Bab XVII
MURNI (Ikhlas) dalam BERAGAMA
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat
(mengingat Allah yang
tiada putus), dan menunaikan zakat (mensucikan apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”
(QS 98:5)
S
|
ekarang, telah
jelas dan nyata manfaat keikhlasan dalam menjalankan agama, yang
sebenarnya justru kembali kepada diri sendiri sebagai kebaikan, keselamatan,
ketenangan, dan ketentraman yang sejati. Tiadanya keikhlasan dalam beragama,
yaitu dalam setiap gerak amal perbuatan-nya sungguh akan menyesatkan. Sesat
karena timbulnya rasa takut dan meresahkan diri atau jiwa-nya, dan dapat
membelokkan arah tujuan yang sedari
awalnya benar dan mulia kepada kesalahan dan kehinaan. .
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka.” (QS 38:82-83)
Bila
direnungkan, sesungguhnya, keikhlasan adalah mutlak perlu dalam setiap amal
perbuatan. Pada penjelasan ayat di atas, yang menerangkan sumpah iblis yang
akan menyesatkan setiap diri insan kemanusiaan, kecuali mereka yang ikhlas,
tentu penafsirannya pun termasuk adalah, penyesatan yang dilakukan-nya adalah
kepada mereka yang ‘tidak memiliki keikhlasan’ dalam setiap amal
perbuatan. Tidak memiliki keikhlasan dapat pula diartikan tidak menyadari akan
pentingnya nilai keikhlasan.
Mereka ini,
jelas masih diliputi oleh pengakuan (ego) yang kuat membelenggunya,
tanpa pernah bisa lepas darinya bila tidak adanya keterpaksaan yang memaksanya
hingga tidak dapat berkutik. Contohnya, kepada atasan-nya atau bos-nya, yang
jelas langsung berhadapan dengannya, maka dia tak dapat berkutik. Maka setelah
tidak bersama bos-nya lagi, dia tidak lagi dalam kepatuhan dan kesetiaan.
Apalagi bila semakin dilunturkan oleh kebutuhan dan keinginan dari hawa nafs (jiwa)-nya.
Pengakuan
(ego)-nya akan dapat mempengaruhi lebih jauh lagi kepada kepentingan dirinya
sendiri, dan kemudian menyebar pada ketamakan atau keserakahan, untung-rugi,
ambisi jabatan atau kekuasaan, dan lain sebagainya yang merupakan ambisi pengakuan
(ego)-nya.
Segala
sesuatu, telah kita ketahui, memiliki pasangan atau lawannya, termasuk nurani
ketuhanan di dalam dadanya, maka akibat pengakuan (ego)-nya akan pula
menyebabkan hadir pula musuhnya tersebut. Semakin kuat ambisi ego-nya, maka
semakin kuat pula penentangan terhadap nurani-nya tersebut. Maka penyesatan
iblis pun semakin menguatkan ambisi diri (ego)-nya untuk dapat memenangkan pertarungan
ini, bahkan dengan cara-cara tak terpuji pula.
Sungguh
besar bahayanya akibat pengakuan (ego) dari setiap diri insan
kemanusiaan, hal ini amat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Persaingan tidak
sehat dan saling merusak, bahkan kepada saling menumpahkan darah adalah akibat
terparahnya. Kepentingan diri dan golongan, sebuah bara kecil, perlahan tapi
pasti akan merambat dan membesar membakar aspek-aspek kehidupan sosial
kemasyarakatan, perdagangan dan ekonomi, politik, kebangsaan, hingga kepada
kehidupan umat beragama.
Pada awalnya, memang hanya demi
memenuhi keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri saja, akan tetapi lama
kelamaan, setelah memiliki istri, bertambahlah kebutuhannya. Kemudian
kebutuhannya akan terus bertambah kepada anak dan cucu, belum lagi bila di
perjalanannya ada godaan-godaan lain. Seperti godaan wanita, teman atau kroni,
ambisi kekuasaan, dan lain-lainnya. Maka dirinya telah masuk kedalam lingkaran
setan, yang bagai berada dalam labirin yang akan menyulitkan dirinya
sendiri untuk mengurai jalan kembali kepada jalan lurus-Nya, karena telah jauh
tersesat.
“.... Kami
akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu
terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat
menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang
tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat
menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas
kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya
selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ,
demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan
akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada
kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah
berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari
tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai
kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan
Allah.” (QS 38:26)
Bukanlah hal
yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha
hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam
kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah
dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam,
ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala
sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan
miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada
dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi
hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan
kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu
pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi
penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs
keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi
jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas,
seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan
datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan,
seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Selama jiwa masih dilekati oleh
kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan
kehidupan-nya untuk disucikan melalui proses kebangkitan. Maka dia mengalami
neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Jadi begitulah,
kehidupan dan kematian melalui proses siklus kebangkitan adalah sebagai proses
pensucian jiwa yang masih saja terus dilekati kekotoran dosa. Itulah
sebagai yang telah ditetapkan dalam kehendak-Nya (sunathullah) dari Yang Maha
Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari
seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
Sebaliknya, bagi jiwa yang
telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya,
serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah
kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para
penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia
berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya
akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai
dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta
penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Hati yang
tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa
dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh
kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak
jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan
(kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs
al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan
larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal
perbuatan, maka sang iblis pun
menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat
yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri
kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai
kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di
alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk.
Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila
diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs
kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan
cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan
(agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan
sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan
sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan
terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para
rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya.
Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan
kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala
sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari,
betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam
yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha
memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan
diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada
amal perbuatan yang selain merugikan orang lain, juga justru merugikan dirinya
sendiri.
Keimanan yang kokoh akan
mengkokohkan pula lurus-nya amal perbuatan, menegakkan shalat dan selalu
menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya, serta mensucikan (zakat)
kemuliaan rahmat anugerah-Nya. Dan secara bertahap, akan pula menyadari
keutamaan berserah diri (islam) secara ikhlas.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar