BAGIAN 2
IKHLAS
BERSERAH DIRI (ISLAM)
“.... Barangsiapa menyerahkan diri (islam) ‘sepenuhnya’ kepada
Allah, dan dia
berbuat baik, dia
mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa
takut
pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.”
(QS 2:112)
M
|
akna ayat ini, adalah penyerahan
diri secara total, tanpa keraguan, hanya kepada-Nya sebagai wujud kemurnian
(keikhlasan) dalam setiap gerak amal perbuatannya, maka tidak ada rasa takut
dan sedih hati lagi pada dirinya. Inilah diri atau jiwa yang telah mencapai
ketenangan, ketentraman, dan kedamaian sebagai wujud surga-nya di alam dunia. Keikhlasan ini dapat menyertai setiap
amal perbuatannya, bila telah hilangnya pengakuan (ego)-nya sebagai yang
mengotori jiwa, dan telah kenal diri-nya, serta mengenal Tuhan bersama
wujud iman lainnya (malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir-Nya, dan
kadar baik-buruk-Nya), kemudian selalu menjaga itu semua tetap dalam kesadaran
(ingatan)-nya. Sehingga memahami sepenuhnya, bahwa tiada kekuatan-nya melainkan
adalah karunia kekuatan dari-Nya, tiada kuasa-nya melainkan karunia kekuasaan
dari-Nya, tiada keinginan-nya melainkan keinginan-Nya, dan tiada sesuatupun
yang terjadi tanpa seizin-Nya.
Menyadari semua itu membuat dada-nya
terbuka untuk menerima kenyataan, yang sesungguhnya mengakui dengan sadar bahwa
keikhlasan sebagai yang mutlak menyertai setiap amal perbuatannya, tanpa
basa-basi ataupun keraguan. Inilah makna islam (berserah diri) yang
sesungguhnya.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Justru keikhlasan
inilah yang menjadi sasaran iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap
amal perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya
iblis yang memberikan pemandangan indah pada setiap bujuk rayunya,
tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada pernah berhenti membisikkan bujuk
rayunya yang menyesatkan.
Sungguh, amal perbuatan yang tak
diawali keikhlasan akan mejadikan amal perbuatan yang sia-sia, dan malah
kembali kepada dirinya sebagai keburukan yang pasti akan disesalinya. Sebab,
keikhlasan jelas tidak membawa beban ambisi dari pengakuan (ego) yang
mengharapkan balasan (imbalan) dari hasil amal perbuatannya. Keikhlasannya
adalah wujud fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai wujud Tuhannya di alam, yang
menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya
Mengenal diri terlebih dahulu, baru
kemudian dapat menyerahkan dirinya secara total. Bagaimana mungkin dapat ikhlas
menyerahkan diri-nya, jika belum mengenal kepada diri-nya sendiri? Menyerahkan
sesuatu yang tidak dikenal dan diketahuinya, tentu tidak masuk akal. Maknanya,
menyerahkan segala sesuatu tentu yang terbaik, apalagi kepada Tuhannya.
Menyerahkan diri, maka perbaiki diri terlebih dahulu, sehingga bukan hanya
pantas untuk diberikan, melainkan pula mengerti dan memahami untuk apa
menyerahkan, serta atas dasar apa menyerahkan, sehingga mengenal arah tujuan
kemunian (keikhlasan)-nya.
Bila tiada keikhlasan, bagaimana bisa terjadi penyerahan?
Yang ada adalah keterpaksaan, yang diserahkan pun bukan diri-nya,
melainkan keadaan-nya. Jiwa (diri)-nya tetap di tempatnya, menolak.
Tuhan pun Maha Mengetahui, maka Dia-pun menolak segala bentuk keterpaksaan, “tiada
paksaan dalam agama Allah”.
“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......” (QS 2:256)
Pada tahap ini, bagi mereka yang telah mengkokohkan keimanan dan
ikhlas dalam beragama, maka tiada lagi menginginkan atau mengharapkan
surga, serta takut dan menghindari neraka (QS 2:112). Keimanan (keyakinan) dan keikhlasan-nya lah yang
menyadarinya dengan yakin bahwa Allah Maha Adil dan Dia Maha Benar terhadap
firman dan janji-Nya. Tidak ada keraguan bagi orang-orang yang yakin kepada
Tuhannya. Keikhlasan atau memurnikan, sesungguhnya, adalah usaha untuk kembali
kepada fitrah kemanusiaan-nya yang dikehendaki Allah, yaitu sebagai rahmat
bagi semesta alam.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Bila sebelumnya, pemahaman makna ‘islam’
lebih ditekankan kepada tunduk patuh. Maka sekarang, bermakna berserah
diri. Bila sebelumnya, lebih pada penekanan, dikatakan kepada mereka yang
menolak islam adalah “rasakanlah olehmu azab Tuhan”. Maka
sekarang, “rasakanlah olehmu akibat dari perbuatanmu sendiri”.
Hal ini, bukanlah untuk lebih
memperhalus penyampaian makna, akan tetapi lebih kepada penekanan, bahwa
bukanlah Allah sebagai yang otoriter atau diktator juga kejam, melainkan bahwa
segala gerak amal perbuatan akan kembali kepadanya sebagai buah dari yang
ditanam-nya sendiri. Bila yang ditanam saja yang bermanfaat, seperti
padi misalnya, maka akan pula tumbuh rumput disekitarnya sebagai pengganggu.
Maka, bagaimana mungkin menanam rumput, berharap padi pun ikut tumbuh di
sekitarnya? Mustahil. Maknanya, bagaimana bisa berharap menghasilkan kebaikan,
bila yang dikerjakan adalah amal perbuatan buruk. Renungkanlah.
Jangan lagi terjebak oleh pemahaman yang dapat membuat salah
langkah. Kembali kepada pemahaman sebelumnya, “rasakanlah olehmu azab Tuhan
(sebagai balasan dari perbuatanmu)”. Yang seolah bermakna, bahwa Allah-lah
yang membalas, dan berharap dalam doa-nya agar diampuni Tuhan-nya, sebab
Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Padahal tidaklah demikian, sifat-sifat
Tuhan tersebut adalah sebagai sifat yang dianugerahkan kepada diri kemanusiaan
untuk diwujudkan di alam (dunia), sedangkan segala amal perbuatan-nya tetap
akan kembali kepada dirinya sendiri, baik-buruknya pasti akan diterimanya
dengan terpaksa maupun sukarela. Sesungguhnya, diri-nya sendirilah yang
membalas. Jadi, jangan berharap mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin
dapat tidur nyenyak dan bermimpi indah, saat itu kan waktunya hiruk pikuk
dan hingar bingar. Belum terlelap, sudah terbangun karena suara berisik.
Segala sesuatu telah ada dalam kehendak dan ketetapan-Nya, sebagai keadilan
hukum Allah (sunathullah).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Kemurnian atau keikhlasan dalam amal perbuatan, yaitu shalat,
ibadah, hidup, dan mati-nya, yang didasari dan ditujukan hanya kepada-Nya,
adalah karena telah mengenal diri dan Tuhan-nya, serta sedang dalam keadaan
ingat (sadar). Mengenal diri dan Tuhan-Nya, adalah memahami fitrah
kemanusiaan-nya sebagai perwujudan dari wujud Tuhan-nya di alam, yang mewujud
bersama dengan sifat-Nya, dan keluar dalam bentuk amal perbuatan yang merupakan
rahmat bagi sesama makhluk-Nya. Sehingga akan menjaga dirinya dari amal
perbuatan buruk sekecil apapun itu.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena)
Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada
sekutu bagiNya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Berserah diri (islam) bukanlah bermakna
pasrah karena tanpa pengetahuan, akan tetapi rela dengan ikhlas karena telah
memahami dan menyadari, bahwa keberserah dirian-nya adalah demi
mengembalikan kepada fitrah asal-nya yang sungguh mulia, yaitu fitrah
diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan Yang Maha Terpuji di alam untuk
saling menebarkan rahmat Tuhan kepada semesta alam, rahmatan lil
‘aalamiiyn.
Berserah diri (islam) pun
bukan hanya mengandung makna hanya menyerahkan diri-nya kepada Tuhan-nya, akan
tetapi pula, dengan ikhlas berusaha menghilangkan pengakuan (ego)
yaitu menyerahkan segala sesuatu yang
sebelumnya dirasakan sebagai milik-nya. Seperti anak-istri, harta benda, rumah
tinggal, kendaraan, hewan ternak atau peliharaan, ladang pekerjaan, dan lain
sebagainya. Kemudian pula pada apa-apa yang ada didalam jasad atau tubuh-nya,
apa-apa yang diingat dan dipikir-nya, apa-apa yang diucap-nya, apa-apa yang
didengar-nya, dan apa-apa yang dilihat-nya, serta gerak dan tenaga-nya, bahkan
pada nafas-nya, yang semua itu, ternyata bukanlah dia sebagai pemilik-nya,
melainkan Dia-lah pemilik yang sesungguhnya.
Tidak ada sedikitpun
kekuasaan dan kekuatan-nya terhadap semua itu, kecuali bila atas izin dan
kehendak-Nya. Diri-nya hanyalah cuma menerima semua itu sebagai anugerah
dari Allah yang masih harus dikelola-nya secara lurus, baik, dan benar, serta
sebagai yang akan dipertanggung jawabkan-nya, kelak. Menerima karena
hidup yang diberikan atau dianugerahkan oleh Dia Yang Maha Hidup.
Alam raya ini, langit dan
bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk
berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar
ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan
dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang
merasa diluar kuasa-Nya. Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam
kuasa dan kehendak-Nya. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapan
dan kehendak-Nya.
Ingatlah, istri serta anak-anak,
saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah,
bahkan diri dan tubuh-nya sendiripun bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan
milik Allah SWT. Yang, segalanya tersebut, sewaktu-waktu, dapat saja hilang
atau pergi meninggalkannya.
Apa-apa yang disedekahkan pun adalah
karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali
kepada-Nya. Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada
secuilpun yang dimilikinya secara hakiki, dan abadi, serta merupakan hasil dari
kekuatannya sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan
(kekuasaan) selain dari kekuatan (kekuasaan)-Nya.
Sesungguhnya telah berserah diri
apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara
keduanya. Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan
serta siang dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran
awan-awan pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem.
Bahkan pada tubuh insan kemanusiaan, pada peredaran darahnya dengan
jantung yang memompa mengirimkan makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru
yang mengatur pernapasan, sel-sel yang tumbuh dan saling menunjang. Akal
pikiran dan ilmu, seluruhnya tunduk dan berserah diri pada ketetapan hukum-Nya.
Semua itu adalah karena kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri
kemanusiaan-nya. Hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang
merasa diluar kuasa-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Berserah diri dengan menyatakan
kelima rukunnya, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Ternyata
hanya baru pernyataan, maka belumlah sah bila tidak mewujudkan secara
ikhlas dengan mengeluarkan-nya dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai
dengan pernyataan-nya tersebut. Dan kembali, untuk memurnikan keberserah
dirian (islam)-nya sangatlah didukung oleh mengkokohkan kembali rasa iman
yang telah dibahas pada bab pertama sebagai dasar pijakan dalam mencapai
keikhlasan.
Dikarenakan kelima rukun-nya tersebut
sebenarnya merupakan cara-cara ibadah yang lebih bertujuan mencapai
kemurnian (keikhlasan) dalam berserah diri pada setiap insan kemanusiaan,
atau sebagai sarana latihan pensucian dan pembersihan dari pengakuan
(ego) sebagai penyebab segala sesuatu yang menyesatkan jiwa. Yaitu jiwa-jiwa
yang diharapkan telah mencapai ketenangan melalui pengendalian diri-nya yang
dapat diaturnya secara stabil dan membawanya pada ketentraman hidup.
Keyakinan-nya yang membuat jiwa-nya
merasa selalu di dalam perlindungan serta pemeliharaan Dia yang menguasai
langit dan bumi dengan segala isinya, sehingga tiada lagi rasa takut pada
diri-nya dan tidak pula bersedih hati. Sebab wujud diri-nya adalah
perwujudan-Nya, keinginan-nya adalah kehendak-Nya, kekuatan-nya adalah
kekuatan-Nya, nafas-nya pun hawa-Nya, apa yang dimiliki-nya adalah anugerah
dari-Nya, bahkan apa yang dirasakan-nya adalah karena hidup yang
dihidupkan-Nya.
Itulah kesaksian sejati, yang
dengan mata hatinya telah dapat melihat serta merasakan secara langsung akan
keagungan Dia Yang Maha Pemurah lagi Yang Maha Tunggal, sehingga membawa
jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) secara ikhlas total semata
hanya kepada-Nya.
“Allah, tidak ada
tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan
di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
(QS 2:255)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar