BAGIAN 3
KEMBALI kepada AGAMA ALLAH
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat
(mengingat Allah yang tiada putus), dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”
(QS 98:5)
T
|
idak hanya satu agama yang ada di dunia ini, belum lagi agama-agama
tersebut pun terbagi-bagi kepada sekte-sekte ajaran yang lebih eksklusif lagi. Tentu
ini karena perkembangan pola pikir para pemeluknya yang dinamis dari masa ke
masa, atau mungkin pula karena kesamaan pikir, kesamaan nasib, kesamaan
geografis asal, dan lain sebagainya. Yang jelas telah dapat diterima hati dan
jiwanya, sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi
diri (jiwa)-nya.
Tidak dapat
dipungkiri oleh siapapun, sesungguhnya agama-agama tersebut, tentunya
diturunkan hanya oleh Yang Maha Tunggal sebagai suatu ajaran tunggal
yang menuju keselamatan
hidup di dunia dan kelak di akhirat (hari kemudian).
Hanya saja, karena disebabkan
perbedaan tempat atau wilayah, waktu atau masa, serta kaum atau umat yang
memiliki adat istiadat yang berbeda, kondisi situasi masalah yang berbeda,
sampai kepada geografisnya pun berbeda, maka menyebabkan pula
perbedaan-perbedaan dari segi bahasa, kepentingan yang diutamakan, dan
kenyamanan pada ritual keagamaannya, sehingga makin memperlebar serta semakin
menjauhi perbedaan-perbedaan awalnya. Kemudian dalam perkembangannya, semakin
dinamisnya pemikiran para pendeta atau ulamanya dalam menerjamahkan hukum-hukum
bagi kehidupan umatnya, maka semakin memperlebar lagi perbedaan-perbedaan
diantara masing-masing agama tersebut.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang
Nasrani, orang-orang
Sabi’in
(sebelum agama samawi yang meyakini adanya Allah), siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan
berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada
rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Ayat ini
jelas menegaskan bahwa nama atau sebutan agama-agama yang ada, memiliki ketunggalan
ajaran, petunjuk, atau jalan lurus dari Dia (Tuhan) yang sesungguhnya sebagai
sumber asalnya. Hanya karena pengakuan (ego) insan kemanusiaan yang
merasa memiliki, maka eksklusivitas semakin dilebih-lebihkan dari merasa yang
paling benar, yang paling lurus, dan yang paling diridhai Tuhannya, agama
selain agamanya adalah adalah agama yang sesat dan menyesatkan.
Sehingga dapat
menimbulkan benih-benih persaingan, kecemburuan, riya, dan kesombongan yang
merupakan hasil penyesatan iblis. Sungguh ironis, tanpa disadari, ternyata diri
kita telah jauh keluar dari jalan lurus-Nya. Seolah, telah sulit untuk
kembali lagi. Seperti telah mendarah daging, superioritas, eksklusifitas,
nasionalisme sempit, etnis, kepentingan golongan, dan kesombongan adalah
sebab-sebab timbulnya perbedaan-perbedaan yang semakin membuat kemanusiaan
semakin menjauhi makna ketunggalan umat, ketunggalan ajaran
dan ketunggalan tujuan, sehingga semakin terjerumus pada keserakahan dan
ketamakan untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan hawa nafsunya. Yaitu
kenyang sendiri, makmur dan kaya sendiri, hebat sendiri, berkuasa sendiri, dan
lain sebagainya yang lebih menjadikannya bersifat individualistis.
Pada bagian
pertama kitab ini telah diulas, bahwa karena di alam, maka kemanusiaan dalam
menilai segala sesuatu rahmat Tuhannya yang sesungguhnya adalah rahmat tunggal
berupa kebaikan, selalu beragam dan berbeda-beda, termasuk rahmat petunjuk
agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan bagi kemanusiaan. Sehingga menjadi
timbullah berbagai macam persepsi tentang agama yang mengakibatkan timbulnya
cabang-cabang bahkan ranting-ranting, disebutlah semuanya sebagai sekte-sekte
atau aliran-aliran dalam agama.
Hal tersebut
tidaklah lepas dari sejarah panjang perilaku dan pola penyebaran kehidupan
kemanusiaan yang tersebar ke seluruh penjuru bumi. Semakin lama, maka semakin
terpisahlah mereka dengan pola perilaku dan dari ajaran agama bawaan asalnya,
karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan
lingkungan asalnya. Perbedaan waktu, temperatur dan iklim, lingkungan
geografis, makanan, dan lain sebagainya adalah sebagai yang ikut mempengaruhi
bias-bias tersebut dari ajaran agama asal yang sesungguhnya adalah ajaran agama
yang tunggal (sama).
Oleh sebab
itulah Allah pun kembali mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mereka dan
keadaan baru mereka bila telah menyimpang jauh dari ajaran asal-nya, dengan
segala kemudahan-kemudahan sebagai penyesuaiannya. Para rasul dan nabi tersebut
adalah orang-orang pilihan-Nya dari kaum mereka sendiri, dengan bahasa dan
kebiasaan yang sama dengan mereka. Tidak jarang Allah mengutus beberapa orang
rasul dan nabi-Nya sekaligus dalam masa atau waktu yang sama, dan tempat atau
wilayah serta kaum yang berbeda, seperti nabi Ibrahim dan nabi Luth. Dan juga
pada masa nabi Musa dan Syua’ib (juga Khidir). Serta waktu atau masa yang sama
dengan wilayah yang sama pula, seperti nabi Musa dan nabi Harun, nabi Yahya dan
nabi Isa. Yang kesemuanya mereka adalah sebagai pembawa dan penyampai ajaran
agama yang tunggal (sama) dari Allah SWT.
Jika kemanusiaan menolak
ketunggalan (kesamaan) ajaran agama tersebut, maka dia menolak ajaran agama dan
Tuhannya sendiri. Satu kesatuan ajaran agama dari semenjak Adam AS, sebagai
bapak kemanusiaan, hingga Muhammad SAW dengan membawa dan menyampaikan al
Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata sebagai penyempurna nabi (khataman nabiyyin)
dan agama Allah, maka siapapun yang
mengingkarinya, sesungguhnya dia telah mengingkari akal kesadarannya sendiri.
Dengan demikian, dia telah menciptakan batas antara dirinya dengan kebenaran
sejati dari Tuhannya.
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada
apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (QS 2:136)
Kisah
nabi-nabi dari mulai Ibrahim AS sampai Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al
Qur’an, yang merupakan sejarah yang berhubungan erat kaitannya dalam memaknai
bahwa ternyata agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah suatu ajaran tunggal
dari Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu berserah diri (islam).
Dimulai
ketika Ibrahim berselisih dengan ayah dan kaumnya sehingga terusir dari
negrinya. Beliau dan istrinya (Siti Sarah) pun kemudian harus hidup
berpindah-pindah (nomaden) bersama ternak-ternaknya, hingga akhirnya sempat
menetap di negri Mesir. Disanalah beliau mendapatkan karunia hadiah, sebagai
permintaan maaf fir’aun yang tidak mengetahui bahwa Siti Sarah adalah istri
Ibrahim, yang sempat hendak diperistri olehnya. Selain memperoleh ternak-ternak
yang banyak, fir’aun pun menghadihi seorang budak wanita (Siti Hajjar),
yang sebenarnya adalah putri raja yang dikalahkan fir’aun raja Mesir. Kemudian
beliau pun berpindah lagi dari Mesir, dan kemudian hingga menetap di Palestina.
Sampai pada masa tuanya,
Ibrahim belum pula dikaruniai anak, hingga tercetuslah keinginan Siti Sarah
agar suaminya, Ibrahim menikahi Siti Hajjar, untuk mendapatkan keturunan.
Inilah awal dari sejarah dua bangsa yang pada akhirnya selama ribuan tahun
selalu dalam perseteruan, sampai sekarang. Yaitu bangsa Arab sebagai anak
keturunan Ismail anak Ibrahim dari Siti Hajjar, dan bangsa Israel anak
keturunan Yaqub (Isra’il) cucu Ibrahim dari Ishak yang merupakan garis anak
keturunan dari Siti Sarah.
“..... Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan
membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah bani Israil (pergi) bersama aku.” (QS 7:105)
Perseteruan tersebut dimulai
ketika bani Israil setelah keluar dari Mesir di bawa oleh nabi Musa AS kembali
ke Palestina, tanah leluhurnya karena perintah Allah, makam Ibrahim sebagai
kakek moyangnya, juga di situ. Akan tetapi tanah tersebut telah dihuni bangsa
Palestina karena telah lama, ratusan tahun, ditinggal bani Israil sejak
kepergian seluruh keluarga Yaqub (Isra’il) AS ke negri Mesir untuk menemui
Yusuf AS, dan akhirnya menetap di sana selama ratusan tahun hingga populasi
keluarga ini menjadi besar saat nabi Musa AS mengeluarkan mereka dari bumi
Mesir, sehingga pantaslah mereka disebut ‘bani’ atau bangsa dari anak
keturunan Isra’il (Yaqub).
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Seandainya
pada masa itu telah ada surat-menyurat bukti kepemilikan tanah, mungkin akan
menjadi lain jalannya sejarah mereka. Begitulah ketetapan Allah, dan mereka
pun, bani Israil, menganggap tanah Palestina tersebut sebagai tanah yang dijanjikan
Tuhannya, padahal Allah hanya memerintahkan masuk dan tinggal kembali di tanah
itu sebagai pendatang, bukan masuk ke negri itu, lantas mengusir penduduknya.
Tanah yang telah ditinggal selama ratusan tahun, dan saat hendak pulang kembali
ternyata telah dihuni oleh orang-orang lain. Belum tentu pula bila mereka, bani
Israil memiliki surat-surat bukti kepemilikan tanah, tetapi karena telah
meninggalkannya selama ratusan tahun, akan memudahkannya untuk mendapatkan
kembali haknya.
Coba
renungkan, jika kita bisa berlaku adil dan jujur dengan hati yang terbuka, maka
lebih kuat mana surat bukti kepemilikan tanah dengan firman Tuhan
(QS 5:21) yang menghendaki mereka kembali lagi dan tinggal di tanah tersebut?
Tentu akan diterima dengan tangan terbuka jika mereka masuk dengan baik-baik
sebagai pendatang.
Tentulah
mereka pun menghendaki firman Tuhan tersebut menjadi kenyataan, seperti kita,
umat muslim, menghendaki pergi haji sebagai panggilan dan perintah Tuhan, atau
kepada perintah-perintah dan larangan-Nya yang lainnnya sebagai wujud tunduk
patuh (islam) kepada-Nya. Jika kemanusiaan telah memahami ini dengan hati
yang dilapangkan, dan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, maka
tentu akan terjadi kedamaian di tanah Palestina tersebut.
Tetapi Allah berkehendak lain,
Dia sesatkan mereka yang menyukai kesesatan. Bahkan terjadi kejahatan-kejahatan
pada mereka yang juga menyukai kejahatan. Dengan watak dan tabiat buruk bani
Isra’il maka Allah menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya di tanah itu,
Palestina yang selalu membara dan berdarah diperebutkan oleh bangsa-bangsa
keturunan Ibrahim. Hidup bersama dalam perbedaan adalah yang harus diterima
setiap segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, termasuk
kemanusiaan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan
mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang
zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
AGAMA YAHUDI
Bani Israil, yang pada saat
mulanya adalah hanyalah terdiri dari keluarga Yaqub dengan kedua belas anaknya,
yang berpindah pergi ke Mesir akibat musim kemarau yang panjang dan menimbulkan
kelaparan di seluruh wilayah Afrika Utara, Semenanjung Tanah Arab hingga Syria,
termasuk pula Palestina tempat keluarga Yaqub (Isra’il, sebagai nama
lainnya) bermukim. Kemudian karena Yusuf telah sukses dan menjadi bendahara
kerajaan Mesir, maka diboyonglah seluruh keluarganya, ayah-ibunya serta
kakak-kakak dan adiknya untuk tinggal menetap di Mesir selama ratusan tahun,
sampai mereka beranak-pinak memiliki keturunan yang banyak.
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu
mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenali mereka, sedang mereka tidak
kenal (lagi) kepadanya.........” (QS 12:58)
Di dalam Al
Qur’an, kisah-kisah Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman,
Zakariya, dan Yahya hingga Isa sesungguhnya berkesinambungan sebagai alur
cerita yang bersejarah yang menyangkut kepada ajaran tunggal agama-agama
Yahudi, Nasrani dan Islam yang merupakan dari Allah Yang Maha Tunggal. Dan
kisah-kisah masa lalu yang bersejarah tersebut pun amat mempengaruhi jalannya
kehidupan sekarang ini dan kedepannya, betapa telah menjadikan tragedi
kemanusiaan selama ribuan tahun.
Keterikatan antar mereka, dari
semenjak Yaqub sampai masa Isa, sebagai anak keturunan Yaqub amatlah kuat,
karena mereka selalu disatukan. Hal ini terbukti dengan diutusnya Musa
mengeluarkan mereka dari bumi Mesir ke Palestina, kemudian Musa membuat 12
sumur untuk suku-suku mereka yang berdasarkan dari keturunan dua belas anak
Yaqub. Kemudian pada masa Daud yang mempersatukan mereka dalam sebuah negara
atau kerajaan, sebagai bangsa yang telah memiliki pemerintahannya. Juga pada
masa Isa, sekali lagi mereka telah tercerai berai, dan Isa mendapat tugas
mengumpulkan mereka dengan mengangkat 12 murid atau sahabat-sahabatnya (hawariyun)
sesuai berdasarkan wakil-wakil yang diambil dari 12 suku bani Isra’il
(keturunan dari 12 anak Yaqub).
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Kami berfirman:
Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap
suku telah mengetahui tempat minumnya.........” (QS 2:60)
Kedua belas anak Yaqub (Isra’il) adalah dari keempat
istrinya yang kemudian menjadi suku bangsa Israel. Rincian nama-nama mereka
adalah :
·
Dari istri pertamanya Liah yang
melahirkan :
1.
Raubin
2.
Syam’un
3.
Lawi (atau Levi, dari dialah garis keturunan
Musa)
4.
Yahuza (Yahudi, dari dialah sebutan Yahudi pun
menjadi lebih populer)
5.
Yassakir
6.
Zabulun
·
Dari istri keduanya Rahil (Rahel)
yang melahirkan :
7.
Yusuf dan
8.
Benyamin
·
Dari istri ketiga Zilfah yang melahirkan
:
9.
Jad dan
10.
Asyir
·
Dari istri keempat Bilhah yang melahirkan
11.
Dan
12. Naftali
Namun Yaqub begitu kentara terlihat amat menyayangi Yusuf dan Benyamin
yang dilahirkan dari Rahil yang cantik dan paling dicintai dari istri-istri
yang lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi kakak-kakaknya.
Tanah
Palestina yang strategis secara geografis, sebagai yang disebut tidak di Timur dan
tidak di Barat (QS 24:35), dan sebagai titik pertemuan tiga benua, Asia,
Eropa dan Afrika. Juga secara ekonomi akibat pengaruh lima imperium besar pada
masa setiap masa peradaban kemanusiaan, yaitu Romawi, Persia, Mesir, Babylonia,
dan China. Berdasarkan letaknya yang strategis itulah, maka wilayahnya selalu
menjadi ajang perseteruan, baik dari penduduk di dalamnya sendiri maupun yang
datang dari luar. Seperti, kekuasaan imperium-imperium besar dunia di masa
itu, imperium Mesir, imperium Persia, Babylonia,
imperium Roma. Dan kemudian kekhalifahan Islam, disusul lagi oleh bersatunya
kerajaan-kerajaan Eropa pun tertarik untuk dapat menguasai tanah di wilayah ini
yang. Apalagi setelah Napoleon membangun terusan Suez yang dapat memotong jauh
lebih singkat perjalanan laut dari Eropa untuk mencapai ke Asia Timur bahkan
sampai ke Nusantara. Bila telah memahami kesatuan alur cerita tersebut maka
kita akan melihat melalui hati kita sebuah pelajaran kehidupan yang bernilai
tinggi.
Bani Isra’il amat terobsesi
oleh 2 hal dari pernyataan (firman) Tuhan yang menyebutkan bahwa mereka
adalah umat (bangsa) yang terpilih (QS
2:47) dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada
mereka (QS 5:21). Dan kedua hal tersebut telah mengaburkan hal-hal lainnya
dalam satu kesatuan ajaran yang disampaikan nabi-nabi dari kalangan mereka
sendiri, bahkan tak segan mereka melakukan perbuatan yang dilarang Allah demi
tercapainya 2 obsesi tersebut, walaupun harus melakukan persekongkolan jahat
sampai kepada pembunuhan dan pembantaian. Termasuk terhadap nabi-nabi dan
rasul-rasul utusan Tuhan yang mereka anggap menghalangi obsesi mereka.
“Hai bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan bahwasanya Aku
telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS 2:47)
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Juga membuat
karya-karya sastra (sifir-sifir), yang kemudian dipaksakan kepada kaumnya
dengan mengatakan bahwa karya-karya itu adalah bagian dari firman-firman Tuhan
(Taurat) yang tercecer dan sempat hilang, untuk menggalang persatuan diantara
mereka. Inilah yang dicela oleh Allah, bahwa mereka telah mengubah dengan
menambah-nambahkan serta mengurang-ngurangi isi kitab Allah.
Watak dan
tabiat mereka tersebut amat mempengaruhi kehidupan keagamaan mereka, dan
bukanlah agama yang justru membentuk watak dan tabiat mereka. Watak tabiat
mereka yang kejam telah terbentuk sejak Yaqub masih hidup dan Yusuf serta
Benyamin masih kanak-kanak, seperti yang dikisahkan di dalam Al Qur’an
bagaimana Yusuf dibuang oleh mereka, kakak-kakaknya sendiri, dan dibiarkan
nasibnya tak menentu dan dianggap telah mati.
Nasib Yusuf
kanak-kanak yang tragis itu, ternyata tak seburuk perkiraan, ternyata dia
ditemukan kafilah pedagang yang hendak pergi ke Mesir. Sekalipun dia diambil
dan dijual sebagai budak belian di Mesir, bahkan harus masuk dan mengalami
hidup di penjara selama beberapa tahun, namun karena kesabaran dan ketawakalan
terhadap Tuhannnya, akhirnya diapun mencapai kemuliaan yang tinggi. Dipercaya
raja Mesir untuk mengelola perbendaharaan pangan negri Mesir (semacam kepala
Bulog).
Pada mulanya mereka hidup dalam
kemewahan bangsawan kerajaan Mesir, karena jasa Yusuf menakwilkan mimpi raja
Mesir (Fira’un) maka hanya Mesir-lah satu-satunya negri yang siap menghadapi
kemarau panjang selama 7 tahun. Seperti yang dikisahkan dalam Al Qur’an.
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada
kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS 12:46)
“Yusuf berkata : Supaya mereka bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasanya, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit
untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa
yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit (sebagai bibit) dari yang kamu
simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS 12:47-49)
Begitulah
bani Isra’il ikut menikmati kemewahan hidup berkat jasa Yusuf yang tak menaruh
dendam kepada saudara-saudaranya yang telah berlaku keji kepadanya.
Akan tetapi,
setelah ratusan tahun lamanya, ternyata situasi politik negri itu
akhirnya berubah. Rupanya raja Mesir yang memerintah saat Yusuf mengalami
kemewahan adalah bagian dari rezim penjajah dari kaum Amalik Hyksos (Babylonia,
sekarang Yordania tetangga Palestina). Situasi pun berubah, setelah penguasa
selanjutnya yang memimpin Mesir kemudian adalah kaum pribumi Mesir yang telah
berhasil mengusir penjajah mereka. Maka begitupun nasib keluarga besar Yaqub,
bani Isra’il, berubah pula menjadi dibawah tekanan pribumi kemudian dijadikan
bangsa budak, karena dianggap sebagai antek penjajah. Padahal mereka
hanya diuntungkan, oleh situasi dan kondisi pada waktu sebelumnya sebagai
warga kelas dua. Layaknya etnis keturunan Tionghoa, India dan Arab pada masa
kolonial Belanda di Nusantara.
Pernah pula
mereka melakukan perlawanan bawah tanah atau pemberontakan, namun selalu
digagalkan. Dan karena hal tersebutlah mereka semakin ditekan dan ditindas
rezim Fira’un dengan keluarnya kebijakan pembunuhan setiap bayi
laki-laki bani Isra’il yang lahir untuk memutus mata rantai perlawanan mereka
yang selalu menyusahkan rakyat Mesir dengan keburukan dan kejahatan watak
tabiat mereka. Seperti di masa penjajahan sebelumnya, mereka sangat menguasai
perekonomian dan moneter yang amat menekan pribumi, karena keserakahan dan
ketamakan akan materi kehidupan dunia. Hal ini persis seperti yang mereka
lakukan di Jerman dari masa sebelum Perang Dunia ke I hinggga sebelum Perang
Dunia ke II, yang membuat Adolf Hitler pun merasa geram seperti geramnya
Fira’un, sehingga terjadilah genosida terhadap bangsa Yahudi. Begitulah watak
dan tabiat bani Isra’il tak pernah dapat berubah, walaupun ribuan tahun telah
berlalu.
Kita kembali kepada alur
kisahnya. Setelah exodus oleh nabi Musa dan nabi Harun terhadap bani Israil
keluar dari bumi Mesir dan dari cengkeraman Fir’aun, pernah pula mereka
melakukan penghianatan terhadap perjanjian dengan Tuhannya. Yaitu, pada saat
peristirahatan perjalanan mereka menuju Palestina, ketika Musa bermunajat di
bukit Thursina selama 40 malam, kebiasaan lama mereka kambuh lagi dengan
membuat dan menyembah berhala sembahan berupa patung anak sapi yang disepuh
dengan emas. Nabi Musa pun turun dengan marah, setelah mengetahui dari Allah
atas perbuatan mereka. Akibat peristiwa ini terjadilah dua kubu yang
menimbulkan perseteruan berdarah, yaitu yang setia kepada Allah dan nabi-Nya
melawan para penentang-Nya yang lebih menyukai penyembahan berhala, dan
terjadilah perang saudara diantara mereka sendiri yang menimbulkan korban jiwa
hingga ribuan nyawa melayang.
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Kemudian, setelah kejadian
tersebut, dan setiba mereka disekitar luar wilayah Palestina, terjadi kembali
keingkaran mereka terhadap perintah Tuhannya, dan lebih menyukai hidup
terkatung-katung diluar sekitar wilayah Palestina yang panas dan kering selama
40 tahun. Bahkan hingga wafatnya nabi Musa, mereka masih belum bisa masuk ke
wilayah Palestina, karena takut menghadapi perlawanan, dan tak adanya keimanan
terhadap perintah Tuhannya (QS 5:21).
“Mereka berkata, hai Musa, sesungguhnya di dalam negri itu ada orang-orang yang gagah
perkasa, sesungguhnya kami
tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, pastilah kami akan
memasukinya.” (QS 5:22)
Bahkan mereka mengecam Musa dan Harun karena hidup terlantar
di padang pasir, seperti bunyi kutipan dari sifir Khuruj 317 (yang
dianggap bagian dari Taurat oleh bani Isra’il) mereka di bawah ini,
· Alangkah
baiknya kalau kami mati saja di bumi Mesir itu, karena kami dapat senantiasa
akan dapat duduk di sisi periuk daging dan makan roti sehingga kenyang. Kamu
berdualah yang telah mengeluarkan kami dari kemewahan kepada penderitaan,
karena kamu berdua hendak membunuh bangsa kami dalam kelaparan.
·
Di sebagian padang pasir itu tidak dapat
ditemukan air. Maka seluruh rakyat pun mengecam Musa dan menentang dengan
berani. Mereka berkata : Mengapa kamu singkirkan kami dari bumi Mesir dengan
tujuan hendak membunuh kami, anak-anak kami dan binatang ternak kami dengan
kehausan.
Sepeninggal
Musa, mereka benar-benar dalam kesesatan tanpa bimbingan nabi utusan Allah.
Telah kita ketahui sebelumnya, dengan keberadaan nabi Musa diantara mereka yang
tegas dan berwibawa saja, mereka, telah banyak dan berani melanggar perjanjian
dengan Tuhannya, tentu apalagi tanpa beliau. Masa-masa setelah beliau, mereka
hanya dipimpin oleh ketua-ketua yang diangkat berdasarkan suku-suku mereka.
Di dalam sifir
Yusya, ishah 6, disebutkan, bahwa mereka bani Isra’il melakukan
pembantaian massal terhadap penduduk kampung atau kota kecil bernama Ariha
untuk mendudukinya, setelah melalui cara-cara pengintaian (spionase) oleh
Yusya’ bin Nun yang diangkat mereka sebagai pengganti Musa dan tinggal bersama
keluarga perempuan pelacur bernama Rahab di kampung tersebut.
Dengan
peristiwa tersebut, maka penduduk di sekitar kota itu menjadi lebih
berhati-hati terhadap mereka, sehingga mereka pun tak lebih menguasai kecuali
hanya daerah-daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan belum sampai kepada tanah
yang dijanjikan. Karena mereka mendapati perlawanan dan peperangan kecil
yang tak kunjung padam dari kabilah-kabilah di sekitar wilayah Palestina
seperti suku Moab dan sebagian kecil penduduk Madyan.
Samuel yang
dianggap sebagai orang suci mereka, diminta untuk mengangkat seorang raja
diantara mereka, sekalipun dikatakan kepada mereka belum waktunya bagi mereka,
namun mereka tetap memaksa hendak memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa
lain. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sifir Samuel I, ishah
8.
Akhirnya
dinobatkanlah Saul (yang disebut Talut dalam QS 2:249), yang kemudian banyak
melakukan peperangan yang gagah berani. Dan adalah Daud sebagai bagian dari
tentara pasukannya yang berjasa dan menjadi pahlawan dalam suatu peperangan
melawan Palestina yang dipimpin Jalalabat (Jalut) yang terbunuh pada
pertempuran tersebut, dalam sifir Samuel I ishah 17. Namun terjadi
persaingan antara raja Saul dengan Daud, karena kecemburuannya. Akibat
persaingan itu, menjadi lemahlah kekuatan kerajaan Saul, dan diambil kesempatan
oleh orang-orang Palestina, sehingga Saul pun terbunuh dalam pertempuran
tersebut.
Daud menjadi
pemimpin dan dinobatkan menjadi raja setelah mematahkan perlawanan Ishbosheth
bin Saul bersama panglima tentara ayahnya, dan setelah itu, barulah seluruh
wilayah Palestina dapat mereka rebut dan duduki sebagai wilayah negrinya yang
berdaulat. Padahal pemerintahan Daud dan Sulaiman dapat kuat karena diuntungkan
oleh situasi dan kondisi melemahnya ketegangan antara tiga imperium besar
Romawi, Mesir, dan Persia pada masa-masa tersebut. Tetapi lebih sering mereka
dirugikan, karena posisi tanah tersebut yang terjepit berada di tengah-tengah
ajang pertempuran ketiga imperium tersebut. Keberadaan kerajaan Yahudi (bani
Isra’il) ini berlangsung sebatas setelah 2 anak Sulaiman yang saling berebut
kekuasaan sehingga terpecahnya menjadi dua kerajaan kecil.
Kedaulatan
bani Isra’il yang memiliki raja dan kerajaannya berlangsung tak lebih hanya
seratus tahun saja. Hingga datanglah masa penjajahan imperium Persia dengan
rajanya Cyrus yang menaklukkan negri Babylon, maka Palestina pun ikut sebagai
wilayah yang ditaklukkannya. Pada masa ini pulalah masuknya unsur-unsur
kepercayaan bangsa Persia mempengaruhi keagamaan bani Isra’il. Seperti
kepercayaan tentang
mesiah (al Masih atau juru selamat) yang ditunggu, yang diambil
dari mitos-mitos bangsa Persia (Samaria atau Sumeria), dan dipercaya sampai
kini dan terbungkus ajaran-ajaran Islam oleh sekte Syi’ah sebagai Imam Mahdi
yang akan datang (bahkan sebagian umat muslim pun mempercayai mitos ini sebagai
yang terdapat di dalam hadits nabi).
Kemudian
masuk kembali penjajahan imperium Romawi setelah menaklukkan imperium Persia,
dan menguasai pula wilayah Palestina. Mereka bahkan lebih kejam dan menindas
bani Isra’il, Haikal (rumah peribadatan mereka yang dibangun oleh nabi
Sulaiman) dirobohkan dan diganti dengan Haikal baru yang lebih memaksakan
nuansa Romawi-Yunani dengan dewa-dewanya sebagai berhala pemujaan pengganti
kepercayaan bani Isra’il sebelumnya.
Keadaan ini
sampai setelah kedatangan nabi Zakaria, Yahya, dan Isa, Imperium Romawi masih
berkuasa untuk menduduki sebagai wilayah jajahannya. Sejak itulah bani Israil
selalu bermimpi dan berharap memiliki pemimpin yang kuat yang
dapat mempersatukan kaumnya sebagai mesiah (juru selamat), seperti Daud,
sehingga dapat merasakan nikmatnya tinggal di atas tanahnya sendiri.
Bahkan sampai kepada setelah
masa nabi Muhammad SAW, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra,
barulah imperium Roma dapat ditaklukkan dan terusir dari bumi Palestina, serta
dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab (yaitu keturunan Ibrahim dari Siti Hajar
yang melahirkan Isma’il). Sekalipun mereka (bani Israil) tetap dapat tinggal di
situ, sayangnya, tetap mereka tak merasa
tinggal di atas tanahnya sendiri pula. Bahkan dengan intrik-intrik mereka yang
akhirnya dapat membujuk minat raja-raja eropa (kaum Nasrani) untuk merebut
tanah Palestina, sebagai tanah suci umat Nasrani pula. Karena tanah tempat
Yesus (nabi Isa) dilahirkan. Sejak itulah terjadi Perang Salib selama berabad-abad.
Dan menimbulkan perseteruan abadi ketiga umat besar dunia, yaitu Yahudi,
Nasrani, dan Islam.
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada sisi mereka.” (QS 23:53)
Selain sifir-sifir di dalam Taurat Musa sebagai sumber kehidupan
keagamaan bagi bani Isra’il, mereka pun mensucikan sumber-sumber lainnya,
seperti riwayat-riwayat atau mitos yang telah berusia ratusan hingga ribuan
tahun, juga keputusan-keputusan (fatwa) ulama atau pendeta mereka yang telah
menjadi kesepakatan.
Talmud, adalah riwayat masa lalu yang dikisahkan dari mulut ke
mulut dan menjadi mitos sehingga mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka, dan
inipun dikeluarkan dan disyi’arkan lagi dari mulut para Hakham (orang-orang
yang dianggap bijak, suci, atau para pendeta/rabbi) dari generasi ke generasi.
Pada masa sekitar tahun 150, setelah Isa Al Masih, seorang hakham
bernama Judas, merasa khawatir riwayat turun temurun yang berharga di matanya
tersebut hilang dan terlupakan, maka ia mengumpulkannya ke dalam kitab yang
dinamakannya al Misyna (syari’at yang diulang-ulang) yang berisi penafsiran
syariat Taurat Musa yang telah menjadi mitos-mitos berusia lebih dari 500
tahun. Kemudian obsesi tentang Palestina sebagai tanah yang dijanjikan dan kisah-kisah
tentang penawanan Babylon sebagai tambahan-tambahan yang dimasukkan ke dalam
kitab tersebut.
Keduanya ini yang tersebar luas dan terkenal di kalangan
Yahudi sebagai Talmud Jerusalem dan Talmud Babylon. Dan mereka menganggap
Talmud tersebut sebagai kitab yang turun dari langit, dan meletakkannya
setingkat dengan Taurat. Sebagai yang diturunkan bersamaan kepada nabi Musa di
Thursina, Taurat diberikan dalam bentuk tertulis, dan Talmud dalam bentuk
lisan. Bahkan ada diantara mereka yang menempatkan Talmud ini lebih tinggi dari
Taurat. Dan jika sesorang diantara mereka yang melanggar para Hakham maka akan
disiksa dengan siksaan yang berat, sedangkan yang melanggar syari’at Taurat
Musa dosanya masih bisa dimaafkan. Tetapi yang melanggar Talmud akan dihukum
mati.
Protokol Pendeta-Pendeta Zionis, adalah bentuk-bentuk
permufakatan jahat terhadap kemanusiaan yang direncanakan secara sistematis dan
mendapat dukungan penuh dari seluruh kalangan Yahudi, terutama finansial
dan kesetiaan penuh. Protokol-protokol ini dihasilkan dalam
muktamar-muktamar yang dirahasiakan. Ini lebih kepada balas dendam dan hasrat
mencapai obsesi yang dicita-citakan sejak lama oleh para pendahulu mereka,
bahkan nenek moyang mereka sejak exodus dari bumi Mesir.
Sempat ada kebocoran rahasia tersebut, yang sebagian
dokumen-dokumen hasil Muktamar Bale (1897) dilarikan oleh seorang nyonya
Perancis ke Rusia dan sampai kepada ketua agen rahasia Kekaisaran Rusia Timur
Alex Nikola Nivieh, pada tahun 1904, kemudian akhirnya dokumen tersebut
disiarkan melalui siaran radio. Dan setelah monarki Rusia mengalami keruntuhan,
digantikan oleh rezim Komunis, maka menjadi masa-masa kesulitan bagi etnis
Yahudi di sana sebagai yang bekerja di kamp-kamp kerja paksa dan mengalami pengasingan
di Siberia. Kembali mereka mengalami seperti masa-masa dahulu di Mesir dan
Babylon.
AGAMA NASRANI
“(Isa)
tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya karunia
(kenabian) dan Kami
jadikan dia sebagai bukti (kekuasaan Allah) untuk bani Isra’il.”
(QS 43:59)
Dialah mesiah (al Masih) yang
ditunggu-tunggu bani Isra’il sebagai juru selamat dari ketertindasan mereka selama ini
(akibat penjajahan imperium Romawi), dan mengeluarkan serta mengantarkan mereka
ke kerajaan Tuhan yang penuh berkah, yang diharapkan akan menjadi seperti Daud
yang merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaannya.
“Dia
(Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak
ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa
yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS
3:47)
A. Masa Kehidupan Isa Al Masih
Terjadi kegemparan di kalangan bani Isra’il, setelah
kelahiran Isa (Yesus) dan karena keajaiban-keajaibanya yang memukau. Ketika
dalam buai-an telah dapat berbicara layaknya orang dewasa menerangkan kesucian
ibunya oleh sebab ia dilahirkan tanpa bapak (kelak, Isa pun sering
memakai dan lebih menyukai istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah. Dan
hal inilah yang kelak mengakibatkan timbulnya persepsi-persepsi keagamaan,
diantaranya yang dikenal sebagai paham trinitas yang menimbulkan pro dan
kontra). Juga di masa kanak-kanaknya sering menghilang dari ibunya dan
menghadiri kebaktian-kebaktian di rumah-rumah ibadah para pendeta (rahib) dari
kaum Farisi kemudian mengkritik serta mencela ajaran-ajaran mereka dengan
argumen-argumennya yang memukau segenap yang hadir di situ.
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa.......” (QS 5:110)
Sayangnya
apa yang mereka harapkan dari Isa Al Masih (sang Mesiah) malah tak sesuai
dengan keinginan yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Mesiah yang mereka
tunggu-tunggu, ternyata datang membawa kritikan-kritikan terhadap kehidupan keagamaan
mereka yang dianggap salah dan keluar jalur, dan harus dibenahi. Tentunya hal
ini menimbulkan reaksi mereka, terutama kaum Pharesee (Farisi) dari garis
keturunan Lawi (Levi), sebagai penguasa keagamaan bani Isra’il pada masa itu
yang diuntungkan karena dapat menumpuk harta kekayaan yang dipungut dari
sedekah, upacara-upacara keagamaan, korban persembahan-persembahan bagi tuhan
berhala mereka, dan lainnya.
Sementara,
hampir ia tak pernah sekalipun mencela dan mengkritik pemerintahan Romawi,
kecuali hanya mengkritik mereka para pemungut cukai (pajak). Hal ini
pulalah yang membuat semakin dendamnya kaum Farisi kepadanya, karena bila
kepada mereka yang memungut sedekah dari umat malah dicelanya, sementara
kepada pemerintah penjajah ia tak memperdulikannya kecuali hanya kepada
person-person pemungut cukai (pajak) pegawai dari kalangan bani Isra’il
sendiri.
Sehingga
semakin jelas bagi mereka yang mencita-citakan negara Yahudi yang berdaulat tak
dapat lagi menaruhkan harapannya kepada Isa (Yesus) putera Maryam sebagai sang mesiah, juru
selamat bani Isra’il. Maka timbullah kembali watak tabiat buruk mereka kepada
bentuk persekongkolan jahat yang hendak membunuh nabi mereka lagi, setelah
sebelumnya belumlah lama berselang, mereka telah membunuh nabi Yahya, dan juga
sebelumnya pula telah membunuh ayahnya, yaitu nabi Zakariya. Maka lengkaplah
yang difirmankan Allah di dalam Al Qur’an, bahwa mereka adalah sebagai bangsa
yang membunuh nabi-nabi utusan Allah dari kalangan mereka sendiri.
“..... dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi
tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas.” (QS 12:103)
Ada sebuah kisah di dalam Injil, yang juga dimana
mereka kaum Farisi berusaha menjebak Isa (Yesus) dalam suatu kesalahan yang
dapat dihukum oleh kuasa penjajah Romawi, pemerintah saat itu, dapat pula
sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Yaitu ketika ada seorang wanita penzina
yang telah ditangkap mereka bersama penduduk, kemudian Yesus (Isa) pun
dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Bila Yesus memutuskan hukum rajam yang
berlaku di kalangan bani Israil seperti yang diajarkan Taurat sejak zaman Musa,
maka menjadi ada kesempatan bagi mereka untuk menyeret Yesus ke mahkamah
peradilan kolonial Romawi yang tak mengenal hukum rajam. Namun apa yang
terjadi? Ternyata ia hanya berkata, barangsiapa yang tak pernah melakukan dosa maka berhak
melempar batu kepada wanita itu. Dan tak seorang pun, termasuk para
Farisi itu, yang berani melakukannya. Kemudian bebaslah wanita penzina itu dari
hukuman rajam, dan bebas pula Yesus dari siasat para pendendam kepadanya.
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa. Dan
ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah
berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang
yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan
orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala
engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara
mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Di masa kehidupannya, al Masih
sebagai yang tak menginginkan kehidupan dunia, beliau selalu berkeliling
menjalani kehidupan zuhud
(mengutamakan kehidupan akhirat), mengutamakan mereka yang dalam kesulitan dan
kesusahan dengan penuh rasa kasih sayang, tetapi tegas terhadap mereka yang
ingkar. Di sepanjang hidupnya, dia selalu diliputi penderitaan tanpa pernah
mengeluhkannya, termasuk kepada Tuhannya. Sungguh sebagai contoh teladan yang
tidak hanya bagi bani Isra’il, melainkan sebagai teladan bagi umat-umat yang
jauh setelahnya. Maka benarlah firman Tuhan yang mengatakan, dia sebagai yang
tersohor ketika dilahirkan, diwafatkan, dan ketika dibangkitkan.
“.... seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), ....” (QS 3:45)
Banyaknya mu’jizat sebagai
tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, yang melalui tangannya ditunjukkan sebagai
bukti kedekatan dia dengan Tuhannya. Namun hal ini selain menjadikannya banyak
pengikut yang hendak mendapatkan berkah melaluinya, namun juga menimbulkan persepsi
beragam bagi mereka pengikutnya, yang apatis terhadapnya, maupun yang anti
terhadapnya, bahkan hingga munculnya konsep trinitas di belakang hari
jauh setelah wafatnya Isa al Masih.
B.
Masa Setelah
Isa Al Masih
Setelah
Yesus (Isa al Masih) tidak ada lagi, kelompok kecil para rasul (hawariyun atau
sahabat Isa) dan beberapa sekte yang timbul dan mengadakan kelompok-kelompok
ibadat atau kebaktian. Sesungguhnya sejak masa masih berada bersama mereka pun,
telah timbul diantara mereka (Yahudi-Kristen atau Judeo-Christian) sebagai yang
mempercayai ketuhanan Yesus dan yang menganggapnya sebagai mesiah atau
nabi seperti nabi-nabi mereka sebelumnya, namun belumlah terbuka secara
terang-terangan sebagai sekte-sekte yang memisahkan diri. Hal ini disebabkan
persepsi mereka yang beraneka ragam menanggapi istilah yang dipakai Yesus (Isa)
terhadap penyebutan Tuhannya dengan menggunakan kalimat bapak di surga.
Hal inipun semakin meruncing setelah Yesus
(Isa) tak bersama mereka lagi, dan setelah sekian lama dalam pelarian mereka,
dimana pengikut mereka semakin bertambah banyak dan tersebar jauh dari
Jerusalem sampai ke Yunani, Roma, Turki. Banyak para pemeluk agama baru
tersebut dari kalangan bukan Yahudi, dan sebelumnya adalah penyembah berhala
(kaum pagan). Dipelopori oleh Paulus yang mengaku didatangi Yesus (Isa),
sehingga sebagian merekapun menganggapnya sebagai rasul, mengusulkan kemudahan
bagi mereka para pemeluk baru dari kaum pagan agar dibebaskan dari kewajiban
khitan (bersunat) dan upacara-upacara keagamaan yang berbau Yahudi.
Hal ini
disebabkan karena agama Nasrani ini yang jauh lebih berkembang di luar wilayah
asalnya, selain banyak dianut oleh non Yahudi, juga hendak menghilangkan
unsur-unsur Yahudi dari agama baru ini. Dan timbullah bentrokan antara mereka yang
pro dan kontra terhadap seruan Paulus tersebut di Antioch, Turki. Dalam hal
ini, pihak yang berseberangan dengan Paulus adalah Jacques seorang kerabat
Yesus pemimpin Judeo-Christianism. Dari mereka inilah Yahudi-Kristen, sebagai
orang-orang yang menulis dokumen-dokumen Kristen kuno yang kelak banyak
ditemukan sebagai manuskrip-manuskrip sumber yang mereka anggap otentik bagi
periwayatan dan penulisan Injil Kanonik (Injil yang telah disahkan Gereja
Roma). Namun dibelakang hari, menimbulkan keraguan di kalangan mereka sendiri
untuk mempertahankan anggapan tersebut.
Bagaimanapun,
catatan-catatan peninggalan masa lalu yang banyak tersebar dan dianggap ditulis
orang-orang suci, adalah sebagai yang telah terkontaminasi kebiasaan lama orang
Yahudi yang terbiasa memasukkan mitos-mitos yang berbau kepentingan dan
cita-cita mereka, bahkan juga mitos-mitos dari agama atau unsur kebudayaan
dimana nenek moyang mereka sempat tinggal, seperti mitos-mitos Mesir, Babylon,
Persia dan Romawi.
Diantaranya ada beberapa contoh
mendasar yang selama ini terkesan dipaksakan pada sebagian besar kisah-kisah
yang terdapat dalam empat Injil, dan khususnya pada silsilah keturunan sebelum Yesus yang berujung
kepada Daud dan Adam, padahal Yesus (Isa) tak memiliki ayah biologis.
Keganjilan-keganjilan yang membuka peluang adanya ketidak aslian pada
penyusunan kitab suci mereka, atau sekedar adanya kesalahan-kesalahan yang
merupakan kecerobohan dalam periwayatan oleh mereka yang sebagai pelaku saksi
sejarah yang dianggap murid Yesus atau rasul. Tetapi jika menyadari banyaknya
keganjilan, maka menjadi lebih pada kesan pertama yang lebih dominan. Sehingga
menimbulkan persepsi, bukan hanya ketidak aslian saja yang menjadi bukti,
melainkan keteledoran yang amat bodoh yang dilakukan mereka dalam penyusunan
riwayat, apalagi sebagai kitab suci.
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit
dari perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:79)
Jika hal ini dipaksakan terus
dan mempertahankannya, bukan tak mungkin pada suatu waktu nanti akan menjadi
bumerang bagi kelembagaan gereja mereka sendiri. Seperti yang pernah terjadi di
abad pertengahan, ketika lembaga gereja menolak keras penemuan Galileo Galilei,
yang berdasarkan pengamatan melalui teleskopnya, tentang pergerakan bumi
mengitari matahari. Kemudian lembaga Gereja Katholik Roma menghukum mati dia,
karena bertentangan dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan
bumi sebagai pusat alam semesta. Dan akhirnya, sungguh amat mencoreng dan
menghinakan lembaga suci keagamaan mereka setelah penemuan Galileo Galilei
sebagai yang tak terbantahkan lagi secara meluas, apalagi setelah ilmu
antariksa dan tekhnologi alat bantu pengamatan semakin berkembang hanya dalam
satu atau dua abad setelahnya.
C.
Konsep Ketuhanan
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan
Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban
Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian
menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan
kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa
para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman
ketuhanan. Yang juga membabat habis
sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang
konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad pertengahan,
para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu
pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwa-nya
terkena hukuman penjara dan hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh
Galileo Galilei, ia duhukum mati karena mengumumkan hasil penelitiannya yang
tidak selaras atau sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini
disebutkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya
mendapati bahwa bumilah yang bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem
yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih,
tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman
hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang
pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat
diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata :
wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan
kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya
(yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di
akhirat, dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia
berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara
orang-orang saleh”. (QS 3:45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata dan kalimat yang dicetak
tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman sebelumnya. Kemudian,
“Dia
(Maryam) berkata : ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia
(Allah) berfirman : demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki.
Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah!
Maka jadilah sesuatu itu.” (QS 3:47)
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman : wahai Isa putra Maryam ! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus .......” (QS 5: 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al
Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting?
Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada
pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya.
Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga
disebutkan, ..... pada mulanya ia adalah Firman, kemudian
berubah menjadi anak manusia ...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan
Bapa dan Roh Kudus yang
dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat mereka menjadi
dasar konsep trinitas yang wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat
mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman
masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup, pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang
menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan dan analogi yang indah didengar dan
memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan,
di mata tuhan, dan bahkan Yesus sendiri menggunakan istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada
Allah, yang dapat disalah artikan
bagi orang awam tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama
sebagai pemahaman yang wajib diimani bahwa adanya Tuhan Bapak dan Tuhan Anak. Yang juga di masa itu
banyak orang yang membuat karya-karya sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan
hingga bercampur baur dengan kitab-kitab
yang berisi firman-firman Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan
di dalam al Qur’an sebagai mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah
kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada
Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di
atas),
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa. Dan
ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah
berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang
yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan
orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala
engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara
mereka berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak
kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi
seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu, dianggap dan
dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik
untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat
perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat
berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya
tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman : Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa)
menjawab : Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah
mengetahuinya.
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan
aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (QS 5:116)
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka selain yang Engkau
perintahkan kepadaku (untuk menyampaikannya), sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan-mu. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara
mereka.
Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah pengawas mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117)
“Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba Engkau, dan Jika
Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:118)
Sebagian umatnya yang percaya
kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan,
dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan
sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa
yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi
kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi
yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena
kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi
adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang
mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi
kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia
mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda
dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu,
berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada
masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka
bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan
David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada
kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi
ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja
yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan
penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih,
mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang
kemerdekaan, seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang
percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya,
yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu
para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang
pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), juga yang berarti yang diurapi.
Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau upacara
penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah)
pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami
upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes
(nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan
salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus,
atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula
dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia
mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya, bahkan Allah
pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat (QS
3:45).
“Kesejahteraan atas diri-nya (Isa al Masih) pada hari dia dilahirkan, pada hari dia wafat dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15)
Yang justru mengherankan, bani isra’il
atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak
(mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para
pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai
agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat
Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan
Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dan
memuliakan-nya sebagai anak manusia yang sejahtera pada
hari dia dilahirkan, pada hari dia diwafatkan dan pada hari dia dibangkitkan (QS 19:15), malah dimusuhi dan dibenci.
Dan inilah yang dengan berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini
adalah provokasi dan propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa
dan Amerika sebagai pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah
negaranya yang dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa
sesudah nabi Yaqub (Isra’il) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar
di manapun mereka menetap untuk menumpang hidup.
DIYN AL QAYYIMAH
“.....
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai ke-berserah diri-an (islam) itu sebagai agama bagimu .....”
(QS 5:3)
Renungkanlah,
umat Yahudi yang memakai Taurat (Musa) dan Zabur (Daud) sebagai kitabnya.
Kemudian umat Nasrani yang memakai Taurat dan Zabur (Perjanjian Lama) dan Injil
(Perjanjian Baru) sebagai kitabnya. Sampai kepada umat Islam dengan Al Qur’an
yang merangkum semua kitab tersebut sebagai kitabnya. Dan dimuliakannya
oleh Al Qur’an nabi-nabi dari kalangan mereka bani Isra’il adalah bukti satu
kesatuan ajaran tunggal dari Tuhan Yang Tunggal bagi seluruh umat
Tidak cukupkah semua itu
membuktikan, bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari bapak yang
satu, dengan ajaran yang satu dari Tuhan Yang Tunggal? Bila hanya hendak
mencari siapa yang benar, maka yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha
Haqq.
“...... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa .......” (QS 5:8)
Bapak yang
satu (Ibrahim), darah yang satu, dan ajaran (agama) Tuhan yang
satu, rupanya tidak cukup menghentikan
permusuhan mereka selama ribuan tahun hingga kini. Sekalipun nabi-nabi banyak
diturunkan di sana untuk memperbaiki keadaannya. Sungguh, Allah-lah Yang Maha Mengetahui
dari apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Keragaman perbedaan adalah hal
yang mutlak (sunathullah) dan banyak ditemui di alam ini, dan
kemanusiaan adalah bagian yang termasuk di dalamnya. Tidaklah ada siapapun yang
dapat merubah apa yang telah menjadi ketetapan Allah tersebut. Dan kita sebagai
umat yang datang sesudahnya dapat mengambil pelajaran yang amat berharga
sebagai hikmah dari kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al Qur’an.
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib
yang Kami wahyukan kepadamu, padahal kamu tidak berada pada sisi mereka.......” (QS 12:102)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat
menginginkannya.” (QS 12:103)
Kisah-kisah di atas,
sesungguhnya dikehendaki Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang
kemudian. Di dalam kenyataannya, kisah tersebut sepertinya selalu mewarnai
kehidupan kemanusiaan hingga kini. Betapa banyak contoh kasus yang sering kita
dengar dari keluarga yang gontok-gontokkan, bahkan bisa saling membunuh karena
memperebutkan warisan. Juga perseteruan yang sama yang dilatar belakangi karena
beda ibu, walaupun satu bapak, dalam berebut harta waris. Apakah itu berupa
tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan lainnya. Permasalahannya pun akan dapat
melebar kemana-mana. Agama pun terbawa-bawa, dan dijadikan alat pembenar bagi hawa
nafsu mereka.
“Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab
yang membawa kebenaran, untuk
memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah
(mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki diantara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS 2:213)
Sayangnya
perbedaan-perbedaan ini semakin lagi dibumbui eksklusifitas dan rivalitas untuk
mencapai keunggulan atau superioritas dari sebuah, sekalipun merupakan maksud
atau niat yang baik, yaitu syiar yang menyebarkan kebaikan kepada
sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara
dan usaha yang dikotori atau dipengaruhi penjerumusan iblis yang menghendaki
tersesatnya sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah
perselisihan dari persaingan yang dapat berujung kepada kerusakan maupun
pertumpahan darah.
Perang, terorisme berbungkus
jihad, pelarangan pembangunan rumah ibadah umat agama lain, adalah
contoh-contoh berperannya iblis pada perilaku insan kemanusiaan yang belum atau
bahkan tidak dilandasi kekokohan keimanan yang seharusnya dapat mengawal jiwa
pada ketenangan dan ketentraman, yang keluar pula sebagai amal perbuatan yang
sehat dan merupakan rahmat bagi sesama insan kemanusiaan.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi
kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS 98:4)
Ahli Kitab
sebagai yang menerima kitab, yang sesungguhnya adalah semua insan kemanusiaan
yang dimaksud ayat ini, justru tidak diharapkan menjadi terpecah belah, apalagi
dengan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah setelah datangnya bukti yang nyata.
Syiar,
seharusnya tidak dititik beratkan kepada penyebaran atau perluasan rahmat Tuhan
yang membungkus ambisi kekuasaan, seperti contohnya kristenisasi atau islamisasi
yang lebih berkesan pengakuan (ego) superioritas, akan tetapi akan lebih
akrab terdengar yaitu sebagai perbaikan kehidupan kemasyarakatan ke yang jauh
lebih baik dan lebih sehat yang membawa kepada keselamatan, kedamaian,
kesejahteraan maupun kemakmuran hidup
bersama.
Dan syiar, seharusnya pula
tidak memaksa-kan, atau tidak dipaksa-kan, atau pula tidak terpaksa-kan kepada
siapapun termasuk dirinya sebagai pelaku maupun sebagai objek. Karena Tuhan
tidak menyukai dan tidak pula menerima segala bentuk yang memaksa, dipaksa,
ataupun terpaksa, sebab itu bukanlah kemurnian atau keikhlasan. Tidak ada paksaan dalam
agama Allah. Berserah diri (islam) adalah bukan keterpaksaan apalagi
memaksa.
“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......” (QS 2:256)
Tujuan utama
agama yang pada dasarnya adalah membawa insan kemanusian kepada keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat (hari kemudian), tetapi malah telah diselewengkan
iblis kepada kerusakan dan pertumpahan darah. Bagaimana bisa mendapat
keselamatan kelak di kehidupan akhirat (hari kemudian), bila di
kehidupan di dunia saja telah terjebak atau terkecoh dengan membuat kerusakan
dan pertumpahan darah?
Itulah kemenangan iblis dengan
membuat kesesatan menjadi dipandang indah oleh insan kemanusiaan melalui pengakuan (ego).
Yang mengaku sebagai umat yang superior, sebagai
umat yang dilebihkan dari umat lainnya, dan sebagai umat yang dijanjikan
Tuhannya, serta sebagai umat
pilihan Tuhannya. Dengan menganggap umat selain agamanya adalah kafir dan
sesat.
Maka siapapun, termasuk kita, bila telah pula seperti itu, mengaku sebagai yang
paling benar, sebagai yang superior, sebagai umat pilihan Tuhannya, juga
menganggap diri kitalah yang benar sementara selainnya adalah dalam kesesatan,
tentu sebenarnya diri dan jiwa kita sendirilah yang sesungguhnya telah semakin
tersesat.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah
kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang
kafir.” (QS 2:34)
Menolak perintah Tuhan dan menyombongkan diri
adalah pengakuan (ego) dan merupakan sifat iblis yang dibenci Allah, sehingga mengutuknya tersesat
selamanya. Bagaimana mungkin kita sebagai insan kemanusiaan mengikuti langkah
dan sifat iblis yang terkutuk? Dan perbuatan ini menyebabkan pelakunya masuk
kategori sebagai golongan kafir.
Sadarilah, bahwa kebanyakan kita sebagai insan kemanusiaan, telah
melenceng jauh dari jalan lurus yang dikehendaki Allah, Tuhan semua.
Jika tidak sampai kepada perbuatan merusak dan intimidasi, maka hati kita,
paling tidak, merasa yang paling benar, dengan menganggap selain agamanya
adalah sesat. Yang justru dengan itu, diri kita sendiri-lah yang ternyata telah
ikut masuk kedalam kesesatan akibat pandangan indah yang dibuat
iblis.
“dia
menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan
untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
”......... aku pasti
akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi
pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)
Renungkanlah bagaimana iblis dengan usahanya dalam menjerumuskan
insan kemanusiaan kepada kedzaliman dan kekafiran yang sangat dibenci Tuhannya,
sekalipun atas nama agama-nya dan atas nama Tuhan-nya. Bagaimana
mungkin iblis dapat masuk ke wilayah-wilayah yang seharusnya disucikan, seperti
atas nama agama dan Tuhan? Yang seharusnya suci dari kesesatan iblis,
dan suci pula dari perbuatan menentang Tuhannya.
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah
sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan
ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Bukankah saat Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu iblis ketika berada
di dalam surga, yang juga seharusnya sebagai tempat yang suci? Rupanya,
perbuatan, sekalipun atas nama agama dan Tuhan serta tempat (tanah) suci, tidaklah
menjamin dari tiadanya usaha penyesatan iblis untuk menjerumuskan insan
kemanusiaan agar terkutuk seperti dia sebagai yang terkutuk.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Menghilangkan
pengakuan (ego), yaitu termasuk didalamnya keangkuhan atau kesombongan,
dimana aku-nya menjadi lebih sangat dominan dalam setiap amal perbuatan,
sekalipun perbuatan tersebut merupakan kebaikan dengan mengatas namakan agama
dan Tuhan, padahal ternyata terselip pula ego (ambisi)-nya.
Ke-ikhlas-an
adalah memurnikan dan menyucikan segala apa yang telah
dianugerahkan kepadanya (termasuk diri, atau jiwa, ataupun nafs) sebagai dari,
milik, untuk, dan akan kembali kepada Allah semata. Agama
bukanlah Tuhan itu sendiri sebagai yang diutamakan dan yang dituju, akan
tetapi, agama adalah merupakan sarana petunjuk yang membawa kepada
keselamatan kehidupan bersama yang diridhai-Nya.
Sarana dapat
apa saja, yang jelas, juga membuat pula para pemakainya merasa nyaman, tentram,
dan damai selama menggunakannya. Apakah pantas bila diri kita membandingkan sarana
yang dipakai orang lain? Apalagi bila memaksakan untuk menggunakan sarana
seperti sarana yang kita gunakan. Serperti, pakaian misalnya, tentulah
kenyamanan dan kepantasannya berbeda-beda bagi setiap orang, dan bukanlah hal
etis bila kita mengomentari apalagi memaksakan kehendak kita kepadanya.
Begitupun
pada agama, yang sesungguhnya dapat mengarahkan kepada keselamatan, tentulah
agama tersebut dapat menaungi diri pemeluknya dalam rasa nyaman, tenang,
tentram dan damai. Tidak akan pernah dapat dipaksakan, sekalipun kepada
keluarga terdekat kita sendiri. Kita hanya dapat memberi contoh atau teladan
dalam hal itu, dan paling jauhnya hanya berharap kepada Tuhan agar keluarga dan
keturunan kita mendapatkan keselamatan hidup, baik kini di dunia maupun nanti diakhirat.
Itulah keimanan yang kokoh,
yang dengan memeliharanya akan dapat mengembalikan jiwa kepada agama yang
benar, yaitu Diynul
Qayyimaah. Jadi bukanlah agama yang buatan kita sendiri, karena
prasangka dan keinginan hawa nafsu kita sendiri. Bukan agama yang menjadikan
kita taqlid atau fanatik buta, serta menutup mata hati kita dari
kebenaran hakiki yang universal.
“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS 30:32)
Dengan demikian maka terbukalah
hakikat segala sesuatunya. Agama-agama yang ada, dan dengan berbagai ragam
perbedaan ritualnya, adalah merupakan agama yang satu. Umat-umat yang beragam
bangsa dan etnis bahkan suku, adalah merupakan umat yang satu. Bahasa yang
beragam pula yang merupakan perbedaan bunyi, adalah merupakan bahasa yang satu
dalam makna. Kesemuanya adalah berasal dari yang satu, bapak yang satu, yaitu
Adam. Dan kesemuanya bersumber dari Yang Maha Tunggal dengan perwujudan
sifat-Nya yang Akbar tak terhitung. Jadi, mengapa kita masih juga dapat terjebak
dengan mempermasalahkan perbedaan?
“......... Seandaianya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Itu adalah
kehendak Tuhan, dan Dia telah menetapkannya seperti itu, sebagai suatu
keragaman yang disebabkan perbedaan masa (waktu), perbedaan geografis, dan
perbedaan karakter. Sehingga dibutuhkan penyesuaian adaptis yang sesungguhnya
tidak mengurangi atau memelencengkan makna sesungguhnya sebagai petunjuk atau
aturan hidup yang lurus menuju keselamatan.
Jika pada yang mengatas namakan
agama dan Tuhan saja, kita diwajibkan menghindari kerusakan sampai pertumpahan
darah, tentu apalagi pada hal-hal yang mengatas namakan lainnya. Dengan
mengatas namakan lainnya pun merupakan perbuatan pengakuan yang juga
sesat dan menyesatkan (syirik). Suatu hal yang tak sebanding,
mempertaruhkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat hanya karena
mengutamakan ego sesaat tetapi akibatnya akan abadi penyesalannya.
“.... dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang
yang kembali.” (QS 42:13)
Maka kembali
kepada jalan agama, yaitu dengan ikhlas berlaku lurus, dengan ikhlas mengingat
Allah yang tiada putus, serta dengan ikhlas menyucikan apa-apa yang
telah dianugerahkan kepadanya, maka yang demikian itulah rukun agama
yang benar dari Tuhan (QS 98:5). Lain halnya dengan rukun islam, yang bukan
rukun agama, melainkan adalah rukun keberserah dirian orang-orang yang telah
beriman, yang pada bab tersendiri selanjutnya akan diurai.
Lebih detailnya, agama adalah ajaran atau petunjuk
kepada insan kemanusiaan agar meluruskan,
mengingat, dan mensucikan
dengan kemurnian atau keikhlasan pada ucap, tekad, lampah (perbuatan), janji,
diri, ahli, daya, cipta, dan karsa yang kesemuanya adalah milik
dan akan kembali kepada Allah. Bila ke-sembilan (sanga) sebagai
yang dianugerahkan Allah kepada diri kemanusiaan itu telah mencapai lurus, ingat,
dan suci
sebagai perwujudan wakil (waliy)
Allah di muka bumi. Maka genaplah sebutannya menjadi sebagai waliy Allah, di
tanah Jawa dikenal pula dengan sebutan wali sanga, sebagai sembilan
sifat bagi orang yang dicintai dan mencintai Allah. Dan kita akan
mengulas ke-sembilan sifat tersebut pada tiga bab berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar