Bab IX
SHALAT
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah
shalat untuk
dzikir (mengingat) kepada-Ku.”
(QS 18:14)
K
|
ita sempat mengulas makna shalat pada bab-bab sebelumnya. Secara umum,
makna shalat adalah sebagai mengingat Tuhannya dengan melakukan ritual acara
pertemuan antara makhluk dengan Tuhannya. Yang hukumnya wajib dilakukan 5
(lima) kali dalam sehari, yaitu pada waktu terbit matahari (subuh), tengah
hari (dzuhur),
sore (ashar),
tenggelam matahari (maghrib),
serta malam (isya).
Dan ada pula shalat-shalat
lainnya yang tak terbatas jumlahnya, dan merupakan tambahan, serta sunah
hukumnya atau yang tidak diwajibkan, maka waktunya disesuaikan dengan rasa
keinginan atau kebutuhannya. Akan tetapi ulasan bab ini hanya menitik beratkan
makna shalat, yaitu sebagai yang mengarahkan kemanusiaan kepada amal perbuatan
yang terpuji, dan yang mencerminkan atau merefleksikan shalatnya, sehingga
terciptalah jiwa-jiwa dengan akhlak yang
mulia lagi terpuji, sebagai fitrah kemanusiaannya yang membawa amanat
sebagai wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Allah dan sebagai khalifah di
muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar.
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Akan tetapi, setelah ayat-ayat
tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin
khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan
shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada
sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa
diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym,
dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong
dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila
shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat
di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka
menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah
shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Makna mengingat
pada ayat ini, adalah mengingat yang tiada putusnya (li dzikri) dengan ikhlas berserah diri. Segala amal perbuatan
yang diiringi ingat kepada-Nya, tentu akan mensucikan dari kekotoran pengakuan
(ego) dan terhindar dari penyesatan dan kesesatan yang menjerumuskan diri
kepada kecelakaan. Ini-lah makna shalat-nya pun tetap mengiringi setiap
gerak amal perbuatannya, dalam setiap tarikkan dan helaan nafas-nya.
Bila sempat
terputus ingat (li dzikri)-nya, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar sebagai penyambung kembali (wustha),
lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim terus berkelanjutan atau
abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap syukur alhamdulillah sebagai tajali-nya.
Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala
kegiatan, kecuali tidur. Dan bila telah terbiasa, maka di dalam tidurnya pun
hati atau kalbu-nya akan tetap bergerak mengingat-Nya. Perlu pula
diperhatikan kembali, bahwa gerak mengingat tersebut pun janganlah di-aku
oleh pengakuan (ego), melainkan adalah mengakui hanya karena diberi
anugerah kekuatan oleh-Nya untuk dapat mengingat. Sebab, disinilah dasar awal
iblis dalam usahanya membelokkan arah kepada penyesatan yang
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan.
Dan dengan selalu mengingat
Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya
menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya.
Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang
mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan
kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari
kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah diri
seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam
mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
“.....
hanyalah
untuk (karena) Allah ......”, adalah ungkapan yang menunjuk
kepada kemurnian di hati-nya. Pada Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal,
dan segala sesuatu tersebut kembali menuju kepada-Nya. Maka segala sesuatu
tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego),
agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala
sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali
menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan.
Logikanya, jika telah dapat kembali kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada
perlu lagi ada pertanggung jawaban.
Sah
shalat-nya bila suci pakaian, tempat, dan badan-nya. Pernyataan
ini mengandung dua makna kesucian. Yaitu suci dan bersih dari kekotoran
atau kenajisan baik nyata kelihatannya dan bathinnya. Suci nyatanya,
yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya sehingga
pantas dan layak, sehingga tidak mengganggu kemurnian shalat-nya dari
penglihatan, penciuman, pengucapan, rasa dan pikiran kepada pihak lain dan diri-nya
sendiri. Begitupun pada suci bathinnya, yaitu pakaian, tempat, dan badan
yang telah dibersihkan sebelumnya dari pengakuan (ego) yang merasa
memiliki dan menguasai baik pakaian, tempat, dan badan (tubuh)-nya. Dan bila sebelum
shalat-nya diwajibkan bersih (suci), maka setelah shalat-nya pun
diwajibkan bersih (suci) amal perbuatan-nya.
Shalat juga
adalah salah satu sarana mencapai kemurnian dalam berserah diri.
Shalat seharusnya dapat menjaga-nya tetap mengingat Tuhannya sebagai
bentuk kedisiplinan yang dapat mempengaruhi pola hidup-nya agar lurus
sesuai shalat-nya. Dan bukanlah sebagai orang yang melakukan shalat,
tetapi malah lalai terhadap
shalat-nya (QS 107:1-7).
Di dalam kehidupan,
terkadang ditemui kejadian-kejadian yang dapat menjadi pelajaran sebagai hikmah
dari Tuhan. Sekedar cerita, ketika seorang bapak sedang melakukan shalat
maghrib berjamaah bersama seluruh keluarganya, terdengar diluar, pagarnya yang
terkunci diketuk-ketuk orang. Dia tetap pada shalat-nya hingga selesai, dan
suara di luar sudah tak terdengar lagi. Beberapa hari kemudian, di waktu dan
keadaan yang sama, dalam shalat-nya, terdengar keras sekali diluar rumahnya,
“kebakaran...kebakaran...kebakaran...!!”. Maka dia-pun segera menghentikan
shalat-nya, dengan diikuti seluruh keluarganya, diapun bergegas keluar.
Ternyata tetangga di seberang rumahnya mengalami kebakaran, untungnya api masih
kecil dan banyak orang membantu, tidak ketinggalan dia bersama keluarganya ikut
membantu. Sampai api tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan merekapun kembali
pulang ke rumahnya. Sambil menutup pintu, ketika semua keluarganya telah masuk,
dia bergumam, “haram
hukumnya, bila kita tadi tidak segera menghentikan shalat kita, untuk
membantu memadamkan api”.
Besoknya, dia mengetahui ada
tetangganya yang meninggal dunia. Ketika dia datang melayat, dan mendengar dari
pelayat lainnya, bahwa istri dari yang meninggal dunia tersebut, sempat
mengetuk-ngetuk pintu pagar rumah-nya untuk meminta pertolongan dengan
kendaraan miliknya agar dapat membawa ke rumah sakit, sebelum meninggal. Maka
lemaslah seluruh tubuhnya, karena rasa bersalah menyelimuti-nya.
“......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Dia merasa telah lalai
dari bunyi ketukan yang dianggap sebagai suatu hal yang sepele, ternyata
adalah hal yang sangat penting bagi tetangganya tersebut. Yang dia
sesali adalah kepekaan yang tidak segera disambut dengan gerak reaksi
dari-nya. Penyesalannya tersebut pun telah membuka dada-nya semakin lebar untuk
menerima hikmah sebagai petunjuk dari Tuhannya. Insya Allah, penyesalan-nya
akan diterima Allah dan kembali kepada diri-nya dalam bentuk ampunan
dari-Nya.
“...... dan dirikanlah shalalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu
lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Begitu pentingnya memahami
makna shalat dan dzikir (mengingat Allah), sehingga menghindarkan diri kita
termasuk golongan celaka sekalipun tidak pernah lepas dari ibadah
shalatnya. Golongan yang celaka adalah mereka yang tetap melakukan shalat
sebagai ibadah kepada Tuhannya, tetapi tetap pada perilaku atau amal perbuatan
yang mengingkari Allah. Shalat untuk mengingat, bukan hanya sekedar
kewajiban apalagi mengingkari atau melupakan, mengingat agar dirinya selalu
tetap berada pada jalan lurus-Nya.
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu
mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......” (QS 4:43)
Ayat di atas
menjelaskan, bahwa diri kita dilarang melaksanakan shalat bila dalam keadaan mabuk.
Maka pikirkan dan renungkanlah, bagaimana kepada diri-diri yang sedang
mengalami mabuk kehidupan dunia? Apakah itu mereka yang sedang dimabuk
cinta-asmara, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dan lain sebagainya.
Apakah hal tersebut menjadi
berhubungan maknanya, bila kemudian kita pahami pula pada penjelasan ayat
berikut di bawah ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang
shalat, (yaitu) orang yang
lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan
(memberikan) bantuan.” (QS 107:1-7)
Allah mengecam pula mereka yang
shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam
shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal
perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu,
sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau
perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang merugikan, menyakiti atau mendzalimi
orang lain, atau sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi, bahkan merugikan
dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun
dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu
ajaran lurus dari Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan
diminta pertanggung jawaban.” (QS 17:36)
Bukan hanya sekedar
menyadari, mendengar, melihat, mengucap, serta mencium yang semua itu adalah
anugerah pemberian Tuhannya, melainkan pula dengan kepekaan-nya untuk
menanggapi atau bereaksi yang sesuai dengan shalat (ingat)-nya agar
tidak timbul penyesalan di hari kemudian, sebagai kelalaian-nya.
Jadi makna lalai yang dimaksud
Allah adalah menjadi tidak bermanfaatnya shalat (sebagai ibadah ritual
kepada-Nya) bagi kehidupan, akibat kebodohannya. Ya, orang yang tidak ingat
adalah orang yang kehilangan kepekaan keasadarannya, layaknya orang yang
linglung dan bodoh. Apalagi yang tidak mau menggunakan akal pikirannya dalam
memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya.
“Dan ingatlah Tuhan-mu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai”. (QS 107:1-7)
Mengingat
Tuhan yang tiada putus, sebagai wujud yang penuh dengan Keagungan dan
Kemuliaan serta mewujud di alam kepada setiap diri insan kemanusiaan sebagai
perwujudan dari Yang Maha Terpuji. Maka, dengan selalu menyadari dan
mengingat-Nya adalah “hal utama”
yang dapat membuat hati menjadi hidup oleh hidayah
(petunjuk)-Nya, sehat oleh karena selalu mensucikan-nya dari
pegakuan (ego)-nya, dan peka terhadap kehidupan karena merasa rendah
hati dan takut akan mengalami penyesalan akibat tersesat oleh
ego-nya sendiri, sebagai kelalaian-nya.
“....... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar