanya lebih kepada sekedar usaha memperbaiki keadaan kehidupan demi
kehidupan ke depan, dimana semua keturunan kita pun akan hidup menetap,
juga sebagai hari kemudian kita, tentunya.
Kepuasan dalam memenuhi
keinginan dan kebutuhan tidak akan pernah tercapai dalam kehidupan dunia ini,
yang ada malah tersesat oleh angan-angan keinginan dan kebutuhannya tersebut.
Perut kita pun hanya cukup menampung sepiring dua piring makanan. Bila
berlebihan pun, malah menjadikannya penyakit yang merepotkan sendiri. Begitu
pula pada keinginan banyaknya harta benda, yang justru malah kembali kepada
dirinya sebagai yang meresahkan hati dan jiwa-nya. Juga kepada keinginan
memiliki wanita atau istri-istri, maka akan selalu ditemui wanita-wanita yang
lebih muda, cantik, serta selalu menarik perhatiannya, tiada akan pernah ada
habisnya. Termasuk pula pada kekuasaan, tidak akan pernah ada kekuasaan yang
sejatinya benar-benar berkuasa dan akan terus selamanya dimiliki, tetap saja
makhluk memiliki keterbatasan. Keterbatasannya itulah yang tak disadari,
sementara keinginan hati menghendaki lebih. Inilah yang dimaksud Allah dengan
firman-Nya sebagai berikut.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
......”. (QS 4:171)
Anugerah-anugerah
tersebut sesungguhnya adalah fana, berubah-ubah, atau hampa bila didasari atau
dimulai oleh keinginan, apalagi kebutuhan, maka bukan nikmat yang datang,
melainkan akan menjadi bumerang, yang akan kembali kepada dirinya membawa
setumpuk masalah lain yang amat menyusahkan jiwanya sendiri. Akan menjadi lain,
terasa nikmatnya serta membawa kedamaian dan ketentraman, bila
anugerah-anugerah tersebut memang diterimanya bukan karena usaha memenuhi
keinginan dan kebutuhannya, melainkan menyadari bahwa anugerah tersebut
merupakan amanah, dan dengan keikhlasan berserah diri menjalankan atau
mengelolanya secara bertanggung jawab pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Keikhlasan
bentuk kemurnian segala amal perbuatan yang terbebas dari kontaminasi akibat
kekotoran yang menyertai amal perbuatan tersebut. Di alam ini, bahkan seluruh
rahmat Allah Yang Maha Pemurah yang berupa nikmat kebaikan, begitu
sampai kepada diri kemanusiaan, maka terbias menjadi dua hal yang berpasangan.
Begitulah kemanusiaan selalu menilainya, yaitu nikmat kebaikan dan keburukan.
Bila sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, maka disebutlah rahmat tersebut
sebagai nikmat kebaikan. Sedangkan bila bertolak belakang dengan keinginannya,
maka yang datang dari Tuhannya tersebut disebut sebagai azab atau keburukan.
Mereka
inilah yang tak dapat menyadari bahwa dirinyalah yang telah berlebihan dalam
berharap dan berkeinginan, atau berlebihan dalam perbuatan yang tidak berada
dalam kehendak-Nya. Sehingga harapan dan kenyataannya bagai jauh panggang
dari api. Segala sesuatu telah Allah tentukan kadar-kadarnya sebagai
keseimbangan yang pasti terjaga keadilannya. Karena itu, ketika mereka
berlebihan dalam menerima rahmat Allah tersebut, maka kelebihan-nya
tersebut pasti kembali kepada dirinya sebagai keburukan.
Dimulai dari
keikhlasan berserah diri dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang
terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang dilandasi oleh kokohnya
keimanan adalah sebagai jalan bagi masing diri yang hendak memperbaiki keadaan ini.
Tidaklah mungkin untuk mengandalkan pemimpin-pemimpin untuk dapat mengubah
keadaan ini untuk menjadi lebih baik, apalagi mengharapkan perubahan yang
sekejapan mata. Hanya dengan memperbaiki akhlak masing-masing diri, kemudian
saling mengingatkan yang juga dimulai dari ruang lingkup yang lebih kecil
dahulu, seperti keluarga, maka insya Allah, perlahan tapi pasti, akan semakin
berkembang menular pula tetapi dalam arti kebaikan, yaitu sebagai teladan.
Dan pada akhirnya dapat memperbaiki keadaan kehidupan semesta yang sehat,
terpuji, dan mulia sebab diri-diri kita adalah perwujudan dari Dia Yang Maha
Terpuji dan Maha Mulia.
Sehingga, paling tidak, kita
telah menciptakan lingkungan yang layak dan sehat, serta dipenuhi diri-diri
yang berakhlak terpuji dan mulia, sebagai diri-diri yang jujur, terpercaya,
disiplin, dan teguh pendirian pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Maka
tiada lagi kekhawatiran pada hari kemudian, kelak. Dengan demikian, jiwa
kita telah mendapatkan ketenangan dan ketentraman, serta siap kapanpun, bila
telah tiba waktunya, untuk kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik
segala sesuatu, termasuk dengan kebersihan jiwa dan jasad-nya, ilay’ihi raji’un.
Inilah makna sesungguhnya keikhlasan dalam berserah diri (islam) dengan
menyusuri setiap langkah demi langkah dari jalan lurus (agama)-Nya,
yaitu diynul
qayyimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar