Bab I
Meyakini
ALLAH
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami
lakukan yang demikian itu) Agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
(QS 7:172)
K
|
emanakah seharusnya seluruh keyakinan
mengarah, dan harapan serta daya kekuatan bertumpu, bila selain
kepada Dia yang sesungguhnya mencipta, menguasai, dan kemudian memelihara?
Yaitu yang mencipta segala sesuatu dengan sempurna rancangan dan kejadiannya
yang tanpa cacat, menguasai segala sesuatu dengan sempurna adil dan
bijaksana-Nya, serta memelihara segala sesuatu dengan sempurna kasih dan
sayang-Nya. Dia-lah Cahaya diatas cahaya, yang mencipta segala sesuatu dengan
cahaya-Nya, menetapkan pada kehendak-Nya dan meneranginya dengan petunjuk-Nya,
kemudian memelihara dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya yang Maha Adil lagi
Bijaksana. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari-Nya.
Bukan mata yang tak melihat dan
bukan pula hati yang buta, akan tetapi cahaya sejati yang seharusnya
menerangi segala sesuatu tersebut yang belum menyentuh jiwanya. Sehingga
kesempurnaan segala sesuatu tersebut, baik ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan
pemeliharaan-Nya menjadi tak nyata oleh mata dan hatinya terhalang oleh kekotoran-kekotoran
akibat kecintaan yang berlebihan kepada selain-Nya, bukan mata yang tak
melihat, melainkan hatinya yang buta. Jadilah jiwa-nya kehilangan keyakinan.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Bila cahaya sejati telah
menyentuh jiwa-nya, maka dia telah berada di dalam naungan istana sadar.
Seperti layaknya berada di dalam ruangan yang diterangi cahaya lampu setelah
gelapnya, maka hati dan jiwanya telah memiliki keyakinan, ketenangan, dan
ketentraman, setelah sebelumnya merasa sempit, resah, gundah, serta takut dan
tersesat. Cahaya sejati itulah yang menerangi jiwa-nya hingga mengetahui dan
memahami dengan kesadaran-nya, tentang mana yang baik dan buruk, benar dan
salah, serta menyelamatkan dan menjerumuskan.
Bukan pula hati tak mengetahui
atau menyadari keberadaan dan kuasa mutlak-Nya, akan tetapi kepentingan pengakuan
(ego) dan hawa nafsu-nya jauh lebih kuat mempengaruhi jiwa, menyesatkan
dari petunjuk-Nya dari jalan lurus sesuai kehendak-Nya. Pengakuan (ego) dan
hawa nafsu-nya menjadi lebih kuat yang didorong oleh keinginan dan kebutuhan
yang telah membelenggu kehidupannya. Hal tersebutlah yang semakin menjauhi
dirinya dari cahaya petunjuk Tuhannya, yang seharusnya dapat melihat segala
kebenaran hakiki menuju keselamatan dirinya.
Keadaan seperti itu membuat
pengenalan terhadap Tuhannya menjadi semakin terkikis, semakin tersesatlah
dirinya dari jalan kembali kepada Tuhannya. Padahal kembali kepada
Tuhannya adalah hal yang utama dari setiap tujuan, karena segala sesuatu di
semesta alam ini, termasuk dengan dirinya, adalah berasal dari-Nya dan akan
kembali kepada-Nya. Jangankan menyadari keberadaan Tuhannya, menyadari
keberadaan para aparat (malaikat)-Nya, yang sesungguhnya bersinggungan
langsung dengannya dan sebagai penyampai segala kehendak dan ketetapan-Nya pun tak
pernah terasa apalagi diketahui dan dikenalnya. Ya, aparat Allah yang
sesungguhnya menjaga, membantu, dan membawa petunjuk atas perintah Tuhannya,
inipun menjadi semakin tak dirasa keberadaannya. Lama-kelamaan terkikis dan
hilanglah keyakinan peran mereka terhadap kehidupan kemanusiaan.
Karena di alam, maka diri
kemanusiaan tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya
pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang
Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin, yang diberi
pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui sebagai Yang Maha Pemberi
(Pemurah), kecuali bila telah diberi pengetahuan yang atas kehendak-Nya?
Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak
terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia
menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenal segala
sesuatu, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang
Maha Tunggal (Allaahu Ahad), agar
setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia
Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau
wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal
dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah
diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
tempat keberadaan-Nya.
Dzat atau Wujud Tunggal
Ar Rahman adalah sebutan
Dia untuk dzat atau wujud tunggal-Nya. Wujud-Nya adalah Maha Pemurah
kepada segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dalam pemeliharaan-Nya yang
maha sempurna. Dan segala sesuatu tidak ada yang lepas dari rahmat-Nya.
Dia merahmati seluruhnya
apa-apa yang berada di langit maupun yang berada di bumi dan apa-apa yang
berada diantara keduanya, setiap saat, mengatur dan memeliharanya dengan sangat
sempurna. Begitulah kesibukan-Nya yang sama-sekali tidak tersentuh oleh
kelelahan maupun rasa kantuk untuk merahmati seluruh makhluk (QS 2:255).
Melalui cahaya-Nya (nur Allah)
penciptaan diawali dengan penciptaan para aparat atau malaikat-Nya (nur Cahya),
kemudian semesta alam dengan segala sesuatu isinya, termasuk insan kemanusiaan
(nur Muhammad sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji). Dengan demikian
Dia-lah sumber asal segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah Dia. Segala
sesuatu tersebut yang tak terhitung jumlahnya dan bertebaran di semesta alam
ini adalah perwujudan Dia. Akbar di dalam Tunggal-Nya.
Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah) segala
sesuatu secara saling berketerkaitan atau berinteraksi hingga tercapai keseimbangan
yang sempurna yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan-Nya
(sunathullah). Itulah mengapa kemurahan-Nya menjadi berhubungan sekali dengan
keadilan-Nya, yaitu menjaga keseimbangan pada setiap rahmat-Nya, baik
itu menjaga keseimbangan dalam mencari rizki, kehidupan sosial, dan pula
menjaga keseimbangan alam sebagai tempat kehidupan.
Begitu pula kemurahan-Nya
berkaitan dengan kekuasaan-Nya, agar dengan kuasanya rahmat-Nya sampai kepada
seluruh ciptaan-Nya. Dan begitu pula keterkaitan dengan ilmu-Nya, tentu
pengetahuan-Nya haruslah meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya. Begitulah
keterkaitan segala sifat dari Maha Pemurah-Nya, maka Dia adalah Maha
Segala-galanya di dalam ketunggalan-Nya.
Masih begitu banyaknya segala
sesuatu wujud, baik yang nyata terlihat (lahir) maupun yang tak terlihat
(bathin), yang belum diri-diri kemanusiaan ketahui, dan setelah semakin
diketahui maka telah menunggu lagi berikutnya untuk pula diketahui. Jangankan
menentukan berapa banyak jumlah wujud yang belum diketahui, menentukan jumlah
yang sudah diketahui saja pun takkan pernah selesai.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Begitulah
Dia, wujud Sang Maha Pemurah. Segala sesuatu wujud yang berada dan tersebar di
semesta alam ini adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Pemurah, ar
raahman, dan Dia bukan-lah segala sesuatu tersebut. Keterbatasan
diri kemanusiaan-lah yang sesungguhnya menjadi tabir yang menutupi
penglihatan kepada-Nya, sedangkan Dia mengetahui segala sesuatu tanpa batas.
Bagaimana mungkin diri kemanusiaan dapat melihat dan mengetahui Dia yang
sesungguhnya memberi penglihatan dan pengetahuan kepadanya? Kecuali Dia
berkehendak lain kepadanya. Dia-lah yang zhahir dan yang
bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh
makhluk ciptaan-Nya, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk
memahami, apalagi dalam hal mendefinisikan Dzat-Nya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
Allah memang kuasa berkehendak
memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti
diterangkan diawal ayat di atas. Akan tetapi Dia pun menyatakan, hanya kepada
mereka yang mau menggunakan akal-nya itulah maka Allah berkehendak
menganugerahkan hikmah-Nya. Sehingga kehendak-Nya adalah bagi mereka yang
menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran dan menerapkan apa-apa yang
didapat melalui akalnya.
Sekalipun akal kemanusiaan pun
sebagai yang memiliki keterbatasannnya, namun sesungguhnya, akal dan kesadaran
tersebut adalah merupakan yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya. Dan
sungguh, keterbatasan pada diri-diri kemanusiaan pun mengalami tingkatan-tingkatan
yang lebih karena berdasarkan sejauh mana penggunaan akal-nya yang terbatas,
apalagi dalam hal mengenal-Nya. Selama dia tak berhenti pada
suatu tingkatan, dan menjadi taqlid tak lagi hendak menggunakan
akal-nya, maka akal-nya akan terus
berkembang kepada tingkatan-tingkatan yang membawa kesadaran-nya kepada
yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Seluruhnya tersebut, yang
sampai kepada diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya adalah karena karunia
kemurahan-Nya untuk seluruh umat kemanusiaan. Lihat dan renungkanlah, segala
sesuatu yang Allah ciptakan, kemudian segala sesuatu tersebut memiliki gerak
atau kehidupannya, sesungguhnya demi kemudahan kehidupan kita, diri-diri
kemanusiaan. Bila rahmat-Nya tersebut ada yang terasa buruk bagi kita,
sesungguhnya adalah karena keterbatasan dan menjadikan karena ulah perbuatan
kita sendiri. Maka, kelak setelah mendekati puncak kesadaran, kita akan
memahaminya bahwa, sesungguhnya hal-hal itupun demi mencapai kebersihan
diri kita sendiri juga. Demi menyucikan kekotoran atas dosa-dosa yang
meliputi jiwa, agar mencapai kesempurnaan akhir pada saat hendak kembali pulang
kepada-Nya, ilayhi raji’un. Subhanallah, sungguh Dia Yang Maha Kasih
Sayang lagi Maha Bijaksana yang bahkan dengan azab-Nya. ternyata adalah karena
Cinta Kasih-Nya hendak menyucikan segala kekotoran dosa makhluk-Nya.
Kita,
sebagai diri-diri kemanusiaan yang merupakan ciptaan-Nya, hanya dapat mengenal
wujud-Nya melalui segala rahmat-Nya. Bila hanya satu atau dua rahmat-Nya,
belumlah tentu cukup untuk dapat mengenal-Nya. Itulah sebabnya Dia selalu
mengingatkan kita agar selalu menggunakan akal dan hati dalam setiap interaksi
dengan sesama makhluk-Nya di alam ini.
Nama Tunggal
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar
Rahman (Yang
Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna
(nama-nam terbaik).......” (QS 17:110)
Begitu
banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti,
ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya
berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya,
seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah
nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al
dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah).
Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah
(tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang
Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang, dan Dia sendirilah yang
memberitahukan melalui firman-Nya,
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,........” (QS 18:14)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan
‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk,
yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara,
mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama
adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti
tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi
membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya
beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam
penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
Di dalam al Qur’an pun begitu
banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan
nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada
sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia
menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah
dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Sebuah
nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah
karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya
sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya
predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.
Predikat Tunggal
Pekerjaan-Nya
yang selalu sibuk mencipta segala sesuatu disetiap waktu, tiada pernah
berhenti dan tiada tersentuh kelelahan, dan tiada pula tersentuh rasa kantuk
(QS 2:255), maka sebutan
Khaliq atau Maha Pencipta adalah sebagai predikat tunggal Tuhan. Dia-lah
pencipta segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Dan segala sesuatu selain
Dia adalah ciptaan-Nya, yaitu semesta alam, langit dan bumi serta apa-apa yang
berada diantara keduanya, kemudian menyempurnakan dengan menentukan
kadar-kadarnya (sunathullah) dalam kuasa serta pemeliharaan-Nya.
Segala
sesuatu Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah), dan dengan
cahaya-Nya tersebut yang sebagai bahan baku penciptaan para aparat-Nya yang
disebut malaikat (nur Cahya). Sampai disitulah, Dia yang Maha Tunggal,
kini hanya tinggal memerintah para aparat-Nya untuk mengerjakan apa-apa yang
dikehendaki-Nya (itulah mengapa terkadang pada firman-Nya menggunakan kata “Kami”
yang berarti memerintahkan kepada
para aparat-Nya, yakni para malaikat, untuk mengerjakan apapun kehendak-Nya).
Dan kemudian, dengan memerintahkan para malaikat-Nya, kemudian dibentuk dan
dibangunlah semesta alam beserta segala isinya, yaitu yang memenuhi langit dan
bumi, termasuk diri-diri kemanusiaan sebagai perwujudan yang Maha Terpuji (nur
Muhammad).
Nur atau
cahaya tersebutlah yang sesungguhnya sebagai energi, yang dengan ketetapan dari
setiap kehendak-Nya, yang menggerakkan atau menghidupkan segala
sesuatu (materi) bekerja dalam satu (ke-Tunggal-an) sistem semesta secara
keseluruhan yang begitu akbar, tak terhitung jumlah materi beserta sifatnya
yang tercipta, bahkan termasuk rizki yang berupa makanan-nya demi
kelangsungan kehidupan sistem tersebut.
Semesta alam
ini, bumi dengan jumlah populasi tumbuhan yang mencapai milyaran, populasi
hewan yang mencapai milyaran, dan populasi manusia pun mencapai milyaran. Di
langit pun begitu, bintang yang bertebaran di dalam satu galaksi saja,
populasinya pun mencapai milyaran, sedangkan di langit terdapat milyaran
galaksi. Bayangkanlah betapa luas dan tak terhitungnya isi semesta alam ini.
Suatu predikat Yang Maha Agung-lah penciptanya.
Allah yang menciptakan,
memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam.
Itulah nama atau sebutan predikat tunggal-Nya sebagai Khaliq. Dan
Dia-lah pencipta segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk langit
dan bumi itu sendiri sebagai tempat atau alam yang amat teramat luas (semesta
alam).
Af’al Tunggal
Af’al
tunggal-Nya adalah Semesta Alam, sebagai karya
cipta-Nya yang tunggal (QS 21:30), yang merupakan suatu sistem
makro semesta yang saling terkait satu sama lainnya dari setiap keseluruhan
isinya secara sempurna dalam suatu hukum Tuhan, yang disebut sunathullah.
Sehingga tidak sedikitpun sesuatu yang terlihat cacat pada setiap bagiannya,
sekecil apapun itu (QS 67:3).
Tentu pula,
semesta alam ini dipenuhi oleh nur Allah, nur Cahya, dan nur Muhammad sebagai
unsur dasar pembentukan segala sesuatu yang menjadi makhluk-Nya. Bahkan,
makanan berikut sumber-sumber makanan-nya pula, yang dalam ilmu biologi
disebut dengan ‘siklus rantai makanan’, yang merupakan rizki dari Dia
yang Maha Pemurah dan Penyayang. Suatu makhluk yang merupakan rizki makanan
bagi makhluk lainnya, menjadi saling berketergantungan kepada manfaat satu sama
lainnya.
Nur atau
cahaya inilah yang sesungguhnya merupakan energi yang membentuk wujud
atau struktur setiap materi, kemudian menghidupkan-nya, yaitu tumbuh dan
berkembang, bahkan ikut serta membentuk wujud-wujud atau struktur-struktur yang
jauh lebih kompleks dan rumit yaitu makhluk hidup, seperti manusia.
Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai
materi, tetap masih memerlukan cahaya untuk keberlangsungan gerak hidup-nya,
termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Kesemuanya tersebut
adalah merupakan kehendak-Nya dalam sebuah ketetapan (sunathullah). Kelak, di
bab-bab selanjutnya, tentang energi ini akan diuraikan secara bertahap
dan lebih luas lagi.
Segalanya dicipta, dibentuk, kemudian dihidupkan dan menerima
pula segala sesuatunya dalam sistem lindungan dan pemeliharaan-Nya. Tiada yang
luput sedikitpun dari setiap kehendak dan ketetapan Dia yang Maha Kuasa. Adalah
sifat makhluk sebagai yang menerima, sedangkan Dia adalah sebagai
pemberi, yang Maha Pemurah (ar Rahman) dan Maha Adil. Keadilan-Nya lah yang
menciptakan keseimbangan yang sempurna di alam ini.
“...dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan
merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. (QS 55:7-9)
Sifat Tunggal
Segala
sesuatu dinamakan berdasarkan sifatnya. Begitupun kepada Dia, akan tetapi
dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat yang tak terhitung banyaknya (Akbar),
maka tak ada nama yang sesuai dan layak diberikan untuk segala sifat-Nya.
Sehingga disebut Akbar
sebagai sifat tunggal-Nya agar mencakup keseluruhan sifat-Nya
yang tak terhitung.
Penafsiran
dari beriman kepada Allah adalah lebih untuk mengenal-Nya melalui sifat-sifat
Allah yang mewujud di alam, serta kemudian membuat diri ini tergugah
untuk menggunakan sifat-sifat tersebut kepada setiap amal perbuatannya.
Sehingga terciptalah manusia-manusia ber-ketuhanan yang maha esa, yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti
luhur lagi mulia, yaitu perwujudan Allah di bumi sebagai penebar
rahmat-Nya kepada semesta alam, khalifah yang rahmatan lil alamiin.
Pengertian ketuhanan
disini bukan berarti yang ber-tuhan itu adalah tuhan, melainkan perwujudan
dari sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Seperti pada pengertian kita kehujanan,
maka bukti-bukti keberadaan hujan ada pada kita, yaitu basah-nya
sebagai salah satu sifat hujan yang membasahi. Dengan demikian, pemahamannya
adalah mewujudkan sifat-sifat Tuhan pada setiap gerak amal perbuatannya yang
jelas bersentuhan dengan apapun selain pula dirinya, sehingga menjadi rahmat
bagi bagi diri dan sesama makhluk Tuhan. Rahmatan
lil ‘aalamiyn.
Akbar-nya sifat-sifat Allah yang tak
terjangkau dengan hitungan dan bilangan-Nya oleh kemanusiaan, dikarenakan
hitungan dan bilangan-Nya pun adalah merupakan makhluk ciptaan-Nya (segala
sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan, pun termasuk nama-nama
dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah makhluk), adalah sebagai
yang menunjukkan bukti keakbaran rahmat dan nikmat Allah yang sesungguhnya,
keseluruhannya dianugerahkan bagi kehidupan kemanusiaan.
Lihatlah dalam kehidupan dunia sehari-hari
disekitar kita, sekalipun dikatakan, orang-orang beriman telah langka, tetapi
norma masihlah hidup diantara mereka, terbukti masih ada kepedulian dan kasih
sayang antar sesama, sekalipun yang sebaliknya pun tetap merajalela. Artinya,
sifa-sifat Allah tetap mewujud di bumi melalui manusia-manusia yang
ber-keimanan berdasarkan tinggi-rendahnya kadar keimanannya.
Dalam teologi
dan metafisika Islam, para ulama membedakan antara Dzat Tuhan dan Sifat
Tuhan yang dinyatakan-Nya melalui wahyu. Di dalam Al Qur’an, Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha
Pengasih, Yang Maha Pemurah,
Yang Hidup, Yang Maha Kuasa, dan lain-lainnya. Dari
sebutan-sebutan itulah kemanusiaan memahami sifat-sifat Allah yang akbar
(banyak dan tak terhitung), namun Dzat-Nya diluar jangkauan pengetahuan kemanusiaan.
Oleh sebab
itulah, maka para ulama memisahkan antara Dzat Tuhan di satu sisi dengan
Sifat-Sifat Tuhan di sisi yang lain. Dimana Dzat Tuhan sebagai yang bathin (tak
terlihat atau ghaib), dan Sifat-Sifat Tuhan sebagai yang zhahir
(nyata atau lahir) bagi pengetahuan kemanusiaan. Tidak seperti kemanusiaan
memahami yang selain Tuhan, malah kebalikannya. Segala sesuatu selain Tuhan,
dapat dipahaminya melalui wujud dan bentuknya sebagai yang zhahir (nyata atau
lahir)-nya, dan sifat-nya sebagai yang bathin bathin (tak terlihat atau
ghaib). Karena itulah Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang
Bathin.
Secara
ekstensial, tidak ada perbedaan yang dapat memisahkan antara Dzat dan Sifat.
Sekalipun demikian, kemanusiaan memandang adanya perbedaan antara pengampunan
Tuhan dengan siksa-Nya, seolah ada sisi baik dan kejam dari
kuasa-Nya. Padahal pengampunan Tuhan adalah bagi mereka makhluk-Nya yang
berusaha keras memperbaiki kesalahan tanpa mengulanginya kembali, sedangkan siksa-Nya
adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri yang terus hanyut dengan kesalahan
yang berlarut-larut. Seperti itulah hukum atau ketetapan (sunathullah)-Nya yang takkan pernah
berubah.
Marilah kita tinjau dan resapi
dalam-dalam, serta coba memahami makna-makna dari sifat dua puluh Allah
yang telah dianugerahkan kepada seluruh kemanusiaan, sehingga
menyadarkan kita kembali akan keagungan dan kemuliaan Dia, yaitu betapa
hampanya kita bila tanpa anugerah-Nya, serta memanfatkan anugerah tersebut
sebaik-baiknya, juga siap menerima bila anugerah yang telah diberikan dicabut
kembali oleh-Nya.
1.
Sifat Wujud
Dia bersifat Wujud, yaitu ada. Sedangkan ciptaan-Nya,
termasuk manusia ternyata tidak ada. Wujud manusia adalah perwujudan
Allah. Maka, segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya ternyata adalah
perwujudan Allah. Perwujudan Allah adalah wujud semesta alam ini termasuk isi
di dalamnya baik yang nyata terlihat dan yang nyata tak terlihat, tetapi Dia
bukanlah alam itu sendiri.
Bingung?
Tidak usah bingung. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah
pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah
penulis itu sendiri, tentunya. Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit
dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tak berhinggaan
termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya.
Allah
meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak
terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia,
sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang
yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan
kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang
dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan
sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya
saja. Maka Dia-lah yang Akbar.
Sifat wujud-Nya ini
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yaitu wujud yang
sesempurna-sempurnanya (muhammad), sebagai perwujudan Dia Yang Maha
Sempurna lagi Maha Terpuji.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Perwujudan-Nya pada setiap
ciptaan atau makhluk-Nya, merupakan petunjuk, bahwa segala sesuatu ada
setelah Dia adakan atau wujudkan. Sehingga, mengarahkan kepada pemahaman, bahwa
sesungguhnya Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu.
2.
Sifat Qidam
Allah bersifat Qidam, yaitu pendahulu.
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu.
Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist).
Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia
sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang
ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki
awal dan juga memiliki akhir. Sungguh tak terhitung awal
segala sesuatu, maupun akhir dari segala sesuatu, baik yang nyata
terlihat maupun yang nyata tak terlihat, maka Dia pulalah yang Akbar.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir.
Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya,
bagaimana mungkin ada dari segala sesuatu tersebut yang mengetahui kapan
Dia berakhir. Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dan sifat
sebagai pendahulu inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri
kemanusiaan. Ya, sifat inilah yang mendasari diri kemanusiaan selalu
mendahului dengan menganalisa, memahami, kemudian merencanakan segala sesuatu
sebelum melaksanakan niat kehendak-nya untuk mencapai kesempurnaan hasil
yang akan didapatnya. Dengan anugerah sifat inilah manusia menjadi memiliki
peradaban yang selalu berkembang semakin sempurna dari waktu ke waktu.
Segala sesuatu selalu didahului
oleh kehendak serta ketetapan dari setiap perencanaan-Nya. Tiada sesuatupun
yang luput dari pengetahuan-Nya dan berada di dalam kesempurnaan kuasa serta
pemeliharaan-Nya. Dan Dia sebagai pendahulu segala sesuatu, maka menunjukkan
sifat-Nya yang kekal abadi sebagai bukti bahwa segala sesuatu, baik yang
telah ada sebelum ini dan telah tidak ada sebelum ini, maupun kelak yang akan
ada dan kelak akan tiada, adalah didahului oleh keberadaan dan
kehendak-Nya. Dan dengan demikian, maka jelaslah, bahwa Dia-lah yang Kekal
Abadi.
3.
Sifat Baqa
Allah bersifat Baqa, yaitu kekal
abadi. Sedangkan segala sesuatu selain-Nya bersifat fana atau berubah-ubah,
tidak kekal dan sementara atau mengalami kematian (berakhir).
Dia abadi bersama segala sifat-Nya, dan tidak ada yang berubah dari apa-apa
yang telah ditetapkan-Nya.
Kekekalan dan keabadian-Nya mengkerdilkan
segala sesuatu selain Dia. Kerdil dalam segala hal, karena segala hal
tersebut pun ternyata adalah ciptaan-Nya. Kerdil pada setiap makhluk-Nya adalah
bentuk keterbatasan dalam segala hal tersebut. Hidup yang terbatas, kekuasaan
yang terbatas, keadilan yang terbatas, kesabaran yang terbatas, kekuatan yang
terbatas, ilmu yang terbatas, penglihatan dan pendengaran yang terbatas, serta
dalam segala hal makhluk memiliki keterbatasan yang mutlak.
Anugerah-Nya kepada manusia
dari sifat-Nya ini, ialah pada kekalnya jiwa yang dengan amal perbuatan-nya
yang melekat terus di diri kemanusiaan, yang terus terbawa di
kehidupan-kehidupan selanjutnya, baik itu adalah amal perbuatan baik ataupun
amal perbuatan buruk. Kekal sebagai yang mendapat balasan nikmat ataupun
balasan siksa selama adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), yang sesungguhnya
merupakan sarana pemurnian (kesucian) jiwa agar dapat kembali kepada
Tuhannya. Kembali kepada-Nya dalam keadaan bersih dari noda kekotoran selama
bersinggungan dengan kehidupan dunia, karena yang dapat kembali kepada-Nya
hanyalah mereka yang telah suci.
Segala
perwujudan-Nya yang dalam bentuk ciptaan atau makhluk memiliki kekekalan
berdasarkan waktu yang telah ditetapkan-Nya untuk suatu urusan dalam setiap
rancangan semesta-Nya yang Akbar. Sifat Abadi-Nya mengukuhkan
sifat-sifat sebelumnya yaitu sebagai yang wujud dan yang pendahulu. Juga yang
mewujudkan segala bentuk dan sifat kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia berbeda
dengan selain-Nya, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk-Nya, termasuk manusia
yang ternyata sesungguhnya fana ternyata tidak ada atau hampa,
karena selalu mengalami perubahan (hadits).
4.
Sifat Mukhalafathul Lil Hawaditsi
Bermakna, Allah berbeda
dengan makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Maka segala sesuatu yang
selain Dia tidak akan dapat menyamai sifat Allah. Dia-lah yang Maha
Tunggal. Tidak ada definisi yang tepat yang dapat ditujukan kepada-Nya, kecuali
apa-apa yang telah diterangkan oleh-Nya sendiri melalui firman-Nya.
Jadi jelaslah bahwa segala
sesuatu selain Dia adalah tidak ada, kosong atau hampa, dan
amat bergantung terhadap semua hal kepada-Nya. Ada karena diwujudkan oleh-Nya,
jangankan hidupnya, matinya saja karena dimatikan oleh-Nya. Tidak sesuatu pun
yang menyamai-Nya, dan segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya, yang
juga merupakan ciptaan atau makhluk-Nya tentu amat bergantung kepada-Nya.
Dan sifat berbeda inipun
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yang memiliki jiwa dengan
karakteristik yang saling berbeda satu sama lainnya. Sehingga dengan demikian,
timbullah saling berketergantungan dan saling melengkapi satu sama lainnya
dalam keselarasan ekosistem semesta, seperti yang telah ditetapkan dari
kehendak-Nya (sunathullah), Tuhan seluruh alam.
Perbedaan ini memang ada efek
di sisi negatif-nya, namun efek di sisi yang positif-nya jauh lebih besar dan
lebih bermanfaat. Lihatlah seluruh perbedaan yang telah Allah ciptakan dan
tersebar di alam ini. Bila segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam bentuk,
ukuran, sifat, gerak, dan warna yang seluruhnya memiliki persamaan, maka apa
yang terjadi. Semua akan terlihat dan terasa monoton dan membosankan.
Dan
Dia yang dengan rahmat-Nya memelihara seluruh segala sesuatu di semesta alam
ini menjadi bergantung dan berharap akan kuasa perlindungan dan
pemeliharaan-Nya disetiap waktu. Juga Dia yang tak pernah lelah dan tidur
memelihara seluruh makhluk-Nya. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan Dia
sebagai yang berdiri sendiri atau bersifat mandiri.
5.
Sifat Qiyamuhul Binafsihi
Sifat-Nya yang berdiri
sendiri atau mandiri, dan segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada-Nya, yaitu hidup dalam pemeliharaan-Nya yang sangat sempurna.
Dia tidak membutuhkan sesuatu
sekecil atau sebesar apapun, justru kepada Dia-lah segala sesuatu berharap akan
rahmat serta karunia-Nya. Segala sesuatu-lah yang sesungguhnya bergantung
kepada-Nya. Adanya keberadaan segala sesuatu adalah karena kehendak-Nya,
sehingga hanya Dia-lah yang memberikan rahmat pemeliharaan dan perlindungan.
Maka, bagaimana mungkin Dia membutuhkan dari selain-nya, sedangkan selain-Nya
amat berharap atas segala rahmat-Nya.
Dan sifat berbeda inipun
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan di dalam kehidupannya agar
dapat mandiri berusaha dalam menggapai dan mensyukuri setiap rahmat-Nya
dengan tidak bergantung atau berharap kepada selain Dia, Tuhannya Yang Maha
Pemurah lagi Maha Mandiri sebagai Yang Maha Tunggal.
Tentunya Allah menganugerahkan
sifat inipun dengan menganugerah segala rahmat-Nya yang lain agar
kemandiriannya dapat terwujud, seperti fisik dan kekuatan, akal dan pikiran,
serta kesadaran dan rasa. Yang kesemuanya tersebut merupakan dasar pendukung
bagi fitrah kehidupan setiap diri kemanusiaan agar menjadi khalifah di
bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan
demikian anugerah-Nya itulah yang menjadi petunjuk sebagai bukti, bahwa segala
sesuatu mengarah tertuju hanya kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal sebagai
tempat kembali segala sesuatu.
6.
Sifat Wahdaniyat
Dia-lah yang
bersifat esa atau tunggal, sedangkan yang selain
Dia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, adalah berbilang
atau jamak, bahkan tak terhitung. Bila dibandingkan, diri-nya bagaikan
setetes dari jumlah tetesan air yang memenuhi lautan di atas permukaan bumi.
Apalagi keberadaannya bila dibandingkan dengan semesta alam raya ini, bagai
titik kecil yang tak terlihat. Dan segala sesuatu di semesta alam raya yang tak
terhitung itu, bersumber atau berawal dari-Nya, serta akan mengarah
kembali pulang kepada-Nya.
Karena di
alam, kemurahan-Nya yang berupa rahmat kebaikan sebagai yang tunggal,
menjadi tak terhitung dan berpasang-pasangan dipahami oleh diri-diri
kemanusiaan. Dipahami sebagai kebaikan dan keburukan, kemudahan dan kesulitan,
terang dan gelap, dan lain sebagainya yang merupakan segala sesuatu yang banyak
tak terhitung dan berpasangan.
Akan tetapi,
janganlah lupa, bahwa sebenarnya, diri ini yang dengan jasadnya meliputi
milyaran sel bersama milyaran kehendak yang berada di bawah pengaruh
dirinya. Adalah yang tunggal pula bersama keakbaran-nya. Sadarilah,
sesungguhnya inipun adalah anugerah ketunggalan yang diberikan kepada setiap
diri kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Tunggal di alam dunia.
Tidak hanya
ketunggalan pada wujudnya, tetapi juga dengan ketunggalan kehendak pada
diri-nya, ketunggalan kehendak pada keluarga-nya, ketunggalan kehendak pada
lingkungan atau kelompok-nya, terus kepada yang lebih luas lagi cakupannya sesuai
dengan kapasitas kemampuan dirinya. Kesemuanya untuk mencapai kesempurnaan.
Ketetapan-Nya (sunathullah)
yang menghendaki segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya memiliki kecenderungan
mendapatkan pasangan-nya, untuk menentramkan rasa kebergantungan yang
merupakan fitrah ciptaan atau makhluk kepada penguasa yang menguasainya.
7.
Sifat Qudrat
Sifat-Nya yang berkuasa,
sedangkan bagi makhluk-Nya adalah yang dikuasakan, atau dapat pula diartikan
sebagai yang diberi kuasa oleh-Nya. Dialah Penguasa Sejati, segala sesuatu
selain Dia adalah yang dikuasai-Nya. Kekuasaann-Nya meliputi langit dan bumi,
serta apa-apa yang terdapat diantara keduanya. Dan Dia tiada pernah lengah
terhadap sesuatu, sekecil atau sebesar apapun itu.
Kekuasaan-Nya diiringi keadilan
dan kebijaksanaan sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang serta Maha
Memelihara. Dengan itulah terjaga keseimbangan berdasar ketetapan-Nya
(sunathullah), sebuah keseimbangan semesta ciptaan-Nya.
Dan pada diri kemanusiaan pun
dianugerahkan pula sifat kuasa ini kepadanya sebagai bukti gelar khalifah
di bumi yang diberikan saat hendak mencipta kemanusiaan pertama, yaitu Adam AS.
Tentu sifat kuasa yang dianugerahkan-Nya tidak untuk dipergunakan sebagai yang
merusak dan saling menumpahkan darah (QS 2:30), seperti yang dikhawatirkan para
malaikat.
Sayangnya pula kekhawatiran
para malaikat terhadap dua hal tersebutlah yang justru benar-benar terjadi
selama ini dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Keserakahan akibat hawa nafsu
yang mendasari dua perbuatan buruk tersebut adalah, seperti tidak bertanggung
jawabnya pada kerusakan alam akibat dieksploitasi habis-habisan kemudian
ditinggalkan. Tidak bertanggung jawabnya atas kerusakan kehidupan sosial
kemasyarakatan akibat mengejar kebutuhan materi, seperti tumbuh dan berkembangnya
prostitusi, judi, hiburan malam, dan narkoba yang merusak moral kehidupan
kemanusiaan itu sendiri. Juga pada ego diri ataupun kelompok golongan yang demi
kepentingannya, maka menafikan nilai-nilai kemanusiaan, kebaikan dan
kebenaran, yang bahkan dapat berujung kepada saling menumpahkan darah.
Kembali
kepada kesadaran bahwa sifat qudrat (kuasa)-nya sebagai yang
dianugerahkan Tuhannya kepada diri-nya adalah sebagai amanat yang kelak
harus dipertanggung jawabkan, merupakan hal mutlak agar menyadari fitrah-nya
sebagai wakil Tuhan di bumi sebagai khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
8.
Sifat Iradat
Dia-Lah yang
sesungguhnya memiliki sifat kehendak tehadap segala sesuatu,
sedangkan makhluk-Nya adalah yang diberi kehendak oleh-Nya.
Kehendak-Nya
merupakan suatu ketetapan yang mutlak bagi maupun dengan melalui
makhluk atau ciptaan-Nya. Melalui makhluk-nya, siapapun atau apapun dia, yang
pada saat itu dijadikan alat atau aparat-Nya dalam menyampaikan
kehendak-Nya, baik itu merupakan rahmat sebagai suatu kebaikan, ataupun
azab sebagai suatu keburukan.
Sifat kehendak
ini yang juga dianugerahkan kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang harus
dimurnikan atau disucikan dari kekotoran ego dan hawa nafsunya agar kelak dalam
mewujudkannya tetap berada pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebagai
amanat yang kelak akan dipertanggung jawabkannya.
Sifat kehendak
ini pula ternyata sebagai yang membawa kepada anugerah kepada sifat-sifat
lainnya yang mendukungnya dari mulai penglihatan, pendengaran, hingga petunjuk
ilmu dan rasa (hati) yang membuat kehendak-nya ini menjadi bermanfaat
dan dapat menetapkan dirinya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Yaitu kehendak-nya
yang merupakan perwujudan dari kehendak Dia Yang Maha Tunggal yang
sesungguhnya merahmati segala sesuatu yang ada pada dirinya maupun yang datang
kepadanya. Bahkan segala sesuatu yang di luar dirinya, baik yang diketahui
maupun yang belum atau tidak diketahuinya, seluruhnya sebagai yang berada di
dalam kehendak-Nya.
Dan segala sesuatu yang
merupakan makhluk-Nya yang berada dalam naungan pemeliharaan-Nya dan berada di
dalam kehendak dengan kuasa dan hukum-Nya (sunathullah), akan saling
menciptakan keseimbangan kehidupan, yaitu kesetimbangan semesta sebagai
ketetapan-Nya yang mutlak. Sehingga segala sesuatu di alam tiada yang lepas
dari pengetahuan dan ilmu-Nya.
9.
Sifat Ilmu
Dia-lah yang
bersifat ilmu, yaitu yang sejatinya pemilik ilmu. Sedangkan
segala sesuatu selain Dia makhluk adalah yang diberi ilmu, atau dapat disebut
pula sebagai keilmuan oleh-Nya. Dan yang selain Dia itu pulalah, yang
jangankan memiliki kepintaran, kebodohan pun tidak akan dimiliki-nya
bila tidak diberikan oleh Tuhannya.
Dan pada
setiap diri kemanusiaan yang diciptakan-Nya dengan kesempurnaan melalui ilmu
yang dianugerahkan-Nya yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya, yaitu
gelar ke-khalifahan kepadanya. Jadi, ilmu tersebut merupakan anugerah berupa
amanat yang kelak harus pula dipertanggung jawabkannya. Ilmu-nya adalah
merupakan ilmu-Nya, yang kelak akan kembali kepada pemilik sejati-Nya tetap
dalam kemurnian dan kesuciannya, tidak terkotori atau terkontaminasi oleh ego
dan hawa nafsunya.
Anugerah inilah yang diberikan
kepada Adam, bapak dari setiap diri kemanusiaan, yang justru menimbulkan
kedengkian sebagian malikat-Nya. Kemudian disebutlah dia iblis, yaitu malaikat
yang membangkang dari perintah Tuhannya (QS 2:30-34). Kedengkiannya itu menjadi
dendam abadi sepanjang masa, sampai hari akhir (kiamat), yang berusaha hendak
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan kedalam kesesatan. Namun, dengan rahmat
ilmu inilah manusia, yang bila memanfaatkannya secara maksimal agar tetap dalam
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dapat menghindarkan dirinya dari penyesatan
iblis, dan dapat pula mencapai kesempurnaan-kesempurnaan lainnya dalam
kehidupannya. Yaitu ilmu yang bermanfaat, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
10.
Sifat Hayyat
Allah
bersifat hidup, sehingga hanya Dia-lah yang sejatinya hidup,
sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang menerima atau diberi hidup atau
kehidupan. Dan yang selain Dia pasti mengalami kematian kemudian terurai di
alam. Dan yang selain Dia pula, jangankan kehidupan, kematiannya pun merupakan
atas kehendak dan izin-Nya. Hidup-Nya lah yang menghidupkan segala
sesuatu ciptaan-Nya.
Begitupun pada diri-diri kemanusiaan yang dianugerahi hidup-Nya
bagi kehidupan-nya. Anugerah inipun adalah amanat kepada kemanusiaan sebagai
yang harus dipertanggung jawabkannya kelak. Kehidupan kemanusiaan yang membawa
tugas amanat sebagai wakil Tuhan di muka bumi agar menjadi rahmat bagi sesama
makhluk-Nya di alam. Dengan demikian kematiannya pun tetap melalui
kehendak-Nya, tidak seenaknya mengakhirinya sendiri.
Kehidupannya adalah karena diutusnya aparat-aparat (malaikat)
Allah pembawa hidup kepada seluruh apa-apa yang berada pada tubuh atau
jasad-nya. Mata dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan mulut dapat
mengucap. Bahkan kepada hidup-hidup yang lebih halus yang tidak terasa
telah bekerja di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak untuk memompa
darah, paru-paru yang mengatur pernafasan dan suplay oksigen, usus yang
mencerna, sampai kepada metabolisme sel-sel yang jumlahnya milyaran, yang
kesemuanya bekerja dalam keseimbangan dalam suatu sisitem kehidupan. Kesemuanya
bukanlah diri kita yang mengatur dan memerintahkan-nya.
Bila disadari, sistem kehidupan yang bekerja di dalam satu tubuh diri
kemanusiaan, seperti dijelaskan di atas, seharusnya dapat berharmonisasi dengan
kehidupan di luar tubuh atau jasad-nya, sehingga terjadi keseimbangannya.
Yaitu, kehidupan yang membawa dan menciptakan kehidupan kepada yang lainnya,
yang tidak merusak kehidupan atau bahkan saling menumpahkan darah. Kehidupan
sebagai khalifah yang merupakan fitrah yang telah ditetapkan oleh-Nya,
yang paling tidak adalah sebagai yang memimpin dirinya tetap berada pada
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Begitulah kehidupan kemanusiaan sebagai
yang menerima anugerah hidup dari Dia Yang Maha Hidup lagi Yang Maha Pemurah.
Kehidupan
diri-diri kemanusiaan adalah merupakan perwujudan hidup-Nya, karena kemanusiaan
adalah wakil-Nya di alam dunia. Yang mewakili sifat-sifat Dia sebagai Ar
Raahman. Kehidupannya akan menjadi bernilai bila pula memanfaatkan anugerah
lainnya seperti dengan anugerah pendengaran, penglihatan, dan pengucapan.
Dan sungguh
kebanyakan diri-diri kita lalai dari mensyukuri betapa berharganya nilai
kehidupan ini, terutama dengan telah diterimanya pendengaran, penglihatan, dan
pengucapan. Dan baru akan disadarinya kelak dengan penyesalan yang dalam, bila
salah satunya hilang dari dirinya. Apa rasanya mengetahui ada yang perlu
dilihat tetapi matanya buta, atau mengetahui ada yang perlu didengar
tetapi telinganya tuli, dan ada yang perlu diucapkan tetapi mulutnya bisu?
Ingatlah,
sesungguhnya setiap diri kemanusiaan adalah hanya menerima nikmat-Nya,
sama sekali tidak ada yang dimilikinya. Hidup-nya saja karena kehidupan yang
sesungguhnya dianugerahkan Tuhannya. Menghendaki hidup pun tidak. Pernahkah
diri-nya minta dihidupkan? Tentu tidak. Bila demikian mengapa menjadi ada rasa
takut mati? Sedangkan meminta hidup saja pun tak mampu, bila tak digerakkan
oleh Tuhannya.
Apakah juga
pernah meminta nafas, atau meminta udara untuk bernafas? Tentu juga tidak.
Ingatlah kembali ketika terserang sakit flu, saat dada sesak dan hidung
tersumbat. Maka kelegaan bernafas menjadi terasa mahal baginya saat itu.
Renungkanlah, bila melihat orang yang sedang sakit, untuk bernafasnya saja dia
harus membeli oksigen. Begiitulah sesungguhnya nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Dan kita sebagai diri-diri
kemanusiaan hanya menerima nikmat dari segala rahmat-Nya.
Semua telah Dia berikan, dan
bila pemberian-Nya tersebut dapat hilang dari kita, tentulah itu
disebabkan ulah diri kita sendiri. Bukan Dia yang mencabut pemberian-Nya.
Segala apa yang diberikan Allah kepada diri kemanusiaan adalah hanya rahmat
dari Dia Yang Maha Pemurah (ar raahman), dan rahmat-Nya tersebut
menjadi keburukan adalah karena ulah dirinya sendiri. Sesungguhnya bukanlah
Tuhan yang memberi keburukan, melainkan dirinya sendiri yang telah mengkufuri
nikmat Tuhannya.
11.
Sifat Sama’
Dia bersifat
mendengar, maka segala sesuatu selain Dia dapat mendengar bila
telah diberikan pendengaran oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia mendengar tidak menggunakan telinga, tidak
memerlukan organ-organ pendengaran. Dia mendengar segala sesuatu dengan
cara-Nya sendiri, akan tetapi pendengaran-Nya tiada terbatas dan tidaklah
dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat
mendengar karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha
Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui dengar-Nya. Dia
mendengar segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin
di dalam hati. Dia mendengar pula segala suara apa-apa yang berada di kejauhan
langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Segala
sesuatu termasuk dengan diri-diri kemanusiaan dapat mendengar adalah karena
anugerah pemberian dari Dia Yang Maha Pemurah. Pendengaran yang diberikan
kepada manusia adalah memiliki keterbatasan, dikarenakan sifat-sifat lainnya
yang terbatas pula. Dan segala keterbatasan menjadi ada karena di alam, karena
organ-organ pada jasadnya yang membatasi. Dan karena keterbatasannya itupun
maka menjadi rahmat yang perlu disyukurinya. Bayangkanlah seandainya dirinya
yang serba terbatas dapat mendengar segala macam suara. Juga segala macam alat
atau organ, termasuk organ-organ pendengaran yang melekat pada jasad kemanusiaan
adalah merupakan aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai
penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap
tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Harmonisasi
terhadap yang lainnya, maksudnya adalah, daun telinga yang menerima informasi
suara yang sebagai gelombang energi yang menggetarkan gendang
telinganya, kemudian getaran-getaran tersebut disalurkan melalui sistem
saraf untuk dibawa ke otak untuk diolah sebagai data-data informasi.
Sementara, reaksi balik otaknya menunggu perintah dari hati-nya yang
mengelola dan mengatur berdasarkan data-data informasi yang tertanam di
otaknya.
Hati yang
sedang gelisah takkan dapat mengelola segala informasi yang masuk tersebut dengan
baik. Begitupula hati yang amat dipengaruhi hawa nafsu (keburukan), maka akan
meresponnya dengan keburukan pula. Begitupun hati yang telah dipenuhi oleh
kesibukan dunia, maka tiada akan merespon yang asing dari dunia-nya,
seperti informasi tentang akhirat. Dengan berjalan kehidupan-nya, tanpa
disadari, sebenarnya adalah usaha melatih keharmonisan organ-organ
tersebut melalui pengalaman-pengalamannya.
Mensyukuri anugerah pendengaran
ini dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih
peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara
maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah
tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
12.
Sifat Bashar
Dia bersifat
melihat, maka segala sesuatu selain Dia, dapat melihat bila telah
diberikan anugerah penglihatan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia melihat tidak menggunakan mata, tidak memerlukan
organ-organ penglihatan. Dia melihat segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri,
akan tetapi penglihatan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat
melihat karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui,
dalam hal ini Dia mengetahui melalui lihat-Nya. Dia melihat segala
sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati.
Dia melihat pula segala kejadian apa-apa yang berada di kejauhan langit dan
yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Dan segala
macam alat atau organ-organ penglihatan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat
ciptaan-Nya pula. Makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya yang
ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi
terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Bila pada
pendengaran, data informasi yang diterimanya adalah suara, getaran-getaran yang
dihantarkan sistem sarafnya membawa energi gelombang bunyi ke otak, maka pada
penglihatan informasi yang diterimanya adalah bentuk dan warna yang kemudian
disalurkan sarafnya ke otak. Dan tetap dipengaruhi oleh hati untuk mengelola
informasi tersebut.
Sehingga
hati-lah yang sesungguhnya dominan merasakannya yang mempengaruhi pengelolaan
setiap informasi yang masuk tersebut. Seluruh informasi tersebut dirasakan dan
dinilai menjadi baik atau buruk, sehingga yang akan keluar pun tentunya dalam
bentuk kebaikan atau keburukan.
Juga dalam mensyukuri anugerah
inipun, dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi
lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara
maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah
tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
13.
Sifat Kalaam
Dia bersifat
berbicara, maka segala sesuatu selain Dia, dapat berbicara bila
telah diberikan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia berbicara
tidak menggunakan mulut, tidak memerlukan organ-organ pengucapan. Dia berbicara
dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pengucapan-Nya tiada terbatas dan tidaklah
dibatasi oleh apapun. Dan Dia-pun tak terbatas hanya kepada mendengar apa-apa
yang diucapkan di dalam hati, sekalipun baru hanya niat, maka telah
diketahui-Nya.
Anugerah ini
adalah salah satu jenis respon yang keluar dari hati-nya melalui
alat-alat atau organ-oragan pengucapan. Dari mulai apa yang telah dikelola
hatinya berdasarkan informasi-informasi
yang telah tertanam di otaknya, yang kemudian disalurkan melalui sistem
sarafnya kepada organ pita suara yang berada dikerongkongan bergerak kepada
lidah dan langit-langit, kemudian keluar dari mulut dengan bibirnya.
Karena
itulah segala ucapan yang keluar dari mulutnya, sesungguhnya, adalah cerminan
apa yang ada di dalam hati. Begitulah pengaruh hati yang amat dominan dalam
setiap gerak kehidupan diri-diri kemanusiaan, yang hendaknya selalu terjaga
dalam kesucian dan kemurniannya. Ucapan bagaikan mata pedang yang siap
mencelakakan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Dan segala macam alat
pembicaraan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang
ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya, agar terjadi harmonisasi
terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
S
|
elamilah urutan makna-makna ketiga-belas dari dua puluh sifat Allah
tersebut, dari mulai wujud yang masih mengandung makna yang sangat luas
pengertiannya, semakin dipersempit atau diperjelas sampai dengan iradat.
Kemudian semakin diperjelas kembali oleh sifat ilmu sampai dengan kalaam.
Sungguh maha sempurna Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya, sekalipun itu
hanyalah penyampaian.
Kemudian
pada ketujuh sifat Allah pada uraian selanjutnya memiliki keunikan, disebabkan,
ternyata adalah pengulangan beberapa sifat-sifat yang diurai sebelumnya, hanya
ditambahkan kata ‘Maha’, sehingga lebih bermakna mutlak dalam
penafsirannya.
Segala macam
sifat-sifat Tuhan tersebut, bahkan yang tak tersebutkan sesungguhnya telah dianugerahkan-Nya
kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya.
Dan kepada seluruh makhluk-Nya, Allah menganugerahkan sifat-sifat tersebut
sebagai petunjuk atau ilmu dan pengetahuan yang berupa
perintah dan larangan yang suci dari kesalahan,
kekurangan, maupun kecacatan dengan
memerintahkan dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya (yudabiruu
fil ‘amr). Suci dari kesalahan-nya akan ternodai bila diri manusia lebih
memilih hawa nafsu-nya sebagai yang lebih mendominasi dibanding dengan
petunjuk Tuhan-nya, sehingga tatanan atau kadar yang telah ditetapkan Tuhan-nya
dilanggarnya dengan membabi-buta.
Pada
diri-diri kemanusiaan, diperintahkan dari tempat tunggal-Nya, yaitu dari
kalbu atau lubuk hati yang paling dalam, sebagai tempat
yang Maha Halus lagi Maha Pengasih dan Penyayang ter-rasa berada.
Diperintahkan kepada aparat-aparat Allah yang berada pada jasad tubuh manusia,
seperti, akal untuk berfikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
hidung untuk mencium bebauan dan bernafas, mulut untuk berbicara atau makan dan
minum, sampai kepada organ-organ tubuh maupun sel-sel pembentuk jaringan,
seperti, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh
jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, dan memberi perintah kepada
paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang
diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi
tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan, maupun perintah-perintah
lainnya yang ternyata bukanlah diri sendiri yang memerintahkan,
melainkan Dia-lah yang Maha Halus dan Bathin-lah yang sesungguhnya tanpa
terasa yang menetapkan kadarnya, memerintahkan, mengatur, kemudian memelihara
setiap urusan pada makhluk ciptaan-Nya.
Bayangkanlah,
bila satu urusan saja Dia perintahkan kepada aparat-Nya untuk ‘libur’,
tak bekerja, maka apa yang terjadi pada tubuh? Bisa dibayangkan apa yang
terjadi pada jasad-nya. Sakit. Sungguh Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik
itu kuasa-Nya, kehendak-Nya, rahmat-Nya, ilmu-Nya, pendengaran-Nya,
penglihatan-Nya, bahkan sampai kepada wujud-Nya.
Mari kembali kepada uraian
sifat-sifat Tuhan selanjutnya, setelah barusan sempat terhenti demi penjelasan
yang terasa begitu penting, agar maknanya dapat menjadi hikmah untuk uraian
selanjutnya yang menjelaskan sifat-sifat yang merupakan hak mutlak Allah
memerintahkan langsung melalui aparat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan yang
telah dipilih-Nya.
14.
Sifat Qadiraan
Sifat Allah yang Maha Kuasa, yaitu sifat kuasa-Nya yang
mutlak yang tiada segala sesuatupun yang dapat menggugat atau bahkan melemahkan
kuasa-Nya. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, makhluk ciptaan-Nya, memiliki kekuasaan
karena diberikan oleh-Nya, yang merupakan perwujudan kekuasaan-Nya di alam. Dia
memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas, tidak dibatasi oleh
ruang, tidak pula dibatasi oleh waktu, tidak oleh apa dan siapapun.
Makhluk-Nya
diberikan pula kekuasaan sebagai anugerah atau karunia dari-Nya, akan tetapi
karena di alam, maka kekuasaan yang diterimanya pun amatlah terbatas oleh ruang
dan waktu, serta oleh apa dan siapa. Dia Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu,
dan segala kuasa-Nya adalah kebijaksanaan sebagai Yang Maha Memelihara segala
sesuatu makhluk-Nya sebagai keseimbangan semesta yang mutlak di alam.
Dan segala kuasa-Nya mutlak pula didahului oleh kehendak-Nya.
Keterbatasan
kekuasaan yang diberikan secara umum kepada kebanyakan diri-diri
kemanusiaan, akan tetapi secara khusus, ada pula sebagiannya yang diberi
kelebihan kekuasaan dibanding yang lainnya. Kadar atau tingkat kuasanya, dari
hanya menguasai dirinya sendiri, sampai kepada menguasai yang jauh lebih luas,
seperti keluarga, lingkungan, suku, daerah aatu wilayah, sampai bangsa atau
negara. Begitulah Maha Kuasa-Nya Dia
mengatur kehidupan ini agar tercipta keharmonisan dari saling kebergantungan
satu sama lainnya secara sempurna.
Tidaklah
diri-diri kemanusiaan dapat memaksakan secara berlebihan dalam
pengelolaan kekuasaannya menurut sekehendak hatinya. Bila itu terjadi, maka
tunggulah kejatuhannya. Karena begitulah sistem aturan kehidupan
(sunathullah) yang telah ditetapkan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya sebagai
sistem semesta pula, kebanyakan menyebutnya sebagai hukum alam.
Kuasa sebagai wujud sifat
khalifah adalah tetap dalam koridor fitrah kemanusiaan sebagai
perwujudan Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang membawa rahmat Tuhannya
kepada seluruh makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
15.
Sifat Muridhaan
Yaitu sifat Allah yang Maha Kehendak, sedangkan ada pula
diri-diri kemanusiaan diberi kehendak oleh-Nya lebih dibanding yang lainnya.
Pada makhluk pun memiliki kehendak, namun Allah Maha Mengetahui siapa yang
pantas dilebihkan, karena Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi
makhluk-Nya berdasarkan keadilan, kebijaksanaan, serta ilmu-Nya.
Diri-diri
kemanusiaan pun memiliki kehendak atau keinginan sebagai anugerah-Nya pula,
namun tidak semua diri kemanusiaan diberi lebih. Ada beberapa yang diberi lebih
dibanding yang lainnya. Sebenarnya hal ini dikarenakan kehendak atau
keinginan-nya tersebut amat dipengaruhi hawa diri-nya atau nafs-nya,
mereka yang dilebihkan adalah mereka yang kehendaknya tidak terkontaminasi oleh
ego dan hawa nafsunya akibat terhanyut oleh megahnya perhiasan dunia.
Bila telah tidak begitu, maka kehendak-nya merupakan kehendak-Nya, yaitu
Dia Yang Maha Berkehendak.
Dilebihkan-Nya kehendak kepada
mereka, sekalipun terkadang diperjalanannya, diri kemanusiaan, dapat pula
terkontaminasi oleh penyesatan iblis sehingga memiliki kesalahan-kesalahan,
akan tetapi hal tersebut merupakan pelatihan sebagai penyaring kesempurnaan
jiwa mereka pula. Ibarat seorang anak yang sedang belajar berjalan mengalami
jatuh bangun, serta kesakitan akibat benturan. Tetapi spirit hendak
menyempurnakan segala geraknya menjadikannya lebih bernilai, sebagai harapan
yang pasti akan terwujud.
“......
Tuhan berfirman,
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Dia Maha Berkehendak,
dan tidak ada kecacatan ataupun kesalahan sedikitpun dari setiap kehendak-Nya,
karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan tidak sesuatupun yang dapat
luput dari pengetahuan-Nya.
Dia Maha Kuasa, maka Dia pun
berkehendak, dan kehendak-Nya pasti selalu diiringi oleh pengetahuan-Nya,
karena itulah setiap kehendak-Nya tersebut menjadi sempurna terwujudnya.
16.
Sifat Alimaan
Segala
sesuatu selain Dia tidak ada yang luput dan selalu berada dalam kuasa
kehendak-Nya, dalam kuasa cipta-Nya, serta dalam kuasa pemeliharaan-Nya. Oleh
sebab itulah Dia bersifat Maha Mengetahui. Yang segala macam
pengetahuan berada dalam ilmu-Nya. Pengetahuan-Nya meliputi segala
sesuatu, baik yang tersebar dilangit dan dibumi tanpa ada yang luput dari
pengetahuan-Nya.
Diri-diri
kemanusiaan, pada dasarnya, selain telah diberi pengetahuan berupa kitab
yang telah tertanam di dalam dada (kitab mubiyn), ternyata masih menerima
juga ilmu yang ditambahkan (dilebihkan dari orang-orang kebanyakan) dengan cara
bertahap melalui petunjuk-Nya sesuai respon kesadaran jiwanya. Beberapa
diberi lebih dibanding kebanyakan karena hatinya telah mengalami kepekaan. Hal
yang mempengaruhi kepekaan hati adalah kekotoran yang melekat dan
menutupi masuknya petunjuk ilmu dari-Nya, semakin banyak kekotoran yang
melekat dan menutupi maka hatinya akan semakin buta, karena kesadarannya
tak dapat merespon akalnya untuk berpikir. Kekotoran hati banyak penyebabnya,
diantaranya adalah pengakuan (ego), hawa nafsu yang tak terkontrol, kebencian,
iri dan dengki, munafik, kejam, taklid buta, dan masih banyak lagi yang lainnya
sebagai hal-hal keburukan.
Sebaliknya,
menjaga hati agar selalu bersih dari kekotoran adalah seperti kaca yang selalu terjaga
kejernihannya, dimana segala macam cahaya yang menerangi sebagai
petunjuk dapat masuk ke dalamnya, sedangkan debu-debu kekotoran yang hendak
ikut masuk terhalang oleh kaca tersebut yang terjaga terus kejernihannya.
Begitulah ilmu yang sebagai petunjuk dapat masuk ke dalam hati yang bersih,
sehingga kesadarannya dapat merespon akalnya untuk berpikir lebih jauh lagi
kepada pemahaman dan hikmah.
Kehidupan dunia (material) yang
menghanyutkan setiap jiwa kemanusiaan juga membawa debu-debu kotoran yang jelas
dapat melekat di hati, sehingga bila hati tak sering dibersihkan maka debu-debu
tersebut akan terus menumpuk dan semakin sulit serta membuat rasa malas untuk
membersihkannya. Dan hatinya pun menjadi terhalang untuk mengetahui segala wujud
bathin yang tak dapat dilihat mata lahirnya.
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Sungguh banyak ayat yang
mengingatkan kembali betapa pentingnya menjaga kebersihan hati untuk dapat
menerima petunjuk dari-Nya yang berupa ilmu dan pemahaman yang akan terus
datang sebagai rahmat-Nya tanpa pernah habis-habisnya sampai akhir zaman.
“....... Kalau
sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh keringlah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (lagi).” (QS 18:109)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
17.
Sifat Hayyaan
Dia-lah Allah yang Maha Hidup.
Segala sesuatu selain Dia diberi kehidupan oleh-Nya. Maka segala sesuatu selain
Dia akan mengalami kematian, yaitu berakhir, kemudian terurai menjadi sesuatu
yang lain, mengalami alam (kehidupan) yang lain. Dan bila tiba saatnya,
maka sesuatu yang lain tersebut berkumpul kembali, siap untuk dibangkitkan
oleh-Nya. Begitulah yang terjadi pada seluruh makhluk atau ciptaan-Nya. Seperti
siklus terjadinya hujan.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali.
Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Pada hal keberadaan kehidupan insan kemanusiaan,
kebanyakan tidak mau mempercayai dan
menganggap tabu hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan
atau mengakui proses reinkarnasi yang ada pada ajaran Hindu dan Budha.
Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya yang menyebutkan kebangkitan setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya
pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan
pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus
tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama
dengan hidup). Kelak kita akan mengulas tuntas di keimanan terhadap hari
akhir, dibelakang.
Jangankan hidupnya, bernafas-nya
sajapun karena anugerah yang diberikan-Nya. Dari paru-paru, hidung, mulut,
serta saluran-saluran pernafasannya. Adakah kehendaknya yang memerintahkan
organ-organ tersebut untuk menerima udara bagi pernafasannya? Udaranya saja,
Dia yang menyediakan. Disinilah peran para aparat Allah (malaikat) dalam
menjalankanfungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu
kehidupan kemanusiaan.
Akan menjadi
lebih bernilai lebih lagi bila telah dapat merasakan pendengaran tidak hanya
melalui telinga, merasakan penglihatan tidak hanya melalui mata, dan merasakan
ucap tidak hanya melalui mulut. Begitulah hidup yang telah mencapai tingkat rasa.
Yaitu hati-nya pun telah hidup, hatinya yang melihat, hatinya
yang mendengar, dan hatinya yang mengucap.
Bukan hanya
jasadnya yang hidup, akan tetapi dirinya telah menghidupkan hati-nya
menjadi lebih peka terhadap segala sesuatu. Mereka inilah yang mendapat karunia
dari Tuhannya, sebagai termasuk orang-orang yang dilebihkan dari kebanyakan diri-diri
kemanusiaan pada umumnya. Semakin bersih hatinya maka semakin tinggi pula
kualitas hidupnya.
Bukan lagi
diri-nya yang melihat, mendengar, dan berucap. Melainkan dia melihat melalui
penglihatan-Nya, dia mendengar melalui pendengaran-Nya, dan dia mengucap dengan
pengucapan-Nya. Hatinya yang memberitahukannya, bahwa dirinya diberi kekuatan
untuk dapat melihat, mendengar, dan mengucap oleh kekuatan dan kekuasaan Allah
Yang Maha Pemurah, ar raahman. Tiadalah kekuatan selain dari
kekuatan-Nya, bahkan dalalm berkehendak pun tiadalah dirinya memiliki kekuatan.
Karena Dia-lah yang sesungguhnya berkehendak, bukanlah dirinya sendiri
yang berkehendak melihat, berkehendak mendengar, ataupun berkehendak
mengucap.
Tetapi pengakuan
(ego) begitu kuat menyesatkan, seolah-olah atas kehendaknya sendirilah dia
dapat melihat, mendengar dan mengucap, padahal segala sesuatunya amat
bergantung kepada Tuhannya. Tarikan dan hembusan nafasnya pun dirinya tak
memiliki kuasa atasnya. Dan terhadap fungsi organ di dalam jasad, seperti
jantung yang berdetak dan memompa darah, paru-paru yang menghisap oksigen, usus
yang mencerna, dan lain-lainya bahkan hingga kepada gerak hidup (metabolisme)
sel-sel tubuhnya, yang kesemuanya adalah bukan dia yang menguasai dan
memerintahkan mereka untuk bekerja. Hidupnya adalah karena kehidupan yang
diberikan Tuhannya, sehingga yang dirasakan olehnya adalah dirinya menjadi
dapat melihat, mendengar, dan mengucap yang merupakan nikmat yang belumlah disyukurinya.
Begitulah
Dia Yang Maha Pemurah memberikan nikmat hidup, yang baru hanya apa yang
ada didalam jasadnya. sudah begitu tak terhitung kuasa Dia atas jasad kita,
bahkan diri pun tak sadar atas kekuasaannya tersebut. Setelah sakit datang, dan
terbaring di tempat tidurnya, barulah menyebut nama Tuhannya, merintih dan
meminta pertolongan-Nya.
Kita, diri-diri kemanusiaan,
diberi pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi
dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat
lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit. Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap
tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan
lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada
sesama makhluk-Nya.
18.
Sifat Sami’aan
Tiada
sesuatu bunyi pun yang dapat luput dari
pendengaran Allah, sekalipun yang berada di dalam kedalaman bumi atau lautan
dengan suara pelan atau bahkan berbisik-bisik. Dia-lah yang Maha
Mendengar. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi
pendengaran bila dikehendaki-Nya.
Seperti yang
telah diulas di atas, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki pendengaran, sedangkan
makhluk-Nya adalah diberi alat-alat pendengaran yang merupakan aparat-aparat
Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah sistem kehidupan di
alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi
rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuata-nya untuk dapat
mendengarpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Adakah diri-nya yang berkuasa
dan yang sesungguhnya memerintahkan organ-organ pendengarannya untuk
bekerja, dari mulai menerima bunyi yang masuk ke telinga sebagai gelombang dan
menyentuh serta menggetarkan gendang telinga kemudian getaran-getaran sebagi
informasi tersebut disalurkan saraf-sarafnya menuju otak, dan
seterus-seterusnya? Begitulah
yang dimaksud dengan peran para aparat Allah (malaikat) dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan
kemanusiaan.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
“Kemudia
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS 32:9)
Bahkan diri
kita saja tak sanggup memahami bagaimana organ-organ tersebut dapat ada dan
terbentuk. Dari apa dan bagaimana proses pembentukannya saja kita tak
memahaminya, apalagi dapat menguasai atau memerintahkannya. Yang kita punya,
hanya merasakan nikmat-Nya saja tidak lebih.
Terganggunya saja pendengaran
kita, seperti masuknya air ke dalam telinga, maka nikmatnya berkurang dan
membuat resah. Apalagi bila pendengaran tersebut dapat hilang.
19.
Sifat Bashiraan
Tiada
sesuatu kejadian pun yang dapat luput dari penglihatan Allah, sekalipun yang
terjadi di dalam kedalaman bumi atau lautan. Dia-lah yang Maha Melihat.
Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi penglihatan bila
dikehendaki-Nya. Dan dikarunikan-Nya kepada beberapa orang yang telah
dikehendaki-Nya berupa kelebihan diantara yang lainnya. Sesungguhnya Dia
Maha Adil lagi Maha Bijaksana dengan kehendak-Nya tersebut.
Begiu pula dalam penglihatan,
Dia-lah yang sesungguhnya memiliki penglihatan, sedangkan makhluk-Nya adalah
diberi alat-alat penglihatan yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu
ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang
dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat
Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat melihatpun
karena diberi kekuatan oleh-Nya.
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Ya, seluruh
indera dan fungsi jasad kita haruslah dalam keseimbangan yang harmonis dengan
hati yang sesungguhnya amat berperan dalam setiap amal perbuatan. Amal
perbuatan adalah cerminan apa yang berada di dalam hati, maka hati yang bersih
dari kotoran yang melekat, akan membuka kesadaran dan akal kita untuk tetapa
berada dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta mengeluarkannya dalam
bentuk amal perbuatan yang juga berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran
pula.
“....
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang
berakal.” (QS 30:28)
Hati yang
jernih, akan membuat akalnya tidak tersesat kepada pemikiran-pemikiran yang
dapat merugikan dirinya sendiri dibelakang hari. Bahkan hatinya dapat lebih
jauh lagi melihat pada hal-hal yang masih tersembunyi (ghaib) yang orang-orang
lain belum melihatnya. Begitulah Allah melebihkan penglihatan beberapa orang
diantara yang lainnya, yaitu kepada mereka yang membersihkan hatinya sehingga
dapat menerima sebanyak-banyak petunjuk dari-Nya. Adakah yang lebih bijaksana
dan adil dari selain-Nya?
20.
Sifat Mutakalimaan
Dia-lah yang Maha Berbicara,
sedangkan segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dapat berbicara bila diberi
atau dikaruniakan oleh-Nya. Dia berbicara melalui wujud karya ciptaan-Nya,
ilmu-Nya, kuasa-Nya, dan melalui kehendak-Nya, pemurah-Nya, serta kasih dan
sayang-Nya.
Bahkan, Dia dapat langsung
berbicara kepada makhluk-Nya, siapapun, jika Dia sendiri menghendaki. Apakah
melalui ilham, ide, ataupun melalui sebuah mimpi. Yang juga merupakan demi
sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan
berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak
terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat berbicarapun karena diberi kekuatan
oleh-Nya.
Dia
memberikan karunia pertunjuk kepada mereka, diri-diri kemanusian, yang telah
menyiapkan dirinya untuk menerima petunjuk-Nya. Yaitu mereka yang membersihkan
hatinya dari kekotoran yang menghalangi masuknya cahaya (petunjuk) Allah
serta karunia-karunia Dia yang lainnya.
“Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. (QS 76:2)
Mereka inilah yang dilebihkan
diantara yang lainnya. Begitu banyaknya contoh mereka yang dilebihkan dalam
ucapnya oleh Allah, seperti presiden pertama RI Sukarno sebagai orator ulung,
yang pidato-pidatonya dapat menghinoptis mereka yang mendengarnya, dan
menggugah jutaan rakyatnya bersatu dan berjuang melawan penjajah, padahal
mereka terpisah-terpisah oleh pulau, terpisah-pisah oleh adat istiadat, bahkan
oleh komunikasi yang amat sulit tidak seperti sekarang.
Juga seperti yang lainnya,
mereka yang penyanyi, yang suara alunan lagunya dapat menggugah emosi
pendengarnya bergolak, menangis, atau bahkan berjingkrak-jingkrak tak perduli
lagi telah menghilangkan kesadaran normalnya.
Kurang apalagi Allah
mengkaruniakan segala sifat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Adakah yang dapat
diingkari? Atau adakah kecacatan dari segala yang diberikan-Nya? Jika diri kita
hendak mencari, dan bila menemukannya, maka kekurangan atau kecacatan tersebut
akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai akibat dari ulahnya sendiri.
Dia-lah
Allah Yang Maha Tunggal, ar raahman, Yang Maha Pemurah, yang
memerintah dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya untuk
menjalankan apa-apa yang menjadi kehendak-Nya.
Tempat Tunggal
Dimanakah
Allah berada? Begitu banyak pula jawaban, tetapi tak pernah dapat memuaskan
hati. Diantaranya adalah, kemana pun menghadap disitulah wajah Allah,
Allah lebih dekat dari urat leher sendiri, Allah bersemayam di arsy,
dan bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Allah berada di langit, tak heran
bila selalu mengadahkan wajahnya ke atas saat berdoa memohon kepada-Nya.
Allah meliputi seluruh
makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Seluruhnya, yaitu segala sesuatu baik nyata
terlihat maupun yang nyata tak terlihat. Betapa luasnya jangkauan pemahaman ini
sehingga seluruh jawaban diatas adalah nyata benarnya. Maka dapat disimpulkan,
bahwa segala sesuatu tersebut, seluruh tempat (alam), sesungguhnya justru yang berada
dalam jangkauan-Nya, bukanlah Allah yang berada di mana, melainkan
segala sesuatu itulah yang berada pada-Nya, ada dalam lindungan, kuasa, dan
pemeliharaan-Nya. Maka ‘Arsy, yang paling tepat sebagai sebutan untuk tempat
tunggal-Nya.
“..... yang bersemayam di atas ‘arsy. Milik-Nya lah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada diantara
keduanya, dan apa yang ada
dibawah tanah.” (QS 20:2-6)
Sekalipun
demikian, sesungguhnya, hanya kepada makhluk-lah seharusnya ditujukan
pertanyaan mengenai dimana keberadaan tempatnya, karena justru makhluk atau
ciptaanlah yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidaklah layak kepada pencipta
dibatasi oleh tempat atau ruang ataupun alam, sejatinya Dia sama sekali tidak
membutuhkan tempat atau ruang sebagai letak-Nya berada. Dia tidak serupa
dengan segala sesuatu. Dikarenakan seluruh makhluk-Nya disebut sebagai semesta
alam, sedangkan Dia meliputi seluruh makhluk, maka jelas segala tempat berada
di dalam Dia. Kelirulah yang mengatakan bahwa Dia berada di dalam
tempat ataupun alam.
Dia yang meliputi segala
sesuatu, maka tempat-tempat yang dinisbatkan kepada-Nya adalah diambil
berdasarkan makna sebutan-sebutan maupun sifat-sifat Allah, seperti Allahu
rabbul alamiin (Allah yang menguasai seluruh ruang atau alam),
Allahu maliikiyawmid-diiyn (Allah yang menguasai seluruh waktu atau
masa), dan Allahu rahmaanur-rahiim (Allah yang menguasai seluruh
rasa). Maka, jelaslah ‘tempat keberadaan’ Allah pun meliputi
segala sesuatu. Padahal Dia tak terbatas oleh ruang, waktu, dan rasa. Lebih
tepatnya, segala sesuatu bertempat pada (arsy)-Nya. Segala tempat adalah
singgasana (dalam kuasa)-Nya.
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
1.
Allaahu Rahmaanur-Rahiim
Dia-lah
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Rasa kasih dan sayang-Nya
berada di dalam bathin setiap segala sesuatu, makhluk ciptaan-Nya. Kasih
dan sayang-Nya tersebut diwujudkan secara nyata (dzahir) di dunia dan
kelak nanti di akhirat. Itulah mengapa timbul penafsiran bahwa Allah berada
dan bertempat di dalam bathin, yaitu Allaahu arsyis tawaa.
Sesungguhnya, Dia-lah penguasa alam rasa (bathin).
Apakah mata
yang sesungguh-nya melihat, ataukah yang berada di dalam kalbu yang
melihat? Apakah pula telinga yang mendengar, ataukah yang berada di dalam
kalbu yang sesungguhnya mendengar? Juga, apakah sesungguhnya mulut yang
berbicara, ataukah yang berada di dalam kalbu yang berbicara? Kemudian
gabungkanlah, seolah-olah sedang mengobrol bersama teman sambil minum teh,
merokok, dan sesekali menerima sms, kemanakah arah semua itu menuju, baik
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan? Maka, sesungguhnya yang berada di
dalam kalbulah yang memerintahkan semuanya. Yaitu Dia, Allaahu arsyis
tawaa.
Kalbu atau
bathin yang paling dalam sebagai tempat Dia yang Maha Tunggal secara
halus-lembut bersemayam, adalah tempat yang suci dan bersih, serta yang
memancarkan cahaya kebenaran-Nya yang sebagai pengiring bagi niat, ucap,
dan perbuatan. Akan tetapi, jika, diri telah terbiasa mengikuti hawa-hawa diri
(nafs), maka kepekatannya akan meliputi kalbunya, sehingga cahaya kebenaran-Nya
tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
Kalbu berada
di kedalaman hati yang paling dalam, itulah mengapa secara tak sadar kebanyakan
kita mengatakan bahwa, apa yang disuarakan dari hatinya yang paling dalam
adalah sebuah kebenaran paling benar (haqq). Disitulah ar
rahmaanur-rahiim sebagai Yang Maha Pemurah (Kasih) lagi Maha Penyayang
(Sayang) memerintah, akan tetapi terkadang perintahnya dibiaskan oleh hati yang
dipenuhi kekotoran.
Tentu kita
sering mengalami, begitu tersentuhnya hati kita melihat seorang yang sedang
dalam kesusahan (peminta-minta, misalnya) , dan itulah yang pertama timbul di
benak kita sebagai wujud kasih dan sayang dari perwujudan Dia ar
rahmaanur-rahiim, akan tetapi hal tersebut dibiaskan oleh kekotoran
yang melekat di hati kita, maka akal dan pikiran kita menjadi tersesat dan
timbullah was-was (sebagai yang dibisikkan setan), seperti “bila kuberikan,
maka akan berkurang uangku, sedangkan kebutuhanku masih banyak”. Atau juga “ah,
tubuhnya masih kuat untuk bekerja, biarkan saja dia”. Akhirnya, timbullah
keragu-raguan sebagai yang menghasut hati dan menyesatkannya.
Padahal
Allah menganugerahkan penglihatan, pendengaran dan hatinya untuk hal-hal
tersebut, dimana kepekaannya yang pertama timbul, saat hatinya tersentuh
itulah kebenaran yang seharusnya direalisasikannya. Dan realisasi kepekaannya
lah yang menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi sesamanya.
Jika diri
ini menyadari dengan mendalam, seharusnya bersyukur telah melihat hal
tersebut, dan menjadikannya sebuah kesempatan untuk melakukan amal perbuatan
baik. Bila uang yang tinggal hanya selembar-selembarnya di saku celana atau
bajunya, maka berkacalah kepada Ibrahim yang hanya memiliki satu-satunya anak
yang baru dikarunikan Tuhannya setelah di masa tuanya kemudian diminta Allah
untuk di-qurbankan kepada-Nya. Kita memang bukan sekelas dengan para nabi,
namun jelas sekali Allah mengisahkan segala kisah para nabi di dalam Al Qur’an
sebagi petunjuk bagi kemanusiaan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran agar
memperoleh keselamatan hidup di dalam setiap jalan lurus-Nya. Begitulah
hikmah kisah Ibrahim yang merupakan sebagai pelajaran bagi orang-orang
yang datang kemudian.
Sesungguhnya,
justru yang tinggal satu-satunya itulah yang disebut sebagai sejatinya ber-qurban.
Ya sebuah pengorbanan di dalam ber-qurban kepada Allah dengan mewujudkan kebajikan
kepada sesama makhluk-Nya, sebagai wujud rasa berserah diri (islam)-nya
semata-mata hanya kepada Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Begitulah
Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang karena kepekaan hati, maka
keberadaan-Nya begitu terasa di dalam kalbu kita yang paling dalam.
Dekat sekali. Itulah mengapa surga dan neraka kita berada pada rasa yang
amat mempengaruhi jalannya kehidupan kita. Rasa tentram dan damai, senang dan
bahagia, serta kemudahan dan kelapangan adalah surga yang dinikmati rasa
dan tak perlu menunggu semesta alam ini hancur dulu baru merasakannya. Tetapi
di kehidupan ini, sekarang ini pun dapat dirasakan.
Begitupun
panasnya neraka, tidak perlu menunggu kematian dan kemudian menunggu di
alam kubur hingga dibangkitkan di hari kiamat, tetapi dapat dirasakan ketika
dada terasa sempit dan sesak, sedih dan takut, kekurangan dan kesulitan, serta
sakit dan menderita.
Akan tetapi semua itu hanyalah
sebagai perjalanan dalam penyucian dan pemurnian jiwa setiap diri
kemanusiaan yang pada akhirnya menuju kepada-Nya, setelah tercapai kemurnian
dan kesucian jiwanya. Selama masih ada kekotoran yang melekat pada jiwanya,
maka perjalanan tersebut akan terus berulang-ulang, selama langit dan
bumi ini masih ada, atau belum kiamat (QS 11:106-108).
2.
Allaahu Rabbul Alamiin
Dia-lah
Allah semesta alam, yang menciptakan, menguasai, hingga memelihara langit dan
bumi serta segala sesuatu yang terdapat diantara keduanya dengan maha sempurna.
Ini berdasarkan firman-Nya (QS 2:115, kearah manapun menghadap, disitulah wajah Allah). Sehingga timbullah
penafsiran bahwa Allah berada dan meliputi keseluruhan alam.
Tempat-Nya
adalah perwujudan segala macam sifat-Nya di alam, dan sungguh nyata, dan
terasa keberadaan-Nya. Seperti bila kita hadir di baithullah Mekkah, di
masjid-masjid, atau ketika melakukan shalat di rumah. Akan tetapi selamilah,
berdasarkan urutan keterangan tempat di atas yang berdasarkan tingkat
kesakralannya, maka begitu pulalah kita menjaga tingkat kesucian diri kita yang
berdasarkan kesakralan tempat tersebut.
Itulah
keteledoran diri kita yang menganggap Tuhan hanya berada di tempat-tempat yang
memiliki kesucian tingkat tinggi, sehingga bila sedang berada di pasar atau di
pusat perbelanjaan, maka merasa Tuhan pun lengah dari kuasa pengawasan-Nya.
Ataupun di tempat-tempat lainnya yang tidak terasa kehadiran-Nya disitu,
seperti di kantor, di terminal, di tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya.
Kemanakah
Allah beserta aparat-Nya? Allah bukan tidak ada, atau menjauh serta sirna
menghilang. Akan tetapi, tentunya, cahaya kebaikan-Nya akan tertutupi,
menjadi tidak terlihat nyata lagi, bila gelapnya keburukan telah begitu
pekat bertumpuk dan bersatu padu. Maka akibatnya bisa kita tebak, kemungkaran
semakin merajalela dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga segala yang haqq
(kebenaran sejati) tertupi oleh banyak dan bersatu padunya kebathilan
(kesesatan). Maka iblis dan bala tentaranya pun tidak perlu lagi berlama-lama
disitu, segeralah dia meninggalkan pasar menuju tempat-tempat yang lebih
dianggap sakral, agar dia memiliki kesibukan yang lebih menantang.
Dan merupakan keteledoran kita
pula bila memahami, bahwa setelah alam dunia ini (kiamat), yaitu alam akhirat,
adalah hanya alam keabadian dan kenikmatan saja bagi mereka yang menerima
nikmat surganya, atau hanya alam keabadian dan azab bagi mereka yang menerima
nerakanya. Alam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat adalah alam bagian
dari semesta alam, dimana Allah tetap menguasai dan merahmati-nya, tetap dalam
aturan dan sistem kehendak-Nya. Surga dan neraka adalah hari pembalasan dari
amal perbuatan sebelumnya ketika kehidupan sebelum kematiannya, dan jelas-jelas
berada di alam dunia ini juga.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan
seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap
diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari
keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan
setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari
kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak
lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Dari
penjelasan ayat tersebut di atas, para malaikat berdoa agar para penghuni surga
dapat terhindar dari kejahatan. Maka penafsirannya, bahwa di surga pun
masih ada kejahatan yang dapat pula menjerumuskan mereka penghuninya masuk ke
dalam neraka pula. Jadi kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia adalah
tetap merupakan kehidupan dalam naungan agama. Yaitu kehidupan yang
tidak lepas juga dari amal perbuatan penghuninya dalam hukum agama
(aturan)-Nya, Allaahu Maliikiyawmid-diin.
Jadikanlah dimanapun
keberadaan, adalah sesungguhnya tempat Allah. Yang perlu disucikan
melalui setiap niat dan perbuatan, karena sesungguhnya Dia tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu. Dimulailah dari masing-masing diri yang hendak
menyucikan hati dan langkahnya demi suatu tujuan akhir, yaitu keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat. Kemudian orang yang dekat akan
mengambil sebagai contoh untuk kebaikan dirinya pula. Demikian seterusnya
kepada yang didekatnya pula, contoh itu tertular, lama kelamaan semakin meluas
sebagai kebaikan semesta. Amin, yaa Rabbal Alaamiiyn.
3.
Allaahu Maliikiyawmid-diiyn
Dia-lah
Allah yang menguasai hari-hari agama yaitu hari-hari yang
diliputi oleh sistem yang mengatur jalannya kehidupan di hari-hari tersebut.
Adalah sifat Allah yang mencipta segala sesuatu, maka mutlak pula Dia menguasai
hari-hari agama, karena sesungguhnya Dia-lah penguasa Ruang dan Waktu
juga Rasa, baik di alam dunia dan alam akhirat sebagai Allaahu rabbul
alamiin (Tuhan pemilik semesta atau seluruh alam). Baik alam dunia,
alam rasa dan alam akhirat yang meliputi kematian, alam kubur (barzhak) atau
hari-hari penantian, hari-hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan.
Kesemuanya tersebut, baik di hari-hari dunia, hari kematian,
hari-hari penantian, hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan
adalah terangkum dalam hari-hari agama, dan Dia pulalah sebagai Penguasa-nya
(maliikiyawmid-diin).
Segala
sesuatu selain Dia, pasti mengalami hari akhir maupun hari kemudian (waktu
setelah hari akhir), yang sering dianggap sepele dikarenakan kebutuhan jasad
yang mendesak. Padahal, yang kemudian itu sangatlah dipengaruhi oleh
yang sebelumnya maupun oleh yang sekarang ini. Sayangnya, bisikan
dan godaan setan ikut berperan untuk semakin mendesakkan kebutuhan-kebutuhan
jasad manusia semakin intens, melupakan dan menutupi gambaran akibat-akibat
yang akan dituainya kelak di kemudian hari. Disamarkan dengan pemandangan indah
yang dibuat iblis agar diri-diri terjerumus oleh segala macam bujuk rayunya.
Segala
sesuatu pada akhirnya adalah kembali kepada-Nya, melalui penghakiman atau
hisab, seperti yang telah dijanjikan dan ditetapkan oleh-Nya. Dan
Dia-lah sebagai Hakim yang Adil, segala sesuatu, sekecil apapun itu, telah
tercatat di dalam catatan-Nya. Penghakiman dan hisab, adalah peristiwa
pada masa transisi sebagai penentu pada kehidupan berikutnya
yaitu dengan mengalami atau merasakan surganya ataukah nerakanya,
yang merupakan akibat dari perbuatan dari masa kehidupan sebelumnya.
Kehidupan berikutnya, atau hari
kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya
sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di
dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang
berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam
firmannya (QS 11:106-108),
bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan
di dunia dengan di akhirat. Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun
berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau lebih
bersifat sebagai yang sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa
juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi.
Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini,
mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai
pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.” (QS 21:104)
Jika
demikian, maka akan timbul pertanyaan, telah berapa kalikah diri ini mengalami siklus
hidup-mati (kebangkitkan)? Seperti layaknya tidur dan bangun di dalam skala
kehidupan sehari-hari.Hal ini akan lebih luas diuraikan pada keimanan terhadap
hari akhir di belakang.
Dan hanya bathin yang telah kosong
dari segala macam hawa nafsu pengakuan (ego), dan memenuhi hati
aatu bathin-nya dengan rasa mengakui
yang akan dapat merasakan Kasih Sayang Allah melalui segala kemurahan-Nya.
Inilah upaya membersihkan kembali hati atau kalbu yang telah dipekati
oleh kotoran-kotoran hawa diri (nafs) yang telah lama melekat, agar cahaya
kebenaran-Nya dapat menembus keluar bersama niat-ucap-perbuatan.
D
|
ari ketiga keterangan diatas yang sedikit mengulas keberadaan ‘tempat’
Allah, maka membuktikan secara logika yang dapat diterima akal pikiran dan
hati, bahwa keberadaan Allah tidaklah dibatasi oleh ruang dan
waktu serta rasa, atau tidak dibatasi dimensi apapun
dalam anggapan makhluk, melainkan di setiap tempat atau alam, di setiap waktu,
dan di setiap rasa. Dia sempurnakan setiap kejadian melalui sifat-Nya sebagai
Pencipta, dan Dia sempurna adil dan bijaksana melalui sifat Kuasa-Nya, serta
sempurna kasih dan sayang melalui sifat-Nya sebagai Pemelihara.
Karena itu, tidaklah mungkin Dia berada hanya pada satu tempat saja,
seperti di langit ke tujuh, atau kemana mata menghadap disitulah wajah Allah,
ataupun di dalam dada orang yang beriman, sehingga hal ini dapat membuat
kesalah pahaman bahwa Dia terbatas hanya di tempat-Nya menetap. Dan Maha Suci
Allah dari segala prasangka makhluk-Nya.
Arsy
tempat Allah bersemayam, mengandung makna yang bathin atau tersembunyi. Bila
Allah sendiri-pun mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka penafsiran
tempat keberadaan-Nya, mengisyaratkan bahwa Arsy juga berada di setiap
segala sesuatu. Secara lebih spesifik lagi adalah, tempat atau Arasy-Nya
berada di dalam bathin setiap segala sesuatu makhluk-Nya, yang tentunya juga
paling halus dan bathin yang paling dalam. Pada diri manusia adalah di lubuk
hati yang paling dalam atau biasa disebut kalbu.
Tetapi hal
ini tak memuaskan jiwa, karena kalbu pun tak pernah tepat di ketahui letak
pasnya dimana. Hanya berada di dalam dada sebagai yang bathin. Semua pasti akan
menunjuk ke dalam dada, bila ditanya dimana letak kalbu. Keberadaan-Nya haruslah ada sebagai yang
bathin, juga ada sebagai yang nyata. Karena Dia, sesungguhnya adalah
Yang Dzahir selain juga Yang Bathin.
Keterbatasan
diri kemanusiaan dalam memandang dengan inderanya, mendefinisikan dengan ilmu
atau akalnya, serta merasakan dengan hati dan kalbunya adalah hal yang takkan
pernah terwujud atau kesampaian bila tanpa petunjuk dari-Nya sendiri. Dia hanya
bisa dicapai hanya oleh kesucian yang murni.
Bagaimana
hendak mengetahui dan mengenal-Nya dengan menggunakan indera, ilmu dan akal,
serta hati dan kalbu, sedangkan sesungguhnya semua itu adalah pemberian-Nya?
Bagaimana hendak mengetahui Dia Yang Maha Mengetahui, sedangkan segala
pengetahuan adalah karena pemberian-Nya? Hanya apabila Dia telah berkehendak
kepada siapa yang dikehendakinya mendapatkan petunjuk dari-Nya, maka
tabir-tabir yang menyelimuti pandangan hati dan kalbunya terbuka sedikit demi
sedikit sesuai dengan kemurnian dan kesucian hati atau kalbunya. Kelak kita
akan sampai pula dengan menyadari nyatanya Dia adalah pada ketunggalan wujud-wujud
ciptaan-Nya, sebagai perwujudan Dia Yang Bathin.
Bila diri
hendak memaksakan juga, resapilah, segala usaha sejauh mata memandang, sekeras
apapun akal pikir bekerja, dan sedalam-dalamnya dengan kepekaan kesadaran yang
tajam masuk ke dalam hati atau kalbu, maka akan berujung kepada Dia Yang Maha
Tunggal. Kelak, Allah akan menambahkan petunjuk-Nya secara bertahap untuk
menghilangkan rasa dahaga kita, dan dengan izin-Nya kita akan mengulas keimanan
terhadap yang lainnya, yang semoga dengan itu maka terbukalah sedikit-demi
sedikit hijab yang menutupi hati dan jiwa kita dari memandang Dia.
Semoga ulasan terbatas dari
yang serba terbatas ini, cukup membuka kesadaran kita sebagai makhluk
ciptaan-Nya untuk meneguhkan kembali keimanan atau rasa keyakinan kepada Allah
SWT sebagai Khaliq segala sesuatu, dan menggugah jiwa kita lagi kepada
petunjuk-Nya yang banyak tersebar di semesta alam raya ini sebagai kebenaran
yang hakiki, termasuk apa-apa yang berada di dalam diri-diri kita masing-masing.
Dan sesungguhnya Allah-lah yang membuka dada dan menerangi jiwa dengan
cahaya-Nya agar bertambah teguh hati orang-orang yang telah beriman.
Diri yang ber-Ketuhanan
Kembali kepada uraian
sifat-sifat Allah yang telah diulas. Ketiga belas sifat dari wujud
hingga kalaam, sesungguhnya adalah ‘menunjukkan’ akan ketiadaan diri
kemanusiaan-nya, baik wujudnya hingga sifat-sifat, yang sesungguhnya semua
adalah karunia dari Allah.
Itulah kesadaran awal
dari keimanan. Sadar bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada atau gaib,
bahwa segala sesuatu adalah atas rahmat karunia-Nya, dan tiada satupun yang
sesungguhnya sebagai yang dimiliki-nya, bahkan seluruh apa-apa yang terdapat di
dalam tubuh-jasadnya yang ternyata adalah milik-Nya yang dianugerahkan
kepada-Nya. Bila demikian, mengapa Dia tak terlihat, justru yang terlihat
(wujud) adalah makhluknya?
Apakah sama yang mencipta
dengan yang dicipta? Siapa yang memiliki pengetahuan, yang dicipta
atau yang mencipta? Yang dicipta hanya dapat melihat yang mencipta
melalui perwujudan-Nya. Perwujudan-Nya yaitu ciptaan-Nya sendiri. Itulah makna,
ke arah manapun engkau menghadap disitulah wajah Allah. Karena semua,
seluruh apa-apa yang berada di langit dan di bumi maupun yang berada diantara
keduanya adalah ciptaan-Nya, makhluk-Nya, yaitu perwujudan segala
sifat-Nya. Tidaklah mungkin sesuatu dapat melihat yang mewujudkan-nya.
Bagaimana mungkin Dzat-Nya
dapat dilihat, didefinisikan, dan dibuktikan oleh wujud-wujud yang segala
sesuatunya amat teramat bergantung justru kepada-Nya. Penglihatan-nya,
adalah karena diberi penglihatan oleh-Nya. Pikir dan akal-nya pun karena diberi petunjuk
oleh-Nya. Segala sesuatu yang dirasa sebelumnya adalah sebagai yang
dimilikinya, ternyata adalah anugerah dari-Nya, dan atas kehendak-Nya maka
dirinya pun dapat menerima anugerah tersebut.
Dan cahaya hanya terlihat bila
dalam kegelapan, seperti terlihatnya bintang-bintang di malam hari, tak perlu
dicari lagi, hanya tinggal mendongakkan kepala ke langit yang jernih. Demikian
pun Dia, keberadaan-Nya tak terasa bila jiwa sedang dalam kesenangan akan
kemewahan dunia, tetapi akan terasa dan dibutuhkan bila jiwa sedang dalam
kesempitan. Tetapi yang Allah kehendaki, adalah kepada mereka yang sedang dalam
kesenangan akan kemewahan dunia agar berbagi kepada mereka yang sedang dalam
kesempitan. Berbagi cahaya rahmat-Nya kepada sesama-nya sebagai makhluk.
Dzat Tuhan yang tak terlihat,
bukan sekedar hanya pemahaman bahwa, bila Dia dapat terlihat, maka kehidupan
akan menjadi berbeda. Bila seperti itu, tiada lagi unsur ujian dalam
kehidupan ini. Bagaimana hendak melakukan kesalahan, bila ada polisi
yang siap menjeratnya. Bukan sekedar seperti itu. Perwujudan Tuhan pada
kemanusiaan, intinya, adalah memahami diri-nya pun telah dianugerahkan
sifat-sifat keilahi-an (ketuhanan). Artinya, polisi-nya pun ada
di dalam diri-nya, makna-makna hukum ada di dalam dada-nya, sebagai kitab
yang di dalam dada.
Karena di alam, cahaya pun
selalu hadir bersama bayangannya sebagai kegelapan, dan dengan ke-Maha
Adilan-Nya pun, Dia menyerahkan kepada setiap jiwa untuk dapat memilih
dengan kesadaran yang murni (keikhlasan) segala sesuatu arah tujuan-nya.
Sekalipun tiada lepas Dia menunjuki dengan memberikan rambu-rambu sebagai tanda
yang terang arah keselamatan dari setiap tujuan. Padahal, jiwa hanya dapat
berkeinginan, sedang kekuatannya tetap adalah kekuatan dari-Nya. Kemurnian
(keikhlasan) atau tidaknya lah yang menentukan sesat atau tidaknya
arah tujuan-nya.
Tidaklah salah mereka yang
mencari Dzat Tuhan, karena dengan usaha-nya mereka akan menemui wujud-wujud Dia
di alam sebagai Allahu Akbar, yaitu perwujudan Dia, Allah Yang Maha
Tunggal yang Maha Pemurah, Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan yang memerintah
segala kehendak dari tempat tunggal-Nya.
Apakah engkau yang memerintahkan
jantung memompa darah dan kemudian mengalirkannya keseluruh tubuh, ataukah Dia
yang memerintahkan?
Apakah engkau yang memerintahkan
paru-paru menghisap udara, kemudian memisahkan oksigen dari gas lainnya bagi
keperluan pernafasan, ataukah Dia yang memerintahkan?
Dan apakah sesungguhnya engkau
yang mendatangkan pembeli untuk menguntungkan setiap perniagaanmu?
Atau siapakah yang sesungguhnya
menumbuhkan dengan subur tanam-tanaman di ladangmu?
Siapakah pula yang sesungguhnya
melindungimu ketika kamu keluar dari rumah kediamanmu? Ketika berjalan,
bekerja, berkendara, atau bahkan ketika tidur?
Dia-lah Allah yang berkehendak,
mengatur, serta memelihara setiap diri kemanusiaan ataupun makhluk lainnya.
Diri kemanusiaan adalah bentuk wadah kosong sebagai jasadnya yang
telah siap menerima sifat-sifat Allah yang dianugerahkan kepadanya agar saling
berbagi rahmat-Nya kepada sesamanya. Itulah keutamaan menyadari bahwa ‘aku’
(ego) sesungguhnya adalah tiada, dan yang ada hanyalah ‘Aku’
(Dia atau Allah).
Makna laa hawla walaa quwwata illa billahi menyadarkan-nya,
bahwa diri-nya adalah wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang
kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya. Dengan demikian segala ucap-nya adalah
ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak
perbuatan-nya adalah gerak-Nya.
Disadari sepenuhnya, bahwa
hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia hidup kehidupan dari Dia
Yang Maha Hidup. Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan
shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat
bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat.
“Dan tidak
ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS
10:100)
Bukan pula karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan
terhormat atau kekuasaan, dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki
anak-anak yang menyenangkan hati, serta dapat memiliki istri yang cantik.
Bahkan sekalipun semua tersebut dengan rasa ikhlasnya, bukanlah karena
diri-nya, melainkan seluruhnya tersebut adalah hanya karena kemurahan
Tuhannya mengkaruniakan kepada diri-nya. Hanya karena kehendak Tuhannya, hanya
karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena ketetapan Tuhannya.
Jika rahmat dari setiap
sifat-Nya dicabut oleh Allah dari manusia itu, maka matilah dia. Atau
sebagian kecilnya saja dari nikmat-nikmat tersebut yang dicabut-Nya,
mungkin manusia itu dalam keadaan ‘koma’, tidak dapat berinteraksi
layaknya manusia normal. Atau juga, satu saja rahmat penglihatan-Nya yang
dicabut oleh-Nya, memiliki bola mata tetapi tak dapat melihat. Lebih menyempit
lagi, ditumbuhkannya jamur di lensa hitam matanya, maka itulah penyakit katarak
yang akan mengganggu penglihatan, sehingga pandangannya menjadi buram.
Persempit lagi dengan, saat mencari sesuatu benda yang tidak bisa ditemukan,
bila tidak diberi tahu oleh yang lain bahwa ternyata benda itu berada
didekatnya. Subhanallaahu.
Itulah tahap kesadaran awal
dalam usahanya kembali mengkokohkan iman dan keyakinan-nya dengan memahami
makna ketiga belas sifat Allah di dalam sifat tunggal-Nya.
Kemudian melangkah kepada ketujuh sifat terakhir yang membawa diri
kepada tahap kesadaran berikutnya, yaitu yang justru membangunkan diri dari
kehampaan sebelumnya, agar lebih mengenal diri karena ‘merasa’ selalu disertai
atau bersama Dia yang berkehendak, baik itu dalam ucap, tekad,
perbuatan, janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa-nya. Bahwa ucap,
adalah ucap Allah, tekad adalah tekad Allah, dan selanjutnya yang tiada lepas
dari kuasa sifat Allah yang mewujud kepada dirinya untuk berbagi rahmat kepada
sekitarnya, yang pula harus dijaga kemurniannya.
Dalam perwujudan-Nya, seorang
diri kemanusiaan yang diberi kepercayaan, atau anugerah, atau derajat
yang sedikit lebih tinggi dari beberapa yang lainnnya, adalah diri kemanusiaan
yang diberi beban amanat sesuai kadar yang telah diamanatkan (kadar ketetapan
Allah). Ia mendapatkan dan merasakan nikmat darinya (derajat tersebut), maka
akibatnya pun membayangi nikmat tersebut. Diperjalanannya, setan-setan
pun membisikkan, iblis pun menggoda, serta hawa diri (nafs)-nya coba-coba ikut
bermain. Maka bayang-bayang nikmatnya pun mewujud sebagai sesuatu yag
dipandang indah memukau.
Hanya
dua hal yang mungkin terjadi (ketetapan Allah), yaitu kehinaan
bila ia justru terhanyut oleh godaan., atau berwujud kemuliaan
bila ia dapat tak tergoda dan malah akan menaiki tangga derajat
berikutnya. Dan bagi mereka yang keteguhannya disebabkan ia tak ingin dijauhi
oleh Dia, maka, cukuplah Allah yang akan melindungi serta memelihara-nya.
Diri seperti itulah orang yang takwa, mengerjakan apa yang diperintah dan
meninggalkan apa yang dilarang Tuhan-nya. Inilah kesadaran jiwa yang telah dan
selalu diiringi cahaya yang menunjukkan perbedaan antara yang terang dan yang
gelap, sehingga tahu arah tujuan. Akan tetapi, janganlah lengah, karena bila
ada cahaya maka disitu pun pasti ada bayangannya, yaitu kegelapan. Tahap ini
adalah masih berada dalam taraf berharap atau bergantung kepada lindungan serta
pemeliharaan-Nya. Berharap rahmat-rahmat terbaik dari setiap karunia-Nya.
“Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barang siapa menghendaki
tentu dia mengambil
jalan menuju kepada
Tuhannya.
Tetapi kamu tidak mampu, kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS 76:29-30)
Tahap selanjutnya, dan
merupakan tahap yang terakhir, adalah tahap telah berada dalam taman
nikmat-Nya. Yaitu, ilaihi raji’un,
kembali pulang kepada-Nya, tinggal bersama-Nya. Dimana, ada segala
sesuatu secara bersamaan manunggal
dalam satu keaadaan dan dalam satu wujud, karena Dia-lah, maka segala sesuatu
itu ada bersama dalam wujud Tunggal-Nya.
Segala
yang berpasangan seperti susah-senang, sedih-bahagia, gelap-terang, dan seluruh
pasangan lainnya, tidak akan dapat ikut masuk, sehingga tidak ada kebutuhan
lagi akan semua itu. Bagaimana ada, sedangkan diri-nya pun telah tiada,
sirna menyatu, di tempat itu hanya ada yang Maha Tunggal. Sayangnya,
dikarenakan keterbatasan diri ini untuk dapat menguraikan secara panjang lebar
dan lebih detail, maka menghambat penguraiannya. Jadi biarkanlah setiap
masing-masing diri mengalaminya sendiri secara langsung setelah melalui tahapan
pengokohan keimanan, pemurnian berserah diri, kemudian memelihara
keduanya sebagai ketakwaan yang abadi dalam hidupnya. Insya Allah.
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada rasul
Allah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapatkan kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”
(QS
49:7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar