Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
(QS 2:136)
B
|
er-keimanan mengandung makna luas,
tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah
yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk
malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya,
kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk
sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak
hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir,
ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan
pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari
akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang
sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan
berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya
akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil
menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya,
sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan
dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di
alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya,
kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan
memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari
kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan
selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan
selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun
nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi,
adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang
pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin
dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan
kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab,
hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah
hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui.
Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya
menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji
(muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah),
di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai
gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat
dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal
dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang
dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang
sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat,
sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh
adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan
dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju
kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan
kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan
terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu
apa sajakah itu?
Kelak,
dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan
anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang
sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan
kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah
yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu
aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai
Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang
berada diantara keduanya (Allahu
rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan
iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai
apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang
menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat
menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya
berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar
dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu
dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan. Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji
sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu
agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan
keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya
terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh
alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)”. (QS 6:162-163)
Ibadah
shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad,
pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran
yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin,
yaitu pengakuan yang
mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat
sah-nya shalat.
Jasadnya
yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya
yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya
yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia
menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah
kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja
diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya.
Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad,
pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah
kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus
dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Tersesatnya
jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut
memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya
terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya
akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa,
yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya
terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak
rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran,
gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah
tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di
pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam
kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan
bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah
sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian
berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari
peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya
keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka
diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik
kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana
tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah
pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada
anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya
mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan
datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang
telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi
masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa
hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah
seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa
akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar
atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak
menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu
belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya
yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya.
Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat
terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia
sungguh dalam kerugian.
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Kebaikan dan
keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung
jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditanam sebelumnya, serta
bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan
dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat
menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa
dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia
tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia
kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah
ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian,
dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi
sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi
jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu
yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk
kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya.
Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala
sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya
hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah
berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang
menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan
penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang
semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat
sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada
kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam
tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada
kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta
selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia,
dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai
titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup
sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini.
Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah
anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa
bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad
ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat,
tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan
menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa
sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya
yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan
materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga
kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang
seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak
disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat
petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari
akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi
memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari
kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah
pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani
tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa
perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa
berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari
struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli
pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian
(ibadah). Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila
diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa,
rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan
senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi
nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan
dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa,
semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka
penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya.
Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya
malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai
suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang
selalu ada di belakang cahaya.
“sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah
dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga).
Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs
keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit.
Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa
jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang
terkendali.
Marilah kita, sebagai insan
kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa
kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa
pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan
demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila
masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula
menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta
pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang
paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan
yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami
perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara.
Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara
bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah
secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli
(pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup
secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi
hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak
sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat
kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah.
Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan
penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan
negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara
menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa
(nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin
tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan,
bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik
mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti,
untuk membeli bbm (bahan bakar
minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum
lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga
yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan
untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup
kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri
ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan
pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para
petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada
buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran
yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang
semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi
tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali
kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya,
ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya,
melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi.
Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih
dari sebelumnya. Inilah akar
masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya
merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan
bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama
sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih,
tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai
kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa
agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan
jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang
hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah
sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah
membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari
bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang
dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan
itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih
mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan
suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul
Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah
dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan
kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional,
malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana
perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang
justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral
hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa
sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita
terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang
tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas
semua itu.
Sungguh ironis, parahnya
keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai
dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan
Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat
kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima
secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup
kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari
bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari
sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari
kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan
keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita
wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya
dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung
jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat
dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah
sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung
jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di
sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya
kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah
pemilik segala sesuatu.
Hidup
dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk
menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat.
Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan
atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan
satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya.
Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya
sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar