BAGIAN 1
MENEGUHKAN KEYAKINAN
(IMAN)
Kembali meneguhkan
keimanan menuju agama yang diridhai-Nya sebagai upaya perbaikan kehidupan yang
lurus dan menuju pada keselamatan sejati.
“Katakanlah,
ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang
yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri
(kepada Allah).”
(QS 16:102)
A
|
dalah naif, bila diri yang belum memahami jati dirinya tetapi kemudian
serta merta dihadapkan pada tuntutan akan kokohnya rasa keimanan, dimana
pokok bahasannya adalah keyakinan. Sedangkan keimanan merupakan rasa
bathin yang amat kuat mengikat pada ‘sesuatu’ yang tak tampak dan terasa
oleh indera, yaitu masih ghaib, sehingga mempengaruhi pola hidupnya.
Perjalanan kehidupannya yang panjang dan mengalami banyak hal sebagai
pelajaran, kelak sebagai yang akan membuka akal dan kesadaran pada hatinya.
Hanya dengan kehendak dan izin Allah sajalah, sesungguhnya, maka segala yang ghaib
tersebut dapat dipahami dan jelas terlihat oleh hati yang telah dibersihkan-Nya
dari selimut tabir-tabir yang menutupi.
Tidaklah pas
kata “tuntutan” bila disandingkan dengan rasa, apalagi rasa tentang
keimanan atau keyakinan. Adalah fitrah kemanusiaan memiliki kebebasan
dalam keyakinannya, dan tidak ada paksaan dan keterpaksaan dalam agama dan
beragama. Begitulah seharusnya. Kebebasan segalanya, termasuk dengan kebebasan
berpikir, menggunakan akal logikanya sampai menemukan sendiri, bahwa ada tabir-tabir
gelap yang sesungguhnya membatasi diri-nya dalam segala hal. Dan
pada akhirnya, diri-nya sendiri pun menyadari keterbatasan-nya sebagai makhluk
ciptaan yang, ternyata, segalanya amat bergantung pada kekuasaan mutlak
yang sesungguhnya berkuasa atas segala sesuatu, termasuk membuka
kegelapan-kegelapan yang meliputi dirinya, dan mengeluarkannya kepada cahaya
terang yang menunjukkan.
Kekuasaan apa dan siapa yang
sesungguhnya tersebut tentu telah kita ketahui bersama, akan tetapi makna-makna
yang lebih dalam semoga akan menggugah lebih jauh akan kesadaran jiwa
kita sebagai yang terikat melekat kepada kekuasaan tersebut.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Karena
sesungguhnya, keterikatan tersebut telah ada sejak diri belumlah berwujud atau
terlahir ke dunia bersama jasad. Kehidupan di dunia, yaitu pada pemenuhan
kebutuhan jasad, sedikit demi sedikit, telah mengkontaminasi atau mempengaruhi
ikatan-ikatan bathin tersebut. Hingga semakin besarnya pula keinginan kehidupan
dunia maka semakin besar pula kekuatan melepaskan ikatan-ikatan bathin atau
keimanan tersebut. Hal inilah yang membuat jiwa menjadi tersesat, semakin
menjauhi ‘asal’ keberadaannya. Jangankan menyadari kepada yang gaib, kepada
yang nyata saja telah tertutupi oleh hawa nafsu kehidupan dunia dan dorongan
kebutuhan jasad. Ambil satu contoh, narkoba dan minuman keras, betapa itu telah
merusak jiwa dan jasad pemakai yang sejumlah besarnya adalah generasi muda yang
menjadi tulang punggung harapan para orang tua.
Dalam sejarah kehidupan
kemanusiaannya, adalah nurani-nya (cahaya asal) yang menyadarkan dirinya
untuk kembali merajut ikatan-ikatan yang telah lepas. Seperti orang yang
tersesat dan hendak kembali pulang serta banyak bertanya untuk mendapat
petunjuk arah pulangnya. Sungguh telah terbuang dengan percuma waktu selama
itu.
“Demi waktu. Sungguh, insan kemanusiaan berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS
103:1-3)
Akan tetapi,
Allahu rahmanur-rahiim, Dia yang maha Pengasih dan Penyayang, sangat menyukai
orang-orang yang hendak kembali, serta dengan kasih dan sayang-Nya maka
Dia akan menunjuki jalan kembali yang terang-benderang, lurus, dan lagi
menyelamatkan.
Tersesat
adalah tak tahunya arah kemana tujuan seharusnya diambil. Atau disebabkan oleh
telah terlalu jauhnya kesesatan menyimpangkan dari arah yang seharusnya. Dan
mungkin masih banyak hal lainnya sebagai penyebab sesat dari tujuan, sehingga
membuat kesulitan untuk dapat segera keluar dan beralih dari kesesatannya.
Betapa kehidupan dunia ini
telah melengahkan diri kita dari pemahaman-pemahaman yang hakiki yang
sebenarnya perlu bagi kehidupan yang lebih baik dan sehat lagi dari sebelumnya.
Tidak hanya lebih baiknya kehidupan kita sendiri, melainkan juga kehidupan
bersama secara umum. Kehidupan dunia memang yang telah melalaikan jiwa
kita dari kebenaran yang haqq, dan melalaikan jiwa kita pula akan keberadaan kekuatan
aparat-aparat yang diutus Tuhan untuk membantu kehidupan setiap diri
kemanusiaan.
“Dan tidak
ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS
10:100)
Kehidupan dunia pula yang telah
melalaikan setiap diri kemanusiaan dari kesadaran-kesadaran yang seharusnya
bergerak dan berkembang lebih tinggi lagi dari sebelumnya, yang dapat
mengkokohkan kembali keimanannya. Karena begitu erat hubungan antara keyakinan
yang didasari oleh kesadaran-kesadaran pemahaman yang merupakan kebenaran dari
Tuhannya. Kebenaran-Nya sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang sesungguhnya
mengikat kuat setiap diri kemanusiaan, baik disadari ataupun tidak disadari,
baik sukarela ataupun terpaksa. Segala sesuatu, termasuk diri-nya adalah yang
diliputi oleh kuasa, kehendak, serta rahmat pemeliharaan-Nya.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Tetapi, karena Dia Yang Maha
pengasih dan Penyayang tak menginginkan kemanusiaan terus dalam kesesatan, maka
bagi mereka yang mau membuka hati dan akalnya, telah begitu banyak Allah
tebarkan petunjuk di alam ini, dan orang-orang yang saling menasehati sebagai
penyampai petunjuk kebaikan dan kebenaran, serta juga yang telah ada dalam
kitab suci sebagai pedoman hidup kemanusiaan. Dan dengan akal kesadaran
jiwa-nyalah maka segala apa yang dilihat, dirasa, dan yang sampai kepadanya
adalah merupakan rahmat dari-Nya. Juga adalah sifat kemanusiaan yang hendak
mengetahui segala sesuatu, maka sungguh diri-nya amatlah membutuhkan petunjuk
sebagai cahaya yang menerangi gerak kehidupannnya.
PETUNJUK
Begitu
banyak petunjuk Allah yang bertebaran di langit dan di bumi dan yang berada di
antara keduanya. Seluruhnya bertebaran dihadapan mata baik yang berada di
langit dan di bumi akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang membutuhkan,
yang mencari, yang berilmu, yang berfikir, dan juga bagi orang-orang yang
beriman. Inilah yang disebut Kitabul
Ardhi.
Kedua,
petunjuk yang disampaikan langsung ditanamkan kedalam kalbu tanpa proses olah
pikir, tanpa pengamatan dan penelitian. Inilah yang disebut di dalam dada,
yaitu Lauhul Mahfudz.
Dan ketiga,
petunjuk dari Allah yang berupa Kitab Suci, yang didalamnya berisi
firman-firman Tuhan yang disampaikan melalui malaikat-Nya kepada salah seorang
insan kemanusiaan yang telah diimankan, diislamkan, dan diihsankan
oleh Dia sebagai nabi dan rasul-Nya, dan untuk disebarkan kepada umat atau
kaumnya agar selamat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Ini disebut Kitab
Samawi atau merupakan kitab yang ‘turun dari langit’, yaitu kitab
yang berisi firman-firman Tuhan yang merupakan petunjuk kepada keselamatan
hidup di dunia dan kelak di akhirat, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al
Qur’an.
Ketiganya, sebagai penyampai
atau pembawa petunjuk yang mengarahkan kepada adanya hari akhir dan kadar
baik-buruk, yang juga merupakan sebagai yang gaib, yang baru akan dapat
dihadapi di waktu kemudian. Juga merupakan dua hal utama yang perlu dijadikan
acuan sebagai petunjuk keselamatan yang harus diyakini. Berikut pula para
malaikat, para rasul dan seluruh kitab suci adalah merupakan alat
atau aparat Allah yang bertugas sebagai penyampai petunjuk keselamatan
tersebut. Keduanya ini harus diterima dan dicapai dengan baik pada ‘akhir’-nya
(khusnul khatimah) agar dapat kembali pulang kepada Allah.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta
yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan
zakat, dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.” (QS 2:177)
Iman-nya
tersebutlah yang sesungguhnya lebih menghidupkan jiwanya dan mengarahkan
kehidupannya menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan iman-nya itu pula, setiap
diri hidup berada diatas landasan yang kokoh sehingga mampu melalui masa-masa
tersulitnya terus hendak mencapai kesempurnaannya. Bersama iman-lah setiap diri
merasa memiliki harapan dan asa-nya ke depan, yaitu hari kemudian-nya.
Dan telah
sejak awal kehidupannya, diri kemanusiaan, dari setelah kelahirannya, telah
dibentangkann kitab di alam (kitabul ardhi) tersebut sebagai petunjuk
yang seiring dengan dibukakan kitab di dalam dada-nya (lauhul mahfudz) untuk dapat menerima
pemahaman yang kelak akan datang masuk, kemudian berharmonisasi dengan
petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam kitab-kitab suci (kitab samawi)
dan kitabul ardhi sebagai peringatan,
yang datang melalui seseorang yang terpercaya (rasul Allah).
Akan tetapi
tanpa iman, kesemuanya tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa. Tidak akan
membawa pada keselamatan di dunia dan akhirat. Padahal untuk hal sekecil apapun
saja diperlukan iman atau rasa percaya, keyakinan. Ambil contoh, bila
seseorang hendak pergi ke suatu tempat dengan menggunakan angkutan umum, bila
ia tak percaya kepada supirnya, maka apa yang terjadi? Pasti terhambat. Dan
bila ia telah percaya, maka masih dibutuhkan keberserah dirian-nya.
Bila terhadap rasa percaya yang
sepele saja membutuhkan sebuah keberanian, apalagi kepada rasa percaya terhadap
sesuatu yang besar, yaitu
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat, tentulah dibutuhkan hal yang lebih
besar dari sekedar keberanian. Apakah itu? Mencari sesuatu yang tidak sepele,
yang sesungguhnya benara-benar menguasai keselamatan itu sendiri, yang
ternyata adalah ada tapi tak kelihatan oleh mata-nya, dan yang berkuasa
tapi tak disadari-nya. Dan akan menjadi nyata wujud dengan segala sifat-Nya
bagi orang-orang sungguh-sunguh berusaha menuju kepada-Nya. Maka iman
itu diklasifikasikan (Rukun Iman) kepada, yaitu :
1. Allah (Pencipta segala sesutu)
Sebagai nama tunggal bagi pencipta segala
sesuatu baik yang nyata kelihatan, maupun yang nyata tidak kelihatan.
2.
Para Malaikat (Makhluk yang merupakan
ciptaan-Nya)
3.
Para Rasul
(Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
4. Kitab-Kitab Suci (Makhluk yang merupakan
ciptaan-Nya)
Ketiganya merupakan alat atau aparat Allah yang
menyampaikan petunjuk kepada keselamatan.
5.
Hari Akhir
(Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
6. Kadar Baik-Buruk (Makhluk yang merupakan
ciptaan-Nya)
Keduanya, yaitu Hari Akhir dan
Kadar Baik-Buruk, merupakan Petunjuk menuju keselamatan agar mencapai akhir
yang baik dan sempurna, khusnul khatimah. Beriman kepada Hari Akhir atau
hari kemudian, maksudnya agar manusia percaya pada hari penghakiman,
dimana segala amal perbuatan sekecil apapun akan diperhitungkan. Dan beriman
kepada kadar baik dan buruk, maksudnya agar manusia dalam
kehidupannya pun dapat menerima bukan hanya nikmat kebaikan, akan tetapi
nikmat keburukan pun harus dapat diterimanya.
Seperti halnya telah menganggap
lumrah dalam menerima malam setelah siang, dan telah pula menganggap lumrah,
maaf, saat harus buang air (besar maupun kecil) setelah menerima nikmat makanan
dan minuman dari Tuhan-Nya. Karena Allah menciptakan segala sesuatu selalu
pasti bersama pasangannya, betapa Tuhannya selalu memberikan rahmat-Nya yang
hanya berupa rahmat kebaikan, sekalipun diri kemanusiaan menganggapnya adapula
keburukan yang diterimanya, namun keburukan tersebut, sesungguhnya adalah agar
dirinya mencapai kesempurnaan fitrah-nya.
Sesungguhnya,
rahmat-Nya tidaklah berkekurangan dan tidak pula berlebihan, keterbatasan
diri-nya lah yang menjadikannya kurang ataupun lebih. Menjadi kurang ataupun
lebih, adalah disebabkan karena diri-nya sendiri yang tak mempersiapkan
dalam menerima semua rahmat-Nya. Begitulah keterbatasan pada kemanusiaan dalam
menilai segala sesuatu selalu dengan pasangannya, sebagai yang baik atau buruk,
kurang atau lebih, benar atau salah dan lain sebagainya, yang padahal semuanya
tersebut adalah rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan rahmat Allah adalah tunggal,
yaitu kebaikan, dan tidak ada yang lainnya, hanya kebaikan. Hanya karena tak
sesuai keinginannya, maka dirinya menilai sebagai yang buruk. Padahal dirinya
memiliki keterbatasan dalam memandang dan memahami, yang kelak akan disadarinya
bahwa apa yang semula dikiranya keburukan, ternyata adalah membuat kebaikan
bagi dirinya. Dia-lah Allah Yang Maha Sempurna, dan Dia menghendaki setiap
makhluk-Nya pun menjalani kesempurnaan sebagai ciptaan-Nya.
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawaban.” (QS 17:36)
Keenam Rukun Iman tersebut
diatas wajib diimani secara nyata dan tidak hanya sekedar percaya tanpa
pengetahuan, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Mengimani petunjuk
yang merupakan jalan lurus yang terang sebagai kebenaran yang datang
dari yang Maha Benar, dan disampaikan melalui penyampai yang benar dan
terpercaya, serta berakhlak mulia, lagipula tidak sedikitpun mereka mengharap
upah ataupun imbalan, adalah kerugian apabila diri ini mengingkarinya.
Bila
diingkari, yaitu amal perbuatan yang tidak didasari oleh keimanan, maka
tunggulah saat bencana dan musibah datang yang merupakan akibat dari
perbuatannya sendiri, dimana dada terasa sesak, sempit, dan menghimpit. Maka
rasa iman itu baru muncul, dimana penyesalan tiada lagi berguna karena dosa dan
balasan kini di hadapan mata dan siap dituai. Karena amal perbuatan seberat
biji sawi pun memiliki balasan.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.
Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat
(balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Padahal tidak usahlah maut di
hadapan mata, perbuatan seperti, mencuri, menipu, korupsi, dan pidana lainnya
akibat tidak adanya rasa iman, maka penjaralah ganjarannya. Itulah kehinaan
disebabkan menuruti hawa nafsunya. Itu pula karena belum terlihat oleh hatinya
segala yang gaib, termasuk akibat atau balasan dari
perbuatan. Bagaimana mungkin, bila sedang haus, kita bisa mengimani (meyakini)
bahwa dengan minum maka hauspun akan terobati, tetapi tidak dapat mengimani
atau meyakini perbuatan buruk yang kelak akan mengakibatkan keburukan pula bagi
dirinya sendiri? Bukan hati yang buta, akan tetapi hawa nafsu (diri) yang
membabi-buta, tiada perduli kepada hari kemudian yaitu penjara akibatnya, dan kadar
baik-buruk nya
yaitu apa yang dipandang baik hari ini maka kelak pasti akan datang
pasangannya. Seperti datangnya cahaya yang selalu bersamaan diiringi oleh
bayangan gelap-nya.
Betapa
setiap diri kemanusiaan cenderung mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi nurani-nya
pun, kelak ketika menghadapi musibah dan bencana, akan mengharapkan petunjuk
dan lindungan dari apa yang dianggapnya sungguh-sungguh berkuasa
termasuk kepada dirinya.
................... (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar